Jumat, 26 Desember 2008

Cinta Seumur Hidup

Cinta Seumur Hidup


Pernahkah kamu merasakan cinta?
Cinta yang mengendap sekian lama.
Cinta yang kamu tak pernah sadar bahwa itu ada.
Tapi selalu hadir.
Ada dan tak terlupa.

Saat dua insan memadu kasih.
Tiga tahun lebih mereka bercinta.
Mereka merasa saling cocok.
Merasa jodoh dan merasa sangat berbahagia.
Namun karena ada satu dan laen hal sebutlah keegoisan masa muda, kejenuhan,
Ataukah temperamen sesaat.
Mereka kemudian berpisah.

Setelah berjalan sekian lama mereka mulai bisa beradaptasi.
Sang cewek pun mulai mencari tambatan lain.
Berpacaran dan berganti pasangan dari waktu ke waktu.
Ada yg bertahan sekian lama namun seringkali hanya selintas lalu.
Tapi hubungannya dengan lelaki manapun selalu berakhir.
Sampai akhirnya wanita itu tersadar.
Bahwa dia tidak pernah merasa cocok dengan laki2 manapun.
Tidak bisa merasa nyaman dengan siapa pun.
Selain dengan mantannya.
Entah kenapa dia pun tak tahu.

Sesaat kemudian dengan berbekal keberanian dan memupus harga dirinya sebagai wanita dia mencoba mencari mantannya.
Selama ini pamali buatnya mengejar cowok.
Karena dia selalu dikejar-kejar sang kumbang.
Namun kali ini dia mulai mencari, menyusuri jejak-jejaknya dahulu dan mencoba menghubungi siapa saja yang mungkin dihubungi.
Termasuk menghubungi teman, kolega, saudara dari mantannya.
Sampai akhirnya dia mendapat kontak number mantannya itu.
Hanya sebuah nomor telepon dari seorang lelaki.
Seorang lelaki yg dia percaya membawa hatinya.
Namun berat baginya untuk langsung menghubungi.
Masalah bimbang, keraguan dan harga diri menghambat laju hatinya.

Sampai di suatu petang dia membulatkan tekad.
Dia menelepon laki2 itu.
Telpon diangkat oleh seorang wanita dengan sapaan ramah.
Setelah berbincang beberapa saat terungkaplah bahwa sang penerima telpon itu adalah istri mantannya.
Iya benar mantannya itu.
Pria yang membawa hatinya.
Sekarang telah menikah dengan wanita lain.
Dia merasa dikhianati.
Ditipu dan dipermainkan.
Kok bisa-bisanya lelaki itu...
Tapi dia punya kuasa apa.
Dia yang memilih untuk menjauh.
Dia yang memilih untuk berpisah dan tidak mempertahankan cinta mereka.
Meskipun sebenarnya dia tahu saat itu, bahkan sampai sekarang, dia masih mencintai pria itu
Tapi sekarang sudah terlambat

Sang istri pun memanggil suaminya.
Dengan berat hati.
Di detik-detik itu jantung wanita itu melambat, dan berhenti saat terdengar suara mantannya di ujung telpon.
Setelah itu mereka bercakap dan mulai bercakap.
Meskipun telah lama berpisah namun percakapan yg singkat itu terasa berbeda.
Dua hati yg saling mengisi.
Pembicaraan yang mengalir lancar.
Jika didengar seperti suara membuka kunci gembok yg tertutup sekian lama.
Mengembalikan kenangan indah saat bersama.
Pembicaraan berakhir saat sang pria disadarkan oleh tangisan bayinya.
Telpon berakhir sampai di situ.
Dan pembicaraan itu menyadarkan mereka bahwa mereka adalah satu.
Bahwa mereka ditakdirkan untuk bersama sampai akhir hayat.
Tapi mengapa harus seperti ini?
Mengapa dahulu, dia harus egois dan keras kepala.
Dia terus menyalahkan dirinya sendiri.
Tak mampu memaafkan keputusannya waktu itu.
Penyesalan selalu datang terlambat.

Wanita itu memutuskan untuk tidak akan lagi menghubungi mantannya.
Dia membulatkan tekad bahwa dia cukup bahagia hanya dengan mendengar bahwa lelaki yg benar2 dicintainya sudah berkeluarga
dan memiliki orang2 yg dicintai.

Dia mencoba melangkah lagi.
Berat memang.
Tapi tidak ada cara dan jalan yg laen.
Semua sudah terjadi.
Kadang kadang.. tidak semua apa yang kita mau bisa kita miliki.
Yang susah untuk kita, belum tentu buruk untuk kita.

Hari berganti hari, bulan berganti nama
Pergantian hari buat kita adalah pergantian tahun buat wanita patah hati itu.
Terasa berat, lama dan menyiksa.
Dan saat lukanya mulai tersembuhkan hpnya berdering.
Sebuah telpon dari seorang pria
Pria yg pernah dan selalu berada di hatinya.
Mantannya menelepon.
Mengajaknya untuk bertemu.
Dia katakan alasan hanya untuk melepas rindu.
Berat baginya untuk mengiyakan tapi lebih susah lagi untuk tidak bertemu sesaat lagi dengan pria pujaan hatinya itu.
Sang pria sedikit memaksa
Akhirnya dia mengiyakan
Apapun konsekuensinya nanti

Kencan itu memulai babak baru dalam kehidupan mereka berdua
Berawal dari satu kencan dilanjutkan ke kencan yang laen.
Dari satu telpon ke telpon laen.
Kembali seperti ABG yang sedang jatuh cinta.
Meski kini tak lagi muda.
Mereka melanjutkan masa cinta tiga tahun mereka dalam babak baru dan status baru.
Yang seorang sudah berkeluarga.
Dan yang satunya dengan berat hati menerima status sebagai selingkuhannya.

Sampai di suatu petang, saat mereka berjalan2 di tempat dimana mereka pertama kali bertemu.
Entah mengapa cakrawala saat itu begitu hangat. Tenang dan senyap.
Dan mereka bercakap di bawah redup sinar rembulan di tempat dimana mereka melihat belahan hati mereka untuk pertama kalinya.
Tiba - tiba sang pria berlutut dan melamar wanita itu.
Girang tak dikira.
Senang sekali hati wanita itu.
Hampir2 dia meloncat dan memeluk rembulan.
Dia terbang melenting tinggi.
Terhenti dan jatuh ke dalam jurang saat tersadar bahwa pria yang melamarnya sudah berkeluarga.
Bukan bujangan lagi.
Namun kini pria yg dia cintai itu melamarnya.
Ini impiannya.
Keinginan untuk hidup satu atap dengan pria belahan hatinya.
Hampir terwujud kini jika tidak bertemu dengan sebuah dilema.

Dia bertanya,
"bagaimana dengan istrimu?"
"anak2mu?"
"apa kamu tega menceraikannya dan meninggalkan mereka?"
"kamu jangan gila!"
"istrimu kan tidak bekerja dan hanya menggantungkan hidupnya padamu."

Sang pria menjawab,
"mengapa harus menceraikannya?"
"bukankah kita bisa semua hidup bersama."
"bahagia di bawah satu atap."

Poligami!!!
Bagai petir di siang bolong.
Wanita itu terhenyak.
Istilah apa itu?
Gak ada di kamusnya kata2 itu.
Gak buat sang wanita.
sang pria terus membujuk dan meyakinkan akan mendapat izin dari istri pertama
Dan berjanji akan adil seperti yang seharusnya.
Sang pria merasa mampu.

Sang wanita tertegun
Pria ini.
Pria yg hanya dia cintai selama ini.
Mau memadunya.
Dan menjadikannya istri kedua.

"Mengapa kamu tidak menceraikannya? Padahal kamu sadar bahwa hanya akulah yang kamu cintai selama ini."
"Bahwa kamu hanya mencintainya karena terbiasa dan rasa kasihan saja."
"Bahwa kamu menikahinya hanya karena dia mirip denganku."
"Fisiknya, sifatnya dan segalanya"
"Mengapa kamu mempertahankan mutiara palsu itu sedangkan kamu bisa membeli yang asli."
Sang wanita berteriak-teriak sambil menangis di hadapan pria itu.
Sang pria hanya bisa diam.
Dia tak berucap sepatah kata pun.
Bahkan untuk menghela napas pun terasa berat.
Semua yang dikatakan wanita itu benar adanya.
Karena memang hanya wanita dihadapannya inilah yang benar-benar bisa mengerti dia.

Perlahan dia memeluk wanita itu.
dan berbisik di telinganya :
"Tak semudah itu sayangku,"
"Bagaimana dengan anak2ku?"
"Bagaimana masa depan mereka kelak melihat orang tuanya cerai?"
"Aku gak bisa sayangku."
"Aku gak bisa..."

Dan gerimis pun memeluk mereka.
Dalam hening malam itu, langit pun tertegun.
Sayup-sayup terdengar bunyi gesekan dedaunan yang mengantar mereka menyudahi pertemuan itu.
Percakapan yang akan terngiang terus.

Seminggu berlalu.
Sang wanita belum juga menjawab lamaran itu.
Dia pernah kehilangan pria ini.
Dan dia tidak ingin terpisah lagi dengannya.
Dia beranikan diri untuk menyampaikan lamaran itu ke orang tuanya.
Sudah diduga,
Wanita itu dimarahi habis2an oleh keluarganya.
Lamaran itu ditolak mentah2 bahkan sebelum sang pria maju ke keluarganya
Hanya karena lamaran itu diajukan sebagai istri kedua.
Poligami masih sesuatu yang terlalu tabu di keluarga itu.
Tak pernah terjadi sebelumnya dan kini mengancam putri kesayangan mereka.
Tak pernah terjadi sebelumnya dan tak akan pernah.

Sejak saat itu sang wanita mulai menghindari sang pria.
Sebenarnya keluarganyalah yang menghindarkan wanita dari pria itu
Meskipun sang pria berusaha sangat keras untuk menghubunginya dan menemuinya.
Tapi usaha tersebut tak jua menemukan hasil.
Sampai suatu hari adek sang wanita datang ke rumah pria itu.
Dengan membawa undangan.
Undangan pernikahan kakaknya.
Dengan pria pilihan keluarganya.
Yang hanya dikenal kurang dari satu bulan oleh sang wanita.
Undangan diterima dengan baik oleh pria itu meskipun dia tidak pernah hadir dalam acara pernikahan sang wanita.
Bahkan untuk sms pun tidak.

Kini sang pria sibuk merenungi nasib.
Dan sang wanita diharuskan untuk mencintai suaminya
Atau mencoba mencintai suaminya lebih daripada mantannya
Dan mereka tidak pernah berhubungan lagi.
Kembali seperti saat mereka memutuskan untuk berpisah dulu.
Tapi kini bukan keputusan mereka, tapi karena keadaan sudah berbeda.
Meski sebenarnya sang wanita sudah rela untuk dimadu saat keluarganya memilihkan calon suami untuknya.
Terpisah karena status.
Dan keberadaan sosial.

Dan seiring bergantinya waktu.
Kenangan itu tak terpupus waktu.
Satu fakta bisu terucap.
Bahwa selama mereka berpisah di setiap tahunnya
Mereka mengunjungi tempat yang sama.
Sekedar lewat atau berhenti sejenak.

Dua puluh lima tahun kemudian sejak kejadian itu.
Secara tidak sengaja di mall yang menjadi pusat perbelanjaan di kota itu mereka bertemu.
Dari situ mereka lanjutkan untuk makan sejenak dan mengingat masa lalu.
Toh itu sudah dua puluh lima tahun lebih.
Dari percakapan itulah diketahui bahwa istri sang pria sudah meninggal beberapa tahun yang lalu karena sakit.
Dan kini pria tua ini tinggal bersama keluarga anaknya yang pertama dengan bahagia.
Sang wanita pun kini sudah memiliki anak dan cucu.
Anak cucu yang tak kalah lucunya.
Untuk sesaat mereka sudah tersenyum saat melihat kembali kenangan kisah cinta mereka.
Saling berbahagia karena kini sudah ada keluarga tempat mereka tinggal.
Kenangan tersebut hanya berakhir di meja makan dan mereka kembali ke keluarga masing-masing.
Melanjutkan hidup.

Lima tahun kemudian mereka bertemu lagi.
Dalam kondisi yang sangat tidak berbahagia.
Sang wanita terbaring koma.
Dia mengalami kecelakaan.
Kecelakaan yang membuat suaminya meninggal dunia dan membuat dirinya koma.
Kondisinya sangat memprihatinkan.
Luka dalam yang serius membalutnya dan keluarganya.
Kini wanita cantik itu terbaring lemah.
Dalam rona kecantikan yang sudah memudar.
Tak lagi secantik dan seceria dulu.
Anak cucunya mendampingi di sisi ibu dan nenek mereka di setiap hari.

Pria itu hanya bisa tertegun.
Menyaksikan wanita yang pernah dicintainya terbaring lemah di kasur.
Koma.
Dihampirinya wanita itu.
Disentuh dan diajak bicara.
Mengobrol.
Sama saat mereka masih pacaran dulu
Tanpa menghiraukan keluarga sang wanita dan keluarganya.
Digenggam tangannya dan diusapnya perlahan.
Ditatapnya wanita itu.
Tatapan bercahaya dan penuh harapan.
Seolah-olah hanya dialah orang yang paling mengharapkan kehadiran kembali wanita itu.
Wanita yg membuatnya tersadar untuk tidak menikah lagi setelah istrinya meninggal
Wanita yang membuat dia sadar bahwa selama berpuluh2 tahun kehidupan bersama keluarganya.
Dia merasa tidak lebih bahagia dan nyaman dibanding saat2 bersama wanita koma itu.
Meskipun hanya tiga tahun mereka bersama
Sesaat dia berbisik di telinga itu
Dan do'a pun melayang.
Kalo pun Tuhan mengizinkan wanita itu kembali dia takkan membiarkannya pergi.
Lagi.
Dia akan menikahinya.
Dan hidup bersamanya.
Bagaimanapun kondisinya
Apapun kata orang lain

Akhirnya, wanita itu tersadar.
Dan sang pria menepati janjinya.
Mereka menikah.
Meskipun nada miring muncul dari keluarga, anak dan cucu mereka.
Tapi mereka tak peduli.
mereka yang menjalani.
Telah sangat lama mereka terpaksa hidup dalam keputusan orang lain dan berpisah.
Kini kesempatan itu hadir dan mereka tak kan membiarkannya pergi lagi.

Kini setiap hari mereka bisa bersama
Merasakan bahagia
melanjutkan kisah cinta mereka.
Bersama mengunjungi kebun bunga mawar.
Kebun bunga yang dahulu adalah tempat dimana sang pria melamar gadis itu.
Tempat yang sama saat pertama kali mereka bertemu.
Setiap hari jadi mereka, sang pria menghampiri tempat itu.
Dan menanam sembilan bibit mawar di tempat itu.
Setelah di tahun sebelumnya menghabiskan banyak tabungannya untuk membeli tempat itu.
Kini tempat itu telah menjadi kebun bunga mawar.
Bunga kesayangan sang wanita.
Bunga yang menjadi kesayangannya setelah pada kencan pertamanya dulu sang pria memberikan bunga mawar kepadanya.

Hanya dua tahun kemudian wanita itu meninggal.
Luka dalam akibat kecelakaan itu tak bisa disembuhkan secara total.
Dan menggerogotinya selama perlahan.
Meskipun pengobatan intensif selama dua tahun tak mampu menyembuhkannya.
Setiap saat dia harus menjalani pengobatan dan pemeriksaan rutin.
Sampai akhir masanya berhenti.

Dua tahun itu dua tahun paling membahagiakan dalam hidup mereka.
Meskipun terbalut pemeriksaan medis rutin.
Tapi selalu penuh dengan tawa dan senyum ceria mereka.
Tapi senyum ini harus terhenti.
Kini mereka harus berpisah lagi.
Cinta yang sedemikian kuat kepada pria pujaan hatinya.
Cinta yang mampu membangunkannya dari koma untuk hidup sejenak dengan pria pujaannya.
Kini cinta itu mengantar mereka ke perpisahan abadi.
Berharap kelak bertemu kembali.

Bak pepatah berkata,
"Terkadang apa yang kamu cari ada tepat di depan matamu,
tapi ketidak pastian dunia akan hal baru sering menutupi fakta ini."

Kamis, 25 Desember 2008

Ustaz, Pastor, dan Guru

Ustaz, Pastor, dan Guru

MAKNA kata memang bisa dilihat dari berbagai aspek. Ada makna leksikal, yakni makna kata sebagai lambang benda atau peristiwa. Ada makna gramatikal, yakni makna atas dasar hubungan antarkata serta antara kata dan frasa atau klausa. Di samping itu masih ada makna kontekstual, makna konotatif, makna emotif, makna kognitif, makna intensif, makna ekstensif, makna denotatif, makna lokusif, makna luas, makna khusus, dan lain-lain. Dulu makna kata ini oleh para guru kita disebut sebagai arti kiasan dan arti sebenarnya.
Makna kata inilah yang menjadi acuan AyatrohaĆ©di ketika menulis Ustaz di Kampung Maling di rubrik ini, 5 Maret 2005: "Itu yang kemudian membedakan ustaz, juga pastor dan pendeta (Protestan), dari guru yang berubah menjadi ’pekerjaan umum’." Mang Ayat benar. Makna leksikal ustaz, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga adalah ’guru agama atau guru besar’, memang telah tenggelam oleh makna gramatikal sekaligus kontekstualnya sebagai simbol kebaikan dan kesucian. Status ustaz kini berada di deretan kiai, pendeta, dan pastor yang berbeda dengan guru agama di sekolah umum.
Namun, makna leksikal pastor dan pendeta tetap berbeda dengan ustaz maupun kiai. Dalam agama Islam, siapa saja asal bukan perempuan bisa menjadi imam untuk memimpin salat berjamaah. Dalam agama Hindu, Buddha, Konghucu, Protestan, dan Katolik tidak semua orang bisa berfungsi sebagai "imam" untuk memimpin ibadah. Itu tugas pendeta dan pastor. Makna leksikal ustaz, pendeta, dan pastor sebaiknya jangan dikacaukan oleh makna gramatikal dan kontekstualnya. Selain karena menyangkut agama yang berlainan dan perbedaan pokok profesi itu, pergeseran makna kontekstual ustaz hanya sebatas sebagai simbol kebaikan. Makna leksikalnya tetap: guru agama. Bukan pemimpin dalam struktur keagamaan permanen.
Makna leksikal pendeta (Hindu, Buddha, Konghocu, dan Protestan) serta pastor (Katolik) terutama adalah sebagai pemimpin agama dan imam permanen, yang jelas beda dengan profesi ustaz. Untuk bisa menjadi imam, pendeta dan pastor harus menempuh jenjang pendidikan tertentu. Untuk menjadi ustaz dan kiai yang merupakan profesi permanen, seseorang memang tetap memerlukan jenjang pendidikan khusus dan pengakuan umat. Namun, untuk menjadi imam dalam salat berjamaah, Islam tidak menuntut adanya status permanen yang diraih melalui pendidikan khusus.
Meskipun sama-sama memiliki persamaan makna leksikal sebagai pemimpin keagamaan dan imam permanen, pendeta dan pastor juga punya perbedaan makna leksikal yang prinsipiil. Pendeta bisa berumah tangga (menikah dan punya anak), sementara pastor tidak menikah. Karena itu, pendeta bisa hidup normal sebagai anggota masyarakat biasa, sementara pastor adalah anggota tarekat yang mutlak hidup di biara, kecuali pastor praja (diosesan) yang bukan anggota tarekat (langsung di bawah keuskupan) sehingga boleh hidup di luar biara. Meskipun begitu, mereka juga tetap tidak menikah.
Status pendeta dan pastor sebagai pemimpin keagamaan permanen sebenarnya sama dengan imam masjid, bukan imam dalam salat berjamaah meski dalam hal ini pun tetap ada perbedaan antara pendeta dan imam masjid dengan pastor. Sebagai anggota tarekat, pastor bisa pindah (dimutasikan) ke mana pun bahkan sampai ke luar negeri, sesuai dengan keputusan pemimpin tarekat. Imam masjid tidak lazim dimutasikan. Ini disebabkan oleh struktur kerucut agama Katolik yang masif dengan Paus dan Vatikan sebagai negara berdaulat merupakan puncaknya. Sementara Hindu, Buddha, Konghucu, Protestan, dan Islam tidak memiliki struktur kerucut yang masif demikian sehingga relatif lebih "demokratis".
Meskipun makna leksikal guru dalam KBBI adalah ’orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar’, makna gramatikal, kontekstual, dan konotatifnya tetap beragam. Ketika menteri, BJ Habibie menyebut Soeharto sebagai "guru besar". Maknanya pasti bukan makna leksikal sebab Soeharto tak pernah kuliah, apalagi mengajar di universitas. Kalau Nurcholish Madjid disebut sebagai "guru bangsa", maknanya bukan Cak Nur bermata pencaharian mengajar bangsa ini. Bahkan, makna maling dalam Ustaz di Kampung Maling pasti bukan leksikal, melainkan gramatikal, kontekstual, atau konotatif.

Memahami Dusta dan Kebenaran dalam Sastra

Memahami Dusta dan Kebenaran dalam Sastra



Sebagaimana kita pahami bersama, bahwa selain sebagai dunia rekaan (bukan nyata) dan sebagai dunia refleksi, sastra ternyata juga bisa dikatakan sebagai sebuah dusta. Sastra adalah dusta di dalam dirinya. Dikatakan demikian, lantaran sastra dapat menjadi 'kebenaran' melalui 'pembenaran-pembenaran' yang terjadi secara individual.

Di antara kebenaran dan dusta itu tak ada satu pun prosedur yang memungkinkannya menjadi 'kebenaran' atau 'dusta' massal atau kolektif. Semua bisa terjadi dalam dunia kemungkinan, sebagaimana semua pihak dapat menerima atau menolaknya melalui standar pribadi yang dimilikinya.

Simpulannya, dusta dan kebenaran dalam sastra memang tak terbatas, keduanya sedemikian rupa bias bercampur bagai molekul yang saling melarut. Ketika sastra diminta atau dipaksa mendesakkan dunia rekaannya pada pihak lain, ia berhenti menjadi seni. Mungkin ia berubah menjadi slogan, propaganda, agama, sains, atau ideologi. Dan sastra, tak berdaya untuk itu.

Bahkan dalam bukunya yang berjudul Kebenaran dan Dusta dalam Sastra, Radhar Panca Dahana menulis, bahwa jika hal di atas terjadi, maka sastra akan bernasib seperti kotak mainan anak, ia akan tergeletak di pojok, di atas lemari baju, atau teronggok di balik etalase barang elektronik; lusuh dan berdebu, terlupakan, tak terbeli. Begitu lemahkah sastra? Demikian kira-kira Radhar kembali bertanya. Sebuah pertanyaan yang kembali membutuhkan jawaban idealistis, mitologis, romantis atau kadang-kadang terlalu dramatis.

Seandainya pertanyaan itu tidak bergema dan bergayut sekalipun, pertanyaan atas posisi sastra akan senantiasa ada, tak pernah berhenti, tak pernah tuntas, dan tak pernah ada simpulan, penyelesaian, atau batasan-batasan definitifnya. Semua sekadar catatan bahwa manusia memang menjalani sebuah proses untuk menemukan dirinya sendiri, menyempurnakan pemahaman-pemahaman atas dunia, menempatkan posisi yang labil di dalamnya.

Sastra dan pertanyaan-pertanyaan itu senantiasa berulang dan tujuan sebenarnya adalah untuk menemukan manusia yang ternyata selalu hilang (dalam setiap perubahan zamannya). Semua bergulir dalam satu pusat yang tak terhindarkan: rekonstitusi dan rekonstruksi manusia serta efek-efek lain yang ditimbulkannya.
***

Dunia imajinasi yang ditata dalam karya sastra adalah semesta yang menghimpunnya tak hanya 'kesadaran akal' namun juga 'kesadaran batin' dan 'kesadaran badan'. Dunia empirik yang ada padanya tak dapat dijelaskan oleh kategori sehari-hari yang kita pahami, sebagaimana pengalaman batin dan badan takkan pernah mampu kita jelaskan secara menyeluruh. Karakter inilah yang membedakan karya sastra dari produk laboratorium, karya jurnalistik, telaah sejarah, atau penyusunan biografi.

Karena itu, seorang pembaca hendaknya memiliki ancang-ancang sendiri untuk menghadapi karya sastra, karena sekali lagi --semua bergulir dalam satu pusat yang tak terhindarkan: rekonstitusi dan rekonstruksi manusia serta efek-efek lain yang ditimbulkannya.

Dan kiranya, pemikiran tentang rekonstruksi manusia serta efek-efek yang ditimbulkannya itu --serta gagasan menarik dari Radhar Panca Dahana tentang kebenaran dan dusta dalam sastra-- akan menjadi menarik apabila lebih dikaji dalam suatu objek kajian.

Barangkali juga merupakan sebuah objek kajian yang menggelitik, bila kita melirik kembali rekonstruksi sebuah naskah sejarah menjadi karya sastra, misalnya --naskah Perang Bubat. Naskah sejarah Perang Bubat merupakan satu contoh bentuk naskah sejarah yang bisa kita lihat, telah banyak mengalami rekonstruksi dari pengarang dalam wilayah kultur berbeda, antara pengarang berasal dari kultur sosial Jawa dan Sunda masih merupakan satu kajian yang tak pernah selesai.

Naskah Perang Bubat sebagai bentuk naskah sejarah ini jelas menjadi naskah karya sastra manakala di dalamnya telah terjadi rekonstruksi oleh pengarang melalui wacana dialog tokoh-tokohnya yang tidak pernah tercatat dalam sejarah. Hal ini sebagaimana yang terjadi dalam bentuk naskah-naskah lain, semisal dalam naskah Ken Arok - Ken Dedes-nya Pramoedya. Namun, rekonstruksi seperti itu jelas berbeda dengan rekonstruksi naskah yang berbau sejarah seperti Rumah Kaca, Bumi Manusia, atau lain-lainnya yang kemudian direkonstruksi menjadi sebuah karya sastra.

Rekonstruksi naskah Perang Bubat menjadi menarik karena di dalamnya melibatkan berbagai aspek emosi atas pembelaan terhadap sebuah ras, kesukuan dalam dua kultur: Sunda dan Jawa. Dan sebagaimana kita maklumi juga, bahwa dua kubu suku ini telah mengalami 'keretakan' secara latar sosialnya --karena persoalan yang pernah ditimbulkan dalam Perang Bubat itu sendiri sebagai sejarah.

Dengan demikian hadir berbagai persoalan khususnya yang menyangkut posisi sebuah karya sastra itu sendiri di tengah rekonstruksi yang demikian, juga tanggung jawab seorang pengarang, dan kesiapan seorang pembaca, apakah masih menganggap naskah seperti itu sebagai karya sastra manakala di dalamnya terjalin rangkaian dialog antartokohnya sebagai hasil rekonstruksi pengarang, serta posisi 'dusta' dan 'kebenaran' yang bukan lagi bergerak dalam batas-batas realitas antara sesuatu yang bersifat empiris dan imajis, melainkan sudah melibatkan aspek-aspek subjektivitas pengarang dengan segala bentuk konsekuensinya.

Di sinilah kita mulai memahami, bahwa karya sastra bisa menjadi dusta dan kebenaran. Di sini pula kita mulai memahami bahwa 'dusta' yang sesungguhnya adalah 'dusta' hasil rekonstruksi seorang pengarang dari naskah sejarah ke karya sastra, walau sekali lagi --secara garis besar cerita-- tidak beranjak dari kebenaran peristiwa sejarah itu sendiri.

Rekonstruksi naskah sejarah ke sastra dipandang sebagai sebuah 'dusta', manakala aspek-aspek individualisme, bahkan --komunalisme-- telah berlaku di dalamnya. Di situ kita memahami bagaimana posisi 'kebenaran' naskah sebagai sejarah yang diyakini kebenarannya, dan bagaimana posisi 'dusta' dalam naskah sejarah itu sendiri yang telah mengalami rekonstruksi. Sebuah 'dusta' yang sesungguhnya berada di luar keberadaan sebuah karya sastra karena terkait dengan latar belakang pengarang. Dan seorang pembaca, kiranya perlu untuk tahu keberadaan posisinya, bukan hanya berpegangan pada aspek-aspek individual atau komunal. Sebuah kajian yang tentunya memerlukan ruang tersendiri sebagai satu penelitian yang belum tuntas. n penulis adalah penyair dan eseis, tinggal di bandung.

Neoliberalisme Pendidikan Antara Realitas Dan Dampak

Neoliberalisme Pendidikan Antara Realitas Dan Dampak

Sekilas Tentang Dunia Pendidikan
Pendidikan yang di elu-elukan oleh banyak orang agaknya menjadi sebuah impian yang tak ada ujung pangkalnya jika kita terus mengamati perkembangannya selama kurun waktu yang begitu panjang. Perbandingan nasib dunia pendidikan di zaman Orde Baru dan rezim Megawati tampaknya tidak ada perbedaan yang siginifikan untuk rakyat, khususnya rakyat miskin yang sudah menjadi masyarakat mayoritas di indonesia. Yang terjadi justru adalah pendidikan di jadikan komoditi bagi sebagian orang (baca; kapitalis) untuk mendapatkan keuntungan berlebih (modal) dan selain untuk mencetak tenaga kerja bagi perusahaan-perusahaan, yang berimbas pada komersialisasi pendidikan. Bagaimana dengan nasib dunia pendidikan di bawah kepemimpinan Mega saat ini, apakah membawa perubahan berarti terhadap rakyat untuk dapat mengenyam pendidikan sebagai ujung tombak dari kemajuan sebuah bangsa. Dan bagaimana dengan agenda Neoliberalisme yang di jalankan oleh Pemerintahan Megawati dan Hamzah Has, khususnya di dunia pendidikan.

Anggaran pendidikan dan potensi jumlah penduduk
Pengurangan subsidi terhadap anggaran yang di anggap tidak produktif sebagai tuntutan dari Kapitalisme Internasional, di antaranya adalah pengurangan Subsidi untuk pendidikan. Sejak di hantam badai krisis akhir `97, perekonomian Indonesia mengalami penurunan drastis apalagi di tambah dengan KKN yang terjadi di masa Orde Baru, Indonesia menjadi salah satu negara yang mayoritas penduduknya adalah rakyat miskin. Populasi jumlah penduduk yang selalu mengalami penambahan tiap tahunnya jika tidak segera di antisifasi dengan pembangunan insfrastruktur sosial terutama pendidikan, hanya akan menambah jumlah pengangguran yang semakin besar di Indonesia. pada tahun 1999-2000 saja jumlah penduduk yang telah masuk usia sekolah sudah mencapai 85,778,950,1 jika di bandingkan dengan jumlah penduduk yang masuk sekolah dasar hingga perguruan tinggi sebesar 25,614,836,2 maka sangat wajar jika anggaran pendidikan yang di alokasikan pemerintah sangat tidak memadai apalagi tingkat pendapat masyarakat terutama kaum buruh masih di bawah standart kebutuhan hidup minimum (KHM).
Megawati saat membahas rancangan APBN 2002 mengemukakan, untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dialokasikan dana untuk sektor pendidikan sebesar Rp 11,6 triliun dan sektor kesehatan dan kesejahteraan sosial sebesar Rp 4,3 triliun dari total anggaran pembangunan yang tersedia dalam tahun 2002 adalah sebesar Rp 47,1 triliun yang bersumber dari pembiayaan rupiah murni sebesar Rp 22,7 triliun dan dana Pinjaman Luar Negeri Rp 24,4 triliun. Alokasi untuk kedua sektor tersebut mencapai sepertiga dari keseluruhan anggaran pembangunan, sedangkan untuk sektor pendidikan sendiri mencapai 24,7% dari seluruh anggaran pembangunan. "Dana untuk sektor pendidikan digunakan antara lain untuk meningkatkan partisipasi pendidikan dasar dan menengah terutama percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, meningkatkan mutu pendidikan, pemberian beasiswa kepada anak-anak keluarga tidak mampu, penyediaan buku pelajaran, peningkatan kualitas guru dan tenaga pendidik lainnya melalui berbagai pelatihan," ujar Megawati.3
Perdebatan seputar anggaran pendidikan yang di alokasikan dari APBN dan APBD, serta adanya perubahan UUD 1945 mengenai pasal 31 tentang pendidikan, Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP-MPR), merumuskan anggaran untuk pendidikan sebesar 20 % dari APBN dan APBD.4 Di sisi lain Depdiknas juga menawarkan program tambahan dalam mengatasi kesulitan biaya operasional pendidikan bagi sekolah Dasar dan Menengah dalam bentuk proposal program dan pendanaan proyek Broad Based Education (BBE), suatu bentuk pendidikan yang memiliki keterkaitan dengan masyarakat, ini bagian dari upaya merealisasikan gagasan perlunya pendidikan life skills. Program kerja sama antara lembaga pendidikan dan perusahaan-perusahaan tentunya dengan jaminan mata pelajaran yang di berikan sesuai dengan keahlian yang di butuhkan pada perusahaan tersebut. Suatu bentuk otonomi pendidikan yang dengan gencarnya di jalankan oleh pemerintah demi menjawab kebutuhan kapitalisme. Tetapi ini tidak di barengi dengan perbaikan nasib Guru, padahal Megawati telah menjanjikan juga alokasi untuk kesejahteraan Guru, Hal inilah yang kemudian menimbulkan perlawanan para Guru dengan melakukan pemogokan di beberapa daerah. Puluhan ribu guru di Wonosobo, Purbalingga, Lampung, Pekalongan, Tegal, Brebes, Jember, Sorong melakukan mogok bersama. Perlawanan mereka bermula ketika Juli 2001 pemerintah menaikkan gaji seluruh pegawai negeri sipil dan pensiunan sebesar 15-20%. Keputusan ini berlaku sejak Januari lalu. Dengan kenaikan itu, paling tidak mereka sudah mengecap tambahan antara Rp. 175.000 hingga 300.000 per bulan. Dan dengan penundaan pembayaran, berarti mereka bisa menerima rapel sekitar 1 hingga 2, 4 juta.4 Kenyatannya, pemerintah daerah sampai sekarang belum juga membayarkan hak para guru tersebut. Alasan pemerintah sangat klise : dananya tidak tersedia. Padahal menurut menteri Pendidikan Nasional Malik Fajar, pemerintah pusat sudah memasukkan rapel gaji guru itu ke dalam pos dana alokasi umum yang disalurkan ke daerah. Keluhan ini juga di utarakan oleh ketua umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB-PGRI), “tak hanya berupa kenaikan kesejahteraan Guru tetapi juga kebutuhan Guru untuk di perhatikan dan di ajak berbicara mengenai tugas-tugasnya”.5 Ironis memang peningkatan mutu pendidikan melalui sistem pendidikan nasional, tidak di ikuti dengan perbaikan nasib Guru baik yang ada di daerah maupun yang ada di kota-kota besar. Padahal kebutuhan hidup hari-perhari terus meningkat seiring dengan agenda Neoliberalisme yang di jalankan pemerintahan Megawati.
Di sektor perguruan tinggi kondisi yang terjadipun tidak jauh berbeda, anggaran pendidikan bagi Perguruan Tinggi Negeri yang di alokasikan dari APBN malah terus mengalami pengurangan tiap tahunnya. Semenjak bulan April 2000, pemerintah sudah mencabut subsidi Dana Operasional Pendidikan (DOP) dan Beasiswa Kerja Mahasiswa. Negara kini memberikan dana kepada Perguruan Tinggi tidak lagi dalam bentuk subsidi tetap, tetapi dalam bentuk Block Grant atau Blok Dana. Artinya, dana yang diberikan akan diberikan dalam jumlah-jumlah tertentu, sesuai dengan kualitas yang ditentukan berdasarkan, antara lain, jumlah lulusan yang mampu dihasilkan Perguruan Tinggi tersebut. Bahwa kemudian perguruan tinggi harus mencari sumber-sumber dana lain, di sinilah kemudian MWA sebagai wakil masyarakat (dan pemerintah) berperan. Akibatnya Perguruan Tinggi Negeri mulai menyiapkan dana tambahan dengan membebankan pembiayaan operasionalnya pada masyarakat dalam bentuk kenaikan biaya kuliah (SPP). Beberapa Perguruan Tinggi yang dijadikan pilot project (proyek percontohan) Otonomi Kampus sudah meningkatkan biaya perkuliahannya secara drastis pada tahun 1999. Di Universitas Gadjah Mada (UGM), SPP meningkat dari Rp.255.000,- menjadi Rp.460.000,- (kenaikan sebesar 80%). Di Institut Teknologi Bandung (ITB), SPP meningkat sebesar 66% dari Rp.468.000,- menjadi Rp.775.000,- dan melambung lagi menjadi 1 Juta Rupiah pada tahun berikutnya. Ini diberlakukan dengan alasan adalah bahwa mahasiswa dari kampus-kampus tersebut berasal dari kelas menengah ke atas yang mampu membayar biaya perkuliahan, sehingga tak perlu lagi ada subsidi untuk mereka sekalipun block grant akan tetap diberikan oleh pemerintah.

Perubahan Sistem Pendidikan dan Pola Kebijakan Yang Di Terapkan

Kurikulum Pendidikan Dalam Menghadapi Era Globasasi Dan Pasar Pebas
Salah satu komponen pendidikan yang menyita banyak perhatian dari pelaksanaan sistem pendidikan nasional adalah soal kurikulum. Bahkan, tidak sedikit yang menganggap kurikulum sebagai inti dari kegiatan pembelajaran di sekolah. Namun di sisi lain ada beberapa faktor lain yang juga mendukung keberhasilan peleksanaan pendidikan di Indonesia, guru yang berkwalitas, kondisi sarana dan prasarana, manajemen sekolah, serta sistem pendidikan nasional. Perkembangan sistem pendidikan nasional yang sekarang ini menjadi sebuah opini di masyarakat khususnya para praktisi pendidikan adalah seputar program pendidikan nasional 2000-2004. Perubahan kurikulum sejak 1968, 1975, 1984, 1994 dan pada tahun 2002, yaitu kurikulum berbasis kompetensi, tetap saja pola pendidikan yang berlaku berubah-ubah setiap pergantian menteri (5 tahun sekali) dan di lakukan dengan transisi yang hampir tidak berarti. Ramainya perdebatan seputar kurikulum berbasis kompetensi, di nilai belum nyata pengaruhnya terhadap perbaikan kwalitas pendidikan. Penetapan kurikulum berbasis kompetensi hanyalah jawaban atas rendahnya kwalitas lulusan sekolah maupun perguruan tinggi yang akan masuk dunia kerja. Secara implisit kurikulum berbasis kompetensi akan mereduksi materi/subtansi tertentu yang yang tidak signifikan untuk perkembangan industri dan hal ini akan semakin memperpendek masa studi sehingga akan semakin banyak tenaga siap pakai dan murah bagi perusahaan-perusahaan. Di sisi lain juga kurikulum ini memberikan keleluasaan lembaga pendidikan untuk membuat kurikulum turunan sesuai dengan kebutuhan daerah atau sekolah, dan membuka kerja sama dengan pihak swasta/perusahaan dalam mengelola potensi sebuah lembaga pendidikan. Menurut Prof. Dr. S. Hamid , pakar kurikulum dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) “secara umum, pusat kurikulum Balitbang Depdiknas belum mau secara tegas mengatkan bahwa yang mereka inginkan adalah kurikulum berbasis standar. Hal ini dapat di lihat dari definisi kurikulum berbasis kompetensi yang di hubungkan dengan keahlian tertentu yang harus di capai siswa”. 5 standarisasi yang di maksudkan adalah keahlian dalam bidang profesi tertentu yang tak lain hanyalah pemenuhan tenaga kerja yang akan masuk ke perusahaan-perusahaan sesuai dengan keahliannya. Standarisasi keahlian di jadikan kurikulum berdasarkan kemajuan teknologi pada perusahaan-perusahaan yang akan membutuhkan tenaga-tenaga terampil yang dapat mengoperasikan mesin-mesin produksi untuk menghasilkan modal dalam jumlah besar.

Sistem penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
Perubahan status perguruan tinggi negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara di tetapkan melalui PP. No 61 tahun 1999, sebagai manifestasi dari otonomi kampus. Ketetapan ini di berlakukan dengan dalil laju globalisasi dan pasar bebas. Dan di dorong oleh kepentingan bersama, Beberapa negara di berbagai kawasan dunia membentuk kawasan perdagangan bebas yang bertujuan untuk meniadakan hambatan perdagangan antar negara. Di kawasan Asia Tenggara dibentuk AFTA, kawasan Asia Pasifik membentuk APEC, dan puncaknya adalah ditandatanganinya perjanjian GATT yang membentuk WTO. Perkembangan tersebut di satu sisi akan mengurangi, bahkan meniadakan berbagai proteksi perdagangan pada negara-negara yang ikut menandatangani perjanjian itu. Namun di lain pihak juga membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk memperoleh akses ke pasar dunia. Keterbukaan pasar tidak terbatas pada komoditi tradisional saja, melainkan akan juga mencakup tenaga kerja. Menghadapi arus globalisasi tersebut, negara membutuhkan kemampuan yang cukup untuk dapat bersaing dengan negara-negara lain.6 Dan sistem yang di terapkan Dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi menempat kelompok satuan atau lapis yang secara langsung terlibat dan bertanggungjawab mengenai penetapan tujuan, penyediaan sumberdaya, pelaksanaan proses, dan evaluasi kualitas hasil serta kinerja. Keterlibatan dan pertanggungjawaban tersebut, baik secara bersama maupun oleh masing-masing lapis dilaksanakan dalam suatu kerangka kewajiban, tugas dan wewenang, yang secara keseluruhan membentuk Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi. Ke-empat lapis tersebut terkait satu dengan lainnya secara hierarkis, yaitu :
- Lapis ke-1 Otoritas Pusat
- Lapis ke-2 Perguruan Tinggi
- Lapis ke-3 Unit Akademik Dasar
- Lapis ke-4 Sivitas Akademika
Posisi mahasiswa berada pada lapis ke-empat yang dalam proses pengambilan kebijakan sama sekali tidak berpengaruh karena struktur organisasi Perguruan Tinggi itu sendiri yang kini menaruh Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai organ yang mewakili pemerintah dan masyarakat dalam Perguruan Tinggi.7 Walaupun Perguruan Tinggi merupakan BHMN yang bersifat nirlaba, tetapi ia diperbolehkan mendirikan badan usaha yang mendukung penyelenggaraan pendidikan, untuk mengatasi biaya operasional. Terbukalah peluang bagi Perguruan Tinggi untuk bekerja sama dengan para pemilik modal, berarti pendidikan menjadi komersial. Sebagai contoh, Universitas Gadjah Mada (UGM) telah membentuk sebuah badan usaha bernama PT. GMUM yang memiliki 23 anak perusahaan dan siap menerbitkan saham begitu keuntungan sudah diperoleh. Kepentingan-kepentingan pemodal ini kemudian terwakili dalam Majelis Wali Amanat, yang selain terdiri atas unsur pemerintah (Menteri) dan Kampus (Senat Akademik dan Rektor), juga mencakup wakil dari masyarakat. Secara riil “wakil dari masyarakat” hanyalah sebuah penghalusan dari “wakil pemilik modal.” Tengok saja anggota-anggota MWA Universitas Indonesia (UI) dari unsur masyarakat yang dilantik 1 November lalu. Dari 6 orang tersebut, tercatat dua orang pengusaha besar, yaitu Muchtar Riyadi dari Lippo Group dan Rahmat Gobel yang menjadi Direktur Utama PT. National Gobel. Di Institut Teknologi Bandung (ITB), komposisinya juga tak jauh berbeda. Dari 8 orang yang dilantik, terdapat juga unsur-unsur pemodal, antara lain Adrian Maghribi dan Prihadi Santoso (Presiden dan Wakil Presiden PT. Freeport Indonesia), dan Saifuddin Hasan (Presiden Direktur Bank BNI). Buyarlah sudah anggapan bahwa kampus adalah milik rakyat. Pada kenyataannya, kampus adalah milik pemodal.
Hal inilah yang kemudian menelanjangi sistem pendidikan pada perguruan tinggi di Indonesia, bahwa pendidikan adalah komoditi bagi kapitalisme, menjadikan perguruan tinggi sebagai badan usaha yang menghasilkan modal dan menjadi alat pemilik modal untuk mencetak tenaga-tenaga kerja terampil yang sesuai dengan standar kapitalisme. Pendidikan direduksi tidak lagi berdasarkan minat tetapi didasarkan atas kebutuhan sistem kapitalisme. Mata kuliah yang ada dipecah-pecah dan direduksi proses ilmiahnya menjadi lebih pragmatis dan jelas yang tak sesuai dengan kepentingan pemilik modal akan dibuang dan disampaikan dalam potongan-potongan ilmu yang dinamakan Satuan Kredit Semester (SKS). Terjadi pula pemangkasan masa studi menjadi lebih singkat, dari 6 sampai 7 tahun menjadi 4-5 tahun, untuk menjamin pasokan tenaga kerja terdidik yang lebih cepat untuk disalurkan kepada pemilik modal. Ini tentu saja lebih menguntungkan pemilik modal ketimbang mahasiswa, yang kemudian harus mengejar target SKS di bawah ancaman D.O. Lebih parah lagi, mekanisme pasar kemudian berlaku dalam pasar tenaga kerja. Apabila kemudian jumlah tenaga kerja yang tersedia membludak dan melebihi kemampuan serap, maka daya tawar pemilik modal meningkat dan melemahkan posisi tawar calon-calon pekerja yang baru lulus tersebut. Daripada menjadi pengangguran, mau tak mau mereka kemudian menerima saja bekerja dengan gaji rendah atau standar kerja yang minimal, misalnya.
Ini saja sudah menunjukkan bahwa mahasiswa sama sekali tidak dipandang penting dalam proses otonomi kampus ini, ia cukup patuh saja pada peraturan pemerintah tanpa sama sekali diberi hak untuk didengarkan pendapatnya, apalagi untuk turut serta dalam proses penyusunan kebijakan tersebut. Suatu hal yang justru bertentangan dengan proses demokrasi, di mana minoritas tunduk pada mayoritas.

Pendidikan Bukan Barang Dagangan

Pendidikan Bukan Barang Dagangan



Pemerintah berencana untuk memprivatisasi perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, dimulai dengan pem-BHMN-an beberapa kampus ternama di Indonesia, pem-BHMN-an yang selanjutnya akan dinaikkan kembali statusnya menjadi BHP atau Badan Hukum Pendidikan. Undang-undangmengenai BHP ini masih digodok di DPR untuk mencari format yang bisa diterima berbagai pihak karena banyak pihak yang kontra atau menolak BHMN ataupun BHP. Rencana ini harus ditanggapi secara serius, karena bakal mau tidak mau kita akan terkena dampaknya. Sudahkah kita memikirkannya? Atau jangan-jangan sama sekali belum tahu? Tentu kewajiban bagi Rektorat untuk mensosialisasikan hal tersebut kepada seluruh sivitas akademika, dan melakukan dialog yang melibatkan mahasiswa. Kita tidak bisa diam berpangku tangan membiarkan orang-orang menentukan hidup kita, yang sangat mungkin mengandung maksud-maksud terselubung untuk kepentingan golongannya sendiri.

Pendidikan sebagai sebuah pranata sosial berfungsi melestarikan kebudayaan antargenerasi. Kebudayaan, dengan sendirinya merupakan produk interaksi sosial, di mana di dalamnya saling jalin faktor-faktor ekonomi dan politik. Masyarakat bukan sebuah benda mati yang inert, tetapi sistem yang dinamik. Kampus dan sekolah berada di tengah masyarakat yang bergejolak (kadang evolusioner, namun tak jarang muncul dalam bentuk letupan-letupan revolusi). Maka pendidikan tidak mungkin lari dari persoalan-persoalan sosial, betapapun diklaim bahwa warga kampus memiliki keunikannya sendiri sebagai bagian dari komunitas intelektual.

Kebudayaan yang hidup di kampus tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan yang menghegemoni (mendominasi paling kuat) masyarakat. Artinya, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh suatu rejim mencerminkan tipe kebudayaan yang ingin dilestarikan oleh rejim sebagai otoritas hegemoni. Di sinilah kita bisa memahami letak rencana privatisasi ITB sebagai sebuah keputusan politik yang dilatari oleh cara pandang dan kepentingan tertentu. Apa kepentingan tersebut? Tidak lain adalah industrialisasi, motor pembangunan nasional yang lebih sering menguntungkan kalangan pemilik modal (kapital) ketimbang rakyat kebanyakan. Untuk mengamankan kepentingan para pemodal, pemerintah menggunakan alat-alat rejim, mulai dari parlemen, peradilan (yudikatif), regulasi-regulasi pemerintah, polisi, tentara, lembaga-lembaga agama dan termasuk lembaga pendidikan. Maka jangan heran mengapa pemerintah berusaha sekuat mungkin mencegah aksi-aksi mahasiswa untuk menolak RUU BHP, karena itu berarti mengancam kepentingan kapitalis yang selama ini menghidupi napas penguasa. Demo-demo mahasiswa yang berujung tindakan brutal polisi dan tentara menunjukkan upaya rejim membendung radikalisasi massa rakyat dan bentuk anti demokrasi rezimSBY-Kalla.

Bisa dikatakan setiap rejim menyimpan ketakutan terhadap aksi radikal mahasiswa,Mahasiswa berpotensi membawa kesadaran politik kepada rakyat melalui aksi-aksi massa. Untuk itulah rejim berusaha membatasi gerak-gerik mahasiswa di dalam kampus (melalui aparat pendidikan) dan secara sistemik dengan kebijakan pendidikan. Pengetatan kurikulum menjadi 140-160 SKS bisa dibaca sebagai upaya untuk menjinakkan mahasiswa sehingga waktunya tersedot untuk akademis saja. Mahasiswa dipacu untuk cepat-cepat lulus. Pemerintah mempunyai dua keuntungan: Pertama, mahasiswa tidak bisa banyak tingkah; kedua, lulusan perguruan tinggi makin cepat terserap ke dalam sistem industri. Nah, di industri apa sih posisi kita? Pemilik pabrik? Manajer? Satu dua mungkin iya, tapi mayoritas hanya akan menjadi buruh-buruh terampil belaka, di mana hasil kerja dan kecakapan kita diupah dengan angka-angka yang tidak bisa kita tentukan sendiri.

Pendidikan tidak pernah steril dari motif-motif politik dan ekonomi, pendidikan dijadikan alat legitimasi kekuasaan oleh rezim yang berkuasa.

Privatisasi Berkedok Otonomi bukan Solusi

Perguruan-perguruan tinggi di Indonesia sendiri dikenal lemah kecakapan akademiknya. PTN/PTS tidak mampu menghasilkan karya-karya penelitian bermutu yang berguna bagi pengembangan industri dalam negeri. Jalan pintasnya, industri membeli teknologi dari negara maju, yang berarti ketergantungan terhadap kekuatan modal internasional. Akibatnya PTN/PTS pun tidak mempunyai daya tawar sama sekali terhadap industri dan terpaksa menyesuaikan diri dengan kepentingan industri, dengan memfungsikan dirinya semata-mata pemasok tenaga kerja melimpah dan murah. Pemerintah mengekalkan hegemoni sistem itu melalui kewenangan legalnya untuk memaksakan kebijakan pendidikan.

Dengan Privatisasi kampus dengan wujud BHP-nya berarti pemerintah akan mengurangi anggaran pendidikan. Kampus harus membiayai dirinya sendiri. Alasannya, banyak perguruan tinggi yang sudah maju hingga patut dilepaskan pemerintah. Selama kontrol dari mahasiswa dan masyarakat tidak berfungsi, tidak tertutup kemungkinan kampus akan menaikkan SPP tanpa banyak protes. Kurikulum dan peraturan-peraturan lainnya akan semakin otoriter dipaksakan kepada mahasiswa.

Intervensi pemodal ke dalam kampus makin besar, didesak oleh kebutuhan kampus untuk membiayai dirinya. Kampus akan semakin jauh dari fungsinya sebagai lembaga pendidikan, berubah menjadi industri pendidikan yang komersial, semata-mata berfungsi sebagai pabrik bagi “bahan baku” tenaga kerja yang terampil.

Privatisasi tidak sejalan dengan otonomisasi kampus. Dalam privatisasi, mahasiswa sama sekali diabaikan. Hak mahasiswa untuk mengorganisasi diri tidak disinggung-singgung. Hubungan antara mahasiswa dan aparat pendidikan tidak dijelaskan. Padahal, justru mahasiswa yang paling terkena dampak kebijakan tersebut, baik selama kuliah maupun setelah bekerja. Sangat mendesak penguatan daya tawar mahasiswa terhadap Rektorat melalui organisasi mahasiswa yang solid dan mengakar ke bawah, dalam arti betul-betul konsisten memperjuangkan tuntutan mahasiswa sehingga dapat menarik simpati massa mahasiswa. Perjuangan untuk kepentingan akademik ini tidak bisa dipisahkan dari perjuangan dalam spektrum yang lebih luas, yaitu menentang sistem pendidikan kapitalistik yang tidak memanusiakan. Pendidikan yang hanya menghasilkan sekrup-sekrup mesin industrialisasi untuk memupuk kekayaan kalangan kapitalis. Pendidikan macam ini tidak bisa dibiarkan menelan kita. Kontrol dari mahasiswa dan masyarakat luas harus dihidupkan.

Privatisasi tidak boleh dilakukan sebelum prasyarat-prasyarat partisipasi politik tersebut tumbuh. Kebebasan berorganisasi bagi mahasiswa (Serikat/Liga mahasiswa) dan staf pendidikan (serikat buruh pendidikan), kontrol mahasiswa dan kedewasaan dari kalangan penentu kebijakan pendidikan sendiri. Prasyarat tersebut hanya bisa dihidupkan dengan mengajukan tuntutan-tuntutan seperti kesamaan kesempatan bagi semua lapisan masyarakat untuk memperoleh pendidikan tinggi (termasuk anak-anak buruh, nelayan, petani, dsb) yang selama ini didominasi lapisan menengah, dan penurunan biaya pendidikan. Idealnya, pendidikan gratis. Dengan kekayaan alam yang melimpah, sudah sewajarnya masyarakat memperoleh hak berupa fasilitas pendidikan modern dan murah (gratis!). Tuntutan pembebasan biaya pendidikan tidak lain adalah bagian dari perjuangan menciptakan tatanan demokrasi sosial (di dalamnya tercakup demokrasi politik, ekonomi dan kebudayaan).

UU BHP semakin membuat hancur pendidikan di Indonesia, UU BHP yang aslinya adalah Komersialisasi pendidikan di Indonesia tidak hanaya menghancurkan pendidikan tetapi membawa Negara kearah jurang kehancuran. Pendidikan dan kesehatan adalah hak dasar setiap warga Negara Indonesia yang harus dipenuhi oleh pemerintah, dengan adanya UU BHP maka pemerintah akan melepas tanggungjawabnya membiayai pendidikan padahal telah jelas diatur dalam tata Negara kita atau UUD 1945 bahwa pendidikan adalah tanggung jawab Negara untuk membiayainya yang diambilkan dari APBN atau APBD minimal 20%.

Bukan Privatisasi atau komersialisasi pendidikan yang dibutuhka rakyat, tetapi pendidikan yang GRATIS untuk rakyat. Mari kita serukan kepada pemerintah untuk mewujudkan pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi kepada rakyat.


Cukup Sudah Jadi Bangsa Kuli, Bangkit Jadi Bangsa Mandiri

Kewajiban manusia adalah menjadi manusia. [Multatuli]

posisi.jpgYang paling santer kita dengar dari berita-berita di media akhir-akhir ini adalah Jakarta banjir lagi, beras naik lagi. Kemudian pidato SBY meminta maaf kepada rakyat! Pemerintah sudah berusaha maksimal tetapi bencana dan mahalnya beras di pasar di luar kendali pemerintah. “Mestinya kalau sudah gagal ya udah lebih baik MUNDUR,” ujar Rakyat kecil yang kesal mengantri untuk mendapatkan beras operasi pasar.

Problem seperti ini sudah menjadi siklus yang terus menerus terjadi di negeri ini seolah-olah telah menjadi hukum alam yang tidak bisa berubah padahal problem sebenarnya adalah kebijakan yang tidak berpihak. Setiap terjadi perubahan politik yang berganti orangnya saja; pola-pola kebijakannya tetap seperti sebelumnya sehingga semakin mengondisikan massa untuk tidak percaya lagi pada mekanisme kekuasaan seperti ini. Kemiskinan menjadi persoalan fundamental kegagalan pemerintahan SBY-JK. Lebih dari separuh rakyat Indonesia adalah orang miskin. Belum lagi 40 juta orang menganggur. Tidak jelas kapan mendapat pekerjaan. Ironis, Indonesia yang dijuluki ‘gemah ripah loh jinawi’ justru kini mayoritas rakyat harus mengantri nyari beras, di uber-uber petugas trantib karena dianggap penghuni illegal sementara kekayaan alamnya diserahkan ke tangan asing imperialis karena mentalitas penguasanya yang inlander, kuli dan sebagainya. Lihat saja sikap SBY ketika menerima kunjungan presiden AS George.W.Bush: helipad dibuat khusus hanya untuk landasan mendarat helikopter Bush dengan merusak Kebun Raya Bogor. Di bidang ekonomi, Wapres Yusuf Kalla menyampaikan janji di hadapan ratusan pengusaha AS bahwa pemerintah Indonesia menjamin keberadaan perusahaan-perusahaan AS di Indonesia. Artinya jelas: pemerintah menjamin eksploitasi yang terjadi atas bumi Indonesia melalui Exxon-Mobil, Freeport, Enron, Caltex..., dapat terus dilanjutkan. Dalam logika politiknyapun sangat jelas SBY –Kalla dan menteri-menteri ekonomi pro neoliberalnya bersifat reaktif ketika terjadi gejolak terhadap aset—ataupun kelangsungan produksi perusahaan tambang asing di Indonesia. Beberapa UU dibuat untuk memudahkan pencaplokan kekayaan alam mineral tersebut: UU Migas No. 22 tahun 2001, UU sumber daya air, Perpres 36—untuk memudahkan akses pembebasan tanahnya, dan banyak lagi perangkat hukum untuk menfasilitasi imperialisme. Bangsa Kuli bukanlah takdir bangsa Indonesia. Sejarah menunjukkan: penduduk yang mendiami wilayah ini sebelum terbentuk nation/state yang bernama Indonesia punya sejarah kedaulatan ekonomi dan politik. Sriwijaya melakukan aliansi untuk memblokade upaya Mongol—imperialis yang ingin menguasai perdagangan Asia Tenggara dan Soekarno dalam melawan imperialisme mencetuskan Trisakti: mandiri di Bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya. Dalam pidatonya yang bertema TAKARI—tahun berdikari tanggal 17 Agustus 1965, Soekarno kembali mempertegas tentang demokrasi ekonomi Indonesia dan perjuangan anti imperialis untuk menuntaskan revolusi nasional; berdikari di bidang ekonomi dan mandiri di bidang politik bukanlah diktum yang menganjurkan kita untuk mengisolasi bangsa kita dari dunia luar, malah memperluas kerjasama dengan negara-negara non-imperialis. Untuk mewujudkannya, Soekarno membangun kerjasama dalam blok negara-negara progressif yang disebutnya NEFO dalam segala aspek, dan membangun front anti imperialis yang kuat dengan negara-negara Asia-Afrika. KTT Asia-Afrika di Bandung pun mendukung pembebasan nasional negara jajahan melawan kolonialisme, dan kerjasama ekonomi-sosial-budaya yang adil untuk menghancurkan imperialisme. Tapi bagi SBY-JK sekarang, ajang KTT-Asia-Afrika dijadikan ajang seremonial belaka. Indonesia harus belajar menghargai martabat Haiti—negara yang pernah disebutkan termiskin di dunia itu di bawah presiden Jean. B.Aristide berani menolak intervensi ekonomi-politik AS di negaranya. Berdikari, berdiri di kaki sendiri bukan hanya sebagai tujuan tetapi juga merupakan prinsip, cerminan dari bangsa yang berdaulat untuk menata dan mengatur ekonomi nasional untuk kepentingan ekonomi kerakyatan, dan berdaulat dalam menjalankan politik luar negeri yang anti imperialis.Yang selalu dipropagandakan oleh ekonom pro imperialis bahwa membatasi kerjasama—melakukan proteksi adalah gaya ekonomi konservatif yang justru mengisolasi diri dari kemajuan internasional dalam hal tekhnologi, informasi, dan lain-lain. Tidak bisa dipungkiri dalam hubungan ekonomi internasional yang timpang—tidak setara menimbulkan kutub negara-negara imperialis yang menikmati keuntungan dari eksploitasi terhadap milyaran umat manusia di dunia, dan kutub yang kedua negara-negara tertindas, negara dunia ketiga yang selama ratusan tahun diposisikan sebagai penyedia bahan baku dan menjadi pasar bagi kepentingan imperialisme untuk melipatgandakan keuntungan. Indonesia sebagai salah satu negara miskin yang dieksploitasi oleh negara-negara imperialis harus memilih bekerjasama dengan negara-negara miskin dalam hubungan yang setara dengan menciptakan lembaga baru untuk kerjasama ekonomi alternatif di luar skenario WTO dan negara-negara imperialis. Kini saatnya bagi kita, Rakyat Indonesia, bangkit menjadi bangsa mandiri, merdeka dan berdaulat dari tekanan asing tanpa menghilangkan prinsip-prinsip perjuangan internasionalisme dengan menggantikan kekuasaan rejim antek imperialisme dengan rakyat yang berkuasa. Momentum pemilu 2009 menyediakan basis legal untuk semua itu. Memunculkan kekuatan politik alternatif bagi massa rakyat hari ini adalah sama mendesaknya dengan perjuangan mempertahankan hak-hak ekonomis rakyat yang dicaplok Neoliberalisme. Jalan untuk itu adalah program penghapusan utang luar negeri yang selama ini menjadi alat-efektif untuk memaksa Indonesia menjalankan syarat-syarat ekonomi yang ditentukan imperialis; menasionalisasi industri pertambangan asing sebagai Jalan untuk mendepak kepentingan paling utama dan ladang paling subur keuntungan imperialis; dan membangun industrialisasi nasional yang bermakna untuk melepas ketergantungan terhadap imperialis dan terutama memajukan produktifitas nasional untuk kesejahteraan rakyat. Bumi, udara, air dan seluruh kekayaan alam di dalamnya yang potensial harus dikelola untuk kepentingan dan kesejahteraan Rakyat. Di lapangan politik, menyokong politik anti imperialisme—dengan prioritas menggusur kekuatan politik borjuis yang rela menjadi pelayan setia imperialisme di Indonesia. Program-program inilah yang kemudian menjadi spirit dari politik berdikari, mengobarkan perlawanan untuk melawan imperialisme. Begitulah juga nama Koran ini: BERDIKARI

Indonesia antara Nasionalisme dan Pembebasan Nasional

Indonesia Antara Nasionalisme dan Pembebasan Nasional



Indonesia sebagai sebuah nasion baru ada setelah abad XX. Untuk menjelaskan itu akan dimulai dengan pengertian nasion (nation). Saya akan mengajukan beberapa hal menyangkut pembentukan nasion. Pertama-tama yang dimaksud nasion adalah gejala baru dalam sejarah umat manusia. Nasion sebenarnya hanya muncul di atas bumi manusia sejalan dengan berkembangnya kapitalisme. Sebelum ada kapitalisme tidak ada yang namanya bangsa atau nasion. Pada masa sebelum perkembangan kapitalisme yang ada hanyalah kelompok-kelompok etnis, kesukuan, kerajaan dan sebagainya—bukan nasion, bukan negara. Nasion memiliki beberapa sifat konkret, yang menurut saya—yang jika semua sifat itu tidak ada, kalau tidak lengkap—tidak bisa disebut nasion, atau belum nasion.

Nasion merupakan sebuah komunitas yang terbentuk dalam proses perkembangan sejarah yang stabil. Artinya, ada (eksis), sudah mampu bertahan cukup lama dan cukup stabil. Jadi, sesuatu fenomena yang eksis 10 tahun, 20 tahun, 50 tahun terus hilang, itu belum stabil. Jadi, nasion itu harus yang sudah stabil, sudah eksis cukup lama. Komunitas orang-orang yang terbentuk dalam proses sejarah yang stabil itu, pertama, harus memiliki wilayah yang dihuni bersama (common territory). Kedua, ada bahasa yang dipakai bersama (common language). Ketiga, kehidupan ekonomi bersama—semua orang yang tinggal di suatu wilayah memiliki satu kehidupan ekonomi bersama. Biasanya dalam proses kemunculan kapitalisme terbentuk suatu pasar yang terintegrasi, tersatukan di dalam wilayah itu. Cerminan fenomenanya adalah adanya mata uang yang sama, hukum pajak yang sama, peredaran barang di seluruh wilayah, termasuk tenaga kerja manusia tersatukan dalam satu proses ekonomi di suatu wilayah. Keempat, ada watak psikologis bersama yang tercerminkan dalam satu kebudayaan bersama.
Sifat-sifat di atas tidak mendadak jatuh dari langit. Di setiap negara, kemunculan sifat tersebut berbeda-beda dan dengan pasang surut yang berbeda-beda pula. Ada yang bisa berkembang cepat, sementara yang lainnya lama, dan seterusnya. Keempat sifat di atas—sebagaimana analisis dari kaum kiri—tidak diperoleh dari langit, melainkan merupakan hasil dari pengamatan terhadap proses. Orang yang pertama kali menulis soal untuk pertama kalinya mengamati proses sejarah masyarakat Eropa, dan kemudian Amerika. Di jaman Eropa feodal misalnya, kerajaan-kerajaan yang ada adalah kerajaan-kerajaan kecil. Kalaupun ada raja besar, itu adalah kerajaan yang memperoleh upeti dari berbagai raja-raja kecil. Di masing-masing kerjaan Eropa itu bahasanya berbeda-beda—itu yang sering dilupakan orang. Misalnya di Prancis ketika terjadi Revolusi Prancis, jumlah orang yang saat ini disebut sebagai orang Prancis dan berbahasa Prancis hanya 30%, sedangkan 70% lainnya sebelum Revolusi Prancis berbicara dalam bahasa-bahasa suku. Demikian pula di Jerman dan Itali. Sebelumnya tidak ada bahasa Italia yang menyatukan seluruh Italia. Di Inggris, bahasa Skotlandia yang asli, bahasa Wales yang asli tidak dimiliki oleh orang Inggris. Di Eropa pada awalnya batas-batas geografis kerajaan itu sangat cair. Tetapi dalam proses penyatuan, misalnya Napoleon menyatukan Prancis, Bismarck menyatukan Jerman dan sebagainya, setelah melalui berbagai peperangan, lama kelamaan wilayahnya menjadi jelas.
Salah satu faktor yang menggerakan kaum borjuasi di Prancis untuk menjatuhkan feodalisme adalah karena adanya “kemumetan” dalam mengatur perekonomian. Itu karena masing-masing wilayah di Prancis, pertama-tama bahasanya, isi perjanjian ekonomi, pajak dan lain-lain di setiap daerah memiliki bahasa yang berbeda-beda. Berdasarkan kenyataan itu kaum borujuasi menginginkan satu pengaturan ekonomi yang meliputi seluruh wilayah dengan mata uang yang sama, aturan pajak dan pungutan yang sama. Mereka menginginkan satu ekonomi nasional, pasar nasional dengan aturan nasional yang bersatu, yang terintegrasi, di mana semua orang bisa terlibat. Itu merupakan salah satu sebab—bukan satu-satunya—mengapa kaum borjuasi Prancis menggulingkan kekuasaan feodal. Mereka menginginkan sebuah bentuk republik untuk seluruh Prancis. Jadi orang-orang bukan lagi abdi raja, tapi menjadi warga suatu republik, suatu nasion. Termasuk tenaga kerja masuk ke pasar nasional, di mana harga tenaga kerja dalam bentuk gaji itu menjadi relatif merata di semua sektor ekonomi. Membeli buruh di suatu daerah dan daerah lainnya kurang lebih sama. Kalaupun tidak sama, ada aturan nasional yang bisa memastikannya (memberi kepastian), sehingga terbentuklah pasar nasional.
Apakah memang bangsa-bangsa itu memiliki watak psikologis yang berbeda-beda? Watak psikologis ini datang dari mana? Kebudayaan yang dialami, dijalankan bersama-sama dalam wilayah tersebut (nasion) berasal dari mana? Faktor itu penting, apalagi di negara-negara pasca kolonial seperti Indonesia.
Munculnya nasion dengan sifat di atas merupakan proses sejarah. Artinya, ada awalnya, ada proses berkembangnya, dan ada proses selesainya. Jadi kalau ada pertanyaan apakah bisa selesai, menurut saya proses menyelesaikan atau mewujudkan keempat sifat nasion di atas seharusnya bisa. Hal yang perlu dicatat dan penting adalah bahwa terbangunnya nasion tidak menjamin apa-apa bagi masyarakat yang menjadi warganya. Adanya nasion tidak menjamin kemakmuran masyarakat. Adanya nasion hanya menjamin kemampuan untuk satu nasion berhubungan/berususan dengan nasion-nasion lain. Suka tidak suka, dunia sekarang terdiri dari nasion-nasion. Dalam kerangka itu, jika proses pembentukkan nasion belum mantap, maka dalam berurusan dengan nasion lain nasion yang bersangkutan akan berada dalam posisi lemah. Sebaliknya, jika sudah berkembang posisinya bisa tidak lemah lagi atau tidak selemah seperti sebelum berkembang. Faktor lain yang dapat menjadi imbangan kekuatan adalah potensi. Tinggal persoalannya apakah potensi yang ada itu bisa direalisasikan atau tidak.
Batasan wilayah Indonesia berasal dari batasan yang dibuat pada jaman Hindia Belanda. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa batas wilayah Indonesia merupakan hasil dari proses kolonialisme—tetapi bukan bentukan Hindia Belanda. Oleh sebab itu, keliru jika mengatakan bahwa Indonesia merupakan ciptaan Belanda, sebagaimana pendapat beberapa kalangan sejarawan Barat. Secara kewilayahan, Indonesia merupakan hasil pertempuran pihak-pihak kolonial (Belanda, Portugis, Spanyol, Inggris).
Pandangan yang mengatakan bahwa Indonesia dipersatukan oleh Belanda adalah tidak benar. Kaum kolonial justru memecah belah setiap usaha membentuk nasion Indonesia. Wilayah Indonesia menjadi jelas terjadi dalam proses sejarah kolonialisme. Sedangkan aspek-aspek lain yang menjadi ciri nasion Indonesia dibangun oleh orang Indonesia sendiri—hasil dari proses perjuangan orang Indonesia sendiri. Bahasa Indonesia menjadi bahasa bersama diresmikan oleh gerakan Indonesia: Sumpah Pemuda. Hal itu merupakan hasil dari sebuah proses. Dalam hal itu, Pramoedya Ananta Toer memiliki jasa besar dalam menunjukkan bahwa orang Indo dan orang Tionghoalah yang sebenarnya membangun landasan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional.
Sebuah bahasa hanya bisa berkembang menjadi sebuah bahasa nasional jika sudah mampu dipakai untuk sastra. Sebelum muncul sastra bahasa Melayu, bahasa Melayu hanya dipakai untuk sastra kraton—dengan bahasa yang sangat sempit—dan bahasa perdagangan. Sebagai lingua franca, bahasa yang dipakai di seluruh kepulauan Nusantara hanya untuk kepentingan perdagangan, seperti isi kontrak, harga, tawar-menawar di pasar dan pelabuhan. Kalangan yang mulai membangun bahasa Melayu sebagai bahasa yang bisa dipakai untuk membicarakan atau membahas masalah kehidupan modern adalah orang-orang Indo yang menulis novel-novel tentang kehidupan Hindia Belanda waktu itu, kemudian orang Tionghoa yang menulis cerpen dan novel-novel dalam bahasa Melayu. Dengan begitu bahasa Melayu pun berkembang. Kalangan yang mengambil langkah berikutnya—yang membawa bahasa Melayu benar-benar menjadi bahasa nasional—adalah aktivis-aktivis gerakan nasionalis. Mereka menggunakan bahasa Indonesia untuk menjelaskan visi dan perjuangannya ke masa depan. Sebaliknya, Belanda sendiri menggunakan bahasa Melayu hanya sebagai bahasa administrasi—bahasa larangan dan alat pengaturan terhadap masyarakat jajahannya—bukan bahasa yang akan mampu menjadi bahasa untuk membentuk suatu—bahasa yang mampu membahas segala aspek kehidupan, terutama politik. Di jaman penjajahan Belanda bahasa Melayu selalu disempitkan menjadi bahasa yang sangat kaku. Bahasa Melayu menjadi bahasa yang hidup diwujudkan melalui gerakan nasionalisme, yang pada tahun 1928 diresmikan sebagai bahasa nasional. Dari situlah bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa Indonesia yang aktif dipakai untuk membahas masa depan Indonesia: bagaimana mencapainya dan apa yang harus dilakukan untuk mencapainya.
Jika membaca karya tulis pengamat Belanda di jaman kolonial, ciri yang paling berlaku tentang kehidupan ekonomi di Hindia Belanda adalah dual economy: di satu sisi ada ekonomi yang dijalankan oleh orang-orang Eropa, sebagian kecil orang Tionghoa; dan di sisi lain ekonomi yang dijalankan oleh orang Hindia Belanda—dari semua etnis. Orang-orang Eropa berada di sektor ekonomi yang sangat produktif dan menghasilkan kekayaan besar, sedangkan di luar masyarakat Eropa produktivitas ekonominya sangat rendah, serta disertai kemiskinan dan kemelaratan. Pada jaman Hindia Belanda kehidupan ekonomi bersama tidak ada. Orang-orang yang tinggal di pedesaan dunia ekonominya berbeda dengan orang-orang di perkotaan. Pada waktu itu menuju pada kehidupan bersama sebenarnya mulai ada—mata uang yang sama, dan mulai ada undang-undang ekonomi yang berlaku di seluruh Hindia Belanda. Dual economy melahirkan jurang (ketimpangan) yang besar. Bukan saja jurang kaya dan miskin, tetapi juga jurang bahasa, kehidupan sehari-hari, kebudayaan sehari-hari, dan terutama produktivitas.
Apakah ada yang disebut kebudayaan Indonesia? Itu merupakan persoalan besar. Kebudayaan sebuah nasion datang dari mana? Ali Murtopo tahun 1970-an mengemukakan tentang “kebudayaan nusantara”, “kebudayaan kepulauan”. Menurutnya kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan kepulauan. Apa yang dimaksud dengan kebudayaan kepulauan? Maksudnya adalah: berbagai kebudayaan yang ada di pulau nusantara, dan kebudayaan Indonesia adalah penggabungan dari semua kebudayaan etnis-etnis yang ada. Itu adalah ide baru. Sebelum Orde Baru tidak ada ide itu. Memang ada slogan “bhineka tunggal ika”, tetapi asumsi—pada tahun 1930-an, 1940-an, 1950-an, 1960-an, semua pikiran tentang bhineka tunggal ika dan lain-lain—yang hidup di masyarakat yaitu ada kebudayaan yang sama sekali baru yang sedang berkembang. Kalau kita melihat sejarah Prancis, Jerman, Inggris, Amerika, Australia, dan Jepang, ketika mereka berkembang menjadi nasion memang tampak sekali ada suatu kebudayaan yang sama sekali baru yang lain dari kebudayaan sebelumnya. Kebudayaan Prancis setelah Revolusi Prancis tidak ada hubungannya dengan kebudayaan Prancis yang sebenarnya juga tidak ada—karena yang ada adalah kebudayaan berbagai bahasa yang ada di Prancis di jaman feodal. Demikian pula dengan Jepang, apakah ada hubungan kebudayaan Jepang sekarang dengan kebudayaan Jepang pada abad 18 dan 19. Sedikit sekali sisa-sisanya.
Lantas pertanyaannya, datang dari mana kebudayaan baru itu? Sebenarnya sumber utama dari kebudayaan baru adalah perjuangan yang dilakukan dangan sadar untuk mencapai perubahan. Di Eropa, pembangunan nasion dilakukan melalui perjuangan menghancurkan feodalisme. Di Amerika, perjuangan membangun nasion dilakukan dengan menghancurkan pengaruh kolonialisme Inggris dan perbudakan—karena tidak akan bisa mewujudkan suatu kehidupan ekonomi bersama jika masih ada masyarakat budak. Perjuangan untuk mencapai perubahan—penghancuran feodalisme dan kolonialisme—di kebanyakan negara-negara bekas kolonial bukan hanya menghancurkan feodalisme—karena kolonialisme sendiri yang sebenarnya sudah menghancurkan feodalisme sebagai kekuatan—tetapi juga feodalisme sebagai pengaruh mental. Sultan-sultan, raja-raja di nusantara sudah kalah tiga ratus tahun sebelumnya oleh Belanda, dan yang tersisa tinggal simbol—dalam mental dan kebudayaan masih ada—tetapi sebagai kekuatan sudah hilang. Jadi, perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah perjuangan mengalahkan kolonialisme. Perjuangan itulah yang kemudian melahirkan kebudayaan baru, dan semua perjuangan itu berbuntut revolusi.
Revolusi itu pertama-tama adalah memutarbalikkan susunan kekuasaan yang ada—yang dominan sebelumnya, yang tadinya berkuasa menjadi tidak berkuasa lagi, dan yang tadinya dikuasai menjadi berkuasa. Aspek kedua—merupakan syarat mutlak—dari revolusi adalah bahwa dalam proses memutarbalikkan kekuasaan tersebut terjadi proses menciptakan sesuatu yang sama sekali 100% baru atau yang sama sekali 100% tidak ada sebelumnya. Revolusi itu merupakan proses yang sangat kreatif, sekaligus juga destruktif. Dikatakan destruktif karena revolusi menghancurkan kekuasaan yang ada sebelumnya; dan dikatakan kreatif karena melahirkan sesuatu yang sama sekali baru. Dalam kasus-kasus revolusi anti-fedodal maupun kasus-kasus revolusi anti-kolonial yang terjadi di Asia seperti di Indonesia—yang dihancurkan oleh nasionalisme—adalah penghancuran struktur kekuasaan kolonial, yang dikreasikan sebagai gejala yang 100% sama sekali baru di atas muka bumi. Itu adalah sebuah nasion yang tidak ada sebelumnya, yaitu Indonesia. Kita bisa melihat itu dalam keempat buku Pramoedya Ananta Toer—dari Bumi Manusia hingga Rumah Kaca—yang diakui oleh hampir semua orang sebagai buku kebangkitan Indonesia, walaupun dalam keempat buku tersebut kata Indonesia sama sekali tidak dipakai. Mengapa, sebab waktu itu kata Indonesia belum ada di benak siapapun, kecuali seorang sosiolog Inggris. Mengapa tidak ada sama sekali, karena waktu itu baru dimulai, belum bisa dibayangkan. Orang-orang Indonesia waktu baru mulai membayangkan Indonesia seperti tercermin dalam gerakan nasionalisme tahun 1920-an. PKI adalah yang pertama kali menggunakan kata Indonesia, kemudian diikuti gerakan nasionalisme lainnya. Mengapa dibayangkan, karena waktu itu mulai eksis, sudah mulai berkembang: wilayahnya sudah ada, bahasanya—berkat orang Indo dan Tionghoa mulai menyebar sebagai bahasa yang berguna. Terwujud di mana? Pertama-tama dalam sastra Indonesia. Jangan meremehkan sastra. Banyak pengamat dan akademisi menulis bahwa dalam pembangunan nasion yang penting adalah bahasa. Memang, ada bahasa bersama itu betul. Tetapi bahasa bersama itu tidak berkembang sebagai national language. Bahasa nasional baru bisa berkembang jika sastranya berkembang. Apa yang menjadi basis kebudayaan Prancis? Sastranya. Apa yang menjadi basis kebudayaan Inggris? Sastranya. Kalau tidak ada Shakesphere, tidak ada Charles Dickens. Atau jika di Amerika tidak ada Jack London, kebudayaan Amerika dan Inggris datang dari mana? Nilai-nilai budayanya datang dari mana? Apakah datang dari gereja? Sudah tidak. Dari agama? Sudah tidak. Hanya sebagian kecil saja yang masih kuat agamanya, sementara orang-orang yang beragama dengan yang sudah lemah agamanya pun nilai-nilainya sering sama. Nilai-nilainya datang dari mana? Sastra, karena lama kelamaan sastra menjadi sesuatu yang dinikmati seluruh masyarakat, dan sastra diajarkan di sekolah mulai dari SMP secara serius. Sampai sekarang Indonesia adalah satu-satunya negeri di seluruh dunia yang tidak mengajarkan sastra Indonesia di SMP dan SMA—yang memiliki kewajiban membaca sekian banyak novel, sekian drama, sekian syair, ramai-ramai membedahnya di kelas, pekerjaan rumahnya menuli essay. Hal itu di Indonesia tidak ada, satu-satunya negeri di seluruh dunia.
Di Indonesia sastra hanya diselipkan dalam pelajaran bahasa, padahal nilai-nilai budaya sastra Indonesia kaya. Melalui sastra, drama, syair, lagu muncul kebudayaan baru. Tetapi, harus dicatat bahwa kelahiran kebudayaan baru tidak hanya lewat sastra, tetapi juga lewat politik. Dalam kebudayaan Prancis ada slogan liberty, fraternity, equality atau di Amerika ada slogan by the people, of the people, for the people. Pidato-pidato politik besar dan pemikiran politik yang berkembang dalam proses pembentukkan meraih nasionnya (kemerdekaan) itulah yang menjadi nilai-nilai budaya. Mengapa di Amerika pidato-pidato George Washington dan Thomas Jefferson menjadi bacaan wajib? Apakah tulisan-tulisan Soekarno, seperti Indonesia Menggugat menjadi bacaan wajib di sekolah Indonesia? Tidak. Padahal pada awal gerakan kemerdekaan—tahun 1920-an, 1930-an, 1940-an, 1950-an hingga 1965—sastra dan pemikiran politik menjadi sesuatu yang sangat hidup di masyarakat. Melalui proses pertarungan ini penyebaran sastra, Indonesia melancarkan gerakan kebudayaan seperti melalui Lekra, gerakan nasinoal dan gerakan Islam waktu itu sungguh luar biasa. Jumlah cerpennya, syairnya, kegiatan kebudayaan sampai ke desa-desa secara luar biasa.
Dalam hal berorganisasi sebenarnya Indonesia melampaui banyak negara di Asia. Pada waktu Sarekat Islam sampai puncaknya, sebagai organisasi modern—memiliki AD/ART-nya, cabang-cabang, buletin, pedebayan, dan traning-traning-nya—merupakan organisasi massa modern terbesar di dunia waktu itu. Di Eropa, Amerika dan Asia tidak ada organisasi sebesar Sarekat Islam, apalagi partai-partai yang menyusul setelahnya. Jadi, tidak benar orang Indonesia dianggap tidak suka berorganisasi, kecuali jaman Orde Baru yang memang dilarang berorganisasi. Nah, melalui organisasi itu sastra, pidato politik membentuk kehidupan kebudayaan bersama.
Harus diingat, sejarah Indonesia setelah kemerdekaan adalah 62 tahun (sampai 2007). Tetapi selama 62 tahun, kurang lebih 32 tahunnya berada di bawah kekuasaan Orde Baru. Itu artinya, lebih dari separuh usia kemerdekaan Indonesia di bawah kekuasaan Orde Baru. Di bawah Orde Baru itulah Indonesia banyak mengalami kemunduran. Jadi, kalau para sejarawan membahas sejarah Orde Baru, salah satu hal yang harus dikaji adalah soal perkembangan dan kemunduran—sampai sejauh mana berkembang dan mundur—usaha membangun nasion Indonesia. Wilayah masih sama, tapi Aceh hampir hilang, karena memperlakukan Aceh sebagai bangsa asing. Itu merupakan warisan dari Belanda yang diterima setelah kemerdekaan, karena semua kepulauan di sebelah Utara menerima dengan sukarela masuk Indonesia, tidak ada paksaan. Hampir tidak ada penyatuan suatu nasion di seluruh dunia yang terjadi tanpa satu etnis memaksa etnis lain. Di Inggris Raya, Great Britain, perang orang Inggris melawan Scotlandia dan orang Inggris menjajah Wales berkali-kali perang dan puluhan ribu orang mati. Demikian pula di Jerman dan Amerika. Hanya Indonesia yang bisa bersatu dengan sedikit sekali darah. Itu kesukarelaan. Jadi kalau prinsip kesukarelaan dilanggar, seperti yang terjadi di Aceh pada tahun 1980-an, belum tentu orang mau menerima lagi.
Bagaimana dengan bahasa bersama? Apakah bahasa Indonesia berkembang sebagai bahasa yang dipakai oleh semua lapisan rakyat dan semua daerah untuk membicarakan masa depan Indonesia? Itu berkaitan dengan politik. Sebab, jika membicarakan masa depan dengan politik dilarang, lalu bagaimana bahasa bisa berkembang. Pergilah ke desa, sampai sejauh mana orang desa sekarang mampu membicarakan, menjelaskan pikiran mereka tentang masa depan Indonesia dalam bahasa Indonesia. Jika itu tidak berkembang, maka bahasanya pun terhambat. Di Indonesia hal itu masih menjadi persoalan besar. Memang, sebagian penyatuan kehidupan ekonomi Indonesia ada perubahan, penyatuannya semakin ada, tetapi masih sedikit. Sebagian kehidupan ekonomi Indonesia masih bersifat dual economy. Lebih dari itu, dual economy yang ada di jaman Hindia Belanda sekarang muncul lagi. Jaman Hindia Belanda kehidupan ekonomi di lapisan atas bahasanya adalah bahsa Belanda, sekarang mereka yang dilapisan atas mengirim anaknya ke sekolah berbahasa Inggris—international school. Sehingga di bidang kebudayaan pun ada bahaya, karena kehidupan ekonomi bersama—bukan hanya soal kaya dan miskin—semakin tidak terintegrasi, sehingga nasion pun semakin lemah karena itu.
Pertanyaannya sekarang, apa itu nilai-nilai budaya Indonesia. Pancasila itu menarik. Pancasila selama Orde Baru dikampanyekan besar-besaran. Pelajar harus lulus, setiap kali upacara diucapkan, tetapi setelah Soeharto jatuh hanya dalam waktu singkat Pancasila sudah hilang dari wacana publik—bahkan sudah terjadi sebelum Soeharto jatuh. Padahal selama kurang lebih 30 tahun Pancasila digembar-gemborkan oleh Orde Baru tetapi sama sekali tidak mengakar. Demikian pula dengan kata pembangunan. Setelah Soeharto jatuh berapa banyak orang yang berbicara tentang pembangunan. Seperti halnya Pancasila, pembangunan hilang juga sebagai suatu nilai. Selama Orde Baru masyarakat tidak mengetahui sejarahnya, karena ditutup-tutupi—kecuali diwajibkan menghapal tanggal dan tempat peristiwa. Di sekolah menengah tidak ada pelajaran sastra, sehingga berjuta-juta lulusannya tidak pernah membaca satu novel serius. Demikian pula dalam kehidupan politik, sehingga bahasanya bisa menjelaskan segala hal tidak ada.
Apakah sekarang ini ada watak psikologis bersama, suatu cara pandang dunia yang sama di Indonesia? Menjawab pertanyaan itu tidak cukup hanya melihat sejauh mana ya dan tidak, karena yang penting sekali adalah kekuatan masyarakat mana yang menggerakkan proses pembentukkan nasion dan kekuatan masyarakat mana yang menghambatnya. Agency-nya apa? Pelakunya siapa, kekuatannya siapa? Siapa yang menggerakkan? Semua itu diciptakan oleh gerakan itu sendiri: gerakan nasioanalisme dan anti-kolonialisme itu sendiri. Siapa penggerak tersebut? Di Indonesia khas, karena tidak ada kelas pengusaha. Penggeraknya adalah segelintir intelektual yang hebat dan rakyat (massa) itu sendiri. Jadi, agency-nya, kekuatan pelaku di dalam sejarah sampai kemerdekaan adalah intelektual-intelektual, aktivis-aktivis muda dengan massa.
Namun demikian, setelah kemerdekaan muncul persoalan. Sebelum 1949 sudah terjadi pertarungan antara mereka yang menganggap bahwa dengan diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh dunia internasional berarti revolusi Indonesia sudah selesai. Sementara di pihak lainnya berpikir sebaliknya: revolusi Indonesia belum selesai. Mengapa dianggap belum selesai, karena kehidupan ekonominya belum bersatu dan masih dikuasai perusahaan-perusahaan Belanda. Tiga ratus tahun Belanda merampok Indonesia, mendirikan perkebunan, pertambangan, perkapalan, itu semua hasil perampokan selama kolonialisme. Hal yang tidak masuk akal adalah pemerintah Hatta menyetujui pengembalian hasil rampokan Belanda tersebut. Itu benar-benar tidak masuk akal. Bukan hanya itu, sejumlah uang yang senilai dengan biaya yang dikeluarkan Belanda untuk memerangi Indonesia juga dijanjikan akan dibayar kepada Belanda, meskipun sampai tahun 1956 dihentikan.
Seperti disebutkan tadi, setelah kemerdekaan ada pertarungan antara mereka yang menganggap revolusi sudah selesai dengan mereka yang menganggap belum selesai. Mereka yang menganggap selesai berpandangan stabil saja dan berorientasi pada pembangunan dengan cara menginintegrasikan ekonomi Indonesia dengan Barat. Sebagian intelektual kemudian bergabung dengan penguasaha-pengusaha dalam negeri yang selanjutnya menjadi pengusaha nasional. Saya membedakan dalam negeri dan nasional, karena dalam negeri itu dikuasai tokoh-tokoh yang tersebar di banyak kota, tetapi jaringan usahanya sendiri belum nasional dan baru mulai atau baru sedikit-sedikit saja berwawasan nasional. Pengusaha dalam negeri yang berusaha menjadi pengusaha besar nasional bekerjasama dengan kaum intelektual. Mereka menganggap revolusi sudah selesai, tetapi perusahaan-perusahaan hasil perampokkan kolonial masih di tangan kolonial, hutang di Belanda masih diakui. Terjadi usaha untuk menyelesaikan itu dimana tahun 1956-57 perusahaan kolonial diambilalih oleh rakyat dan langsung diduduki dan orang-orang Belanda diusir secara fisik dari perusahaan-perusahaan tersebut. Setelah itu baru parlemen menasionalisasikan perusahaan-perusahaan Belanda.
Dalam periodisasi sejarah Indonesia di banyak buku kita mengenal ada demokrasi parlementer, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin. Semua itu omong kosong, karena yang terjadi pada tahun 1948-49 adalah pertarungan. Tidak ada satu sistem yang berhasil diterapkan dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga semua orang bisa menilai keberhasilan dan kegagalannya. Sepanjang periode itu yang terjadi adalah pertarungan, karena tidak ada satu pun kekuasaan politik yang sempat menjalankan misi dan konsepsnya secara stabil dalam jangka panjang. Apalagi demokrasi terpimpin. Saya menilai demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin tidak sempat dijalankan sama sekali. Itu hanya mungkin dijalankan kalau ada pemerintah yang dikuasai Soekarno, PKI, PNI kiri dan Partindo. Padahal sampai 1965 pun PKI tidak masuk di kabinet secara berarti. Partindo tidak secara berarti, PNI kiri tidak secara berarti. Belum ada kekuatan kiri yang mampu memenangkan demokrasi terpimpin. Justru tahun 1965 (peristiwa G30S-ed) terjadi untuk mencegahnya.
Nah, dalam proses pertarungan sampai 1965 pun harus dilihat siapa yang menggerakkan? Siapa yang meluaskan sastra ke masyarakat? Kekuatan sosial apa? Kekuatan sosial yang beroposisi dan berontak adalah di buruh dan tani. Intelektual dan mahasiswa bersolidaritas dengan buruh dan tani. Kalangan itulah yang terutama menerapkannya. Siapa yangg mau menuju kepada sebuah pasar nasional, dan setelah 1965, siapa yang memimpin proses itu mundur? Kekuatan sosial mana? Di Indonesia kekuatan sosial terdiri dari mereka yang bemodal—kapitalis dan penguasaha—dan masyarakat lainnya—buruh dan tani. Namun, pemodal dalam negeri itu ternyata—sejak awal abad XX sampai sekarang—tidak mampu untuk menggerakkan proses nation building. Sampai sekarang pun tidak mampu. Kekuatan sosial yang mampu menggerakkan perubahan sejak tahun 1930-an sampai 1960-an adalah gerakan rakyat miskin. Ketika itu dihancurkan, maka semua usaha nation bulting pun mengalami kemunduran.
Nasion terbangun jika ekonominya berkembang, jika ada development. Dengan adanya dual economy, sebagian masyarakat tertinggal, karena tidak ada development yang mencakup seluruh negeri. Ada banyak orang, termasuk aktivis di Indonesia yang anti-neoliberalisme dan berusaha menjelaskan bahwa masalah ekonomi Indonesia akibat neoliberalisme. Itu tidak benar. Masalah ekonomi Indonesia—kemelaratan, kemiskinan dan produktivitasnya rendah—adalah warisan kolonial. Selama kolonial, waktu Indonesia memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pada waktu itu Indonesia tidak memiliki apa-apa. Tidak memiliki apa-apa sama sekali. Industri tidak ada sama sekali. Ada memang pabrik gula dan lain-lain, tapi untuk negara sebesar Indonesia itu nothing.
Tahun 1950 dunia imperialis sudah sangat maju. Universitas-universitasnya sudah ratusan, lembaga teknologi sudah ratusan, sudah bisa menciptakan bom atom, sudah ada Einstein, sudah bisa bangun empire state bulding. Setiap anak di Amerika, Eropa dan Jepang sudah sekolah sampai SMP dan SMA. Di Indonesia, waktu Belanda masih berkuasa sebelum Jepang masuk tahun 1942 angkanya adalah 5%. Jadi Indonesia memang mulai dari nol. Mau membangun negeri kapitalis tidak memiliki capital. Mengapa, sebab selama penjajahan Belanda tidak diijinkan memodernisasikan pertaniannya maupun membangun industri. Kalau mau menjelaskan mengapa kondisi Indonesia sekarang, bukan karena neolib. Neolib hanya aroma terakhir, aroma dewasa ini, aroma kontemporer, tetapi proses yang sudah berlangsung ratusan tahun. Tapi memang ada konsekuensi politiknya. Seperti saya bilang, di Indonesia pengusaha, kelas borjuis, kelas pemodal tidak akan mampu menjadi penggerak perubahan. Sudah terbukti secara teoretis dan dapat dilihat, tidak ada kapitalis di Indonesia yang berarti, kecuali pengusaha-pengusaha kecil di mana-mana. Sekarang ada 50 konglomerat. Tetapi diterpa krisis moneter bangkrut semua. Kalau tidak diselamatkan oleh pemerintah bangkrut semua dan banyak yang memang bangkrut, dan berpindah tangan ke orang asing. Tidak ada apa-apanya. Yang bisa melakukan perubahan dan terbukti bisa—kemerdekaan dari Belanda bisa dicapai—bukan karena ada kelas borjuis yang kuat, tetapi karena ada intelektual-intelektual yang bersatu dengan massa. Kekuatan itulah yang bisa merebut kemerdekaan dan mempertahankannya. Yang hampir berhasil sampai 1965 adalah gerakan yang sama.
Jadi hambatannya besar untuk membangun nasion Indonesia. Itu tergantung pada devolopment. Kapitalisme yang bisa dikembangkan di Indonesia harus kapitalisme yang dikuasai oleh pelaku-pelaku sosial sendiri—yaitu rakyat miskin—dan orang-orang yang bersolodaritas dengan rakyat miskin. Apakah bisa membangun infrastruktur untuk nasion Indonesia sekarang? Bisa. Negara-negara miskin lain bisa, mengapa Indonesia tidak.

Catatan: [*] Tulisan ini merupakan transkrip presentasi Max Lane dalam diskusi buku Indonesia yang belum selesai (Max Lane) yang diselenggarakan oleh Pantau, 28 Agustus 2007 di Jakarta.


Kamis, 18 Desember 2008

Mencermati BHP

Mencermati UU Badan Hukum Pendidikan

Walau Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan agar sektor pendidikan diberi anggaran minimal 20 persen dari total APBN dan APBD, pemerintah tak kunjung mematuhinya. Justru yang dilakukan sebaliknya, mendorong agar Rancangan Undang-Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan secepatnya disahkan.
RUU tersebut akan melegalkan pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan. Tidak hanya di perguruan tinggi, tapi juga di sekolah, termasuk pada tingkat pendidikan dasar; sekolah dasar, dan sekolah menengah pertama. Setidaknya ini tergambar dalam draf RUU Badan Hukum Pendidikan versi 12 Oktober 2005. Dari 35 pasal, tidak ada satu pun yang mengatur kewajiban pemerintah dalam penyediaan dana pendidikan.
Pada bagian pendanaan dan kekayaan, yaitu pasal 22 ayat 3, hanya disebutkan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan sumber daya dalam bentuk hibah kepada badan hukum pendidikan sesuai dengan penugasan yang diberikan. Pada ayat 4 disebutkan bahwa hibah dan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 digunakan sepenuhnya untuk pendidikan dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (www.depdiknas.go.id).
Sikap pemerintah tersebut setidaknya mencerminkan dua hal. Pertama, pengeluaran pendidikan masih dilihat dari perspektif biaya. Dalam ekonomi, biaya atau sering kali disebut beban adalah penurunan dalam modal pemilik yang biasanya melalui pengeluaran uang atau penggunaan aktiva (Soemarso, 1999). Karena itu, sesuai dengan prinsip ekonomi, semua biaya harus dipangkas atau sedapat mungkin ditekan.
Penempatan pendidikan dalam perspektif biaya disebabkan oleh tidak adanya komitmen pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang menjadi kewajibannya atau malah pemerintah tidak mengetahui pentingnya pendidikan. Jika dua asumsi tersebut benar, upaya untuk terus meneriakkan bahkan memaksa pemerintah agar sadar dan mau menjalankan kewajibannya merupakan langkah penting.
Cara yang sudah digunakan dengan memperkarakan pemerintah melalui Mahkamah Konstitusi, seperti yang dilakukan guru-guru dari Banyuwangi dan diteruskan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia serta Persatuan Guru Republik Indonesia, menjadi sangat relevan. Termasuk mendorong dilakukannya impeachment apabila pemerintah terus membandel.
Kedua, belum ada program yang jelas. Proses penganggaran tidak hanya berkaitan dengan uang, tapi juga dengan apa yang akan dilakukan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tentu saja, apabila pemerintah memiliki rencana mengenai pendidikan, akan disediakan dana untuk mendukung rencana tersebut.
Kemungkinan lain, bisa saja pemerintah telah memiliki rencana (program) tapi tidak membutuhkan dana yang besar. Tanpa menyediakan anggaran minimal 20 persen dari total APBN/APBD seperti amanat UUD 1945, program sudah bisa dijalankan. Mengenai program pendidikan, memang hanya pemerintah yang mengetahuinya. Hal tersebut tergambar dalam mekanisme penganggaran keuangan Departemen Pendidikan (www.setjen.depdiknas.go.id). Jelas terlihat, dari penentuan dan penjabaran kebijakan hingga monitoring dibuat sangat sentralistis.
Jika demikian kondisinya, memaksa pemerintah menyediakan anggaran besar tidak akan membawa dampak apa pun bagi peningkatan mutu pendidikan. Sebab, masalahnya bukan pada kekurangan dana, melainkan pemerintah tidak mengetahui apa yang akan dilakukan. Apabila ini tetap dipaksakan, bukan tidak mungkin dana yang melimpah akan habis dikorupsi.
Hasil riset Indonesia Corruption Watch memperlihatkan kenaikan anggaran dalam dua tahun terakhir, 2004 dan 2005, ternyata tidak mempengaruhi pelayanan dan biaya yang ditanggung masyarakat. Anggaran pendidikan pada 2004 sebesar Rp 15,3 triliun meningkat menjadi Rp 26,5 triliun pada 2005, termasuk dana bantuan operasional sekolah.
Menurut penilaian masyarakat, gedung, peralatan belajar-mengajar, serta guru dan kepala sekolah masih mengecewakan. Selain itu, biaya yang dikeluarkan cenderung meningkat. Misalnya untuk tingkat sekolah dasar negeri di Semarang. Pada 2004, para orang tua mengaku mengeluarkan biaya langsung ke sekolah rata-rata Rp 725.255, kemudian pada 2005 meningkat menjadi Rp 950.956.
Menolak privatisasi
Melihat realitas pendidikan yang terus memburuk, menuntut kenaikan anggaran merupakan hal yang penting. Tapi upaya tersebut tidak dijadikan sebagai tujuan akhir. Sebab, kenaikan anggaran harus dimasukkan ke kerangka peningkatan mutu layanan dan perluasan akses bagi warga. Ini berarti medan perjuangan harus diperluas.
Selain terus memaksa pemerintah taat pada amanat konstitusi negara, UUD 1945, hal yang penting adalah mengawal agar anggaran tidak dihabiskan untuk membiayai birokrasi pendidikan. Upaya memaksa agar proses penganggaran lebih partisipatif, terbuka, dan akuntabel dari tingkat pusat hingga sekolah menjadi sangat mendesak.
Penting juga didorong reformasi dalam sistem penganggaran, dengan memperjelas porsi bagi penyelenggara dan porsi untuk peningkatan mutu serta perluasan akses pendidikan bagi warga. Diharapkan nantinya kenaikan anggaran tidak dimanipulasi oleh birokrasi untuk mengeruk keuntungan sendiri.
Langkah lainnya adalah menolak berbagai aturan yang melegalkan pelepasan tanggung jawab negara dalam pelayanan pendidikan. RUU Badan Hukum Pendidikan yang kini memunculkan kontroversi hanyalah turunan dari aturan di atasnya, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, terutama pasal 53, mengenai badan hukum pendidikan.
Karena itu, upaya memperbaiki pendidikan nasional tidak bisa dilakukan secara parsial. Kenaikan anggaran tidak cukup dijadikan sebagai jawaban karena masalah pendidikan tidak hanya berkaitan dengan besar-kecilnya dana yang disediakan. Yang lebih penting adalah untuk apa dan bagaimana dana tersebut digunakan.