Senin, 14 Desember 2009

Selamat Ulang Tahun Kawan

Rentang waktu

terkadang membuat kita lupa


bahwa kita semakin dewasa

Rentang waktu

terkadang membuat kita lupa

bahwa kita telah melanggar titah Yang Kuasa

Rentang waktu

terkadang membuat kita sadar

bahwa kita hanya manusia

yang tak punya apa-apa

selain jasad yang tak berguna

Rentang waktu

terkadang membuat kita sadar

bahwa Tuhan tidak melihat harta dan rupa

melainkan hati yang ada di dalam dada

dan amal jasad yang lata

Walau Einstein berkata bahwa rentang waktu itu berbeda

tergantung dalam keadaan apa kita berada

Namun Tuhan telah berkata,

“Hanya Akulah yang tahu umur manusia”.

Sekular barat berkata,

“Waktu adalah dollar di dalam kantung”

Namun Hasan Al-Bana berkata,

“Waktu adalah pedang, potong atau terpotong”.

Waktu…..

Alam terus menari dalam simfoninya

Waktu…..

Umur manusia didikte olehnya

Waktu….. setiap detaknya

memakukan kita di persimpangan jalan

jalan Tuhan atau jalan setan

Rentang waktu…..

semoga tak melalaikan kita

tuk terus berjalan di jalan-Nya

Senin, 07 Desember 2009

BAHAYA LATEN NEOKOLONIALISME

Kolonialisme adalah penjajahan atau penindasan hak-hak politik rakyat demi pengurasan kekayaan alam dan potensi ekonomi bangsa/negara untuk kepentingan penguasa, abdi-kuasa dan kroni bisnis elit-politik.

Walau negara sudah merdeka, belum tentu rakyatnya juga ikut merdeka. Penjajahan tidak selalu berarti dilakukan oleh bangsa asing, tapi juga bisa dilakukan oleh bangsa sendiri yaitu pemerintahnya.
Rata Penuh
Penjajahan diatas dunia masih ada dan akan selalu ada jika rakyat tinggal-diam. Kolonialisme abad kini tidak lagi dilakukan melalui pendudukan langsung, tetapi cenderung melalui jalan konspirasi dengan penguasa-lokal yang berperan sebagai penindas hak-hak politik dan hak-hak ekonomi rakyat (NEO KOLONIALISME).

Sebagai tanggung-jawab moral ilmiah, bersama ini kami jelaskan teori dan praktek neo-kolonialisme, sbb. :

TEORI NEO-KOLONIALISME

1. Monoisme –pemerintahan berdasarkan visi/misi (kepentingan) penguasa.
2. Mono-partai -penguasaan suara parlemen oleh satu partai atau koalisi beberapa partai (single-majority).
3. Abdi-kuasa –memperalat birokrasi dan angkatan bersenjata untuk membela kepentingan penguasa.
4. Sentralisasi –pemusatan semua kekuasaan pemerintahan ditangan presiden.
5. Manipulasi –rekayasa pemilu, hukum, dan informasi.
6. Represi –pemaksaan rakyat untuk mengikuti kehendak penguasa.

PRAKTEK NEO-KOLONIALISME

1. Penindasan hak-hak politik dan hak-hak ekonomi rakyat melalui prinsip kedaulatan ditangan elit-politik (DEMOKRASI SESAT).
2. Penindasan hak-dipilih melalui sistem pencalonan berdasarkan restu atau penunjukan elit-partai belaka (POLITIK KEKUASAAN) .
3. Penindasan hak-memilih melalui sistem pemilihan gambar-partai (POLITIK BERHALA).
4. Penindasan hak-perwakilan sistem pemilu proporsional/daftar (POLITK PERWAKILAN PARTAI).
5. Penindasan hak-oposisi melalui parlemen sistem fraksi dan pengambilan keputusan secara aklamasi berdasar lobi/musyawarah antara elit-partai (POLITIK YES-MAN).
6. Penindasan hak kesamaan derajad manusia melalui prinsip hak-suci ketua-parpal (POLITIK KERAJAAN ATAU KULTUS INDIVIDU).
7. Penindasan hak-ekonomi melalui kapitalisme-negara (EKONOMI KOMANDO).

Amatlah malang nasib bangsa Indonesia, karena fakta membuktikan bahwa orde generasi-tua adalah pelaku neo-kolonialisme alias lanjukan atau ganti-wajah kolonial Belanda. Dan, merasa sudah merdeka adalah akar kebodohan Rakyat Indonesia yang paling dalam, maka tidaklah mengherankan jika mayoritas Rakyat Indonesia bergulat dengan kemiskinan dan perbudakan secara turun-yemurun.

BONGKAR neo-kolonialisme orde generasi-tua adalah solusi harga-mati demi masa depan generasi Indonesia. Mari bergandengan-tangan menghapuskan segala bentuk penindasan atas hak-hak politik rakyat demi terwujudnya kebesaran NKRI yang bisa memberikan kehidupan, kesejahteraan, dan kemerdekaan kepada seluruh rakyatnya. YES, WE’RE READY & SOLIDARITY FOREVER.

Rabu, 02 Desember 2009

Malaikat ku,...

Malaikatku …
Bantu aku ungkap kisah nyata ini
Dan menghadirkan sejuta kisahnya
Ku tahu kehidupan ini sangatlah misteri
Yang terkadang kita tak bisa mengerti

Malaikat ku
Kau sangat berarti bagiku
Aku tak ingin kehilanganmu

Malaikatku
Diantara rerintikan hujan ini
Bantu aku menemukan sedikit kehangatan
Bantu aku menemukan keindahan ,dalam kehampaan

Malaikatku
Berikanlah aku sedikit keyakinan,
bahwa sedetik kehidupan ini adalah kebahagiaan untukku..
walau itu hanyalah khayalan …

berikanlah aku sebuah pilihan
"kebahagiaan atau kebahagiaan"

Senin, 23 November 2009

Panggung permainan politik SBY: Politik Pencitraan dan Korupsi

Tidak mengherankan memang jika semenjak menjadi presiden, jenderal bintang empat ini hanya mengandalkan kemampuan personalnya dalam membangun kekuatan politiknya. Image “personalnya” sanggup menjadi magnet bagi mayoritas pemilih Indonesia dalam dua kali pemilu (2004 dan 2009), bahkan sanggup menerangi pembesaran partainya, demokrat. Kesemuanya itu dibangun melalui politik pencitraan.



Politik Pencitraan

Meski dia adalah jenderal bintang empat, tetapi dia lebih menonjolkan dirinya sebagai seorang yang berpikiran cerdas, berwawasan luas, bijaksana, dan penuh perhitungan ilmiah, sesuai dengan kapabelitasnya sebagai seorang yang bergelar doktor kehormatan (honoris causa).

Di layar kaca, setiap penampilannya selalu memukau publik, bukan hanya orang awam tapi juga kalangan menengah ke atas, melalui gerakan mimik muka yang ekspresif, gerakan tangan dalam menekankan point pembicaraan, hingga tempo dan tekanan suara yang enak didengar orang-orang timur.

Dengan begitu, dia selalu berhasil menguasai keadaan; mengontrol emosi publik dan menggunakannya untuk menyerang lawan-lawan politik yang agressif. Dalam kultur timur—tepatnya Melayu, pesona petarung seperti ini memang nyaris sempurna, ketimbang petarung yang agressif, kasar, dan “maksain”.

Melihat fenomena ini, saya selalu senang untuk membandingkannya dengan presiden yang digelari si tangan besi, Margareth Thatcher. Selain sama-sama memiliki kecenderungan model kebijakan ekonomi yang anti buruh dan kaum miskin, keduanya juga sanggup mengubah personality mereka 180 derajat.

Sebelum memasuki pertarungan pemilu presiden, khalayak dan jurnalis mengenal Thatcher sebagai sosok perempuan keras, reaksioner, dan penuh kemewahan. Dia sendiri adalah istri seorang jutawan inggris. Dialah orang yang mencabut kebiasaan susu gratis untuk anak-anak sekolah dasar.

Ditangan seorang produser TV terkenal, Gordon Reece, Thatcher mulai berubah menjadi seorang yang berbicara lembut, aksen bicaranya sangat teratur, hingga akhirnya terpilih menjadi pemimpin kharismatik partai konservatif, partai Tory. Atas nasihat Reece, dia mulai mengubah potongan rambut, gaya berbusana, menggunakan sarung tangan, dan berjuang keras menurunkan nada dan tempo suaranya. Pemilih inggris memilih Margareth Thatcher, sang ibu rumah tangga superstar, menjadi perdana menteri pada tanggal 4 Mei 1979. Sejak itu, Reece selalu berada di belakangnya, sebagai penata “image” personalnya.

Thatcher melembagakan gaya politik baru dalam menjaga keseimbangan kekuasaannya. Pada masa awal pemerintahaannya, dia berusaha membangun dan menemukan pola komunikasi politik diluar keumumam atau kelaziman protokoler politik era rejim sebelumnya. Dia seolah-olah membawa tradisi berpolitik baru. Ketika kebijakannya diserang oposisi, dia segera mencuri start untuk menjelaskan panjang lebar di media TV dan cetak, khususnya mengenai ketidaktahuan oposisi akan ‘maksud baik” kebijakannya.

Dia sangat “licik” dalam memukul oposisi. Dengan dukungan kelas berkuasa inggris di tangannya, dia bisa mengontrol media dan menggunakannya untuk mendiskreditkan oposisi, idealisme, atau yang berbau “sosial/kerakyatan”. Gerakan buruh segera dituduh ditunggangi oleh komunisme, dan komunisme disamakan dengan ide ketinggalan jaman, kediktatoran, horror, dan berbagai ketakutan.

Dia juga tidak segan mengeritik pedas dan menjatuhkan kabinet dan bawahannya, meskipun ini sekedar sandiwara palsu untuk menarik simpati rakyat. Ia juga selalu “lihai” melimpahkan kesalahan dan kegagalan pada pejabat departemen di bawahnya, padahal dia sendiri adalah pihak yang bertanggung jawab. Ketika berdiskusi dan menarik solusi untuk mengatasi sebuah persoalan besar, dia tidak segan memanggil banyak pihak dan tim ahli di bidangnya. Namun, setelah proses diskusi, dia meluncurkan sendiri ide kelompok elit di dekatnya, sembari menyatakan bahwa itu bukan idenya.

Melihat Thatcher secara sekilas, saya langsung melihat bahwa bapak presiden kita kini sedang menjadikannya acuan, meskipun tidak langsung, atau setidaknya oleh penata gaya presiden saat ini. Memang betul, seperti dikatakan oleh Nunn, peneliti di departemen media, komunikasi, dan studi-studi budaya Middlesex University, bahwa konstruksi image di layar kaca sangat mempengaruhi fantasi-fantasi khalayak luas.

Korupsi dan Pertaruhan Image

Dalam kekisruhan politik akhir-akhir ini, terutama semenjak isu kriminalisasi menggoyang lembaga yang masih cukup kredibel, KPK, presiden SBY terlihat mau memilih berada di luar arena kekacauan tersebut. Ini jelas terlihat dan tersirat dalam pernyataannya, presiden memandang kasus KPK versus Polri (didukung kejaksaan dan Komisi III DPR) bukan dalam domain kewenangannya.

Hanya setelah publik bereaksi keras, presiden mulai memanggil sejumlah tokoh nasional dan intelektual paling berwibawa, untuk mendiskusikan metode penyelesaian masalah. Dari situ, lahirlah tim independen pencari fakta (Tim-8), sebuah jalan keluar paling aman dan tidak mengikis kredibiltas personal sang presiden.

Setelah tim-8 menjalankan pekerjannya; melakukan investigasi, menggali informasi, kajian, memanggil berbagai pihak terkait, dan akhirnya melahirkan rekomendasi, presiden malah bersikap “cuek-cuek” aja.

Hari ini (21/11/09), seperti yang dilangsir sejumlah media, presiden malah memanggil Kapolri dan kejagung untuk menanyakan pendapat dan kajian kedua institusi ini terhadap rekomendasi tim-8. Ini sangat aneh, sebab presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan malah bertindak ibarat “mediator” antara pihak-pihak bermasalah. Publik mengenal betul, bahwa Polri dan kejaksaan adalah dua pihak “tersangka” dalam kekisruhan hukum di tanah air.

Kenapa dia hanya kelihatan jadi mediator, bukankah dia presiden dan punya kewenangan berlebih. Belum lagi dia merupakan perpaduan jenderal bintang empat dan doktor, seharusnya memiliki ketegasan, ketelitian, kejelian, dan integritas untuk bertindak cepat.

Pertanyaanya; kenapa bisa begitu? Seperti juga gurunya Thatcher, presiden menghindarkan diri atau personalnya sebagai bagian atau salah satu subjek masalah. Isu kriminalisasi KPK hingga terbongkarnya rekaman percakapan memalukan Anggodo Widjoyo dan sejumlah pejabat penegak hukum adalah lumpur paling kotor dalam sejarah penegakan hukum Indonesia. Kalau presiden sampai ada di dalam sandiwara itu, maka politik pencitraannya akan ambruk seketika. Inilah point pertamanya.

Kedua, korupsi adalah moral paling bejat dan juga dikutuk oleh kapitalisme, terutama neoliberal. Oleh penganut neoliberal, moral paling bejat ini selalu dialamatkan untuk mendiskreditkan model-model ekonomi yang mengandalkan negara. Mereka segera menuduh rejim korup sebagai akibat pelibatan atau peran negara yang terlampau besar.

Pada kenyataannya, sejumlah rejim neoliberal diguncang korupsi sangat memalukan di mana-mana, termasuk di Indonesia. Di negeri ibu pertiwi ini, korupsi dan kejahatan ekonomi dibalutkan pada sebuah make-up penyelamatan ekonomi bernama bailout. Itulah skandal bank century, dimana pengikut paling setia dan kader terbaik neoliberal (Budiono dan Sri Mulyani) diduga tersangkut paut.

Bukankah dulu Sri Mulyani, ketika menjadi ekonom, menjadi pengeritik paling pedas terhadap pengelolaan ekonomi orde baru (kapitalisme kroni). Kini, dia sendiri berada dalam sandera kutukan itu sendiri.

Ini benar-benar pertaruhan citra. Dan pemerintahan bersih benar-benar merupakan make-up paling laris dari jualan SBY-Budiono dalam pemilu presiden lalu. Sekali pak presiden tersangkut dalam kekisruhan itu, maka bangunan politik pencitraan akan tergulung oleh tsunami ketidakpercayaan. Ibarat pemain film bertema religi; ketika kepergok melakukan perbuatan tidak senonoh (seks, judi, mabuk), maka nilai “personalnya” akan runtuh seketika.

Jumat, 20 November 2009

Akankah Terjadi Blunder?

Bola liar dari isu kriminalisasi KPK kini sudah di depan gawang. Hari selasa lalu, tim 8 sudah resmi menyerahkan rekomendasi setebal 31 halaman kepada presiden SBY. Kini, bola berada di tangan presiden dan rakyat sedang menunggu keputusannya.


Presiden memang sedang menghadapi dilema. Di satu sisi, rakyat berharap presiden segera merespon rekomendasi tim 8 dengan cepat, tepat, dan memenuhi rasa keadilan sosial. Pada sisi yang lain, presiden takut melakukan blunder bila harus mengikuti rekomendasi tim-8 seketika.

Mengulur Permainan

Presiden berjalan dengan sejumlah pertimbangan politik. Di atas segala pertimbangan itu, bagaimanapun, adalah bahwa keputusan itu jangan sampai menciderai pencitraan. Kalau itu sampai terjadi, maka hancurlah seluruh perekat bangunan politik personalnya.

Setelah tim-8 menyerahkan rekomenasi kepada presiden, desakan publik pun menguat untuk menuntut presiden segera mengambil keputusan. Berhadapan desakan publik ini, presiden meminta waktu seminggu untuk mempelajari rekomendasi itu. Disamping itu, presiden meminta supaya dirinya jangan terlalu ditekan untuk bertindak luar batas kewenangannya.

Tim-8, yang merupakan usul sejumlah intelektual dan direstui presiden, merupakan kanal politik untuk mengantisipasi pergolakan politik lebih besar akibat kemarah publik, sesaat setelah Polri menahan Bibit-Chandra.

Meski begitu, kehadiran tim-8 telah telah menjadi kendaraan harapan bagi sebagian besar publik. Apalagi sejumlah rekomendasinya, punya kesesuaian dengan harapan-harapan paling minimum publik sekarang ini. Sehingga, kalau presiden membokongi rekomendasi tim-8, maka dia sebetulnya berhadapan dengan kehendak luas masyarakat kita.

Menghadapi itu, sepertinya presiden sengaja menggunakan taktik mengulur waktu untuk menangkis serangan, baik desakan publik maupun opini yang berkembang. Dalam pertandiangan sepak bola, taktik mengulur waktu digunakan untuk meredam permainan, sehingga bisa mengurangi potensi kebobolan oleh lawan. Biasanya dilakukan oleh tim yang sudah menang tipis.

Namun demikian, Polisi dan Kejagung tetap ngotot melanjutkan proses hukum kedua pimpinan KPK-non aktif tersebut. Bahkan, setelah mendapat dukungan dari komisi III DPR, kepolisian dan kejagung sudah bulad tekadnya melanjutkan proses hukum Bibit-Chandra itu. Dan, sikap ini tentunya sangat bertentangan dengan rekomendasi tim-8.

Harus diakui, bahwa publik sekarang ini berada di belakang tim-8, terutama mereka yang moderat dan menghendaki penyelesaian konstitusional. Namun, begitu berhadapan dengan sikap “ngotot” triangle Polri, Kejaksaan, dan Komisi III untuk melanjutkan kasus ini, maka publik melakukan perlawanan lebih keras.

Potensi Blunder

Ada harapan besar dari publik saat ini, presiden segera memutuskan untuk menjalankan rekomendasi tim-8, bukan sekedar respon belaka. Apalagi, rekomendasi itu berasal dari pengkajian dan analisis panjang, hasil pemikiran ahli, dan menghadirkan berbagai pihak yang bermasalah. Secara simplistis, bagi publik yang sudah lama resah dan gelisah, rekomendasi tim-8 sudah cukup mewakili aspirasi moderat mereka.

Nah, kedua pilihan diatas punya konsekuensi politik, meskipun ukuran kadarnya mungkin berbeda. Bila presiden menjalankan rekomendasi tim-8, dia akan berhadapan dengan sejumlah konsekuensi politik, diantaranya; (a) mengecewakan dua institusi penegak hukum paling loyal terhadap presiden saat ini, Polri dan Kejagung. Ada rumor bahwa sejumlah jenderal (pati) dalam jajaran polri akan mengundurkan diri. (b) Ini akan mengantar pada rangkaian kasus lain yang sangat berkainta, khususnya skandal bank century. Kalaupun presiden tidak terlibat, namun kasus ini sangat menggerogoti kredibilitas pemerintahannya.

Sebaliknya, kalau presiden akhirnya mengabaikan rekomendasi tim-8 ini, entah dengan alasan apapun, maka akan muncul konsekuensi politik yang lebih buruk, diantaranya; (a) menaikkan temperatur kemarahan publik dan pergolakan politik. Sebab selain publik yang sudah marah, sejumlah tokoh politik nasional pun sudah bersuara keras. (b) lebih jauh, situasi ini bisa mendorong lahirnya gerakan mosi tidak percaya terhadap pemerintah, khususnya presiden beserta institusi penegak hukum, Polri dan Kejagung.


Bersikap lamban atau mengulur waktu pun bukan pilihan yang tepat. Ini justru membuat publik yang kurang sabar untuk melemparkan kesalahan kepada presiden.

Disamping itu, usaha Polri dan Kejaksaan untuk mengimbangi perang oponi, melalui pengerahan massa kontra KPK dan tim-8 justru akan memperparah situasi dan malah semakin mendidihkan masalah. Mendapat penantangan, tentu membuat gerakan pro-KPK dan anti korupsi semakin bergiat, semakin bersemangat.

Semakin panik presiden merespon situasi, justru semakin memungkinkan dia melakukan blunder.

Kamis, 19 November 2009

Aku merindukanmu sayang

malam ini aku merindukanmu
bagai kemarau panjang yang menunggu sang hujan
bagai petugas penjinak api yang menunggu bara padam
dan sungguh rasa ini menghujam dalam,...

Ketika aku merindukanmu…
Kutuliskan semua rasa yang ada
Kucoba rangkai menjadi bait-bait puisi indah
Seadanya rasa ini, sedalamnya hatiku

Ketika aku merindukanmu…
Tak terasa tetes airmata jatuh di pipiku
Dikala tak sedikitpun dapat kutemui adamu
Lirih pun tak kudengar suara manismu

Ketika aku merindukanmu…
Aku ingin waktu berputar ke masa lalu
Saat dimana aku ada disampingmu
Ketika dirimu belum pergi dari kehidupanku

Ketika aku merindukanmu…
Langit yang biru pun terasa kelabu
Panas mentari tak mampu hangatkan jiwaku
Tak ada rasa indah dalam kehidupanku

Ketika aku merindukanmu…
Berjuta angan inginkan kembali kehadiranmu
Walau harus berjalan jauh menjemputmu
Kurela demi bahagianya hatiku

Ketika aku merindukanmu…
Semua langkah tanpamu terasa kaku
Tak ada tawa terlahir serenyah bersamamu
Hidup sepenuhnya terasa pilu

Ketika aku merindukanmu…
Ingin rasanya aku menuruti semua egoku
Raih bahagiaku, mungkin acuhkan bahagiamu
Syukurku, ketika merindukanmu tak ku lakukan itu

Ketika aku merindukanmu…
Kutatap langit, kulihat engkau menatapku
Kutatap air, kuingat kenangan bersamamu
Kutatap hidupku, begitu kosong tanpamu

Ketika aku merindukanmu…
Aku bersedih kala teringat dia disampingmu
Begitu ingin kuhapuskan kerinduan ini
Namun hati masih ingin mengharapkan kembalimu

Ketika aku merindukanmu…
Berjuta tanya menyeruak dipikiranku
Adakah juga kau rasakan kerinduan padaku
Tak terbersitkah keinginan bertemu lagi denganku

Ketika aku merindukanmu…
Tak sedikitpun kusesali pertemuan awal itu
Tak ada hasrat untuk memisahkanmu
Tak ada rasa ingin membelenggu jiwamu

Ketika aku merindukanmu…
Ratusan malam kuhabiskan menunggu
Banyak mimpi kutabur di taman hatiku
Berharap esok kau berdiri di depan pintu hatiku

Ketika aku merindukanmu…
Terkadang datang ragu, coba tepiskan indahmu
Terkadang kupeluk bayangmu yang semu
Kutatap fotomu, berharap engkau melihatku

Ketika aku merindukanmu…
Berjuta penyesalan hadir atas semua khilafku
Berandai dapat kuperbaiki masa lalu
Seandainya dapat, kutata ulang kehidupanku

Ketika aku merindukanmu…
Terselip tanya “adakah kau menyesal mengenalku ?”
Terselip tanya “tak bisakah kau miliki saja diriku ?”
Terselip tanya “begitu mudahkah hapuskan diriku dari kehidupanmu ?”

Ketika aku merindukanmu…
Setengahnya kumerasa malu, karna mungkin hanya aku
Di sampingmu bukan diriku, mungkinkah dipikirmu ada diriku
Hingga dihatimu, masih bisa merindukan sosok lemahku

Ketika aku merindukanmu…
Hanya ungkapan rasa ini yang kumampu
Meski takkan pernah dapat menjadi obat bagiku
Sedikitnya melepaskan sedikit rasa dari hatiku

Ketika aku merindukanmu…
Kurelakan semua rasa sayang ini menunggu
Kubiarkan diri ini mengenang memori masa lalu
Kuyakinkan hatiku jangan memilih tuk ragu

Ketika aku merindukanmu…
Harapan tumbuh, serasa ku mampu sendiri dulu
Kubiarkan hati putih tanpa debu cinta yang lain
Mencoba buktikan betapa setianya diriku

Ketika aku merindukanmu…
Kuberikan semua rasa sayang yang tulus untukmu
Kuhapus ingatan tentang ketaksempurnaanmu
Kuyakinkah hati sesungguhnya kita adalah satu

Ketika aku merindukanmu…
Kusadari betapa lemahnya diriku tanpamu
Kuteringat betapa kasarnya diriku dulu
Betapa ingin memohon dirimu kembali padaku

Ketika aku merindukanmu…
Kucoba merangkai semua imaji bahwa kau pun merindu
Kucoba bermimpi kau pun memimpikan keberadaanku
Kucoba menunggu, buktikan takdir dan inginku

Ketika aku merindukanmu…
Tak kuasa logika atas semua rasa dalam hatiku
Tak kuasa raga atas keberadaan jiwa lemahku
Tulus mencintaimu, dari ketidaksempurnaanmu

Ketika aku merindukanmu…
Kupintakan dirimu sehat s’lalu hingga batas waktu
Berkhayal kelak dapat kulihat kembali sosok indahmu
dan kudengar lagi… suara manja dan manismu

Ketika aku merindukanmu…
Kuterpaku dengan kata-kata cinta dan setia
Tulus dan tanpa harus dirasa oleh berdua
Hingga sering membuatku menjadi rapuh

Ketika aku merindukanmu…
Menjadi seperti inilah diriku
Terlihat jelas seluruh isi hati dan pikiranku

Hanya karena aku merindukanmu…
Kurasakan putih dan tulusnya cinta
Indahnya memberi, teguhnya rasa
Bagaimana hati mencoba setia

Ketika aku merindukanmu…
Rindu hanyalah satu-satunya kata di hatiku

Rabu, 18 November 2009

Demokrasi-Khilafah-Non_Moeslim

Sedikit coretan ungkapan serta terkaan jawaban dari beribu tanya yang sering membuatku sepi, dan jauh dari orang tua karena saya yakin orang tua akan bereaksi keras atas pemikiran ini . Semoga blog ini sanggup menjadi tampat sampah dari kesepian itu, dan ini secercah tentang domokrasi dan khilafah, lalu dimana posisi orang-orang non-muslim jika khilafah ditegakkan???.

Keistimewaan demokrasi dibandingkan konsep lain, adalah bahwa demokrasi memandang setiap manusia secara egaliter tanpa ada pembedaan dalam hal-hal yang fundamental dan “sensitif” seperti ras atau agama. Demokrasi memberi tiap-tiap individu hak dan kewajiban sosial dan politik yang setara, yang kemudian nilai-nilai ini dituangkan dalam draft deklarasi universal HAM pada tahun 1948. Sebuah pandangan yang “fair” dalam menghadapi pluralitas manusia.

Namun, membaca artikel di situs Hizbut Tahrir tentang posisi non-Muslim (ahlu dzimmah) dalam Khilafah Islam, bayangan kita akan nilai-nilai kesetaraan derajat manusia menjadi redup. Konsep Khilafah Islam, secara mendasar, memberi pemisahan yang jelas kepada warga negara berdasarkan jenis keimanan. Yaitu kelompok Muslim dan non-Muslim. Secara logis, konsekwensi dari pemisahan tersebut adalah adanya pembedaan hak. Dan pembedaan hak yang dimaksud terlihat pada bidang politik.

Di sisi lain, ide Khilafah memang menawarkan perlindungan fisik, kebebasan beragama, dan perlakuan adil di mata hukum kepada non-Muslim, ini patut kita akui. Namun bentuk diskriminasi Khilafah terletak pada pelarangan bagi non-Muslim untuk menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan, seperti menjadi pemimpin atau penentu kebijakan negara. Partisipasi non-Muslim dalam bidang politik hanya diperbolehkan sebatas menjadi anggota Majelis Umat, untuk “sekedar” menyuarakan aspirasinya, atau mengkoreksi perlakuan Khalifah jika dirasa melenceng dari ideal ajaran Islam. Kurang lebih sebatas itulah kritik yang boleh diberikan kepada pemerintah oleh non-Muslim. Tidak boleh melontarkan opini atau kritik yang bersifat “subversif”, seperti mempertanyakan secara kritis ideologi Khilafah Islam, apalagi mempropagandakan ideologi lain. Ini jelas berbeda dengan apa yang diperoleh aktivis Hizbut Tahrir dalam lingkup negara demokrasi.

Di bidang militer, non-Muslim mendapatkan “hak istimewa” untuk tidak ikut wajib militer, namun diperbolehkan jika mereka memang menginginkannya. Hanya saja, non-Muslim tidak diperkenankan memegang posisi-posisi penting dalam kemiliteran. Lebih dari itu, jika negara Islam diserang dari luar, maka kaum Muslimin wajib membela mati-matian kaum sipil dzimmi yang berada di wilayah negara Islam. Atas semua “jasa” perlindungan itu, non-Muslim diberi kewajiban membayar jizyah tiap tahunnya, yang besarnya ditentukan oleh negara. Jizyah ini semacam “pengikat” bagi non-Muslim untuk dapat berada di wilayah negara Islam dengan aman.

Atas pembedaan hak-hak itu, non-Muslim jelas-jelas menjadi warga negara kelas dua yang harus tunduk dan patuh pada institusi kekhalifahan. Praktis, tidak boleh ada opini-opini dan sikap-sikap politis yang berseberangan dengan kekhalifahan Islam.

******

Dalam perspektif nilai-nilai modern, pembedaan warga negara berdasarkan agama adalah konsep primitif yang tidak relevan lagi dengan kondisi zaman sekarang. Aktivitas politik yang secara otomatis bersentuhan dengan publik yang plural, pada prinsipnya tidak bisa melibatkan “keyakinan teologis” yang bersifat pribadi dan relatif. Untuk menjadi seorang pemimpin yang adil dan bijak, tak ada hubungannya dengan kepenganutan terhadap teologi tertentu.

Perlindungan fisik, kebebasan beragama, dan perlakuan adil di mata hukum tidaklah cukup untuk “modal” menjadi manusia seutuhnya di era modern. Ada peningkatan “standar menjadi manusia”. Jika pada zaman-zaman kuno parameter pencapaian kesejahteraan manusia masih berkutat pada hal-hal yang bersifat fundamental seperti kemakmuran fisik, maka pada zaman modern standart pencapaian itu meningkat. Manusia modern membutuhkan “kemakmuran ideologis”, yang dalam hal ini diwujudkan dengan kebebasan mengemukakan ide atau pemikiran, dan terutama, “status sederajat” dengan individu lain. Pada sisi inilah konsep Khilafah nampak tidak peka dan sudah “merasa lengkap” hanya dengan memberi tawaran kemakmuran fisik dan keadilan hukum saja. Peningkatan standart ini, salah satunya didasari oleh kesadaran akan pluralitas manusia, baik pluralitas fisik-genetis maupun pluralitas pemikiran. Kesadaran akan pluralitas manusia dipicu oleh perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi. “Teknologi informasi”, ini sesuatu yang tidak ada di abad ke 7, inilah yang membedakan antara mindset manusia abad ke 7 dengan manusia abad ke 21.

Kita memang patut mengapresiasi tawaran perlindungan fisik, kebebasan beragama, dan perlakuan adil di mata hukum kepada non-Muslim dalam konsep Khilafah. Namun permasalahannya, tawaran tersebut tidaklah secara istimewa dimiliki oleh konsep Khilafah. Banyak konsep sekuler “buatan manusia”, juga menawarkan itu. Bedanya, jika Khilafah membagi dunia menjadi dua kubu “hitam putih” ; Muslim dan non-Muslim (baca: beriman dan kafir), maka demokrasi sebagai suatu konsep sekuler memandang semua manusia secara setara, yang memiliki hak dan kewajiban asasi yang sama. Demokrasi menyadari pluralitas manusia, serta menjadi wadah dan pemersatu bagi perbedaan itu. Kesetaraan derajat dalam demokrasi berlaku di semua bidang, tidak hanya ekonomi dan hukum, namun juga politik. Demokrasi memberikan tiap warganya hak-hak politik yang sama, tanpa membedakan latar belakang agama atau ras. Ini sesuatu yang tidak bisa diperoleh dalam konsep Khilafah. Dalam demokrasi, tiap manusia dapat merasa menjadi “manusia yang seutuhnya”, equal dengan yang lain, walau anda minoritas agama, suku, ras, atau pendapat. Ini adalah konsep yang fair dalam menghadapi pluralitas manusia.

Pendukung Khilafah harus sadar, di jaman modern mana ada yang mau berstatus “dzimmi”? Mana ada yang ingin menjadi warga negara nomor dua? Semua ingin berstatus “disamakan”, mendapatkan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang sama, tanpa pembedaan kesukuan atau agama. Menjadi non-Muslim dalam Khilafah Islam bagaikan hidup di sangkar emas. Makmur, physically protected, tapi pada esensinya “kelas dua”. Mau?

Selasa, 17 November 2009

Hadiah Chavez buat Obama: Apa yang Harus Dilakukan dengan Apa Yang Harus Dikerjakan?

Hugo Chavez, Presiden Venezuela, baru saja mengumumkan di televisi Venezuela bahwa bila ia bertemu kembali dengan Presiden Barack Obama, ia akan memberikan kepala negara Amerika tersebut sebuah buku pendek yang ditulis tahun 1902 oleh seorang Lenin, berjudul Apa Yang Harus Dikerjakan? (Chto delat'?)


Pengumuman yang mengejutkan. Terakhir kalinya Chavez menunjukkan kehendaknya mengisi daftar bacaan Obama, ia memberikannya buku yang bertopik relevan tentang situasi di Amerika Latin. Tapi kesesuaian topik apa yang dapat ditemukan dalam sebuah buku yang berumur lebih dari seratus tahun, ditulis dalam masa pemerintahan Tsar Rusia yang situasinya begitu drastis jauh dari saat ini. Lagipula, banyak di antara kita masih ingat pernah mempelajari buku ini dalam kuliah ilmu politik atau sejarah. Bukankah Apa Yang Harus Dikerjakan? merupakan 'cetak biru tirani Soviet'? Bukankah ini buku di mana Lenin mengekspresikan kejengkelannya terhadap buruh - atau, dalam peristiwa mana pun, kekuatirannya bahwa buruh tidak akan pernah cukup revolusioner? Kekuatiran-kekuatiran ini, sebagaimana kita diajarkan, membuat Lenin mengusulkan suatu partai 'revolusioner profesional' yang berasal dari kaum intelejensia yang akan menggantikan gerakan massa demokratik sejati. Secara keseluruhan, bukankah Apa Yang Harus Dikerjakan? adalah karya yang agak memalukan bagi kaum Kiri - sebuah buku yang lebih baik dilupakan daripada diserahkan ke tangan pemimpin dunia?

Saya tak mengulik pemikiran Chavez dalam hal ini. Namun, setelah menghabiskan bertahun-tahun hidup saya menerjemahkan kembali Apa Yang Harus Dikerjakan? ke bahasa Inggris dan menciptakan kembali konteks historis buku Lenin tersebut, saya merasa memiliki kualifikasi untuk menjernihkan beberapa kebingungan dan kesalahpandangan seputar buku tersebut. Dalam mempersiapkan studi saya Lenin Rediscovered, saya membaca setiap tulisan yang disinggung Lenin dalam Apa Yang Harus Dikerjakan? - dan karena polemik-polemik Lenin begitu intens, lahan yang harus saya garap pun begitu luas. Saya harus cukup fasih, bukan saja dalam hal kesemrawutan pertengkaran antara kaum revolusioner Rusia, tapi juga cara-cara partai-partai buruh Eropa Barat memberikan inspirasi kepada Lenin dan kawan-kawannya. Saya harus memberikan gambaran yang tepat tentang konjungtur politik di Rusia dalam beberapa bulan pada akhir 1901 dan awal 1902, ketika Lenin dengan tergesa-gesa menorehkan pemikirannya.

Cetak biru tirani Soviet? Sebaliknya, Apa Yang Harus Dikerjakan? mewakili suatu warisan yang harus dibuang sebelum tirani Soviet dapat berdiri. Ungkapan bernada elitis 'menguatirkan kaum buruh'? Sebaliknya, Lenin memiliki optimisme yang gembira/sanguin terhadap semangat revolusioner buruh. Semua saran-saran organisasional Lenin adalah tentang merekonsiliasi keharusan kontradiktif berupa menghindari penangkapan di bawah tanah sambil secara bersamaan membangun akar yang ekstensif dalam komunitas buruh Rusia. Mengenai kesesuaian topik - baiklah, kita akan lihat.

Pada peralihan abad keduapuluh, pemerintahan Tsar Rusia dijalankan oleh elit-elit yang didukung kalangan relijius dan memusuhi ide-ide tentang kebebasan politik - yakni, kebebasan berpendapat, pers, berkumpul, dan berorganisasi secara otonom. Rejim tsar menunjukkan bahwa mereka tak mampu dan tak sudi menyesuaikan diri terhadap tuntutan dunia yang begitu cepat mengglobal dan menekan Rusia dalam hal persaingan militer, kinerja ekonomi dan ide-ide politik subversif yang berhembus dari barat. Untuk membuktikan betapa tidak kompetennya mereka, pemerintah Tsar ikut terlibat dalam perang dengan Jepang dan berakhir hancur-lebur. Semakin banyak kelompok sosial di Rusia kehilangan kesabaran dengan kepura-puraan tsar - mereka bukan sekedar pencari gara-gara seperti kaum intelektual dan bangsa-bangsa minoritas, tapi juga kelompok-kelompok yang dianggap sangat loyal terhadap pemerintah seperti petani dan bahkan tuan-tanah dan pebisnis yang gemar beroposisi. Buruh industrial pada khususnya semakin pesat terpolitisasi, sehingga menjadi kekuatan oposisi yang paling berbahaya.

Kekecewaan yang masih awal dan tak terkoordinasi ini dapat meledak bila percikan yang tepat jatuh di tempat yang tepat - inilah mengapa Lenin dan kawan-kawannya menamakan suratkabar bawah tanah mereka Percikan Api (Iskra). Tujuan utama suratkabar mereka adalah mewujudkan revolusi anti-Tsar. Surat-kabar bawah tanah yang diterbitkan di luar negeri akan kesusahan memberikan kepemimpinan langsung kepada banyak kelompok-kelompok kecewa di penjuru kekaisaran Rusia. Yang dapat dilakukannya adalah membuat rakyat sadar bahwa mereka tidak sendirian, bahwa keresahan berkembang dimana-mana, bahwa tsarisme semakin putus asa, dan bahwa setidaknya satu kelompok - pekerja industrial - semakin siap turun ke jalan, bukan sekedar untuk kepentingan ekonomi sektoral mereka sendiri, tapi untuk meraih kebebasan politik untuk seluruh Rusia. Bila masyarakat secara keseluruhan diresapi dengan kesadaran ini, kekuasaan tsar pun menemui takdirnya. Demikianlah pemikiran Lenin dan kawan-kawannya. Kini, tentunya, strategi semacam itu harus diadaptasikan ke bentuk-bentuk komunikasi yang tak termimpikan pada 1902.

Namun strategi ini menyebabkan paradoks. Lenin, seorang sosialis Marxis yang penuh komitmen, di kemudian hari seorang pemimpin dari negara Soviet yang berpartai tunggal, menjadikan kebebasan politik di Rusia sebagai prioritasnya yang paling mendesak? Meskipun tampak aneh - dan diabaikan oleh kebanyakan sejarawan barat - itulah sesungguhnya yang benar. Lenin menjadikan kebebasan politik sebagai prioritas utama justru karena ia ialah seorang sosialis Marxis dogmatis. Seperti halnya warga Rusia pada generasinya - baik kaum intelejensia dan pekerja - Lenin terinspirasikan oleh contoh menggetarkan dari Partai Demokratik Sosialis (SPD) Jerman yang massif dan kuat. SPD adalah sebuah partai massa berbasiskan pekerja yang secara resmi berkomitmen pada sosialisme merek Marxis, menunjukkan oposisi radikal terhadap rejim Jerman, dan selalu bertambah jumlah anggota dan pengaruhnya.

Pandangan partai Jerman tersebut berdasarkan pada proposisi inti Marxis bahwa sosialisme hanya dapat diperkenalkan oleh pekerja sendiri, maka aktivitas utama partai itu berupa rangkaian propaganda dan agitasi yang tanpa henti, keduanya bertujuan menyebarluaskan kata sosialis di antara para pekerja. Kaum Demokrat Sosial Rusia begitu hijau dan iri dengan pers Demokratik Sosial [Jerman, pen] yang massif, rapat-rapat akbarnya yang riuh-rendah dan ramai, protes-protes cerdas yang dilancarkan para wakil-wakil sosialis terpilih di parlemen. Tapi untuk mengemulasikan kaum sosialis Jerman, mereka membutuhkan sesuatu yang tidak ada di Rusia: kebebasan politik.

Aneh tapi nyata: tujuan sentral karir politik Lenin, setidaknya hingga pecahnya perang pada 1914 adalah meraih kebebasan politik untuk Rusia dengan cara menggulingkan tsar secara revolusioner. Dalam sebuah buku pendek yang ditulis sekitar terbitnya Apa Yang Harus Dikerjakan?, di mana ia menjelaskan platform kaum Demokrasi Sosial Rusia kepada pembaca pada umumnya, Lenin memberi judul sebuah bagian "Apa Yang Diinginkan oleh Kaum Demokrat Sosial?" dan menjawabnya demikian: 'Kaum Demokrat Sosial Rusia, pertama-tama, bertujuan mencapai kebebasan politik' (penekanan oleh Lenin). Sebagaimana dijelaskan Lenin lebih lanjut dalam artikel surat-kabar, 'tanpa kebebasan politik, semua bentuk perwakilan pekerja hanyalah kepalsuan yang menyedihkan, kaum proletariat tetap saja dipenjara, tanpa cahaya, udara, dan ruang yang dibutuhkan untuk melakukan perjuangan demi pembebasan yang sepenuhnya.'

Komitmen Lenin terhadap tujuan ini bukan rahasia lagi bagi saingan-saingan politiknya. Salah satu ulasan Apa Yang Harus Dikerjakan? muncul dalam jurnal bawah-tanah kaum liberal anti-tsar. Penulisnya yang anonim (kemungkinan pimpinan paling terkenal dari partai liberal, Paul Miliukov) menjelaskan kenapa Lenin menentang kelompok yang disebut sebagai kaum 'ekonomis' dalam gerakan sosialis Rusia.

'Kaum proletariat Rusia - kata para pembela [ekonomisme] - belum cukup dewasa untuk memahami tuntutan politik yang spesifik; satu-satunya yang mampu dilakukannya saat ini adalah perjuangan untuk kebutuhan ekonomi. Kaum pekerja Rusia belum merasakan kebutuhan akan kebebasan politik. [Tapi] dalam sebuah negeri dengan rejim despotik seperti di Rusia ini, dalam sebuah negeri di mana hak-hak demokratik yang mendasar seperti hak kebebasan berpendapat, berkumpul dan seterusnya, tidak ada, di mana tiap pemogokan buruh dihitung sebagai kejahatan politik dan pekerja dipaksa dengan peluru dan cambuk untuk kembali bekerja - dalam negeri seperti itu, tidak ada partai yang dapat membatasi dirinya dalam kerangka sempit perjuangan yang semata-mata ekonomis. Dan Tuan Lenin dengan tepat memprotes program semacam itu.'

Pengritik Lenin di antara kaum Menshevik bahkan menuduh Lenin terlalu berlebihan dengan kebebasan politik dan karenanya meningkatkan ancaman eksploitasi politik kaum liberal borjuis terhadap buruh.

Untuk menunjukkan kebenaran strateginya, Lenin harus membuktikan bahwa buruh Rusia bersemangat melawan tsar dan menuntut kebebasan politik. Dan faktanya, pada saat Lenin menulis Apa Yang Harus Dikerjakan? militansi buruh yang semakin meningkat terbukti bagi semua orang - begitu pun para pejabat tsar yang bahkan mencoba membangun gerakan buruhnya sendiri yang loyal untuk memerangi organisasi-organisasi yang lebih berpemikiran revolusioner. Bila Lenin benar-benar menyatakan pandangannya sebagaimana dijelaskan di buku-buku teks standar - yakni pesimisme, bahkan keputus-asaan, terhadap semangat revolusioner kaum buruh - maka tak seorang pun akan menganggapnya serius. Namun, seperti kata-kata sang anonim liberal yang menulis ulasan tersebut, 'buku ini dibaca dengan penuh semangat, dan akan terus dibaca, oleh pemuda revolusioner kita'.

Bagi kebanyakan pembaca, ini semua tampak susah dipercaya, seperti berargumen bahwa Adolf Hitler ialah seorang filo-semit [pencinta Yahudi]. Bukankah kita membicarakan tentang sang Lenin, yang mendirikan sebuah negara yang dikenal tak memiliki kebebasan politik dan menindas buruh maupun kelompok lainnya? Ya, ini Lenin yang sama - dan ini artinya Apa Yang Harus Dikerjakan? tidak begitu saja memberikan penjelasan mengenai evolusi sistem Soviet. Memang, setelah membaca dengan cermat buku Lenin tahun 1902, perkembangan setelah 1917 menjadi lebih susah untuk dijelaskan.

Ini bukan tempatnya untuk membahas penjelasan yang dibutuhkan. Tapi berikut ini sebuah gambaran. Perkiraan optimis yang sama tentang kreatifitas dan semangat revolusioner buruh sebagaimana ditemukan dalam tulisan-tulisan Lenin pada tahun 1902 membuatnya di tahun 1917 meyakini bahwa krisis ekonomi yang parah pada tahun itu dapat dengan mudah diselesaikan semata-mata dengan membiarkan kaum buruh menghancurkan negara yang represif dan memaksa kaum kapitalis melakukan pekerjaan yang seharusnya. Akibatnya adalah lompatan yang dipercepat menuju keruntuhan ekonomi total, dan ini kemudian mengharuskan beberapa langkah mundur yang diktatorial.

Saya sekedar melempar gambaran tersebut, tapi saya yakin bahwa penjelasan semacam ini lebih baik daripada yang menyerupai naskah film murahan di mana Lenin menggosokkan telapak tangannya seperti aktor film horror Boris Karloff, dan berteriak 'Akhirnya - ini kesempatanku merebut kebebasan politik dari kaum buruh, seperti yang telah kuidam-idamkan!"

Saran-saran organisasional Lenin hanya masuk akal dalam konteks tujuan yang telah saya garis bawahi di atas: menyebarluaskan pesan di bawah kondisi represif. Maka nilai organisasional utama Lenin bukanlah konspirasi, melainkan konspiratsiia. Tujuan konspirasi (zagovor dalam bahasa Rusia) adalah untuk menjadi tak terlihat hingga waktu yang tepat. Kata bahasa Rusia konspiratsiia - yang telah digunakan oleh lingkaran sosialis di Rusia selama lebih dari satu dekade - berarti seni menghindari penangkapan, sambil menyebarkan pesan seluas mungkin. Gerakan bawah-tanah konspiratsiia adalah gerakan bawah tanah jenis baru, yang dikerjakan sedikit demi sedikit oleh praktiki lokal Rusia yang memimpikan penerapan logika SPD Jerman di bawah kondisi represi Tsar yang tak bersahabat. Rancangan organisasi Lenin bukanlah ciptaan orisinil dari kepalanya sendiri, melainkan kodifikasi dari logika yang inheren dalam gerakan bawah-tanah konspiratsiia yang diimprovisasi oleh aktivis-aktivis lokal.

Ini khususnya berlaku pada inovasi terminologis Lenin yang paling terkenal, 'revolusioner profesional'. Dalam terjemahan baru saya, istilah Lenin saya tulis menjadi 'revolusioner ahli', sehingga metaforanya lebih tampak. Tapi hal yang esensial adalah revolusioner profesional merupakan kebutuhan fungsional dari gerakan bawah-tanah konspiratsiia, dan maka semua partai bawah-tanah Rusia mengadopsi istilah tersebut dan sangat bergantung pada tipe tersebut, yakni, pada aktivis yang mendedikasikan seluruh waktunya bagi aktivitas bawah tanah dan siap bergerak dari tempat ke tempat sehingga organisasi-organisasi lokal tidak terpuruk ke dalam isolasi yang mendemoralisasi. Konsep 'revolusioner profesional' tidak ada hubungannya dengan intelejensia vs buruh. Ketergantungan pada revolusioner profesional justru menjadi hal yang tidak memisahkan kaum Bolshevik pimpinan Lenin dari faksi-faksi bawah-tanah lainnya.

Kalimat terkenal Lenin dalam Apa Yang Harus Dikerjakan? adalah: 'berikan kami sebuah organisasi revolusioner - dan kami akan menjugkir-balikkan Russia!'. Ini mengacu pada pengungkit Archimedes, suatu alat yang mampu memberikan kekuatan yang hampir tak terhitung dalam keadaan yang tepat kepada seseorang: 'Berikan saya tempat berdiri dan saya dapat menggerakkan bumi!'. Dalam penerapan Lenin, partai yang diorganisir dengan baik merupakan tempat untuk berdiri, tapi pengungkitnya sendiri merupakan berlapis-lapis kesadaran revolusioner yang akan melipatgandakan pesan dari sekelompok kecil aktivis untuk dijadikan serangan revolusioner terhadap otokrasi. Lenin berfokus pada organisasi karena yang lain-lainnya - antusiasme massa, kebencian meluas terhadap otokrasi - telah tersedia.

Sejauh apa saran-saran yang ditemukan dalam buku Lenin di tahun 1902 sesuai dengan masa kini? Biarlah pembaca yang menilai. Situasi yang dihadapi Lenin adalah semacam ini: terdapat potensi konsesus sosial luas yang beroposisi terhadap rejim relijius yang terkenal memusuhi kebebasan politik dan semakin tak mampu merespon kebutuhan sosial yang besar dalam dunia yang mengglobal. Beberapa kelompok oposisi potensial memiliki kapasitas yang lebih besar dibandingkan lainnya dalam mengombinasikan aktivitas militan di jalanan dengan tujuan politik terfokus yang dapat menyatukan oposisi. Terdapat juga sekelompok aktivis berkomitmen yang memiliki kontak internasional dan siap bekerja di bawah tanah untuk menyebarluaskan pesan-pesannya.

Inilah parameter-parameter persoalan yang dilihat Lenin. Tentunya, solusi apa pun terhadap persoalan serupa pada saat ini tidak dapat mengikuti detil-detil yang dilakukan oleh Lenin. Tapi mereka dapat mengemulasi strategi-strategi komunikasi yang kreatif dan improvisasi organisasional yang terfokus, yang membuat buku Lenin terkenal, bukan saja bagi kalangan bawah-tanah Rusia di tahun 1902, tapi juga bagi orang-orang seperti Hugo Chavez.

(Lars T. Lih berdomisili di Montreal, Kanada. Ia dapat dihubungi di larslih@yahoo.ca
. Bukunya Lenin Rediscovered diterbitkan oleh Brill pada 2006 dan diterbitkan kembali pada 2008 oleh Haymarket Books www.haymarketbooks.org)

Artikel ini sudah pernah dimuat di http://www.isreview.org/issues/66/rep-lenin.shtml. Dialihkan ke bahasa Indonesia oleh Data Brainanta, pengurus DPP Papernas

Kejahatan Korporasi Dalam Skandal Kolektive "Gempa Century"

Gempa century, yang kekuatannya tidak bisa diukur dengan skala richter, telah mengguncang perekonomian Indonesia, khususnya sektor perbankan. Bila gempa bumi berkekuatan 7,6 skala richter menyebabkan kerugian sebesar Rp2,031 triliun, maka gempa century menyebabkan 6,7 triliun uang rakyat menghilang entah kemana.

Meskipun membawa dampak mengerikan, gempa century belum mendapat penanganan sebagaimana mestinya, bahkan terkesan dimandekkan. Menurut isu yang beredar luas, gempa century melibatkan sejumlah nama pejabat penting di pemerintahan. Sehingga, apabila gempa century ini diungkit-ungkit, maka dapat menyebabkan sunami politik yang maha besar.

Di Bawah Permukaan

Sejak mencuatnya kasus ini, pemerintah berupaya melokalisir dan menutupi kasus ini di tingkat permukaan. Kejadian gempa bumi di sejumlah wilayah Indonesia, khususnya jabar dan sumut, yang menyedot begitu besar perhatian publik, menyebabkan perhatian terhadap kasus ini juga mengecil.

Lebih jauh, lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diharapkan membuat gebrakan, justru sedang berhadapan dengan sandiwara "kriminalisasi". Selain dijerat dengan beraneka tuduhan yang tidak terbuktikan, KPK juga diperhadapkan dengan pelucutan wewenang di dalam UU Tipikor yang baru.

Sementara itu, DPR yang diharapkan bersuara keras dan riuh mengenai persoalan ini, dalam periode mendatang, akan diisi oleh partai-partai yang sebarisan dengan pemerintah. Akibatnya, parlemen akan berjalan menurut kepentingan koalisi, dan menggelar aksi "tutup mulut" terhadap segala keputusan pemerintah, termasuk mengubur kasus century.

Dengan begitu, isu century akan terpendam sebagai persoalan diagnosis penyelesaian krisis yang salah dosis, sementara persoalan criminal dan skandal politisnya akan tertutup rapat di dalam peti "pengalihan isu". Jika perdebatan diagnosis penyelesaian krisis ekonomi yang mengemuka, maka ujung-ujungnya adalah "pemaafan" atau pembiaran.

Sementara persoalan kriminalnya, kendati melibatkan begitu banyak pejabat politik dan tokoh penting pemerintahan, termasuk menkeu, Sri Mulyani, dan wakil presiden, Budiono, hanya akan berhenti pada penangkapan pejabat rendahan.

Kejahatan Ekonomi

Gempa century telah membuka kedok beberapa bandit di bidang ekonomi, yang mengeruk keuntungan luar biasa dari hasil persekongkolannya dengan pejabat pemerintah, khususnya pengambil keputusan ekonomi.

Kejadian ini, yang juga terjadi di belahan dunia kapitalis yang jauh lebih maju, seperti di wall street sana, adalah kecenderungan utama dalam dinamika sistim kapitalisme itu sendiri. Mantra-mantra "good governance" maupun "perang melawan moral hazard", kini tidak mampu lagi mengantisipasi perilaku menyimpang dari korporasi, yang memang dimungkinkan dan difasilitasi oleh sistim kapitalisme itu sendiri.

Dalam neraca rugi-laba, keuntungan harus lebih besar daripada komponen biaya. Ini kenyataan terdengar sederhana tapi berat. Kenyataan ini kemudian memunculkan penyimpangan, antara lain teknik akutansi "kemitraan"-nya Andrew Faston, eksekutif financial enron, yang sebenarnya merupakan mekanisme untuk menyingkirkan biaya dan utang dari neraca. Ada lagi penyimpangan model lain, seperti yang dilakukan oleh world[dot]com, yaitu menyamarkan biaya sebagai investasi.

Ada lagi yang lebih kasar, seperti penipuan yang dilakukan Bernard Madoff, pemilik lembaga investasi Bernard L. Madoff Investments Securities LLC, yang menggelapkan uang sebesar 550 miliar US dollar. Disamping itu, beberapa deretan kejadian serupa juga bermunculan; raibnya miliaran dolar dari Stanford International Bank di Antigua, perusahaan Sunwest yang menggelapkan dana sebesar 300 juta dollar, dan sebagainya.

Dalam kasus century, seperti yang berulangkali ditegaskan bapak Yusuf Kalla, adalah sebuah kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh pemiliknya sendiri, dan sudah diketahui sejak lama oleh pihak pengawas perbankan, bank Indonesia (BI). Sehingga, siapapun yang merestui pemberian dana talangan Rp6,7 miliar kepada bank ini, sebetulnya sudah masuk dalam persekongkolan criminal.

Kebijakan neoliberalisme dikawal oleh kebijakan deregulasi dan pemanjaan terhadap sektor privat (baca, swasta). Dengan begitu, praktek-praktek tersebut, mengutip Walden Bello, akan mengikis pemisah yang disebut "dinding api" (Firewalls) antara pejabat korporasi dengan pejabat politik, antara auditor dengan yang diaudit, antara analis saham dengan pialang saham, dan sebagainya. Tidak ada lagi pemisah antara moral penjahat dan pejabat penegak hukum, antara mafia dan politisi.

Potensi "Erupsi"

Kejahatan yang disimpang di bawah permukaan, mirip dengan magma yang dibiarkan terpendam di bawah perut bumi. Dan semakin banyak magma yang terkonsentrasi dan terakumulasi, maka akan mendorong terjadinya "erupsi".

Meskipun untuk sementara waktu SBY berhasil menutupi kasus ini, dan seolah-olah dia sukses melindungi orang-orang terbaiknya, tetapi ini hanya menciptakan keretakan. Pertama, kejadian ini tetap menandai sebuah perampokan uang rakyat secara besar-besaran, bahkan dilakukan dibawah panji-panji pemerintah bersih dan professional. Ini adalah kejahatan ekonomi yang melibatkan sejumlah pejabat politik di bidang ekonomi, yaitu mereka-mereka yang selama ini dianggap bersih. Dengan kejadian ini, tidak ada lagi batas terakhir "kredibilitas politik" untuk lima tahun pemerintahan SBY-Budiono mendatang.

Kedua, pemenjaraan atau kriminalisasi terhadap pejabat KPK, dan upaya untuk memandulkan wewenang dan fungsi lembaga ini, telah mengikis kepercayaan publik terhadap "kebersihan" pemerintahan SBY di masa mendatang. Padahal, persoalan pemberantasan korupsi merupakan jualan utama SBY selama ini, terutama untuk mengikat dukungan kelas menengah dan kalangan atas masyarakat kita.

Akhirnya, dengan menipisnya kredibilitas politik pemerintahan ini, yang tentunya menggenapi kegagalan pemerintahan ini dibidang ekonomi sebelumnya, akan membawa pemerintahan ini dalam situasi yang sangat rawan "erupsi" krisis politik.

Pertanyaanya kemudian; apakah erupsi politik yang terjadi ini berupa letupan (explosive), ataukah berbentuk lelehan (kompromi politik).

Minggu, 15 November 2009

Mengenang Wiji Tukul

“Kalau hidupmu tidak mudah, keras, penuh tekanan, kejam dan hampir-hampir kau tak tahu harus berbuat bagaimana, maka menulislah puisi.”

“Kalau hidupmu terjepit, kau dikejar-kejar, kau bersembunyi, kau berganti kaos, celana, sandal bahkan nama, sampai-sampai kau nyaris alpa dirimu sendiri, maka menulislah puisi.”

“Puisi apa yang kau tulis?Apa pun itu, puisi akan melembutkan pikiranmu, setidaknya jemarimu sendiri.”

Di jaman seperti ini, masihkah relevan membaca Thukul? Tahun-tahun ini tentu sudah jauh berbeda dibanding era Wiji Thukul. Sudah tidak ada lagi sepatu lars menginjak di bawah meja. Orang boleh mencaci presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati juga para DPRnya sendiri tanpa perlu gentar. Orang punya puluhan partai politik untuk di pilih. Konon, kita tidak perlu lagi punya rasa takut pada negara. Ya, itu benar. Yang menjadi persoalan bukanlah apakah kita takut pada negara, melainkan jika negara takut pada warganya sendiri. Itulah yang jauh lebih mengerikan. Karenanya, meski era penghilangan orang macam Thukul sudah dianggap berlalu namun masih ada kematian-kematian yang tak perlu. Munir, misalnya. Ironisnya, Munis turut menulis essay tentang Wiji Thukul sebagai pengantar buku kumpulan puisi Wiji Thukul, berjudul Aku Ingin Jadi Peluru.

Masihkah relevan membaca Thukul? Soal relevansi, itu mudah dicari. Ada baiknya simak satu puisi Thukul ini:

Kucing, Ikan Asin Dan Aku

Seekor kucing kurus
menggondol ikan asin
laukku untuk siang ini
aku meloncat
kuraih
pisau
biar
kubacok ia
biar
mampus

ia tak lari
tapi mendongak
menatapku
tajam

mendadak
lunglai
tanganku
-aku melihat diriku sendiri!

lalu kami berbagi
kuberi ia kepalanya
(batal nyawa melayang)
aku hidup
ia hidup
kami sama-sama makan

Puisi tentang sesuatu yang sederhana dengan bahasa sederhana.

Ya, hidup Thukul tampaknya begitu keras. Ini tampak dari puisi-puisi dalam buku ini. Buku kumpulan puisi yang diterbitkan oleh IndonesiaTera berusaha merangkum semua puisi Thukul. Buku ini memuat dua kumpulan puisi Thukul yang pernah terbit sebelumnya (oleh Taman Budaya Surakarta), yaitu Puisi Pelo dan Darman Dan Lain-lain, yang menjadi dua sub bab tersendiri. Selain itu, juga memuat puisi-puisi yang belum terkompilasi, dan dijadikan dua sub bab, Lingkungan Kita Si Mulut Besar dan Ketika Rakyat Pergi. Sub bab terakhir berjudul Baju Loak Sobek Pundaknya adalah kumpulan puisi Thukul semasa pelarian (setelah 1 Agustus 1996). Dalam pelarian, Thukul menulis dengan nama samaran Budi Bang Branang. Salah satu puisi masa pelariannya adalah Kucing, Ikan Asin Dan Aku di atas.

Nyanyian Akar Rumput

jalan raya dilebarkan
kami terusir
mendirikan kampung
digusur
kami pindah-pindah
menempel di tembok-tembok
dicabut
terbuang

kami rumput
butuh tanah
dengar!
Ayo gabung ke kami
Biar jadi mimpi buruk presiden!

Kalau banyak orang negara takut pada Thukul (dulu) itu bisa dimengerti. Membaca Thukul adalah membaca semangat perlawanan.

dalam keyakinan kami
di mana pun –tirani harus tumbang!
(Bunga Dan Tembok)

mari tidur
persiapkan
perlawanan, esok pagi!
(Untuk D)

aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?
(Tentang Sebuah Gerakan)

aku menulis aku penulis terus menulis
sekalipun teror mengepung
(Puisi Di Kamar)

penjara sekalipun
tak bakal mampu
mendidikku jadi patuh
(Puisi Menolak Patuh)

kita tidak sendirian
kita satu jalan
tujuan kita satu ibu: pembebasan!
(Tujuan Kita Satu Ibu)

Tapi Thukul bukanlah orang yang begitu keras penuh pemberontakan. Thukul tetaplah manusia yang mempunyai sisi lembut, terutama pada ibu. Thukul tidak sekedar menulis perlawanan, ia menulis banyak hal, terutama hal sehari-hari yang ia akrabi. Kalau toh Thukul menari-nari dalam dunia imajinasi, ia tetap kembali pada sehari-hari.

Sajak Ibu

ibu pernah mengusirku minggat dari rumah
tetapi menangis ketika aku susah
ibu tak bisa memejamkan mata
bila adikku tak bisa tidur karena lapar
ibu akan marah besar
bila kami merebut jatah makan
yang bukan hak kami
ibuku memberi pelajaran keadilan
dengan kasih sayang
ketabahan ibuku
mengubah sayur murah
jadi sedap


dengan kebajikan
ibu mengenalkanku kepada tuhan

Derita Sudah Naik Seleher

kaulempar aku dalam gelap
hingga hidupku manjadi gelap

kausiksa aku sangat keras
hingga aku makin mengeras

kaupaksa aku terus menunduk
tapi keputusan tambah tegak

darah sudah kauteteskan
dari bibirku
luka sudah kaubilurkan
ke sekujur tubuhku
cahaya sudah kaurampas
dari biji mataku

derita sudah naik seleher
kau
menindas
sampai
di luar batas

Membaca Wiji Thukul adalah membaca dunia Thukul dengan bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti. Bahasanya cukup lugas, tidak berbunga-bunga, dan tidak memerlukan banyak tafsir. Itu karena Thukul ingin didengar. Thukul bukan menulis puisi untuk dikulum diam-diam. Puisinya untuk diucapkan bahkan diteriakkan. Ya, kata orang, puisi Thukul adalah puisi protes. Namun, mungkin lebih tepat dipandang sebagai sebuah puisi proses. Ya, menulis puisi bagi siapa pun adalah sebuah proses. Proses menafsirkan realita. Dan, bagi Thukul realita itu berupa kekerasan.

Kembali ke pertanyaan semula. Di jaman sekarang ini apa relevansinya membaca Thukul? Hm, tidakkah kita juga melihat realitas kekerasan itu sampai sekarang? Diperlukan Thukul untuk mengingatkannya pada kita semua.

MANDALAWANGI

MANDALAWANGI - PANGRANGO

Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

"hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya "tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
'terimalah dan hadapilah

dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu

aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup

Dongeng tanpa pakem "Ken Arok II" (Dibalik hak Angket)

Ken Arok yang mempunyai pengalaman perpolitikan Singosari sejak kanak-kanak ketika diangkat sebagai menteri dalam kabinet Ratu Langit, walaupun saat ini masih ABG, menjadi Raja makin terlihat kepiawainnya memainkan trik politiknya. Main dominonyapun makin jago, efek2 sistemik yang diciptakannya tidak ada yang mampu menandinginya.

Team sepakbolanya memang dibentuk untuk kalah dalam peraturan, jika rakyat Singosari bertanya mengenai kekalahan WO nya dari Team Komodo, itu karena aturan, gampang saja jawabannya. Semua sudah diatur siapa pemenangnya, bertanding dilapangan telah mebuktikan team Komodo yang menang walaupun dengan WO.

Ratu langit yang gregetan, tapi karena masa kursusnya belum selesai, tidak bisa berbuat apa2 kecuali memanggil anak buahnya yang masih setia.

” Saya denger2 kabar selentingan sepuluh kepeng, sepuluh persen, apa seh maksudnya..” Tanya Ratu Langit kepada anak buahnya.

” Gossip itu Ratu, jangan dipercaya…” Jawab anak buah.

” Gosip bagaimana… ? ” Tanya Ratu langit tidak yakin.

” Yang dituduh itu anak kecil Ratu, tidak mungkinlah…..ketika saya tanya..dia menangis , anak kecil biasanya jujur..” Kata anak buah bersemangat.

Ratu langit manggut manggut, Ken Arok juga banyak mengangkat anak buah yang masih anak2, pantes saja banyak yang masih suka menangis. pikir Ratu langit.

” Lalu yang sedang diadili itu, yang katanya membunuh siapa itu……” Kata2 Ratu Langit terhenti dipotong anak buah.

” Itu salah tangkap…..anak kecil juga, waktu disidang dia menangis..” Kata Anak buah penuh keyakinan.

” Gimana seh Ken Arok itu…. mengapa tidak nangkap yang gede saja, jadi gak pada nangis, berisik ” Ratu Langit seperti mengeluh.

” Yang gede2 pada berteman semua sama Ken Arok…” Sela Anak buah.

” Iya juga, suami saya juga sudah bersengkokolan…” Keluh Ratu Langit.

” Coba kamu tanya2 yang jelas sama Ken Arok, apa seh permasalahannya koq ribut terus, capek dengernya….” Ratu Langit melanjutkan kata2nya.

” Sudah Ratu…..tapi kawan2nya Ken Arok bilang, nanti saja, tunggulah….” Anak buah melapor.

” Tunggu apalagi…? Tanya Ratu Langit.

” Tunggu kabur semua Ratu… ” Jawab Anak buah.

Dongeng tanpa pakem "Ken Arok I" (Kenapa Harus Ada Aturan)

Ken Arok sebagai pembina Persatuan Sepakbola Seluruh Singosari ( PSSS ) membuka kejuaraan sepakbola bertaraf internasional Century Cup. Sebuah perusahaan multi nasional telah ditunjuk menjadi sponsor tunggal, umbul2 Reksadana milik sponsor pertandingan berkibar tanpa pesaing diseantereo stadion sepakbola yang megah itu.

Gegap gempita penonton mengiringi Team kesayangan bangsa Singosari, Team Delapan yang dikapteni Bujang Juara. Sesuai dengan namanya, team tersebut hanya berjumlah 8 orang, sebab setelah diadakan seleksi nasional, hanya 8 orang pemain itulah yang memenuhi syarat. Namun karena rakyat Singosari percaya dengan kesaktian para pemain tersebut walaupun hanya berjumlah 8 orang dan juga langsung dipilih oleh Ken Arok, rakyat Singosari yakin team delapan mampu mengalahkan team musuh.

Pertandingan pembukaan adalah pertandingan babak penyisihan antara Team Delapan Vs Team Komodo. Team Komodo adalah Team Buaya yang namanya telah didiskwalifikasi sehingga untuk dapat mengikuti pertandingan harus berganti nama menjadi Team Komodo. Team Delapan sudah berdiri ditengah lapangan melakukan pemanasan sambil menunggu team Komodo yang belum memasuki lapangan. Sorak sorai penonton mengiringi aksi pemanasan team delapan dan bersamaan waktunya team Komodo memasuki lapangan dengan santai sambil me-lambai2kan tangannya.

Wasit memberi aba2 agar para pemain menempati posisi masing2, dalam sekejap para pemain telah siap bertanding dalam formasi seperti yang diintruksikan pelatih. Tiba2 Bujang kapten Team delapan protes kepada wasit karena melihat penjaga gawang Team Komodo ada 2 orang.

” Saya protes….penjaga gawang tidak boleh 2 orang ” Teriak Bujang. Wasitpun menjelaskan bahwa tidak ada aturan yang mengatur jumlah pemain berdiri dibawah mistar gawang. Bujang tersadar memang tidak ada aturannya tetapi dia heran mengapa pemain Komodo terlihat lebih ramai. Setelah dihitung, ternyata pemain Komodo berjumlah 15 orang.

” Saya protes…pemain Komodo tidak boleh 15 orang..!” Teriak Bujang lagi. Wasit menjelaskan lagi, seharusnya pemain berjumlah 11 orang, karena team delapan hanya berjumlah 8 orang orang, team Komodo dianggap tidak menyalahi aturan karena semua team sudah sepakat bahwa jumlah pemain tidak harus 11 orang.

” Tidak adil.. saya kan karena keadaan ….!!!” Teriak Bujang. Wasit menjelaskan lagi, bahwa aturan itu memang dirasakan kadang tidak adil bagi kita, tetapi aturan harus dipegang teguh.

” Saya tetap protes…!!! ” Teriak Bujang yang tidak puas dengan penjelasan wasit.

Wasitpun mengingatkan Bujang agar tetap taat pada peraturan, kalau tidak mau mengikuti peraturan, wasit mempersilahkan team Delapan keluar dari lapangan yang berarti Team Komodo memenangi pertandingan itu.

GERAKAN MAHASISWA: (Sub-Political Movement dan Pilkada)

Pendahuluan

Selama ini gerakan mahasiswa terdikotomi antara dua paradigma dalam melakukan transformasi sistemik yang dalam perspektif gerakan mahasiswa hanya dengan transformasi sistemlah sebuah transformasi sosial dapat dilakukan, dua paradigma tersebut adalah pertama gerakan mahasiswa adalah gerakan moral yang mengedepankan nilai (value) sehingga gerakan mahasiswa tidak boleh terlibat dalam agenda kegiatan politik praksis apalagi sampai berafiliasi dengan partai politik sedangkan paradigma yang kedua adalah gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik ideal, dalam paradigma ini mahasiswa atau mereka yang tergabung dalam dunia gerakan mahasiswa tertentu harus masuk kedalam kantong-kantong partai-partai politik yang telah mengalami pembusukan untuk kemudian melakukan perubahan dari dalam.

Dewasa ini ternyata ada fenomena baru yang oleh Ulrich Beck disebut dengan sub-politik seperti Oxfam dan GreenPeace. Agenda gerakan mahasiswa dalam menyuarakan aspirasi rakyat dan fenomena sub-politik yang digambarkan oleh Ulrich Berck menjadi fenomena yang cukup menarik untuk telaah

Pembahasan

Pilkada merupakan sebuah moment yang sangat strategis dari berbagai pihak kepentingan untuk merealisasikan apa yang menjadi ide dan gagasannya terutama mereka yang berkecimpung di dunia politik praksis. Pilkada selama ini dimaknai sebagai ajang untuk memilih wakil rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan dalam konteksnya masing-masing merupakan sarana yang strategis untuk menyuarakan kepentingan rakyat. Pilkada merupakan sarana bagi rakyat untuk menentukan siapa pemimpin yang dianggap cukup capable untuk menjadi pemimpin nasional yang dalam hal ini lebih spesifik adalah kepala daerah.

Paling tidak ada beberapa hal dasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin pemerintahan, antara lain, pertama kemampuan memimpin, hal ini mutlak diperlukan karena sebagian besar elite partai politik kita ternyata meragukan sendiri kemampuannya dalam memimpin bangsa, menurut hasil survei LITBANG KOMPAS yang dipublikasikan pada hari Sabtu 19 April 2008 yang diikuti oleh responden yang terdiri dari ketua atau sekjen partai menunjukkan bahwa 45% meragukan kemampuannya sendiri dalam memimpim bangsa sedangkan hanya 35% yang merasa dirinya cukup pantas atau mampu untuk memimpin bangsa ini kedepan. Kedua kemampuan mengartikulasikan kepentingan rakyat, tugas utama dari pemimpin pemerintahan adalah untuk mengartikulasikan berbagai kepentingan rakyat sehingga sebuah masyarakat yang ideal mampu terwujud.

Sebenarnya inti dari permasalahan utamanya adalah banyak dari pemimpin negara tidak mengerti atau tidak mampu membaca dengan sekasama apa yang menjadi kebutuhan rakyatnya. dan yang terakhir, yang ketiga adalah sikap lebih mengutamakan kepentingan negara atau rakyat daripada kepentingan pribadi. Godaan ini yang paling berat seperti yang kita ketahui dan sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem politik kita adalah high cost politic, sehingga tidak aneh dengan logika sederhana dengan adanya politik biaya tinggi mengharuskan barang siapa yang ingin menjadi wakil rakyat harus siap mengeluarkan meterial yang cukup tebal, sehingga tidak aneh menurut beberapa ahli sistem politik yang ada sekarang ini merupakan penyebab utama dari maraknya kasus KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang seolah-olah saat ini sudah mendarah daging bahkan ada yang sampai mengatakan KKN sudah menjadi bagian dari budaya kita karena saat ini perilaku tersebut tidak hanya dilakukan oleh kaum elite politik yang saat ini menjadi anggota dewan dan akses ke arah itu terbuka lebar akan tetapi perilaku ini sudah menjadi perilaku di setiap lapisan masyarakat mulai dari RT sampai dengan DPR. Dewasa ini ada isu-isu global yang cukup menarik perhatian kaum aktivis mulai dari global warming, krisis energi sampai dengan krisis ekonomi yang diikuti dengan krisis pangan.

Tiga Agenda Utama

Dari isu-isu global itu ternyata hampir semuanya bermasalah di indonesia. Isu global warming misalnya pasca berakhirnya konferensi internasional UNNHCR yang membahas isu pemanasan global yang berlangsung di Bali, ternyata beberapa saat kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sangat tidak populis bahkan sangat ironis mengingat konferensi tentang Iklim tersebut berlangsung di Indonesia yaitu regulasi pemerintah yang berkenaan dengan dijualnya hutang Indonesia dengan harga Rp. 300,-/meter. Menurut survei dari LITBANG KOMPAS pada hari sabtu 19 April 2008 menunjukkan paling tidak ada tiga permasalahan utama yang dihadapi bangsa ini disemua level pemerintahan mulai dari pemerintahan pusat samapai dengan daerah yaitu politik, hukum kemudian yang ketiga adalah kemiskinan dan pengangguran.

Politik pada dasarnya dimaksudkan untuk membangun tatanan kehidupan bersama secara lebih modern. Maka hukum rimba, siapa kuat dia yang menang, atau siapa yang nekat dia yang berjaya, tidak bisa diberlakukan lagi. Terlebih tatanan tersebut diarahkan agar mereka yang dalam posisi lemah dan kalah tidak semakin tersingkir dan dimarginalisasi. Namun kenyataan berbicara lain. Politik sebagai suatu tatanan sosial memberi tempat bagi kenyamanan, bahkan juga keuntungan, bagi mereka yang berada dalam posisi menentukan. Maka kemudian aspek pelayanan bergeser pada arus
aspek pemanfaatan kuasa demi keuntungan.

Partai politik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam wacana atau diskursus mengenai pemilihan kepala pemerintahan. Partai politik merupakan sarana yang legal dalam menjaring wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga pemerintahan. Walaupun saat ini sudah digagas adanya calon independen dalam pemilihan kepala daerah hal tersebut tidak mengurangi sedikitpun eksistensi dari partai politik. Partai politik hanya menjadi alat bagi orang-orang yang tamak akan kekuasaan untuk memperoleh legitimasi dalam rangka menghegemoni dan melakukan penindasan yang sah secara struktural atas nama negara

Di Indonesia permasalahan independensi hukum menjadi momok yang sangat serius bagi para pejuang keadilan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di peradilan Indonesia mafia-mafia berkeliaran untuk menentukan hukum dengan gaya mereka sendiri yaitu siapa yang punya uang dia yang menang atau siapa yang punya kuasa dialah yang menentukan keadilan. Hukum di Indonesia merupakan barang yang sangat laku untuk diperjual-belikan seperti komoditas yang lain seperti kekuasaan misalnya. Beberapa besar kasus atau delik hukum yang terjadi di Indonesia yang berkategori kejahatan kemanusiaan pada jaman orde baru seperti Malari, pembantaian rakyat atas nama G30S/PKI yang diperkirakan korban minimal 80.000 orang sampai sekitar 300.000 orang, peristiwa Talangsari yang membakar ibu dan anak hidup-hidup, kasus Kedung Ombo, pembantaian di tanjung priok dll. Dalam kategori yang lain misalkan penghilangan paksa atas para aktivis-aktivis reformasi, peristiwa Semanggi dan yang terkhusus untuk Cak Munir, ya...munir.. siapaa yang tidak kenal munir, aktivis yang mati karena sebuah propaganda keji.

Ditengah karunia Allah SWT yang di anugerahi alam yang begitu melimpah ternyata tidak menjamin bahwa kita akan hidup dengan sejahtera. Seandainya kita menginteprestasikan teks alquran secara tekstual tentunya gambaran yang tepat untuk surga adalah bumi peritiwi ini.... ya.... Indonesia. Tetapi apa lacur karena ketidakcakapan dan tidak adanya politik keberpihakan pemerintah terhadap rakyat maka negeri yang melimpah ruah ini rakyatnya harus hidup dalam kemiskinan dan himpitan hutang haram yang tidak pernah mereka lakukan. Rakyat Papua yang kakinya menginjak emas akan tetapi kehidupan mereka dihancurkan dengan adanya PT. Freeport.

Gerakan Mahasiswa: Antara Politik Nilai dan Kekuasaan

Diskursus mengenai mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan baik itu dalam forum-forum diskusi, temu ilmiah maupun seminar-seminar yang diadakan bahkan buku-buku yang mengupas mahasiswa dan kiprahnya terutama dalam konteks keperduliannya merespon masalah-masalah sosial politik yang berkembang ditengah masyarakat. Bahkan gerakan mahasiwa seolah-olat tidak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan oleh para penguasa. Kehadiran mahasiswa sebagai perpanjangan aspirasi rakyat dalam situasi yang demikian sangat urgen dalam melakukan advoksi-advokasi atas konflik-konflik yang terjadi antara rakyat vis-a-vis penguasa seperti kasus Alas Tlogo di Jawa Timur dan lumpur Lapindo di Sidoarjo. Pada diri mahasiswa terdapat potensi-potensi yang dapat dikategorikan sebagai modernizing agent. Dalam kehidupan gerakan mahasiswa terdapat adagium patriotik misalkan ungkapan “mengungkap ketidakadilan dan mengoreksi kepemimpinan yang korup dan gagal” yang akan membangkitkan semangat dan militansi untuk senantiasa melakukan perlawanan-perlawanan atas ketidakadilan yang terjadi di tengah-tenah masyarakat

Agenda Politik Keberpihakan Mahasiswa Dalam Pilkada

Sebagai agen of sosial change, pemikiran-pemikiran harus senantiasa di upgrade untuk memberikan alaternatif-alternatif wacana kepada masyarakat dalam rangka mengurangi ataupun melakukan counter hegemoni dari penguasa yang mengatasnamakan negara. Sebagai agent of social change mahasiswa harus memiliki idiologi dan keberpihakan yang jelas, pola gerakan yang ditawarkan juga harus jelas. Selain itu seorang aktivis gerakan mahasiswa tidak boleh menjadi seorang yang oportunis yang selalu menggunakan kesempatan untuk keuntungan dirinya sendiri. Ketika diskursus mengenai pemilihan kepala daerah ataupun diskursus menganai politik maka satu kata yang pasti melintas dalam alam pikiran kita adalah kekuasaan. Tak ada politik yang tidak mengarah kepada kekuasaan. Dalam konteks ini gerakan mahasiwa terpolarisasi dalam dua paradigma utama yang pertama adalah gerakan mahasiswa adalah gerakan politik nilai/moral yang bertugas untuk melakukan counter kebijakan dengan seruan-seruan moral ataupun dengan diskursus yang mengangkat ide-ide normatif dalam menganalisis suatu regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan yang kedua adalah gerakan mahasiswa harus masuk kedalam sistem yang ada atau dengan kata lain gerakan politik kekuasaan seperti yang dulu di ungkapkan oleh Fadjroel Rahman bahwa gerakan mahasiwa harus berorientasi perebutan kekuasaan bilamana perlu mahasiswa membentuk partai politik mahasiwa sebagai wahana menyalurkan aspirasi politik mahasiswa.

Gerakan Mahasiswa Sebagai Value Political movement

Perbedaan jalan perjuangan entah itu lahir dari paradigma gerakan mahasiwa sebagai value political movement ataupun power political movement sebenarnya berakar dari permasalahan yang sama yaitu adanya rasa tanggung jawab terhadap kondisi bangsa yang tidak sesuai dengan harapan rakyat. Keduanya berasal dari hasrat yang sangat kuat untuk menyalurkan atau menyampaikan aspirasi kepada penguasa. Bagi mereka yang memilih bahwa gerakan mahasiswa adalah power political movement tidak bisa dengan begitu saja kita justifikasi bahwa mereka telah ditunggangi oleh suatu kepentingan tertentu.

Power political movement tidak boleh dijustifikasi sebagai golongan-golongan yang menjadi komprador kaum penguasa. Justru dengan politik kekuasaaan inilah mereka berusaha untuk melakukan tugasnya sebagai sosial control terhadap regulasi-regulasi yang dikeluarkan oleh wakil rakyat dalam partai yang dulu mereka pilih itu. Sedangkan bagi mereka yang memilih value political movement banyak agenda pragmatis yang bisa dilakukan terutama terkait dengan pendidikan politik kepada internal organisasi maupun kepada pihak eksternal yaitu masyarakat misalkan; pertama, membuat kesepakatan internal untuk tidak melibatkan lembaga OKP dan kemahasiswaan dalam politik praktis, kedua, memberikan penegasan kepada top leader institusi berdiri netral bagi semua calon dalam pilkada kabupaten/kota dan provinsi, ketiga, menempatkan para pengurus lembaga OKP dan kemahasiswaan sebagai jembatan komunikasi politik yang "tertahan" antar-calon, antar-tim sukses, dan antar-massa politik, baik secara internal atau eksternal. keempat, bila memungkinkan tenaga dan dana diperlukan OKP dan lembaga kemahasiswaan memantau jalannya proses pilkada, kelima, memotori diadakannya debat visi dan misi calon kepala dan wakil kepala daerah di hadapan publik, keenam, secara rutin melakukan seruan moral untuk tidak saling mencederai dan tidak melakukan character assassination (pembunuhan karakter) dalam pilkada dan lain-lain. Berbagai agenda praksis dalam rangka melakukan pendidikan politik kepada masyarakat sangat penting untuk dilakukan sehingga rakyat tidak menjadi komoditas politik an sich, yang dilemparkan kesana-kemari oleh elite-elite politik.

Kesimpulan

Dalam budaya politik yang bersifat patrimonialistik menurut Weber memiliki karakteristik yakni pertama, kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki penguasa kepada teman-temannya. Kedua, kebijaksanaan seringkali lebih bersifat partikularistik daripada bersifat universalistik. Ketiga, rule of law merupakan sesuatu yang sifatnya sekunder bila dibandingkan dengan kekuasaan dari seorang penguasa (Afan Gaffar,1999).

Adalah memang masih sulit mengeliminasi apalagi ‘membunuh’ budaya politik masyarakat yang sudah tersosialisasi dalam waktu lama. Sebab pembentukan norma atau nilai politik masyarakat melalui apa yang disebut dengan sosialisasi politik yaitu, proses pewarisan nilai, norma dan keyakinan dari satu generasi ke generasi berikutnya, telah menembus sampai ke ‘pembuluh darah’. Dengan kata lain, pemupukan dan distribusi nilai yang terpelihara secara sistematis oleh dukungan birokrasi pemerintahan pada masa Orde Baru, membuat model politik patrimonialisme, itu sulit terkikis habis dengan cepat.

Dalam bidang politik peranan kaum mahasiswa yang tergabung dalam organisasi kepemudaan atau organisasi mahasiswa bagi mereka yang masih percaya bahwa politik praksis merupakan sarana untuk mencapai atau mewujudkan apa yang menjadi mimpi masyarakat maka kaum muda harus melakukan konsolidasi-konsolidasi gerakan untuk melakukan pendidikan politik sehingga suatu saat nanti masyarkat akan mampu membaca depolitisasi yang dilakukan penguasa kepada dirinya sehingga otokritik akan spontan dilakukan oleh masyarakat secara real time.

Bagi sebagian organ gerakan mahasiwa yang sudah tidak percaya dengan demokrasi dan pemilihan umum hendaknya tidak bersikap apatis akan tetapi dapat melakukan gerakan-gerakan alternative dalam rangka melakukan counter regulasi sebagai alat penekan kepada penguasa. Fenomena yang dilihat oleh Ulrich Berk tentang gerakan Sub-Politik sangat menarik ketika dikomparasikan sebagai alat penekan baru kepada penguasa. Ulrich Berk berbicara tentang “Sub-Politik” yaitu politik yang menjauhi parlemen dan menuju kelompok-kelompok dengan isu tunggal dalam masyarakat.

Gerakan, kelompok dan organisasi non-pemerintah baru seperti ini dengan demikian mengencangkan otot mereka dalam pentas global seperti greenpeace yang mau tidak mau korporasi global pun akan memperhatikannya

Terakhir, mahasiswa sebagai pelopor geerakan rakyat harus mampu selalu membaca kondisi kekinian masyarakat dan mencari alternative-alternatif gerakan dalam rangka advokasi kebijakan public yang tidak populis sehingga rakyat yang sudah berjalan di trotoar tidak termarginalkan lebih jauh lagi.

Referensi:
Suara Keadilan edisi agustus 2004
Bulletin “kontras” edisi…. Tahun 2004
Giddens, Anthony. The Third Way “ Jalan Ketiga pembaruan demokrasi social”, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta; 1999
Raillon, Francois. Politik dan Idiologi Mahasiswa Indonesia; LP3ES, Jakarta 1985
Media Indonesia online
http://www.indomedia.com

Mahasiswa dan Sangkarnya

Sungguh menarik memang jika kita kembali memperbincangkan persoalan kampus dan dinamikannya yang sungguh dinamis, kampus merupakan tempat pengembangan diri yang memberikan perubahan pikiran, sikap, dan pencerahan, tempat mahasiswa lahir menjadi kaum pemikir bebas yang tercerah.

Dengan sifat keintelektualnya, mahasiswa lahir dan tumbuh menjadi entitas (model) yang memiliki paradigma ilmiah dalam memandang persoalan kebangsaan dan kemasyarakatan. Ciri dan gaya mahasiswa terletak pada ide atau gagasan yang luhur dalam menawarkan solusi atas persoalan-persoalan yang ada. Pijakan ini menjadi sangat relevan dengan nuansa kampus yang mengutamakan ilmu dalam memahami substansi dan pokok persoalan apapun.

Berbicara tentang mahasiswa dan aktivitasnya sudah menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir sepanjang tahun. Berbagai forum diskusi yang diselenggarakan, menghasilkan berbagai ragam tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan pemikiran. Kampus merupakan tempat pengembangan diri yang memberikan perubahan pikiran, sikap, persepsi dan pencerahan, tempat lahirnya mahasiswa sebagai seorang yang lain (dalam artian positif). Dengan kata lain, kampus merupakan laboratorium besar tempat melahirkan beragam ide, pemikiran, pengembangan wawasan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk peranan sosial individu mahasiswa tersebut dalam kehidupan kemasyarakatan. Menjadi agen bagi perubahan sosial, budaya, paradigma, ekonomi dan politik masyarakat secara luas. Dengan demikian, kepentingan masyarakat menjadi barometer utama bagi keberhasilan suatu perubahan sosial yang dilakukan oleh agen (mahasiswa tersebut). Mahasiswa dituntut tidak hanya berhasil membawa ijazah, tetapi juga diharuskan membawa perubahan dari ilmu dan pengalamannya selama berada dalam laboratorium kampus.

Konsep perlawanan merupakan suatu hal yang lazim bagi mahasiswa. Perlawanan yang dilakukan bisa muncul dalam bentuk yang beragam, tentu saja dalam satu visi yang besar, untuk kepentingan dan pembelaan bagi masyarakat umum. Isu yang ditangkappun terdiri dari beragam persoalan, mulai dari persoalan sosial ekonomi, politik, budaya, etika, agama dan lain sebagainya. Aksi demontrasi, aksi pendampingan, memberikan alternatif pengetahuan dan pola pikir, memberikan penyuluhan, dan beragam cara lagi yang dapat dilakukan oleh agen (seorang mahasiswa), baik sebagai sebuah kelompok sosial maupun sebagai individu yang tergabung dalam kelompok-kelompok sosial lainnya. Belakangan, demontrasi seolah menjadi trend utama bagi suatu perlawanan menuju perubahan bagi mahasiswa, padahal demontrasi merupakan salah satu saja diantara banyak cara yang dapat dilakukan untuk membawa kehidupan masyarakat kerah yang lebih baik.

Upaya perlawanan dalam bentuk demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa merupakan gerakan moral. Seperti yang diakui oleh Arief Budiman yang menilai bahwa sebenarnya sikap moral mahasiswa lahir dari karakteristiknya sendiri. Mahasiswa sering menekankan peranannya sebagai “KEKUATAN MORAL” dan bukan “KEKUATAN POLITIK”. Aksi protes yang dilancarkan mahasiswa seperti demonstrasi dijalan dinilai sebagai sebuah kekuatan moral karena mahasiswa bertindak tidak seperti organisasi sosial politik yang memiliki kepentingan praktis. Konsep gerakan moral bagi gerakan mahasiswa pada dasarnya adalah sebuah konsep yang menganggap gerakan mahasiswa hanyalah merupakan kekuatan pendobrak, ketika terjadi kemacetan dalam sistem. Setelah pendobrakan dilakukan maka tugas kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam hal ini partai-partai atau organisasi politik yang lebih mapan melakukan pembenahan.

TREND DUNIA GLOBAL

Eksistensi dan posisi gerakan mahasiswa dihadapkan pada sebuah realitas dunia global yang tidak bisa dihindarkan. Arus globalisasi telah menyentuh berbagai sendi kehidupan manusia didunia. Cepatnya arus globalisasi menurut William K. Tabb (2003) mampu membentuk rezim perdagangan dan keuangan dunia serta mendefinisikan ulang kesadaran pada tingkat yang paling dekat dan lokal, mempengaruhi bagaimana orang memandang dirinya, ruang gerak anak-anak mereka dan entitas mereka sehingga mengalami perubahan akibat kekuatan globalisasi ini. Apakah gerakan mahasiswa menolaknya secara radikal atau hanya cukup memahaminya atau mempersiapkan diri untuk ikut berkompetensi dan memposisikan diri sejajar dengan mereka secara wajar?.

Gesekan dunia global menjadi trend dalam kondisi saat ini, karenanya seluruh lapisan masyarakat perlu memahami secara benar tentang realitas-realitas dunia yang sedang mengalami pergolakan dalam berbagai unsur kehidupan. Melihat trend (Trend Wacting) yang terjadi dalam pergeseran dunia global adalah kerangka dalam memahami apa yang sedang terjadi hari ini, dan apa yang akan kita lakukan dimasa-masa yang akan datang. Tren yang terjadi hari ini adalah dominasi kekuatan global yang tidak bisa dihindarkan dalam ranah kesadaran manusia.

DARI MEMBACA KE MENGANALISA

Gerakan perlawanan mahasiswa sesungguhnya merupakan gerakan perlawanan yang dinamis. Mahasiswa setiap hari bergulat dengan keilmuan, ironis jika gerakan mahasiswa justru monoton kalau tidak mau dikatakan sebagai sebuah kebekuan. Karenanya tradisi-tradisi yang ada diantaranya tradisi membaca harus diimbangi dengan tradisi menganalisa berbagai aspek persoalan dengan berpikir logis dan mendalam. Tipe masyarakat yamg menjadi miniatur lahirnya peradaban manusia maju dan sejarah adalah tradisi keilmuan. Maju karena masyarakat seperti ini menempatkan ilmu sebagai sinar dalam kehidupan. Mensejarah, karena mereka membuat sebuah kejutan bagi lahirnya paradigma baru bagi terciptanya masyarakat yang ilmiah (knowledge society).

Dimensi pembangunan gerakan mahasiswa agar ilmiah diawali dengan konsep membaca, sesuatu yang berhubungan bukan hanya dengan membaca teks dan naskah tetapi lebih dari itu, menelaah, meriset, merenungkan , bereksperimen, berkontemplasi. Objeknya bisa berupa beragam persoalan yang ada dimasyarakat. Mulai dari persoalan sosial, ekonomi, politik, budaya dan bahkan persoalan etika dan moralitas.

Persoalan menganalisis menjadi penting ketika seseorang ingin menggali kebenaran dari suatu fenomena tertentu, seperti misalnya; mengapa masyarakat Papua (yang tinggal dilembah Baliem) puas hanya dengan makan ubi dan sagu bakar, akan tetapi mengapa masyarakat lainnya merasa tidak pernah puas dengan dimiliki ketika kekuasaaan dan kekayaan telah dimiliki?

DARI TRADISI KE PERADABAN

Langkah-langkah selanjutnya yang paling rasional dalam menghadapi tatanan dunia global, bagi kalangan mahasiswa dikampus adalah membangun kesadaran bersama dengan meningkatkan kompetensi dan skill dalam memposisikan diri supaya sejajar dengan bangsa-bangsa Barat dalam bidang ilmu pengetahuan. Karenanya budaya dan tradisi yang selama ini dilakukan dikampus untuk digeserkan kearah perubahan paradigma memahami budaya dan tradisi yang ada.

Tidaklah kaku jika mahasiswa membangun dialog peradaban (Civilization) dikampus, minimal ada dua paradigma visi dialog pembangunan masyarakat berperadaban. Pertama, Perubahan eksistensi dan identitas diri, yang mampu melahirkan paradigma kehidupan sosial baru dan merdeka, bebas dari penghambaan terhadap unsur-unsur materi, melahirkan kehidupan segar dan integraliistik. Era kehidupan yang syarat dengan nilai kemanusiaan dan bervisi masa depan. Ini merupakan tonggak fundamental pertama, merupakan visi kehidupan ummat manusia kearah pembebasan diri dari kungkungan materi yang menjadi ideologinya. Visi kehidupan ini mengarahkan manusia pada ideologi yang sesungguhnya dan menjadi benteng kekuatan para pewaris peradaban. Ini merupakan asas fundamental bagi terwujudnya masyarakat berperadaban. Proses ideologisasi kedalam tubuh masyarakat secara radikal dan gradula perlu dilakukan. Kedua, Pola pembangunan struktur pengetahuan masyarakat yang secara bersamaan dilakukan dalam kerangka membangun kesadaran untuk membaca atas realitas yang terjadi.

DARI TEKS KE KONTEKSTUAL

Terkadang pemahaman mahasiswa atas teks-teks yang dipelajari dikampus bersifat tekstual. Karenanya perlu ada penyeimbangan pemikiran dalam memahami realitas. Kalangan mahasiswa diminta tidak hanya memahami teks saja tetapi mampu melihat perubahan dunia yang cepat dari teks-teks yang dipelajarinya itu. Karenanya pemahaman teks yang menyebar dalam berbagai literatur menjadi penyelaras dalam kondisi jaman yang sedang berubah.

Paradigma mahasiswa dikampus bertumpu pada penyelarasan ideologis dengan ketajaman analisis terhadap persoalan-persoalan yang terjadi. Kalangan mahasiswa mampu membaca, mengkaji, dan berdiskusi secara logis, kritis, sistematis, dan komperhensif, serta mampu membedah persoalan dari berbagai aspek dan sudut pandang ilmu dan pemikiran yang konstruktif. Hal ini harus menjadi kultur yang melekat. Gerakan mahasiswa dalam konteks kekinian dituntut untuk bisa bergaul dalam dimensi yang lebih luas. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa diharapkan mampu memberikan jawaban atas kondisi zaman yang terus berubah. Jika tidak bisa, maka mahasiswa akan ditinggalkan oleh kemajuan zaman ini.

PESAN

Mahasiswa merupakan sebuah miniatur masyarakat intelektual yang memilki corak keberagaman pemikiran, gagasan dan ide-ide yang penuh dengan kreatifitas dalam rangka mewujudkan TRI DARMA PERGURUAN TINGGI Yakni; Pendidikan dan pengajaran, Penelitian, Pengabdian pada masyarakat.

Setiap melakukan perubahan sosial, pasti ada hambatan dan halangan. Untuk mengatasi hal tersebut maka mahasiswa harus menggunakan trik-trik yang jitu diantaranya :

1. Mulailah dari diri sendiri.
2. kuatkan tekad/azzam untuk selalu melakukan perubahan yang lebih berkemajuan.
3. Menunjukkan Identitas Mahasiswa.
4. Memanajemen waktu dengan sebaik-baiknya.
5. Merubah Paradigma berfikir dari mental penjajah menjadi penebar rahmat.