Senin, 30 Maret 2009

Jangan Buat Aku Lelah Mencintaimu "Indonesia_ku"


Apakah anda mencintai negara anda??? Seberapa dalam cinta anda??? Rela matikah anda demi bangsa anda??? Apakah jawab anda ??? Mungkin akan dijawab begini: Aku cinta mati untuk negaraku!!! Cintaku sedalam Samudra Hindia!!! Jiwa ragaku hanya untuk bangsaku!!! Sangat Patriotik.... Mestinya memang begitu Tapi ... apa iyaaa?????? Sebagai anak bangsa, mencintai adalah sebuah kewajiban. Tanpa cinta itu, bangsa ini hanya akan kehilangan jati dirinya, ter-erosi oleh gelombang ”global” yang memang begitu dahsyat melanda, hingga pada akhirnya meredup dan mati pelan-pelan.

Cinta ternyata tidak cukup dengan kata-kata patriot jika hanya sebatas pada ungkapan semata. Perlu diterjemahkan melalui tindakan nyata. Masalahnya adalah apakah kita (masyarakat pasar) punya daya untuk berbuat sesuatu bagi negara (baca penguasa)? Yang ada justru seringkali masyarakat (akar rumput) seringkali menjadi korban dari berbagai praktik dan intrik politik sekolompok kecil golongan berkuasa.

Bisa kita saksikan saat ini, pertarungan elit politik yang nyata-nyata hanya berorientasi kepentingan golongannya semata. Apakah mereka juga mengerti bahwa politik pun seharusnya juga punya etika dan filosofi? Pernahkan diperhitungkan bahwa kesejahteraan masyarakat seharusnya jauh di atas segalanya? Jika dihitung-hitung, banyak sudah ke-”lalai”-an penguasa dalam menjalankan roda pemerintahan.

Dari kacamata penyelenggaraan negara, hal ini dapat saja di-amin-i sebagai sebuah rumusan kebijakan dan strategi yang bertujuan untuk mensejahterakan umat. Tentu saja itu sudah melalui sebuah proses ”pintar” lintas disiplin dan melibatkan berbagai pakar, ahli, cendekiawan. Namun ketika sebuah implementasi kebijakan mengalami ketidaksesuaian atau kemacetan fungsi operasionalnya, apakah segera akan dilakukan revisi dan perbaikan? (jawab sendiri). Misalnya ketika kebijakan konversi minyak tanah ke gas alam, banyak temuan di lapangan yang mengarah pada ketidaksesuaian harapan dari kenyataan, antara lain:
1) ketidaktepatan sasaran;
2) distribusi yang tidak merata;
3) ketidaksiapan pelaksana;
4) munculnya mafia-mafia dan oportunis kecil yang memanfaatkan dan mengail di air keruh;
5) ketidakmampuan masyarakat karena daya beli yang rendah, dan sebagainya.

Ternyata tidak sedikit masyarakat (kecil) yang tersaruk-saruk terjegal kebijakan ini.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah benar kebijakan tersebut adalah murni untuk mensejahterakan rakyat atau hanya untuk kepentingan industri semata? Bisa kita saksikan, proses pilkada di seluruh kabupaten dan kota yang menyerupai perhelatan super akbar dan menghabiskan biaya yang amat fantastis. Coba kita jawab dengan jujur, apakah ini cuklup ”fair” sementara masih begitu banyak kepentingan rakyat kecil yang minim alokasi anggaran... Inikah buah dari kebijakan otonomi daerah??? Naif betul rasanya.

Sistem pendidikan yang kian hari kian menunjukkan wajah buramnya membuat kita terhenyak dalam keprihatinan. Mahasiswa yang lebih suka menggunakan ototnya daripada otaknya, bangunan sekolah di berbagai pelosok yang lebih mirip kandang sapi daripada sebuah kelas untuk belajar. Uang pembangunan gedung sebagai syarat diterima sebuah sekolah yang makin jauh dari jangkauan orang kebanyakan. Belum lagi konflik horisontal antara kelompok vs golongan, konflik vertikal antara pedagang dan aparat yang membuat hati ini teriris perih, inikah wajah bangsaku. Dalam dunia legilatif berlaku prinsip 5 D, datang, duduk, diam, delak-delok......, duiiit, itupun jika mereka datang semua, karena dari semua anggota dewan, yang hadir lebih sering kurang dari separuh.

Parlemen amat sangat rawan kasus-kasus politik uang. Dari kasus suap, biaya pembahasan RUU, ijazah palsu, perizinan logging, sampai kasus skandal sex yang memalukan, duuh...duuuh...duuuuuh... apa iiyaaa mereka mewakili kita??? Rakyat sering cemas, was-was dan ketakutan terhadap merebaknya tindak kriminal, terorisme, dan fanatisme berlebihan yang berpotensi terjadinya kerusuhan yang berbau SARA. Sementara itu persaingan bisnis yang tidak sehat bahkan monopoli, apalagi ketika hukum tidak ditegakkan, orientasi maksimalisasi profit mendorong munculnya praktik bisnis yang ilegal atau tidak memperhatikan nilai keadilan Dalam situasi tersebut, penggusuran terhadap pusat-pusat ekonomi rakyat dihalalkan demi menciptakan pasar-pasar baru yang lebih efisien dan efektif. Konsekuensinya, masyarakat kehilangan daya tawarnya.

Dari kacamata sosial budaya meningkatnya eksploitasi terhadap konsumen dengan sistem ekonomi kapitalis yang tidak sempurna ini menyebabkan: pertama) kesejahteraan masyarakat luas tidak lagi menjadi prioritas utama. Kedua) munculnya konsumerisme. Ketiga) terjadinya praktik monopoli dan kolusi. Ketergantungan masyarakat terhadap produk-produk konsumtif tersebut cepat atau lambat berakibat pada merebaknya kejahatan sosial seperti judi, miras, prostitusi, narkoba, dan HIV/AIDS. Hal ini menjadi pemicu paling kuat dan meledaknya kekerasan yang memerosotkan penghargaan akan nilai-nilai kemanusiaan. Padahal kemerosotan dan etika menunjukkan bagaimana hati nurani telah dimatikan seperti ditemukan dalam berbagai dampak negatif, globalisasi dan kemajuan teknologi. Iklim tersebut lambat laun menyebabkan memudarnya akar budaya, sejarah dan nilai-nilai yang dimiliki hingga masyarakat kehilangan bentuk interaksi sosial yang dibangun atas dasar saling percaya. Pada akhirnya masyarakat cenderung bersikap apatis terhadap realitas sosial yang terjadi, sejauh tidak bersinggungan dengan kepentingan mereka.

Sebaliknya masyarakat cenderung menjadi reaktif dan berpotensi melakukan kekerasan, jika merasa kepentingan hidup mereka dipermainkan dan terancam. Jika sudah begini, apakah masih bisa berharap pada predikat masyarakat kita yang dulu katanya terkenal santun, ramah, dan murah senyum??? Wallahualam… Mudah-mudahan masih.

Masih ada keyakinan dalam diri atas cinta negeri tanah tumpah darah ini meski seringkali lungkrah tertatih menapaki realita dari waktu ke waktu. Ingin hati mencintaimu tanpa syarat sebagai darma bhakti putra pertiwi, namun apa lacur hati ini jujur sesambat… lelah… lelaaaahh… meski masih tetap ada dorongan kuat untuk tidak sampai jatuh dalam sebuah pengkhianatan Ooh… rakyat yang semaput … Ooh… petinggi korup yang tidak patut Ooh… orang kaya yang bisanya cuma kentut Ooh… pemimpin yang seperti siput Ooh… anak terlantar yang sering sakit perut Ooh… golongan mapan yang pengecut Ooh… orang-orang jompo yang keriput Ooh… ABG imut yang gampang kepincut Ooh… tante-tante yang lebih suka menata rambut Ooh… wakil rakyat yang bisanya cuma jadi badut Ooh… penegak hukum berperangai celurut Ooh… preman-preman yang suka bikin ribut Ooh… negeri yang mowat mawut… Ooh...Minyak tanah yang bikin kusut Ooh… suara hati yang ngelangut Oooooooh…parasku yang seperti …paaaaruuut… Lelah Mencintaimu Indonesiakuuuu..

"Israel, Berhentilah Berlagak Menjadi Korban"

 Dalam bukunya "They Dare to Speak Out" yang diterbitkanpada
1985, mantan anggota Kongres, Paul Findley, mengungkapkan betapakuatnya
cengkeraman lobi Yahudi dan Israel di Amerika Serikat, terutamadalam
masalah Timur Tengah, sehingga orang Amerika atau Barat yangberani
mengkritik Israel dicap sebagai anti Yahudi dan pendukung Nazi.

Findley mengungkapkan, orang-orang kritis yang posisinya lemah
telahdiintimidasi dan disingkirkan, sementara yang lebih kuat
diasingkanuntuk kemudian dimiskinkan secara politik dan ekonomi,
dideskreditkanoleh media massa, bahkan dilenyapkan sama sekali.

Senator Joseph Raymond McCarthy dari Partai Republik adalah salahseorang
korbannya. Dia diasingkan dari ranah politik AS dandideskreditkan oleh
media massa sebagai komunis, bahkan penyebabkematiannya pun tidak jelas.

Kini, setelah agresi Israel ke Gaza, sebagian orang Amerika dan
Baratmulai mengeluarkan kritik tajam pada Israel, bahkan
beberapadiantaranya cenderung anti Yahudi.

Di Yunani, pada 29 Desember, Harian Avriani mengaitkan Perang Gazadengan
lobi Yahudi, "Setelah Yahudi Amerika menguasai kembali
(sistem)kemakmuran dunia dan menenggelamkan dunia dalam satu krisis
keuanganyang tak pernah terjadi sebelumnya, mereka mulai berlatih
untuk(persiapan) Perang Dunia Ketiga."

Sementara itu, di Italia, asosiasi dagang bernama Flacia-Uniti
menyeruwarga kota Roma untuk memboikot segala produk usaha buatan
komunitasYahudi.

"Kami tidak bisa terus diam terhadap apa yang sedang terjadi di
Gaza.Kami telah membuat daftar pengusaha (Roma) yang berhubungan dengan
TelAviv karena rakyat (Italia) tidak tahu siapa mereka," kata
GiancarloDesiderati, otak dibalik prakarsa boikot itu.

Di AS, suara kritis terhadap Israel menyalak, bukan hanya dariketurunan
Arab, tapi juga non Arab yang muak pada eksploitasi nasibburuk Israel di
masa pasca Perang Dunia Kedua, demi membenarkanserangan kejinya ke
Palestina.

Salah seorang warga AS yang mengkritik Israel adalah aktor,
sastrawan,sosiolog, dan pengarang buku terkenal "The Pursuit of
Loneliness,"Philip Slater.

Dalam Huffington Post edisi 6 Januari 2009 yang dipublikasikan
lagiMiddle East Times pada 19 Januari, Philip menyampaikan opini
berjudul,"A Message to Israel: Time to Stop Playing the Victim Role."

Berikut adalah terjemahan artikel Philip.

Di awal tulisannya, Philip menyatakan dia tak bisa memahami Israel
yangselama ini dibela bangsanya, berubah menjadi agresor dengan masih
sajamendramatisir nasibnya di masa lalu sebagai korban permusuhan Arab.

"Kalian tak perlu lagi pura-pura menjadi korban. 'Israel yang
malang'terdengar aneh manakala kalian justru menjadi kekuatan dominan di
TimurTengah," kata Philip.

Saat kalian menduduki beberapa tetanggamu, membom dan menaklukannya
dimedan perang, menguasai tanah mereka, dan mengusirnya dari
rumah-rumahmereka, maka saatnya untuk berhenti berpura-pura tertindas.

Ya benar, negara-negara Arab menolak keberadaanmu, mengancam
akanmembuang kalian ke laut, dan semua itu retorika palsu. Faktanya
adalahkalian kuat, mereka (Arab) tidak. Kalian punya senjata canggih,
merekatidak. Kalian bersenjata nuklir, mereka tidak. Jadi
berhentilahbersikap cengeng. Itu tak laku lagi.

Ya, saya tahu, kami rakyat Amerika mesti berbicara dan selalu
bergetarsaat mendengar nama teroris, "negara brandal" dan "kekaisaran
iblis"saat kami memiliki cukup nuklir untuk meledakkan dunia dan
berbelanjasenjata lebih besar dari negara manapun. Tetapi, hanya karena
kamihipokrit dan gelisah, tidak berarti kalian harus seperti kami.

Philip berkata, menyebut Hamas agresor sungguh tidak pantas karenaJalur
Gaza lebih dari sebuah kamp konsentrasi besar Israel dimana
wargaPalestina diserang semau Israel dan harus menderita kesulitan
makan,bahan bakar, energi, bahkan suplai obat-obatan.

"Mereka tidak bisa berkeliaran dan mesti membuat terowongan
untukmenyelundupkan kebutuhan hidup sehari-harinya. Mereka tak akan
kalianperhatikan jika tidak menembakkan roket-roketnya pada kalian."

Philip menulis, lobi Israel bereaksi sejadi-jadinya manakala
merekadituduh mengadopsi metodologi Nazi yang telah menyiksa mereka,
untukmenghukum sebuah bangsa dengan menyerang bagian kecil bangsa itu
dansecara konsisten dilakukannya di Gaza.

Israel, demikian Philip, telah melanggar hukum internasional,
sebuahhukum yang ironisnya pernah diterapkan untuk mengadili praktik
kejiyang dilakukan Nazi kepada bangsa Yahudi semasa Perang Dunia Kedua.

"Ayolah, pisahkan kami dari kemunafikan dengan mengatakan setiap
upayaIsrael adalah demi mencegah korban sipil. Saat kalian
menjatuhkanbom-bom di satu kota padat penduduk, kalian membom peradaban.
Bom takpernah bertanya apa KTPmu.

Bom adalah pembunuh rakyat sipil. Bom-bom dirancang untuk
menjatuhkansemangat sebuah bangsa dengan membantai keluarga-keluarga.
Bomdigunakan selama Perang Dunia Kedua oleh semua pihak dengan
tujuanmeruntuhkan semangat bangsa. Dan ini pula yang dilakukan di Gaza.

Ayolah Israel, cobalah tahan diri kalian untuk tak berkilah
denganargumen menyesatkan yang dipinjam dari Bush, bahwa para pemimpin
Hamasbersembunyi di tengah rakyatnya, meninggalkan rumah-rumah mereka.

Yang sesungguhnya terjadi adalah Israel ingin menggiring mereka
ketempat-tempat yang tidak ada penduduknya, padahal tak ada satu
punlahan kosong penduduk dan pemukiman di Gaza. Jadinya, para
pejuangHamas bolak balik di daerah padat penduduk itu."

Philip melanjutkan, Israel telah membom tiga sekolah PBB dan
membunuhlusinan anak-anak serta orang dewasa, meskipun faktanya PBB
memberikalian koordinat semua sekolahnya di Gaza agar sekolah-sekolah
itutidak menjadi sasaran pemboman karena PBB ingin mencegah
jatuhnyakorban sipil dengan tanda itu sehingga kalian tak mungkin
membomnya.Alih-alih Israel membom sekolah-sekolah itu.

"Tampaknya kalian merasa bisa membunuh siapapun, kapanpun dan
dimanapunkalian suka, hanya karena kalian mendapat restu dari Amerika
Serikat,"kata Phiilip.

Setiap hari serangan yang dilancarkan ke Pelestina, kalian
semakinterlihat melecehkan PBB, masyarakat internasional dan hidup
manusia.Persis prilaku negara berandal.

Kalian mungkin juga memberi perhatian pada fakta bahwa kebijakan
kunokalian yang sok jagoan --kebijakan yang kalian
lakukanberdekade-dekade-- tidak berhasil!

Bangsa Palestina itu manusia. Mereka bukan anjing yang bisa
kalianperintah. Makin buruk kalian perlakukan mereka, makin ingin
merekamelawanmu. Itulah arti menjadi manusia. Semakin keras kalian
tindas,semakin kuat mereka melawan.

Kami (AS) pernah membom Vietnam dengan jumlah lebih banyak dari
seluruhbom yang dijatuhkan selama Perang Dunia Kedua. Itu belum termasuk
bomnapalm (bom curah), herbisida (bom biologi) dan semua jenis
ranjaudarat canggih. Tapi, apakah mereka (bangsa Vietnam) lantas
bersujud danmencium lutut penjajahnya? Tidak, mereka pantang tunduk.

Kalian mesti membunuh mereka semua. Dan saat kalian melakukan itu,kalian
akhirnya tidak akan lagi didukung siapapun, bahkan AmerikaSerikat.

Ingatlah, bahwa dukungan Amerika kepada kalian seluruhnya didasarkanpada
gagasan bahwa tidak ada satu pun politisi (AS) memenangkan pemilutanpa
dukungan suara Yahudi.

Tapi tak semua Yahudi Amerika berpikir Israel mengemban misi agung
dariTuhan. Banyak warga Yahudi Amerika lebih mempercayai hukum dan
keadilaninternasional.

Saya bisa mengerti Israel jengkel mendapat pelajaran seperti ini
dariseorang Amerika. Tapi bukankah ini yang telah kami orang
Amerikalakukan? Mendatangi negara orang lain, membantai 95% penduduknya
untukkemudian mengambilalihnya?

Ketika yang dirampas tanahnya serentak melawan, agresor (Israel ditanah
Arab) panik dan segera menyebut agresinya ke tanah orang lain itusah
meskipun dengan melakukan pembantaian genosidal.

"Mohon maaf saya mesti katakan padamu wahai Israel, kalian
ketinggalanzaman. Alasan genosida tidak lagi laku. Saya tahu ini tak
adil, kalianmemiliki hak untuk tersinggung dengan semua ini, namun dunia
itusemakin kecil, gaya koboy itu sudah kuno, dan para algojo tidak
lagimenjadi pahlawan," kata Philip menutup tulisannya.

Thu, 22 Jan 2009 03:54:27 -0800 "Bukan Pemimpin Arab, Tapi Pemimpin Sosialis"

Kota Bire, sebuah daerah di Lebanon Utara, terdapat sebuah nama jalan
yang bernama "Hugo Chaves Frias", nama presiden Venezuela yang baru
saja menendang keluar duta besar Israel sebagai bentuk solidaritasnya
terhadap penduduk Gaza. Bahkan, penduduk kota itu memasang poster,
menulis di tembok-tembok, bahkan banyak yang menamai anaknya baru
lahir dengan nama "Chavez", karena keberanian presiden sosialis ini
mengutuk Imperialisme AS dan Israel. Pada tahun 2006, sosok Chaves
sudah dielu-elukan Syeh Hassan Nasrallah, Pemimpin Hezboullah, sebagai
tipe pemimpin yang berani dan disegani dunia islam.


Bukan itu saja, gelombang demonstrasi di berbagai pelosok timur
tengah, setelah menunaikan Sholat Jum'at, membawa poster-poster Hugo
Chaves yang disandingkan dengan pemimpin Hezboullah, Hassan Nasrallah,
dan symbol-simbol Hamas. Deputi kementerian luar negeri Hamas sendiri
sudah mengirimkan surat kepada presiden Chaves atas komitmennya yang
tinggi kepada kemanusiaan, sesuatu yang tak dimiliki pemerintahan di
dunia Arab. Tindakan Chaves dan rakyat Venezuela, yang kemudian juga
dilakukan Mauritania, telah melambungkan politiknya sebagai "pahlawan
Palestina".

Politik Pemimpin Arab

Secara umum, pendirian politik pemimpin Arab sebenarnya cukup beragam,
tetapi mereka dipersatukan oleh keadaan bahwa mereka begitu loyal
kepada AS. Setelah kejatuhan Saddam Husein, boleh dikatakan tidak ada
lagi pemimpin Arab yang berani berseberangan dengan politik AS. Hanya
Iran dan pemimpinnya Ahmadinejad sebagai pengecualian terhadap
kesimpulan diatas.

AS punya kepentingan besar untung mengontrol timur tengah. Terutama
dalam mengontrol politik minyak Negara-negara Arab agar patuh pada
kebutuhan AS. Dalam sekejap, AS akan bereaksi terhadap kemunculan
rejim-rejim nasionalis yang mengganjal kepentingannya, seperti yang
ditunjukkan kepada Saddam Husein, dan kini kepada Ahmadinejad.

Menurut Gilbert Achcar, AS berada dibalik agresi AS ke Gaza. Hamas
merupakan sekutu potensial bagi Iran, selain Hisboullah di Lebanon.
Beberapa tahun terakhir, analisis pertahanan AS sudah menganggap bahwa
Iran merupakan ancaman terhadap dominasi AS di timur tengah. Sehingga,
segala macam cara ditempuh untuk mengisolasi Iran, dan sekaligus
memberi contoh kepada pemimpin-pemimpin Arab yang berani "membandel".
Kemenangan hamas sendiri bukan saja dimotivasi oleh sikap mereka yang
tegas menentang pendudukan Israel, tetapi tapi karena program Hamas
berupa pemerintahan yang jujur, efektif dan bersih, serta perbaikan
layanan sosial (Alan Nasser). Di bawah Fatah, gaza merupakan salah
satu teritori di Palestina yang menghambat neoliberalisme. Di Irak,
perlawanan terhadap agresi AS masih berlansung sepanjang hari, bahkan
pemerintahan boneka yang baru terbentuk tidak dapat mendapat
legitimasi dari rakyat Irak.

Diluar Iran dan faksi atau group-group bersenjata yang terlahir karena
intervensi imperialisme yang ganas, pada umumnya rejim-rejim yang
berkuasa didukung oleh Imperialisme AS. Seperti yang disebutkan Tariq
Ali, pertama kali AS mendukung rejim-rejim fundamentalis islam pada
masa perang dingin, tujuannya memperlebar front melawan blok sosialis
(Uni Sovyet). Monarki di Arab Saudi yang didirikan oleh kaum Wahabi
sebetulnya didukung oleh AS. Demikian pula dengan rejim Husni Mubarak
di Mesir, maupun rejim di Yordania, Syria, dan negeri-negeri arab
lainnya. Bahkan Mesir sangat dipersalahkan karena menutup
perbatasannya sepanjang 14 kilometer sehingga mempersulit bantuan
masyarakat internasional masuk ke Gaza.

Liga Arab sendiri tidak bisa menutupi perseteruan interen anggotanya
antara yang terbuka mendukung AS dengan yang bersikap moderat.
Beberapa kali pertemuan Liga Arab mengalami pembatalan karena
ketidakrukunan diantara mereka sendiri.

Keberanian Pemimpin Sosialis

Pemimpin Sosialis kini semakin menunjukkan pesonanya di mata dunia
Islam. Dalam aksi menentang serbuan Israel ke Lebanon selatan di Gaza
dan Ramallah, poster-poster Chaves bersanding dengan foto Arafat dan
Che Guevara. Dalam surat terbuka Dr Ahmed Yousef, mantan penasihat
politik Ismail Haniya, dijelaskan bagaimana penghargaan masyarakat
Gaza dan Hamas atas keberanian Chaves dan konsistensinya dalam
menantang imperialisme, termasuk Israel dan AS. Selain Chaves, Kuba
dan Bolivia juga mengikuti langkah radikal Venezuela terhadap Israel.
Kuba malah menuduh Israel telah melakukan genosida.

Ketika mengusir dubes Israel, Chaves mengungkapkan bahwa tindakan
Israel menggempur Gaza adalah pelanggaran berat terhadap hukum
internasional dan salah satu bentuk "terorisme Negara". Chaves menuduh
AS berada di belakang Israel, karena memang Israel merupakan sekutu
strategis AS di kawasan timur tengah. Setiap tahunnya pemerintah AS
memberi dana 4 milyar USD kepada Israel sebagai bantuan militer.
Selain itu, Chaves menuntut supaya PM Israel, Ehud Omert, diseret ke
mahkamah criminal internasional karena kejatahan kemanusiaan terhadap
warga Palestina.

Mohammed al-Lahham, seorang pejabat dari fatah, mengatakan Chaves
adalah symbol perjuangan untuk pembebasan, seperti Che Guevara. Ini
membedakannya dengan presiden lain dari dunia manapun. "saya ingin
memberikan Chaves paspor sehingga ia dapat menjadi warga Palestina.
Kemudian kami memilih dia menjadi presiden Palestina," Mahmud Zwahreh,
walikota Al-Masar, dekat kota Bethlehem.

Selain Chaves, Evo Morales juga menunjukkan sikap yang sama. Morales
malah menyerukan untuk melakukan perombakan terhadap PBB, karena
ketidakmampuan lembaga ini mengakhiri kebrutalan Israel.

Venezuela, Kuba, dan Bolivia sedang berada di garis depan perjuangan
anti-imperialisme. Solidaritas terhadap Palestina, bagi pemerintahan
sosialis, merupakan bagian dari strategi anti-imperialisme. Ketiga
Negara yang disebutkan diatas juga sedang mengupayakan integrasi
regional, dan penciptaan blok kerjasama baru berdasarkan kerjasama
yang setara dan solidaritas. Di forum-forum internasional, ketiga
Negara juga melancarkan kritikan keras terhadap dominasi AS dan system
kapitalisme-neoliberalnya.

Konsekuensi

Agresi brutal Israel ke wilayah Gaza sekarang ini, maupun agresi
militer AS ke Irak, telah memupuk sentimen anti-imperialisme di
wilayah ini. beberapa kelompok perlawanan merasa dipersatukan oleh
perlawanan terhadap invasi Amerika Serikat dan kolonialisme Zionis di
wilayah tersebut. Sikap diam dan kompromi sejumlah pemimpin Arab pada
saat agresi Israel ke Lebanon, kemudian serangan brutal Israel kepada
Hamas di Gaza, telah menanamkan kesadaran baru bahwa perjuangan
melawan AS dan zionisme perlu dipararelkan dengan perjuangan
menghadapi rejim lokal yang menjadi sekutu AS ( Arab Saudi, Mesir,
Yordania, dll).

Timur tengah telah menjadi objek utama dari doktrin "perang permanent"
Bush. Melalui perang terhadap terorisme, seperti juga diikuti oleh
retorika pejabat Israel, penggunaan kekerasan militer berjalan pararel
dengan kepentingan AS menjaga kepentingan bisnis dan korporasinya di
luar sana. Timur tengah yang kaya raya itu, terus –menerus bergolak
karena tangan-tangan imperialis yang hendak menundukkannya.

Kenyataan diatas telah melahirkan beberapa hal; pertama, bertemunya
sentiment anti amerika, ataupun gagasan anti kolonialisme Zionis,
dengan gagasan yang lebih progressif yaitu anti-imperialism. Beberapa
kelompok perlawanan telah menggabungkan gagasan ini menjadi satu misi.
Kedua, kejatuhan "pamor" rejim-rejim lokal di Arab, maupun
organisasi-organisasi yang mengklaim kepentingan rakyat di Jasirah
Arab, telah memupuk kesadaran rakyat di timur tengah untuk menerima
ide-ide politik dari dunia di luar Arab. Sebagai missal, hampir
seluruh dunia Arab kini memimpikan pemerintahan yang berani seperti
Chaves, setelah menemukan pemerintah nasionalnya "takluk" kepada
Israel. Ketiga, membanjirnya solidaritas yang dilakukan aktifis
perdamaian, aktifis anti perang, maupun gerakan sosialis di berbagai
belahan dunia, telah membuka mata masyarakat timur tengah bahwa tidak
semua orang di barat (non-islam) membenci mereka. Perlakuan
diskriminatif karena lemparan tuduhan sebagai teroris telah menjadikan
masyarakat muslim mendapat perlakuan rasial.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa kepentingan para mullah dan tuan tanah
reaksioner yang selalu mendomplengi perjuangan anti amerika, ataupun
perjuangan anti-imperialisme merupakan tantangan perjuangan rakyat di
kawasan ini. Kekosongan partai revolusioner tentu menjadi kendala
lahirnya sebuah perjuangan anti-imperialisme yang kuat dan konsisten
di kawasan ini.

Selasa, 24 Maret 2009

Golput dan Perubahan

Pada suatu hari, ketika sedang menggunakan jasa angkutan Taxi, saya sempat menggunakan kesempatan mengobrol dengan sopirnya mengenai pemilu 2009. Pada dasarnya, si sopir Taksi tidak bisa menutupi kekecewaannya terhadap pemerintahan SBY, tetapi ia akan tetap memilih dalam pilpres 2009 jika SBY maju dengan menggunakan cawapres baru, bukan JK lagi. Ia tidak akan memilih dalam pemilu legislatif, karena ia sudah terlanjur sangat tidak percaya dengan partai politik, dan akan memilih golput jika SBY tidak ganti capres.


Pendapat diatas, meskipun kelihatan rumit, tetapi menunjukkan gejala negatif dalam kehidupan politik rakyat, yaitu apatisme. Tingginya keinginan masyarakat melakukan aksi golput justru berkolerasi dengan semakin kuatnya apatisme politik. Meski banyak yang membela golput sebagai bentuk protes sosial, pembangkangan sosial, bentuk gerakan politis, dan sebagainya, tetapi tidak sedikit pula fakta yang menunjukkan suburnya apatisme politik.

Memahami Golput

Terkadang, para aktifis dan intelektual kritis menempatkan golput sebagai protes politik yang bernilai sama pada semua situasi politik, serta mengabaikan perkembangan-perkembangan politik mutakhir. Sebagai misal, tidak sedikit aktifis maupun intelektual kritis yang mempersamakan efektifitas golput pada era kediktatoran orde baru dengan periode pasang demokrasi liberal sekarang. Akibatnya, mereka kemudian terjebak pada “utopisme”, bahwa golput akan meradikalisasi demokrasi sehingga membuka jalan pada kejatuhan rejim dan model politik yang lama.

Golput boleh saja diletakkan sebagai tindakan politik yang radikal dan revolusioner. Ia merupakan bagian dari praktek demokrasi secara radikal, terutama dalam meradikalisasi model-model demokrasi ala Shumpeterian yang hanya selalu bertumpu pada kompetisi para elit. Mengikuti Erich Fromm, golput merupakan koreksi terhadap demokrasi agar menciptakan kondisi ekonomi, politik, dan kebudayaan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. (Erich Fromm, 1994).

Golput merupakan tindakan politik yang harus diletakkan pada konteks dan situasi politik yang tepat. Pada jaman kediktatoran, dimana proses pemilu sepenuhnya dikontrol secara “militeristik” oleh rejim orde baru, golput punya arti politik sangat penting sebagai proses pendeligitimasi rejim otoritarian, selain untuk memupuk kesadaran anti kediktatoran rakyat. Tentu ia menjadi senjata yang ampuh menghadapi kediktatoran, sangat cocok pada situasi ketidakadaan space democracy (ruang demokrasi), dan sebagainya.

Demobilisasi Demokrasi

Angka golput yang semakin tinggi, kelihatan berjalan pararel dengan ketidakpuasan dan kekecewaan rakyat terhadap sistim demokrasi politik liberal. Paska kejatuhan rejim orde baru, dimana sistim politik demokrasi lansung bertransformasi menjadi liberal, persoalan kesejahteraan yang merupakan permasalahan mendasar rakyat tidak juga terselesaikan. Bahkan, dalam 10 tahun terakhir paska reformasi, diketahui bahwa tingkat kemiskinan terus merangkak naik, pengangguran terus bertambah, dan kehidupan ekonomi kian morat-marit.

Akibatnya, rakyat semakin apolitis. Rakyat makin tidak percaya, bahwa proses-proses politik yang berlansung, meskipun dengan cara-cara demokratis—tentu saja dengan ukuran borjuis—tidak akan menyelesaikan permasalahan mendasar mereka; kesejahteraan. Si sopir Taksi, misalnya, mengatakan kepadaku; “lebih baik narik bang, daripada ikut pemilu. Sekarang mah, kita harus cari penghidupan sendiri”. Akhirnya, karena rakyat semakin nihil dalam bertindak dalam politik real, maka arena politik semakin didominasi oleh para elit yang sekedar bagi-bagi atau rebutan kekuasaan.

Pada titik ini, makna golput justru menyuburkan apatisme politik, bukan pendidikan politik. Di negeri-negeri liberal sekalipun, jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dari 45% hingga 60%. Di Venezuela, tingkat kepuasan politik rakyat sebelum kedatangan Chaves malah 35%, sedangkan rata-rata Amerika latin hanya mencapai 37%.

Keengganan pemilih untuk mendatangi kotak pemilihan juga tidak menjadi hambatan bagi kesinambungan pemerintahan dan sistim politik demokrasi di negeri-negeri liberal. Meskipun partisipasi politik rendah, itu tidak menjadi masalah bagi penganut Schumpeterian. Karena bagi mereka, setidaknya demokrasi diukur dari proses kompetitif para elit, hak pilih bebas, dan regularitas. Toh bagi mereka, dan sejalan dengan penganut kebebasan individual, kebebasan untuk memilih dan tidak memilih merupakan hak pribadi yang tak dapat diganggu gugat.

Jadi, golput hanya akan mengijinkan kontinuitas, bukan perubahan. Golput yang sangat tinggi pun tidak akan menggiring pada krisis politik bagi faksi-faksi elit yang sudah lama berkuasa. Sebaliknya, kebutuhan untuk melakukan perubahan mensyaratkan aktifasi perjuangan politik yang lebih opensif, pembangunan poros politik alternatif, dan tentu saja, partisipasi aktif rakyat miskin.

Minggu, 22 Maret 2009

Awasi Pemilu

Seruan Sukarelawan Perjuangan Rakyat Untuk Pembebasan Tanah Air (SPARTAN)

Pemilu Curang, Rakyat Sengsara!

Awasi Pemilu, Menangkan Caleg Aktivis Kerakyatan!

Pada tanggal 9 april nanti, seluruh rakyat Indonesia yang sudah punya hak pilih akan memberikan suaranya dalam pemilihan umum (Pemilu). Dengan suara yang diberikan, tentu rakyat menghendaki bukan saja pergantian kepemimpinan nasional, tetapi juga Pergantian Kebijakan; Harga Sembako Diturunkan, Lapangan Kerja Diperluas, Pendidikan dan Kesehatan Digratiskan dan Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Di dalam pemilu nanti, ada beberapa kekuatan dan kepentingan politik yang perlu diwaspadai melakukan kecurangan pada saat pemilihan; Pertama, Kekuatan politik/Parpol yang menghendaki agar keadaan seperti sekarang ini, mereka tidak menghendaki ada perubahan kebijakan, perubahan kepemimpinan, dan lain-lain. Kedua, Kekuatan politik/Parpol yang sekedar menjadikan pemilu sebagai tiket untuk mendapatkan kekuasaan. Ketika berkuasa, akan sibuk memperkaya diri sendiri dan mencari jalan untuk mengkorupsi uang rakyat (APBN).

Dalam memuluskan tujuannya, tidak sedikit partai-partai dan caleg busuk menggunakan segala macam cara agar mereka memenangkan pemilihan, termasuk melakukan kecuranganan. Bentuk kecurangan yang seringkali dilakukan dalam proses pemilihan:

  1. Manipulasi suara dapat dilakukan dari tingkat TPS, PPS, PPK, KPUD, dan KPU. Di tingkat TPS, manipulasi dilakukan dengan menambahkan jumlah daftar pemilih dengan pemilih fiktif (palsu), yang kemudian ditambahkan kepada suara partai tertentu. Sering pula dilakukan jual-beli suara di tingkat PPS, PPK, hingga ke KPU, terutama yang dilakukan oleh partai-partai besar terhadap suara partai-partai kecil (gurem).
  2. Kecurangan dilakukan dengan menggunakan pemilih dibawah umur, atau memobilisasi pemilih lain dari tempat lain.
  3. Melibatkan aparat birokrasi dan aparatus negara, seperti Guberrnur, Walikota/Bupati, Camat, Lurah/Kepala Desa, Polisi, PNS, Tentara, untuk memaksa, mengintimidasi rakyat guna memilih caleg atau partai tertentu. Cara-cara ini dipergunakan semasa rejim orde baru, namun sampai sekarang masih sering dipergunakan.
  4. Melakukan serangan fajar, yaitu dengan membagi-bagi uang atau sembako saat menjelang pemilihan. Ini masuk kategori politik uang (money politic) dan sekaligus kecurangan.

Jika terjadi kecurangan, maka rakyatlah yang dirugikan. Kenapa? Karena jika yang memenangkan pemilu adalah caleg atau partai yang menggunakan kecurangan atau manipulasi, maka sudah pasti kehidupan rakyat dalam lima tahun mendatang akan sengsara, karena sudah pasti mereka akan menggunakan kekuasaan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan segelintir penyandang dananya.

Karena rakyat berkepentingan agar pemilu berjalan bersih, demokratis, jujur, dan adil, maka rakyat harus berpartisipasi dalam mengontrol dan pengawasi proses pemilihan dengan cara;

  1. Sebelum Pemilihan
  1. Membentuk sukarelawan pemantau pemilu di masing-masing TPS
  1. Mengecek Daftar Pemilih Tetap (DPT) di TPS, pastikan bahwa daftar pemilih yang dipergunakan panitia pemilihan sudah benar;
  2. Awasi kemungkinan adanya Serangan Fajar; bagi-bagi sembako, bagi-bagi-bagi duit, dll. jika hal ini terjadi, segeral laporkan kepada Panwaslu, Polisi, Lembaga Pemantau, atau Posko-Posko Rakyat pengawasan pemilu;
  3. Jika terjadi Pemaksaan, Intimidasi, atau Mobilisasi orang ke tempat pemilihan dibawah tekanan (ancaman), maka segera dilaporkan. Demikian pula, jika ada aparatus negara seperti PNS, TNI/Polri, Kades/Lurah, Camat, Bupati/Walikota, Gubernur, yang terlibat dalam memaksa, mengintimidasi, ataupun mengarahkan massa guna memilih calon atau partai tertentu, agar segera dilaporkan.
  1. Pemilihan dan Proses penghitungan Suara;
  1. Pastikan kotak suara kosong, dan harus diperlihatkan panitia pemilihan kepada masyarakat; selain itu, bilik suara juga harus bersih dan tidak boleh dimasuki orang selain pemilih yang sudah dipanggil untuk mempergunakan hak suaranya;
  2. Pastikan pemilih yang sudah menggunakan hak pilihnya ditandai dengan zat pewarna, dan tidak boleh menggunakan hak pilihnya dua kali;
  3. Pada saat penghitungan, rakyat harus benar-benar memperhatikan mana suara sah dan tidak sah, jika terjadi kesalahan yang dilakukan panitia penghitungan suara di TPS, segera lakukan protes;
  4. Setiap kertas suara yang dihitung harus diperlihatkan kepada saksi, pemantau, dan kepada rakyat yang ada disitu.
  5. Rakyat harus membuat catatan perhitungan sendiri terhadap hasil akhir perhitungan di TPS anda, jika nanti anda menemukan hasil berbeda dengan yang diserahkan kepada PPS atau PPK, segera laporkan kepada posko kami, pemantau pemilu, atau panwaslu;

  1. Paska pemilihan;
  1. Sosialisikan hasil perhitungan sementara di TPS anda kepada warga sekitar; agar jika ada perbedaan dengan pengumuman PPS atau PPK, maka dapat dilakukan protes;
  1. Pastikan bahwa kotak suara dalam keadaan aman (terkunci/tergembok) pada saat diserahkan kepada PPS, kemudian PPK. Jika memungkinkan, perwakilan sukarelawan rakyat perlu mengantar dan mengawasi proses ini di PPS dan PPK.
  2. Laporan setiap adanya penggelembungan suara, jual beli suara, ataupun bentuk-bentuk kecurangan lainnya kepada panwaslu dan pemantau pemilu.

Rakyat Menghendaki pemilu Demokratis, bukan Pemilu Curang! Awasi Pemilu, demi terwujudnya Kehendak Politik Rakyat!

    Ayo Berbondong-Bondong ke TPS!

    Awasi Proses Perhitungan dari Awal sampai Akhir!

Selasa, 17 Maret 2009

Untuk Negeri ku

berikan aku hatimu negeriku

akan ku jadikannya sebongkah emas 24 karat

untuk membahagiakan anak-anakmu

yang telah lama tidak mengecap nikmatnya susu

yang bertelanjang kaki dan tidak bertopi

berlarian di bawah hujan yang terasa perih

di kulit yang tampak keriput dan hitam oleh penderitaan

mungkin juga telah sebulan

atau setahun tidak mengecap kenikmatan

beri aku hartamu, bumiku

agar ku bisa beli rasa untuk bocah-bocahmu

biar tidak turut mereka dalam kekacauan ini

agar punya hati, untuk bekal tersenyum

hingga bila di tanya, serempaklah jawab mereka

‘aku bangga negeriku, yang telah memberiku alas

hingga aku tidak telanjang kaki

hingga aku bisa mengecap hidup surgawi.

aku ingin mati di sini !’

negeriku

berteriaklah yang lantang tentang kebenaran

untuk putra-putramu yang berjajar rapi di pinggir jalan

beri mereka kesempatan untuk berkata jujur

bahwa hari ini adalah sahabat mereka

yang selalu menemani dalam suka duka

juga selalu memberi mereka bahagiaa

bumiku

tetaplah kau dalam cahaya

hingga ku akan selalu bercerita pada anak cucuku

inilah surgamu !

Ciptakan Pemempin yang berkualitas

Menciptakan Pemimpin Berkualitas

Pada awal Juli 2008, BPS mengumumkan angka kemiskinan periode Maret 2008 mencapai 34,96 juta atau sekitar 15,42% dari total penduduk Indonesia. Sementara itu, pada 15 Januari 2009, BPS mengumumkan pula angka pengangguran periode Agustus 2008 mencapai 9,39 juta orang atau sekitar 8,39% dari angkatan kerja.

Selain angka kemiskinan yang dirilis BPS, dapat pula ditemukan angka lain versi Bank Dunia atau dikenal garis kemiskinan Bank Dunia. Dengan menggunakan ukuran pendapatan USD 2 per kapita tiap harinya, yang dihitung berdasarkan PPP (purchasing power parity), angka kemiskinan pada November 2007 mencapai 49% dari total penduduk Indonesia.

Karena itu, meski tetap menggunakan data BPS, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak penduduk Indonesia yang hampir miskin atau berada di atas garis kemiskinan BPS, di mana sewaktu-waktu dapat menjadi miskin bila terjadi gejolak ekonomi, seperti kenaikan harga barang-barang atau penurunan pendapatan nominal.

Indikator lain yang menunjukkan penderitaan rakyat adalah buruknya pelayanan kesehatan di negeri ini. Kondisi kesehatan yang paling memprihatinkan adalah tingkat kematian ibu pada saat persalinan yang mencapai 307 kematian dari setiap 100.000 kelahiran hidup. Sementara itu, ditemukan bahwa 70% ibu hamil di Indonesia menderita penyakit Anemia (kekurangan sel darah merah). Tak heran bila 13 juta dari total 24 juta anak Indonesia di bawah umur 5 tahun menderita kekurangan gizi kronis. Ini mengakibatkan 33% dari anak-anak yang berada pada usia sekolah, yaitu usia 6 sampai 12 tahun menderita penyakit anemia. (Laksamana Sukardi.2008)

Di Mana Para Pemimpin?
Fenomena kemiskinan, pengangguran, buruknya pelayanan kesehatan yang menghantui negeri ini hanyalah secuil masalah dari ribuan masalah. Parahnya, yang paling terkena dampak adalah rakyat kecil, yang secara ekonomi berada di kelas bawah. Berkali-kali pergantian pemerintahan, tapi nasib rakyat kecil masih tetap memprihatinkan. Di sisi lain, terdapat kelompok masyarakat yang makin kaya. Fenomena ini menunjukkan parahnya kesenjangan pendapatan di negeri ini. Para pejabat, tergolong dalam kelompok yang menikmati kekayaan ini.

Pejabat (pemimpin) yang diberi amanah untuk menyelesaikan masalah krusial bangsa ini tampaknya hanya menggunakan posisinya untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Rakyat hanya diperhatikan pada saat musim pemilihan tiba. Bila masa pemilihan umum tiba, pemimpin jenis ini berubah sangat drastis dengan menampakkan perhatiannya pada rakyat. Tentunya bertujuan mendapatkan simpati agar terpilih kembali menempati kursi kekuasaan. Namun setelah terpilih, rakyat kembali diabaikan dan menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dan kelompoknya.

Padahal, rakyat telah begitu banyak mengalami penderitaan. Ketika rakyat disiksa dengan kelangkaan elpiji bersubsidi, kenaikan harga sembako, para pemimpin malah saling menyalahkan. Biaya pendidikan, kesehatan dari waktu ke waktu makin mahal. Ketika banjir tiba, yang tiap tahun terjadi, penguasa malah menyalahkan alam dan masyarakat. Lalu, di mana janji-janji yang dikumandangkan saat-saat kampanye dulu?

Namun patut disyukuri, sebagian rakyat tahu mana pemimpin yang benar-benar serius menyelesaikan permasalahan mereka, dan mana yang tidak. Sementara sebagian yang lain, memang kerap menjadi garapan empuk para politisi-politisi busuk yang hanya berniat mencari kekuasaan. Memang tak salah bila mengartikan politik identik dengan kekuasaan karena berpolitik merupakan cara memperoleh pengaruh atau kekuasaan. Tapi, di balik pengaruh tersebut terdapat tanggung jawab untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini. Berpolitik, menurut Marwah Daud Ibrahim, adalah seni mengelola pemerintahan. Karena itu, berpolitik ditujukan untuk mengatur pemerintahan agar dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam berbangsa dan bernegara, termasuk mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran, dan masalah bangsa lainnya.

Seorang pemimpin tidak akan menelantarkan rakyatnya. Bila anda pernah membaca buku Michael H Hart berjudul “100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa,” ditemukan bahwa 6 besar orang paling berpengaruh berasal dari kaum agamawan, kecuali Newton. Salah satu peran yang dimainkan orang berpengaruh ini adalah menjadi pemimpin. Muhammad misalnya, dia merupakan sosok pemimpin negara. Bukan hanya itu, beliau juga pemimpin dalam keluarga dan pemimpin pertempuran. Satu ciri khas dari para pemimpin yang berhasil khususnya dari para nabi adalah mereka pernah menjadi pengembala. Tentu ada pelajaran berharga dari keterkaitan antara peran pengembala dengan peran kepemimpinan. Sang pengembala tidak akan pernah membiarkan hewan gembalaannya kelaparan. Dia akan berusaha keras agar tersedia makanan buat gembalaannya, serta terjaga dari pemangsa. Pelajaran ini sungguh relevan bagi seorang pemimpin di mana dia akan berusaha keras agar yang dipimpinnya dapat hidup nyaman, terhindar dari bahaya, dan kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi.

Namun bukan berarti sebelum menjadi pemimpin harus latihan dulu jadi pengembala. Yang terpenting adalah sang pemimpin tahu arti keberadaannya di tengah orang-orang yang dipimpinnya. Bilamana sang pemimpin mengabaikan hak-hak yang dipimpinnya, kondisi ini akan membawa kerusakan. Intinya, sang pemimpin, dalam batasan tertentu, bertanggung jawab penuh terhadap yang dipimpinnya.

Kita butuh orang-orang yang benar-benar mau berbakti bagi negeri ini. Kita mendamba pemimpin yang mendahulukan kepentingan rakyat dibanding kepentingan golongannya. Kita butuh pemimpin yang benar-benar peduli pada rakyat kecil, atau kelompok masyarakat yang sangat rentan terhadap kezaliman dan gejolak ekonomi.

Namun rakyat tidak boleh hanya menunggu datangnya Ratu Adil. Rakyatlah yang memilih pemimpin, sehingga tidak boleh salah pilih. Karena itu, nasib kita sebetulnya terletak pada tangan kita masing-masing, bukan sepenuhnya di tangan seorang pemimpin.

Tantangan Makin Berat
Kemerdekaan Indonesia pada 1945 memang patut disyukuri. Namun belumlah sempurna kemerdekaan tersebut bila rakyat masih diliputi dengan penderitaan, terutama di bidang ekonomi. Lagi pula, kita semua sepakat bahwa penjajahan asing dalam bentuk neokolonialisme masih terus berlangsung sampai saat ini. Bangsa asing belum sepenuhnya rela melepaskan Indonesia dari intervensi mereka, meski bukan dalam bentuk penjajahan fisik. Kekuatan kapital internasional telah menjadi senjata utama dalam menjajah negara berkembang, termasuk Indonesia.

Ironisnya, pemimpin negeri ini tidak menyadari kalau Indonesia sedang dijajah. Mereka sangat mudah tunduk pada intervensi asing. Banyak BUMN yang digadaikan ke asing, sementara sumber daya alam yang melimpah direlakan untuk dieksploitasi oleh MNC yang beroperasi di Indonesia. Sumber daya alam seperti minyak, batu bara, emas, timah, dan lainnya digadaikan ke asing dengan alasan agar pemerintah mendapat bagian dari eksploitasi tersebut. Kedaulatan kita pun sudah digadaikan dengan intervensi asing dalam pembuatan Undang-Undang Minyak dan Gas, UU Bank Indonesia, dan sejumlah UU lain yang berkaitan dengan pengelolaan ekonomi di Indonesia.

Boleh dibilang, aktivitas ekonomi asing di negeri ini tak luput dari peran pemerintah yang memang mendukung keberadaan mereka. Pengambil kebijakan terlalu terbuai dengan paham neoliberalisme, di mana kebijakan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi menjadi senjata pemerintah yang dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun realitasnya, meski pertumbuhan ekonomi tinggi, dampaknya positifnya tidak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, khususnya golongan menengah ke bawah. Adapun manfaat pertumbuhan ini lebih banyak dinikmati oleh kelompok kelas menengah ke atas, serta pihak asing yang melakukan aktivitas produksi di tanah air. Karena itu, sebetulnya dapat dikatakan bahwa penderitaan rakyat, berupa kemiskinan, pengangguran, buruknya pelayanan kesehatan, tidak terlepas dari paham kebijakan yang diterapkan pemerintah yang notabene banyak diintervensi oleh asing.

Pemimpin tidak berani mengatakan “tidak” terhadap intervensi asing. Pemerintah tunduk pada kebijakan-kebijakan (usulan kebijakan) asing yang ditelan mentah-mentah dan diterapkan di tanah air. Karakter pemimpin seperti inilah yang oleh Amien Rais disebut pemimpin bermental inlander. Pemimpin yang tidak percaya terhadap kemampuan diri dan bangsanya. Untuk mengatasi masalah ini, memang tidaklah mudah. Semangat kemandirian dan rasa percaya diri yang diajarkan oleh Bung Karno, Bung Hatta, H Agus Salim, Syahrir, dan lain-lain kini terbang entah ke mana. (Amien Rais.2008). Intinya, kita butuh pemimpin yang bukan hanya cerdas, tapi berani melawan segala jenis penindasan terhadap martabat bangsa, sebagai bentuk pembelaan terhadap rakyat.

Kualitas itu Harus Dibentuk Sejak Dini
Sebagai anak bangsa, tentunya ikut pula merasakan penderitaan yang dialami oleh saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang belum sempat menikmati kehidupan dengan wajar. Berharap pada pemimpin saat ini untuk mengubah paradigma kebijakan sangatlah kecil peluangnya. Kita butuh pemimpin-pemimpin yang punya komitmen kerakyatan, keberanian dan memang sudah terbukti dari track record-nya. Namun pemimpin jenis ini tidak dilahirkan, melainkan diciptakan. Untuk menciptakan pemimpin tersebut, haruslah dilatih sejak dini. Karena itu, generasi muda sebetulnya berperan besar untuk menjadi pemimpin harapan di masa depan. Namun sekali lagi, generasi muda harus mempersiapkan diri mulai sekarang.

Sebagai generasi muda, termasuk di dalamnya penulis artikel ini, tergerak untuk menjadi agen perubahan. Namun konsekuensi dari peran tersebut adalah menyiapkan diri, baik secara mental, intelektual, moral, keterampilan, dan bekal-bekal lainnya untuk menjadi pemimpin harapan bangsa. Pelatihan ini dapat didapatkan dari keterlibatan di organisasi-organisasi baik di kampus maupun di masyarakat. Generasi muda tidak boleh memandang sebelah mata keberadaan organisasi karena hampir semua pemimpin pembawa perubahan di dunia ini merupakan orang-orang yang sejak mudahnya melatih diri di organisasi. Dari organisasilah, generasi mudah dapat berlatih menjadi pemimpin yang cerdas dan berani yang dapat menjadi bekal di saat menjadi pemimpin bangsa ini. Jadi, tunggu apa lagi wahai generasi muda Indonesia, mari persembahkan jiwa dan raga kita pada tanah air ini.

motivasi menulis "Menulis Penghibur batin"

Menulis hiburan batin_ku

Menulis. Banyak orang menganggap, kegiatan ini sulit dilakukan. Pun ada anggapan, penulis yang hebat adalah penulis yang memang sudah punya bakat. Tentu saja, anggapan ini keliru. Kegiatan menulis dapat dilakukan oleh setiap orang, dan punya peluang yang sama untuk menjadi penulis hebat. Letak perbedaannya adalah cara mencapai tujuan tersebut, sehingga ada yang sudah sampai, tapi ada pula yang malah kandas di tengah jalan dan menyerah.

Melakukan pekerjaan yang tak bermanfaat bagi diri sendiri, meski itu bermanfaat bagi orang lain, saya pastikan orang yang melakoni pekerjaan ini akan cepat menyerah. Menulis adalah pekerjaan yang tak hanya bermanfaat bagi orang lain yang membaca tulisan, tapi juga bagi sang penulis. Bahkan, tanpa memublikasikan tulisan, pekerjaan ini tetap bermanfaat bagi pribadi penulis. Setidaknya bagi penulis pemula.

Dr. Pennebaker telah melakukan penelitian tentang manfaat menulis bagi sang penulis. Ia menyimpulkan bahwa kegiatan menulis dapat menjernihkan pikiran, mengatasi trauma, membantu mendapatkan dan mengingat informasi baru, membantu memecahkan masalah, dan membantu ketika kita terpaksa harus menulis. Apa yang disimpulkan Pennebaker hanya dapat dialami oleh orang-orang yang menekuni dunia kepenulisan.

Perjalanan menghasilkan karya tulis yang pantas dipublikasikan di media, di mana si penulis mendapat imbalan dari jerih payahnya adalah impian para penulis. Belum lagi bila karya tersebut diapresiasi oleh khalayak, misalnya dalam penulisan buku. Namun tulisan ini hanya membahas suatu proses yang kerap kali harus dilalui oleh para penulis untuk menjadi penulis hebat. Bahkan, saat menjadi penulis hebat pun, menulis dengan cara ini masih tetap dilakoni. Cara tersebut adalah menulis untuk diri sendiri.

Mengapa menulis untuk diri sendiri sangat penting? Sebab, menurut Hernowo bahwa menulis dengan tujuan tersebut akan membawa sang penulis untuk mengenali dirinya. Menulis bagi diri sendiri adalah menulis untuk keperluan mengumpulkan bahan-bahan yang dapat ditulis dengan bagus dan akhirnya nanti dapat dikonsumsi oleh orang lain selain diri kita sendiri. Oleh karena itu, hasil karya awal, memang hanya untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain. Bila menganggap gagasan tersebut sudah layak dipublikasikan, maka saatnya lah sang penulis untuk menyumbangkan gagasan-gagasannya ke publik. Meski kita sampai pada tahap ini, menulis untuk diri sendiri kerap pula tetap dilakoni karena banyak hal-hal yang memang perlu ditulis untuk mengenal lebih jauh diri sang penulis, dan tentu saja bukan buat dikonsumsi orang lain.

Ikhtiar Menciptakan Dunia yang Damai

Ikhtiar Menciptakan Dunia yang Damai


Judul : Menciptakan Dunia Tanpa Kemiskinan.
Bagaimana Bisnis Sosial Mengubah Kehidupan Kita
Penulis : Muhammad Yunus
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Rani R Moediarta
Tebal : ix + 263 halaman
Waktu Terbit : 2008


Sebelumnya tak disangka kalau penulis buku ini, Muhammad Yunus, menerima Nobel Perdamaian pada 2006 lalu. Berkat jerih payahnya dan dibantu sejumlah orang, dia berhasil mengangkat jutaan rakyat Bangladesh dari jeratan kemiskinan. Padahal, penduduk Bangladesh merupakan sebagian dari yang termiskin di dunia. Kurang gizi merupakan masalah parah, terutama di kalangan anak-anak. Tak heran, bila Komite Nobel Swedia menetapkannya sebagai sosok yang paling pas karena masalah kemiskinan dianggap mengancam perdamaian.

Kemiskinan telah memunculkan kesenjangan parah, hingga akhirnya memunculkan ketegangan antara kelompok kaya dengan kelompok miskin, karena kelompok miskin tidak puas dengan nasib yang dialami, sementara kelompok kaya terus menerus memperkaya diri. Data menunjukkan, kesenjangan pendapatan di dunia sudah sangat mengkhawatirkan. Sekitar 94 persen pendapatan dunia jatuh ke tangan 40 persen populasi dunia, sementara 60 persen populasi dunia hidup hanya dari 6 persen pendapatan dunia. Separuh penduduk dunia hidup dengan dua dolar sehari. Lebih dari semiliar orang hidup dari pendapatan kurang dari satu dolar sehari. Dengan kondisi seperti ini, tentunya sangat sulit menciptakan perdamaian di muka bumi.

Yang menarik, Yunus menganggap upaya hampir seluruh negara-negara di dunia khususnya negara adikuasa, mengeluarkan miliaran dolar AS untuk berperan melawan terorisme ternyata tidak menciptakan perdamaian. Terorisme memang patut dihancurkan, tapi bukan dengan angkat senjata. Oleh karena itu, Yunus yakin bahwa mencurahkan sumber daya untuk meningkatkan kehidupan orang miskin adalah strategi yang lebih baik ketimbang memboroskan uang untuk senjata.

Oleh karena itu, dalam pidato pada penganugerahan hadiah nobel, Yunus meminta kita melihat perdamaian dalam perspektif berbeda. Menurutnya, perdamaian harus dipahami dengan cara manusiawi – dengan cara sosial, politik, dan ekonomi yang luas. Perdamaian terancam oleh tatanan ekonomi, sosial, dan politik yang tidak adil, hilangnya demokrasi, dan degradasi lingkungan, serta tiadanya hak asasi manusia.

Bisnis Sosial
Poin penting dalam buku berjudul Menciptakan Dunia Tanpa Kemiskinan ini adalah perlunya membangun bisnis sosial sebagai solusi mengatasi kemiskinan. Bisnis sosial dirancang untuk memenuhi kebutuhan sosial. Pelaku bisnis sosial tidak bertujuan untuk tujuan pribadi saja, tapi juga tujuan masyarakat secara luas. Dalam hal ini, bisnis yang berorientasi pada maksimisasi profit sangatlah berbeda dengan bisnis sosial.

Perusahaan akan menjual produk dengan harga yang akan membuatnya hidup sendiri. Pemilik perusahaan dapat mengambil uang yang mereka investasikah ke perusahaan setelah selang waktu tertentu, tapi keuntungan bagi investor tak dibayar dalam bentuk bagi hasil. Model bisnis semacam ini sudah ada di Bangladesh, di mana Yunus bekerja sama dengan perusahaan terkenal asal Prancis, Danone. Kerja sama ini membentuk perusahaan bernama Grameen Danone.

Bisnis sosial dianggap efektif untuk mengangkat masyarakat dari jurang kemiskinan, khususnya di negara sedang berkembang. Sebab, perusahaan ini biasanya menyediakan produk-produk yang dibutuhkan oleh penduduk dan dijual dengan harga terjangkau. Memang, syarat untuk melakukan bisnis sosial biasanya datang dari perusahaan besar, seperti yang dialami oleh Grameen Danone. Atas usaha keras Yunus, maka perusahaan tersebut telah memberikan bantuan yang sangat besar bagi kesejahteraan masyarakat di Bangladesh. Tentu saja, strategi ini bisa dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan yang memang memiliki kapasitas cukup.

Peran Negara, Pertumbuhan, dan Kemiskinan
Yang unik dari pemikiran Yunus dalam buku ini adalah pentingnya peran pemerintah. Pemerintah punya kuasa, dengan akses ke seluruh penjuru masyarakat, dan lewat pajak mereka dapat memobilisasi sumber daya ekonomi. Namun pemerintah memang sering gagal karena beberapa alasan, seperti sikap inefisien, lamban, cenderung korup, birokratis, dan mementingkan kelangsungan diri sendiri. Keadaan ini memberikan penekanan kuat bahwa pemerintah kadang kala tidak bisa diandalkan untuk memajukan perekonomiannya sendiri. Namun tentu saja perubahan harus ada di tubuh pemerintah agar fungsi pengaturan ekonomi dan kebijakan mengatasi permasalahan ekonomi bisa terlaksana optimal. Dengan kata lain, peran tersebut tidak boleh diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.

Salah satu peran penting pemerintah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan nantinya akan mengurangi kemiskinan, sebagaimana yang terdapat pada teori ekonomi. Namun, semata-mata mengandalkan pertumbuhan juga akan kandas karena pemerintah terlalu fokus pada cara bagaimana meningkatkan pertumbuhan, seperti membangun infrastruktur, sementara aspek lain seperti pemerataan dipinggirkan. Yang perlu diandalkan dan diperhatikan adalah pertumbuhan sekaligus pemerataan. Sebab, terdapat “pertumbuhan yang berpihak pada kaum miskin”, dan “pertumbuhan yang anti kaum miskin”. Pertumbuhan yang berpihak pada kaum miskin, berarti pertumbuhan yang betul-betul merata, di mana tidak terdapat kesenjangan ekonomi di dalam masyarakat. Sebaliknya, bila pertumbuhan yang anti kemiskinan terjadi, maka pendapatan nasional hanya dinikmati oleh segelintir orang kaya yang notabene sudah “berpunya”. Tentu saja, pemerintah punya peran untuk mengarahkan pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada kaum miskin.

Manusia Multidimensi
Teori ekonomi konvensional menegaskan bahwa manusia senantiasa berusaha memaksimalkan keuntungan. Oleh karena itu, setiap manusia diberi kebebasan untuk memaksimalkan keuntungan agar tercipta kemakmuran individu yang berpengaruh pada kemakmuran masyarakat, bahkan bangsa. Dalam hal ini, manusia senantiasa diidentikkan dengan makhluk yang hanya berorientasi pada keuntungan materi semata.

Kenyataan berkata lain. Manusia bukan entitas satu dimensi. Ia makhluk multidimensi. Emosi, keyakinan, prioritas, dan pola perilaku mereka paling pas bila digambarkan sebagai jutaan nuansa warna hasil dari paduan tiga warna dasar. Kehadiran pesona manusia multidimensi menandakan bahwa tak setiap bisnis mesti terikat melayani tujuan tunggal memaksimalkan keuntungan, melainkan dapat pula melayani tujuan lain, terutama tujuan sosial.

Jargon-jargon Kerakyatan SBY-JK

Jargon-jargon Kerakyatan SBY-JK


Judul : Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat, Antara Komitmen dan Jargon
Penulis : Dr Fahmy Radhi MBA
Penerbit : Republika
Tahun : Oktober 2008
Tebal : 201 + xxvii halaman



Ketika masa kampanye tiba, rakyat ketiban rezeki. Para parpol, caleg, capres, dan peserta pemilihan akan mendekati rakyat dengan segala janji-janji manis. Terkadang rakyat terbuai dengan janji-janji manis tersebut, tapi ada pula rakyat yang bersikap kritis. Kebanyakan rakyat miskin akan terbuai dengan janji-janji politisi, bila dijanjikan bahwa bila terpilih akan meningkatkan kesejahteraan para pemilihnya. Pada Pemilu 2004, SBY-JK terpilih sebagai presiden dan wakil presiden karena berhasil menggugah rakyat dengan janji-janji manisnya. Namun kebijakan-kebijakan yang diterapkan setelah terpilih tampaknya jauh dari komitmen kerakyatan yang dikumandangkan saat kampanye. Sebaliknya, sebagian besar kebijakan ekonomi pemerintah dilandasi atau bercorak pro pasar.

Buku yang ditulis oleh seorang ekonom dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM ini, merupakan rangkuman puluhan artikel yang dimuat di rubrik analisis SKH Kedaulatan Rakyat dengan tema ekonomi. Tulisan-tulisan dari Fahmy kebanyakan muncul sebagai respons terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang terkait dengan rakyat kecil dan mencoba menguak berbagai persoalan yang dihadapi rakyat kecil. Untuk mempermudah pembacaan, tulisan-tulisan ini dikelompokkan menjadi lima bagian, meliputi: Komitmen Pro Rakyat, Komitmen Pemihakan terhadap Petani dan Buruh, Komitmen Pemihakan pada Korban Bencana, Kebijakan BBM; Pengingkaran komitmen Pro Rakyat, dan Jargon-jargon Pro Rakyat. Buku ini diakhiri dengan percikan pemikiran tentang Sistem Ekonomi Kerakyatan.

Buku ini terdiri dari kumpulan tulisan yang dimuat mulai 2004 sampai 2008. Dengan kata lain, tulisan ini tampak sebagai respons kebijakan-kebijakan SBY-JK yang mulai awal jabatannya, sampai menjelang akhir jabatannya. Di awal pemerintahan SBY-JK, Fahmy langsung menyoroti pemilihan menteri bidang ekonomi. Menurut Fahmy, menteri-menteri yang dipilih presiden bukanlah orang yang punya track-record terhadap komitmen ekonomi kerakyatan. Masih teringat, saat pemilihan menteri, SBY memilih Sri Mulyani Indrawati sebagai Kepala Bappenas, Mari Elka Pangestu sebagai Menteri Perdagangan, Jusuf Anwar sebagai Menteri Keuangan. Ketiga orang ini merupakan penganut pasar bebas.

Yang dikritisi pula oleh Fahmy adalah saat reshuffle kabinet jilid 2 dilakukan, menteri bidang ekonomi seperti menteri keuangan dicopot dan diganti oleh Sri Mulyani sedangkan menteri koordinator perekonomian dipindahkan dan diganti oleh pakar ekonomi UGM, Boediono. Ini berarti pula, tidak ada perubahan mendasar dalam tubuh kabinet ekonomi. Masuknya Boediono hanya menambah keberadaan ekonom pro pasar di kabinet. Dengan kata lain, ekonom yang dipilih SBY menduduki kabinetnya ternyata berbanding terbalik dengan komitmen kerakyatan yang dicanangkan saat kampanye dulu.

Dalam buku ini, Fahmy memang mencurahkan pikirannya untuk mengkritisi pemilihan pembantu presiden, khususnya tim ekonomi yang kebanyakan berasal dari ekonom pro pasar. Ini cukup beralasan mengingat kondisi ekonomi suatu negara tergantung pada tim ekonominya, bukan pada presidennya. Siapa pun presiden yang merasa dirinya pro rakyat, namun bila tim ekonominya berasal dari orang-orang yang tidak pro rakyat (alias pro pasar), maka dipastikan kebijakan-kebijakannya juga cenderung tidak pro rakyat.

Jargon Kerakyatan dan Terpilihnya SBY-JK
Fahmy berkesimpulan bahwa terpilihnya SBY-JK menjadi pemimpin tertinggi di negeri ini erat kaitannya dengan komitmen kerakyatan yang dijanjikan saat kampanye. Di tengah kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan pendapatan yang masih menunjukkan wajah buram, kehadiran calon pemimpin yang menjanjikan kesejahteraan rakyat disambut dengan meriah oleh rakyat. Akibatnya, SBY-JK meraih dukungan sekitar 30% saat pemilu putaran pertama dan sekitar 60% pada putaran kedua. Pada pemilu 2004, jargon pro growth (pertumbuhan), pro job (lapangan pekerjaan), dan pro poor (kemiskinan) dikumandangkan untuk meraih suara sebanyak-banyaknya.

Sebagaimana telah ditulis di atas, komitmen kerakyatan tampak hancur setelah SBY mengisi pos kabinet ekonomi dengan orang-orang yang lebih pro pasar ketimbang pro rakyat. Bagi sejumlah ekonom, termasuk Fahmy, langkah ini mengindikasikan bahwa komitmen kerakyatan SBY-JK tampaknya hanya secedera jargon. Masalah kemiskinan dan pengangguran, serta ancaman terampasnya kedaulatan ekonomi tidak dapat diatasi selama pemerintah SBY-JK.

Kumpulan tulisan ini juga mencatat segala kebijakan SBY-JK yang cenderung menodai komitmen kerakyatannya. Kebijakan kenaikan harga BBM yang sampai tiga kali dalam pemerintahannya, dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap komitmen keberpihakan terhadap rakyat. Kenaikan harga BBM telah mengakibatkan naiknya angka kemiskinan dan pengangguran. Lebih menyakitkan lagi, sebab kebijakan menaikkan harga BBM ini ternyata didorong oleh asing, dalam hal ini konsultan-konsultan IMF yang bertugas di Indonesia.

Tak luput, Fahmy juga mengkritisi rendahnya pemihakan pemerintah terhadap buruh. Kasus yang disoroti adalah PT Dirgantara. Selain itu, Fahmy juga menyoroti perhatian pemerintah pada korban bencana alam. Di bagian akhir, Fahmy memaparkan lebih detil menampilkan tulisan-tulisan yang bercerita banyak tentang jargon-jargon pro rakyat. Salah satu tulisan mengkritisi tentang pencapaian target pemerintah yang dicanangkan secara kuantitatif pada saat kampanye, di mana sampai menjelang akhir tahun ketiga (2007), target tersebut jauh dari tercapai. SBY mencanangkan pencapaian pada 2009 meliputi pertumbuhan ekonomi mencapai 7,6%, pengangguran menjadi 5,1%, angka kemiskinan menjadi 8,2%. Hingga akhir 2007, angka pengangguran masih sekitar 9,75%, angka kemiskinan bertengger di posisi 17,3%, dan pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 6,3%.

Jalan Baru dengan Ekonomi Kerakyatan
Dalam pengantarnya, Rizal Ramli menegaskan bahwa Indonesia perlu jalan baru, yaitu jalan anti kolonialisme, jalan yang lebih mandiri, yang akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan mayoritas rakyat Indonesia. untuk mencapainya, kedaulatan ekonomi harus direbut. Menurut Rizal, hanya dengan kedaulatan dan kemandirian rakyat, negara republik Indonesia akan berdaulat di bidang pangan dan energi, serta menarik manfaat sebesar-besarnya bagi dari kekayaan sumber daya alam, keragaman budaya, dan sumber daya manusia (hlm xv).

Dalam buku ini, Fahmy menganggap bahwa paradigma alternatif kebijakan ekonomi Indonesia adalah kebijakan ekonomi pro rakyat yang berlandaskan sistem ekonomi kerakyatan. Bahkan, Fahmy menafsirkan pasal 33 UUD 1945 sebelum diamandemen, sebagai paradigma ekonomi kerakyatan yang semestinya menjadi landasan dalam setiap perumusan strategi pembangunan dan penetapan kebijakan ekonomi di Indonesia (hlm. 189)

Memang secara konsep, ekonomi kerakyatan belumlah sematang ekonomi konvensional yang dibangun ratusan tahun lalu oleh Adam Smith. Namun dari sisi praktik, ekonomi kerakyatan sebetulnya sudah diterapkan oleh rakyat Indonesia. Pada dasarnya, sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berasaskan kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada rakyat yang lemah. Ciri utamanya adalah kebersamaan dalam menjalankan proses produksi untuk menghasilkan produk dan jasanya yang dikerjakan oleh sebagian besar rakyat dan dimiliki oleh seluruh rakyat secara merata. (hlm 188). Adapun strategi pembangunan yang dilandasi sistem ekonomi kerakyatan meliputi penanggulan kemiskinan, pengembangan kawasan, pengembangan UMKM.

Namun apa daya bila pemimpin yang terpilih pada pemilu 2009 ini berasal dari orang yang menggunakan ekonomi kerakyatan hanya sekedar jargon? Karena itu, rakyat Indonesia harus cerdas memilih pemimpin, agar pemimpin tersebut dapat membawa kemaslahatan bersama bagi bangsa Indonesia.

Senin, 16 Maret 2009

Menanti Gebrakan Blok Perubahan

Menanti Gebrakan Blok Perubahan

Rudi Hartono

PEMILU 2009 merupakan momen politik cukup penting. Meski afatisme politik kian meningkat, namun tidak sedikit pula rakyat Indonesia yang berharap adanya perubahan. Pada tingkat politik, tema “perubahan” sudah menjadi sentral dari propaganda politik dan bahan kampanye. Berbarengan dengan kerangka politik itu, sejumlah kekuatan politik pun sudah mendeklarasikan poros atau blok politik, yang tujuannya untuk menjadi kendaraan utama melompati syarat pencapresan.


Pada hari Rabu, 25 Februari 2009, 12 partai politik juga mendeklarasikan poros politik baru, yang kemudian disebut ; blok perubahan. Ke-12 partai politik itu adalah PNBK Indonesia, Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia, PKNU, Partai Bintang Reformasi, PKDI, Partai Pelopor, PDK, Partai Damai Sejahtera, Partai Matahari Bangsa, Partai Kedaulatan, PSI, dan PPRN. Selain itu, hadir pula Dr. Rizal Ramli yang merupakan salah seorang calon presiden dalam pemilu 2009.

Poros Kekuatan Lama dan Poros Kekuatan Baru

SBY (Blok S)dan Megawati (blok M)sudah lebih dahulu mendeklarasikan poros politiknya. Baik SBY maupun Megawati, oleh banyak kalangan, dikatakan sebagai poros kekuatan lama (status quo). SBY dan Megawati sudah pernah memegang kendali kekuasaan (memerintah). Namun, masa pemerintahan Megawati dan SBY dianggap sebagai bagian dari periode yang gagal. Keduanya sudah terekam dalam memori rakyat sebagai rejim yang tidak “becus” mensejahterakan rakyat.

Diluar Mega dan SBY, klaim kekuatan lama juga dapat ditujukan kepada poros tengah, yang sementara ini coba dibangunkan ulang oleh sejumlah partai-partai islam, seperti PAN, PPP, PBB, dan PKS. Poros tengah berhasil memenangkan Gusdur pada pemilihan presiden. Dan dalam beberapa kali peralihan kekuasaan paska reformasi, partai-partai yang menggagas poros tengah selalu terakomodir dalam pemerintahan; Hamzah Haz (Wapres jaman Mega), dan banyak diantara mereka menjadi menteri dalam kabinet. Fakta ini, yang kemudian menjadikan dasar untuk memasukkan poros tengah ke dalam blok politik kekuatan lama (status quo).

Bergerak dari dinamika pergesekan politik nasional maupun situasi sosial yang melingkupi rakyat Indonesia sekarang ini, sejumlah kekuatan politik baru (partai baru dan partai gurem) mencoba mendirikan poros politik baru. Dalam usaha ini, dapat disebutkan upaya Prabowo (gerindra) untuk menciptakan poros Indonesia raya, ataupun Salahuddin Wahid (Gus Sholeh) yang menjaring capres alternatif melalui Dewan Integritas Bangsa. Usaha-usaha memunculkan figur-figur baru dapat dipandang sebagai upaya positif. Hanya saja upaya-upaya politik ini seperti bergerak pada ruang yang kosong.

Kemudian, kehadiran blok perubahan, yang dideklarasikan 12 parpol, merupakan kemajuan bukan saja karena berani melakukan terobosan politik diluar kerangka kekuatan politik lama (partai besar dan elit-elit lama), tetapi juga keberaniannya untuk membela dua arus politik indonesia, yaitu kekuatan lama (status quo) dan kekuatan baru (progressif). Blok perubahan sendiri diposisikan sebagai blok politik kekuatan baru (progressif).

Berbicara Hambatan

Penyimpulan dua kekuatan politik indonesia dalam pemilu 2009, yaitu blok politik lama dan kekuatan baru, tentu saja, merupakan penyimpulan politik yang perlu diperiksa. pemilahan ini kurang jelas, dan tidak mampu menjelaskan garis pemisah yang tegas antara kekuatan lama dan kekuatan baru. Tentu saja, rakyat akan sulit mengenali dan menguraikan perbedaan mendasar antara kekuatan lama dan baru, menyebabkan potensi blok perubahan menjadi kekuatan politik alternatif turut menjadi buram.

Mengenai hal itu, saya mencoba mengajukan beberapa catatan kritis: pertama, pemerintahan SBY maupun Megawati bertipikal neoliberal. Kunci kegagalan mereka pada saat berkuasa adalah karena menerapkan neoliberalisme. Sehingga, seharusnya kekuatan politik baru menggunakan isu “anti-neoliberalisme” sebagai garis demarkasi.

Kedua, harus diakui bahwa kekuatan politik yang membentuk blok perubahan cukup beragam. Justru karena itu, seharusnya blok perubahan menegaskan sebuah platform politik yang tegas dan jelas, yang berfungsi (1) Sebagai ikatan politik yang menyatukan seluruh kekuatan pada koridor dan jalan yang sama, (2) sebagai cita-cita politik yang harus diperjuangkan dalam segala lini. Disini, saya mengajukan “kemandirian bangsa” sebagai platform politik yang mengikat seluruh kekuatan politik di dalam blok perubahan.

Ketiga, jika perspektifnya adalah kekuatan politik alternatif, buka sekadar meloncati syarat pengajuan capres, maka seharusnya blok perubahan memperluas politik persatuannya dengan merangkul sektor-sektor sosial yang lebih luas, terutama korban neoliberalisme, seperti serikat buruh, organisasi petani, mahasiswa, organisasi miskin kota, pengusaha nasional, dan lain-lain.
Selain itu, tekanan-tekanan politik ditingkatan elit saja tidak cukup untuk menaikkan dukungan dan memenangkan perimbangan kekuatan. Perlu dukungan dari politik mobilisasi dan keterlibatan aktif pada perjuangan-perjuangan rakyat.

Rudi Hartono, aktivis Politik, pengelola Jurnal Arah Kiri, Jurnal NEFOS (Analisis Amerika Latin) dan Redaksi Berdikari Online.

Sabtu, 07 Maret 2009

Siapakah yang paling berhak menjadi Presiden RI 2009 ?

Siapakah yang paling berhak menjadi Presiden RI 2009 ?



Menjawab pertanyaan diatas tentu saja dengan mudah akan kita katakan

yang paling berhak menjadi Presiden RI 2009 adalah yang dipilih oleh

rakyat secara langsung pada Pemilihan Presiden.



Tetapi yang menjadi pertanyaan selnjutnya adalah apakah rakyat

mngetahui dan mengenal siapa Calon Presiden yang dipilihnya itu ?

Bukan hanya mengenal wajahnya serta namanya saja , tetapi juga

mengerti apa yang akan dilakukan atau menjadi program kerja Calon

Presiden itu jika terpilih menjadi Presiden ?



Dalam hal ini maka rakyat Pemilih harus di ajarkan tentang bagaimana

seharusnya memilih Calon Presiden Indonesia selanjutnya. Jangan sampai

rakyat pemilih hanya memutuskan untuk memilih seorang tokoh karena

popularitas atau terkenal dimasyarakat saja atau karena pernah

menjadi Presiden sebelumnya, atau karena pernah menjadi pejabat tinngi

negara sebelumnya.



Rakyat pemilih harus diajarkan bahwa memilih Calon Presiden berarti

memilih nasib dan kehidupannya bersama seluruh rakyat lain di

Indonesia untuk selama 5 tahun kedepan, sebab Presiden akan mengatur

kehidupan masyarakat Indonesia secara sadar dan terencana menurut

Undang Undang Dasar dan Pancasila selama 5 tahun kedepan.



Nah berdasarkan kriteria inilah rakyat harus diajarkan untuk memilih

Calon Presiden manakah yang hidupnya selama ini paling sesuai dengan

Ideologi Pancasila dan UUD 45 didalam kehidupan pribadi dan keluarga

serta masyarakat dan profesinya.



Berdasarkan track record atau rekam jejak riwayat hidupnya sebagai

pribadi, kepala keluarga dan masyarakat serta profesi ini lah seorang

Calon Presiden dapat dinilai kelayakan atau kepatutannya. Jika dalam

bahasa Inggris sering disebut Fit and Proper Test.



Maka Fit and Proper Test terhadap seorang calon Presiden harus

berdasarkan Data based orang tersebut selama ini , adakah prilakunya

sesuai dengan Ideologi Pancasila dan UUD 45 atau tidak. Kemudian jika

sudah jelas ternyata dari daftar riwayat hidup yang sesungguhnya

sorang Calon Presiden tersebut memang sesuai denga Ideologi

Pancasila dan UUD 45 serta tidak pernah melanggar hukum yang berlaku

diseluruh wilayah negara Republik Indonesia.



Fit and Proper Test selanjutnya adalah apakah Rencana Kerja atau

Program Kerja yang akan dilaksanakan oleh Calon Presiden tersebut jika

terpilih sebagai Presiden nantinya.? Apakah Calon Presiden tersebut

sudah mempunyai Program Kerja yang jelas , pasti dan gamblang untuk

menghadapi dan mengatasi semua masalah bangsa dan negara ?



Jika ada beberapa Calon Presiden yang mengajukan diri untuk minta

dipilih oleh rakyat , maka harus diadakan suatu acara Debat Ilmiah

Calon Presiden yang masing masing memaparkan Rencana Kerjanya jika

terpilih. Tentu saja Debat Calon Presiden ini hanya diikuti oleh Calon

Presiden yang telah mengikuti pemilihan awal yaitu bagaimana track

record sebelumnya ?



Jadi marilah kita semua megajarkan kepada seluruh rakyat Indonesia

tentang bagaimanakah tata cara memilih Calon Presiden Indonesia

seharusnya.Bukan hanya memilih seseorang karena dikelabui oleh iklan

iklan dan kampanye kampanye yang menjadi pasaran disemua media lokal

dan nasional di media cetak dan elektronik .



Rakyat Indonesia harus dicerahkan dan dicerdaskan didalam memilih

Calon Pemimpinnya kalau tidak mau dibohongi dan ditipu lagi oleh

janji janji angin surga serta manipulasioleh media massa.

Pemilu 2009 Antara Perjuangan Sejati dan Kemunafikan.

Tanggapan
atas Tulisan Fajar Pudiarna; Pemilu 2009
Antara Perjuangan Sejati dan Kemunafikan.


Sudah diprediksikan, jauh sebelum pertarungan
yang sebenarnya berlangsung; Pemilu 2009 akan menjadi ajang terbesar perdebatan
banyak kalangan. Dia-nya akan menyeret siapa saja; mulai dari aktifis gerakan,
aktivis LSM, artis, hingga bahkan pengangguran. Polimek ini ada yang
berlangsung semula dengan cukup santai, hangat, hingga akhirnya menjadi serius,
sengit, baku-hantam, dan bila melihat kasus PRD dan Papernas, sampai
menghasilkan perpecahan.



Bila kita masuk dalam arena perdebatan teoritis
mengenai pemilu, sudah cukup banyak yang memberikan pandangannya (koran,
mailing-list, TV dan saluran-saluran lainnya). Sebagai acuan, saya bisa
mencaplok tiga diantaranya yang saya ketahui cukup menarik. Pertama milik Kawan
AJ Susmana; Mengharapkan Presiden Pro-Rakyat. Kawan Rudi Hartono; Pemilu 2009:
Pertempuran Yang Menentukan!
Terakhir milik Kawan LSM kita, Fajar Pudiarna; Pemilu 2009 Antara Perjuangan
Sejati dan Kemunafikan.



Tulisan saya ini hanya akan mengulas (secara
singkat) tulisan yang ketiga. Itu pun hanya dengan ulasan yang sederhana, iseng
saja, sekadar urun rembug atau untuk meluangkan waktu secara positif. Terus
terang saja, hal ini dikarenakan saya tak punya cukup banyak waktu luang untuk
menyelami lautan teoritis Pemilu yang dalam.



Dengan Kawan AJ Susmana dan Rudi Hartono, saya
setuju dengan keduanya yang menulis dengan optimisme (Kawan Rudi bahkan sudah
dalam kalimat pertamanya menyebutkan: Kita
tetap harus melangkah kedepan). Keduanya memberikan landasan yang kuat, analisa
yang
teliti, program yang kongkrit, dan jalan keluar yang provokatif. Misal Kawan
Rudi, dengan sikap menantang dia menulis dalam kalimat terakhirnya; Tapi jika
kehendaknya adalah perubahan, silahkan pilih calon dan partai yang punya
program anti neoliberal dan pro kemandirian nasional.



Lantas, apa yang ditawarkan dalam tulisan “Pemilu 2009 Antara Perjuangan Sejati
dan
Kemunafikan”?



Saya tidak akan kembali mengulang apa yang
dimiliki Indonesia, baik dari jumlah kekayaannya yang melimpah, maupun SDM-nya
yang maha banyak (kelima didunia), yang keduanya jatuh dalam cengkraman
imprealisme melalui proses penipuan elit politiknya dari pemilu ke pemilu.
Karena
hal ini sudah banyak yang menerangkan. Yang menarik, Pejuang Imigran kita ini
dengan sikap amarah memberi kita pertanyaan yang kemudian ia jawab sendiri
dengan nada marah yang sama;


Pemilu 2009, merupakan pemilu dari kesekian kali pemilu
yang pernah dan akan kita lalui. Satu demi satu pemilu yang pernah kita lalui,
hampir semua partai menjanjikan angin segar terhadap nasib rakyat. Tapi apa
buktinya, berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian
secara kebudayaan sudah kita dapatkan? Jawabannya adalah Tidak!”.



Kemudian dia mengutuk semua Partai Politik,
tokoh-tokohnya, dengan cara yang aneh dia bilang mereka “menggunakan cara-cara
manupulatif”, yang diartikannya dalam bentuk “memberikan sogokan-sogokan kepada
rakyat”. Dia sedih dengan keadaan ini kemudian mengumpat:


Problem kemiskinan memang telah menjadi problem pokok masyarakat. Di
sini bukan berarti rakyat harus ditipu secara mentah dengan dalih pangabdian”.



Kita semua tentu setuju dengan kesedihan dan
umpatan-umpatannya. Bila perlu kita akan menangis terisak-isak karena hidup
dizaman seperti ini. Kita dan rakyat Indonesia keseluruhan selalu menjadi
korban penipuan setiap pemilu. Kita dibohongi terus oleh elit politik yang
banyak berjanji tapi tak pernah memberikan bukti. Yang di Parlemen hanya selalu
menjalankan ibadah 5 D (datang, duduk, diam, dengar dan duit).



Nah, mari kita lihat jalan keluar yang
ditawarkan:


Secara prinsip, partai politik merupakan alat yang
dibentuk oleh rakyat sebagai alat yang bisa memperjuangkan rakyat. Misalnya,
partai buruh. Partai buruh hendaknya dibentuk oleh buruh sendiri guna
memperjuangankan hak-haknya di parlemen. Andaikata sekarang rakyat belum bisa
dikatakan sebagai rakyat yang sadar akan hak-haknya, maka sudah menjadi
kewajiban bagi yang sudah sadar untuk menyadarkan dan mendorong terciptanya
suatu gerakan rakyat”.



Sampai disini saya dan mungkin sebagian dari kita
akan terbengong; kenapa buruh harus membentuk Partainya sendiri guna
memperjuangkan
hak-haknya sendiri di Parlemen? Apakah petani, mahasiswa, nelayan, penyandang
cacat, dan sebagainya juga harus berbuat demikian? Untuk memperjuangkan
urusannya sendiri (hak-haknya), kepentingan golongan (profesi), dalam konteks
Parlemen dan bukan Dewan Rakyat dalam pemerintahan Sosialisme. Kita harus
belajar lagi, baca buku lagi, bila pemecahan masalah sosial Klas Tertindas harus
diselesaikan dengan cara menyuburkan sektarianisme dan fragmentasi sebagimana
yang Kawan kita tawarkan (skali lagi dalam melawan impralisme dengan taktik
parlementer). Karena bukankah kita dan kupikir Kawan kita juga tahu bahwa
problem pokok gerakan pasca-reformasi 1998 adalah sektarianisme dan fragmentasi
gerakan?



Dan kemudian kita yang sadar diminta untuk
menyadarkan rakyat akan hak-haknya dengan melakukan sesuatu yang sudah kita
bangun berpuluh-puluh tahun lamanya; Gerakan Rakyat. Tak terhitung lagi
banyaknya jumlah Gerakan yang telah dibangun oleh Rakyat yang sadar. Lengkap
dengan variasinya, metodenya, strategi-taktiknya. Ada yang hanya menjadi
sekadar kelompok diskusi, ada yang didanai oleh Founding (dengan alasan
membangun civil-society), ada yang menjadi sekte aliran idologi, dsb.


Terus apa gunanya menuntut sesuatu yang sudah
kita kerjakan sebelumnya layaknya menyuruh orang tidur padahal sudah dia sudah
mendengkur?



Kemudian Kawan kita mengutuk kembali apa yang
sudah ia kutuk sebelumnya (elit-elit politik). Kali ini lengkap dengan cap-nya;
seorang ksatria yang berjiwa pendeta. Dengan tuduhan yang anak SD pun tahu:
mencari pamrih untuk duduk dikursi kekuasaan. Dan ini semua ia anggap sebagai
permainan dimana mereka yang mengatasnamakan aktifis terjebak dalam permainan
ini dengan masuknya banyak aktifis diberbagai partai politik dengan landasan
ideologi sebagai alat bantu permainannya.



Cukup lah kita dengan permainan memusing yang
berputar-putar ini. Setelah kita dengan ikhlas menerima analisa bahwa partai
politik dalam setiap pemilu terlibat baku hantam dimana Rakyat selalu menjadi
korban dengan digadaikannya martabat bangsa, kekeyaan alam dan SDM-nya,
sekarang kita juga diminta untuk menerima kenyataan bahwa semua ini hanya lah
sebuah permainan. Hadirnya iklan-iklan dengan budget milyaran rupiah, kebijakan
pemerintah yang sok populis (anggaran pendidikan R-APBN 2009 sebesar 20%),
fenomena artis jadi caleg dan sebaginya, sekarang hanya lah tinggal permainan.
Dan dalam pemilu besok rakyat tinggal menunggu untuk menjadi korban (tidak
berlaku bagi yang sadar). Setidaknya hingga rakyat sadar dan membangun gerakan.



Yang menarik, dan patut diapresiasi (mari beri
aplaus yang meriah), Kawan kita mengajak untuk bertindak:

Bagi para pejuang sejati tentu menggunakan idiologi yang
sejati dengan massa yang sejati pula. Idiologi sejati dengan massa sejati
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa ditinggalkan. Idiologi sejati adalah
idiologi
yang benar-benar bisa diterima rakyat dan didukung dengan penuh kesadaran oleh
oleh rakyat”.


Saya hanya akan menambahkan bahwa para pejuang
sejati jangan menunggu hingga pemilu berikutnya dan menunggu kemiskinan terus
berjalan sepanjang periode ini. Kemiskinan tidak bisa menunggu!



Pemilu bukan lah permainan, tapi dia ajang
(medan) pertarungan. Antara pejuang sejati dengan yang gadungan, yang
pro-imprealisme (penjajahan asing) dengan yang anti-imprealisme. Pemilu 2009
merupakan gerbong kereta yang sedang menunggu
didepan mata; kearah mana republik ini akan bergerak? Mem-vonis penghianatan
sebelum pertarungan berlangsung bukan lah hanya pekerjaan yang kontra-produktif
tapi juga sia-sia belaka. Untuk ini saya hanya akan berkata seperti yang pernah
dikatan Engels (dalam bukunya The Housing Question): Manakala seseorang telah
begitu lama didalam gerakan, orang harus mengembangkan kulit yang lumayan
tebalnya terhadap serangan-serangan fitnah.


Bagi
yang menyatakan sanggup terlibat pemilu 2009 (dengan mengacuhkan segala
kepengecutan dan kemalasan yang lamban): mari kita mulai mengorganisir
perlawanan yang masif terhadap mereka yang kita anggap sebagi musuh dalam ajang
perhelatan ini. Sebagai kontrak bagi sebuah pertarungan (atau peperangan bila
kita lebih suka menyebutnya demikian), mari kita luaskan cabang-cabang,
perbanyak anggota, dan struktur perlawanan rakyat yang kita bangun untuk
menghancurkan dominasi Kaum Pro-imprealisme dengan neo-liberalisme sebagai
agendanya. Mari hancurkan penjajahan asing hingga berkeping-keping!


Setelah
ini mari dengan khidmat kita menilai; apakah di ajang pemilu 2009 ini masih ada
sebuah
perjuangan yang sejati atau hanya sebagai ajang bagi para kaum munafiqin? Akan
tetapi patut juga diperhatikan dalam memulai sebuah pertempuran yang
menentukan, seperti yang pernah dikatakan oleh almarhum Karl Marx:

Pada pintu gerbang pengetahuan, tuntutan yang
sama harus dipancangkan seperti yang terpanjang dipintu neraka:

Qui si
convien lasciare ogni sospetto; Ogni vilta convien che qui sia morta. (Disini
semua prasangka buruk harus ditinggalkan; Di sini semua sifat pengecut harus
mati.)”