Senin, 27 April 2009

Demokrasi(mu) Tak Bermartabat

Pada saat orde baru berkuasa, cara mempertahankan dan melanjutkan kekuasaannya adalah dengan mengontrol pemilu, menerapkan pemaksaan dan intimidasi, serta meniadakan oposisi. Ketika orde baru dijatuhkan secara paksa oleh gerakan massa, maka hal-hal yang menjadi perilaku buruk orde baru kemudian dicerca dan dianggap nista. Pemilu 1999 pun digelar dengan semangat yang berbeda dengan orde baru; multi-partai, ada kebebasan berpendapat dan berorganisasi, tidak boleh ada paksaan dan intimidasi, dan jaminan kepada seluruh rakyat untuk menggunakan hak pilih.


Akan tetapi, ketika menggelar pemilu ketiga dalam alam reformasi, justru hal-hal yang bertolak belakang dengan jiwa dan semangat reformasi kembali dipergunakan oleh pemerintah dan apparatus pelaksana pemilunya. Tidak sedikit orang, dalam berbagai ekspresinya, menyatakan, pemilu 2009 adalah pemilu terburuk paska reformasi. Pemilu sekarang ini, tidak berbeda jauh dengan pemilu orba, telah menggunakan legalitas politik dan UU untuk berbuat kecurangan. Tentunya, hal ini dimaksudkan untuk memenangkan partai dan tokoh tertentu.

Terburuk

Meski pelanggaran dan upaya curang selalu membayangi pemilu, baik pemilu 1999 dan pemilu 2004, akan tetapi tidak sebesar dengan pelanggaran dan kejahatan dalam pemilu 2009 ini. sebelum pemilu 2009 dimulai saja, pihak penyelenggara pemilu (baca; KPU) sudah dihujani protes oleh berbagai kelompok masyarakat. Kesalahan bukan saja karena aspek-aspek teknis, tetapi juga mencakup logistik, bahkan aturan hukumnya.

Pada saat kampanye digelar, berbagai pelanggaran pun kembali terjadi. Jelas, partai politik banyak yang melakukan pelanggaran. Namun, di luar itu, kesemrawutan justru terjadi dimana-mana; mulai dari penyusunan jadwal kampanye, aturan kampanye, dan sebagainya. lagi-lagi, KPU menjadi pelaku utama kesalahan ini.

Masalah makin membuncah, ketika rakyat akhirnya menyadari bahwa KPU tidak memiliki DPT yang valid. situasi bertambah kisruh. Di berbagai daerah, terdapat banyak warga yang belum terdaftar dalam DPT. Bukan itu saja, DPT yang dimiliki oleh KPU ternyata banyak yang fiktif; pemilih siluman. KPU membuat kesalahan yang benar-benar fatal; di satu sisi, ada banyak warga yang belum dimasukkan dalam DPT, dan hal itu jelas pelanggaran terhadap hak politik rakyat. sedangkan disisi lain, ada begitu banyak pemilih yang tidak berhak memilih, seperti orang yang sudah meninggal, anak dibawah umur, orang tidak waras, dan sebagainya, justru diberikan hak pilih. Bahkan, jumlah mereka cukup signifikan.

Bersamaan dengan terkuatnya sejumlah bukti-bukti kecurangan pemilu, beberapa pimpinan KPU tercium memberi perhatian “special” kepada SBY. Tidak tanggung-tanggung, ketua KPU harus merelakan waktunya untuk menyambut SBY dan keluarga di TPS Cikeas. Dan memang benar, KPU tidaklah independen dalam pemilu ini. berbagai kasus kecurangan yang terjadi di daerah, memperlihatkan adanya peran aktif lembaga penyelenggara pemilu ini untuk memenangkan partai tertentu.

KPU, yang seharusnya menjadi lembaga independen, justru menjadi salah satu mesin paling aktif dari kecurangan ini. selain diperlihatkan dari ketidaknetralan pejabat KPU, dan proses kecurangan yang melibatkan KPUD di daerah, ada indikasi kuat pula bahwa kesemrawutan proses pelaksanaan pemilu adalah bersifat disengaja. Tujuannya, tentu saja, kesemrawutan ini akan menjadi lahan subur bagi terjadinya praktek kecurangan secara sistematis.

Tidak Bermartabat

Mau tidak mau, rejim manapun membutuhkan legitimasi “mayoritas” untuk menjalankan fungsi aparatusnya. Dalam demokrasi liberal, pemilu didesain untuk menjadi arena kompetisi guna mendapatkan legitimasi. Pemenangnya, tentusaja, adalah yang memperoleh suara mayoritas. Hal ini mutlak dilakukan, supaya menjaga sistem kapitalisme tetap legitimate dalam menjalankan kekuasaannya, terlepas murni atau tidak. Karena tanpa legitimasi yang kuat, sebuah rejim tidak akan sanggup menjalankan fungsinya. Kalaupun akhirnya, dalam berbagai hal, krisis kepercayaan terhadap sistem demokrasi liberal telah menggiring banyak orang untuk apatis, tidak mau ambil bagian, alias golput, mereka tetap membutuhkan pelaksanaan pemilu yang kredibel dalam ukuran-ukuran tertentu.

Disinilah letak masalahnya. Demokrasi liberal membutuhkan standar atau ukuran –ukuran guna menjaga sistem ini tetap layak, tetap kredibel, dihadapan rakyat. maka, bagi mereka, penjaminan universal suffrage, kebebasan memilih, penggunaan teknologi untuk mengontrol kecurangan, pengawasan, dsb, merupakan hal yang perlu dipelihara.

Dalam pemilu 2009, ukuran-ukuran yang bersifat minimum tersebut telah dilanggar. Pihak penyelenggara pemilu (baca; KPU) telah menjadi pihak paling bertanggung jawab terhadap hilangnya hak pilih begitu banyak rakyat. berikut ada beberapa bentuk tindakan sengaja KPU dalam menghilangkan hak pilih rakyat; pertama, penghilangan paksa hak pilih rakyat karena mereka tidak terdaftar dalam DPT. Padahal, untuk melakukan pendataan, KPU telah dibekali begitu banyak anggaran. Setidaknya, berdasarkan berbagai sumber, KPU telah dibekali Rp. 3 trilyun untuk pemuktahiran data, agar seluruh rakyat bisa menggunakan hak pilihnya. Kemana dana tersebut? Kedua, KPU tidak memberikan kemudahan kepada para pemilih dalam menggunakan hak pilihnya, misalnya; KPU tidak memfasilitasi TPS di rumah sakit, tempat rekreasi, penjara/LP, dan lain-lain. Tindakan sengaja KPU ini bukan pelanggaran biasa, tetapi pelanggaran terhadap hak politik rakyat yang diatur secara konstitusional.

Dengan penjelasan diatas, maka mencuatnya persoalan DPT tidak bisa dipandang hanya sebagai upaya-upaya politis dari kekuatan politik yang kalah, tetapi harus dilihat sebagai ekspresi kemarahan rakyat terhadap pelanggaran hak pilih mereka.

Maka, pidato SBY diberbagai TV nasional hanya menunjukkan keterlibatan jauh pemerintah berkuasa dalam kasus ini. Pidato tesebut, sesungguhnya, dapat diterjemahkan sebagai pernyataan politik pemerintah untuk melindungi penyelenggara pemilu yang sedang terkepung oleh protes. Dari pidato tersebut, dapat pula disimpulkan bahwa; pertama, ketika KPU diserang, kemudian pemerintah membentengi, maka hal ini menjelaskan bahwa KPU hanya alat pemerintah untuk mengontrol pemilu agar memenangkan rejim berkuasa. Kedua, pidato ini adalah upaya pemerintah menangkis efek dari pembesaran isu DPT, yang suka tidak suka, akan mendelegitimasi partai demokrat sebagai partai pemenang pemilu. Ketiga, presiden SBY telah ambil bagian dalam menginjak-nginjak martabat demokrasi, serta melecehkan ekspresi kemarahan rakyat yang menuntut hak pilihnya. Dengan demikian, demokrasinya-SBY adalah demokrasi tanpa martabat.

Selain itu, upaya pemerintah untuk menutupi isu DPT, telah menjungkir-balikkan capaian-capain demokratik dari proses reformasi. Artinya, apa yang kita benci dari proses politik semasa orde baru dan menjadi pemicu gerakan reformasi, kini telah dihidupkan dalam bentuk lain oleh rejim sekarang.

Isu DPT dan kecurangan telah menggelinding. Kasus ini, dengan berbagai cara, akan terus menggelinding ibarat bola salju, sehingga memang berpotensi mendelegitimasi pemerintahan yang terpilih nantinya. jadi, siapun yang hendak menghalangi bola salju ini, maka ia pun akan terdorong jatuh. Kita yakin, bahwa protes-protes rakyat di TPS pada saat hari pemilihan lalu, merupakan pembukaan (awal) dari sebuah perlawanan yang lebih besar, nantinya.

Hidup Jangan Cuman Gitu2 aja

Kalau hidup kita lurus-lurus saja, artinya kita sedang berada di zona nyaman. Kalau kita tidak keluar dari zona nyaman itu, kita akan menjadi orang yang STAGNAN, tidak ada perubahan. Satu-satunya cara untuk berubah menjadi lebih baik adalah dengan keluar dari zona nyaman itu dan membuat sesuatu yang dasyat. Kalau keluar dari zona nyaman itu, kita mungkin akan menghadapi masalah-masalah yang bisa jadi kita merasa itu berat banget. Tapi disitulah seninya. Saat kita berhasil mengatasi masalah-masalah itu, sebenarnya kita sudah menjadi orang yang luar biasa. Pertama, karena kita sudah berani keluar dari zona nyaman itu. Kedua, karena kita sudah berhasil mengatasi masalah-masalah yang ada.

Minggu, 26 April 2009

Berlanjutnya Kekuasaan Rejim Neoliberal

HASIL Pemilu secara resmi belum diumumkan. Tetapi, berbagai hasil perhitungan cepat (quick count) sudah mendaulat Partai Demokrat sebagai pemenang. Situasi ini, bagaimanapun, mencoba mengkondisikan situasi bahwa partai demokrat memang pantas untuk memenangkan pemilihan. Perlu diketahui, bahwa kemenangan partai demokrat merupakan simbolisasi kemenangan kubu neoliberal di Indonesia. Apalagi, beberapa partai yang mengusung ideology serupa (baca; neoliberalisme), seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), juga mendapatkan tambahan perolehan suara


Pada pemilu 2004, rakyat Indonesia dapat menghukum rejim Mega-haz, yang menyengsarakan rakyat karena projek neoliberalnya, pada saat pemilihan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang merupakan partai pendukung pemerintah, akhirnya mengalami kejatuhan perolehan suara.

Akan tetapi, pengalaman pemilu 2004 tidak terjadi pada pemilu kali ini. pemerintahan SBY yang jauh lebih neoliberal dibandingkan pemerintahan sebelumnya, malah berhasil memenangkan pemilihan. Terlepas dari euforia dari mereka yang merasa menang karena jumlah golput yang signifikan, tetapi sebuah dunia nyata hadir di depan kita; SBY dan kubu neoliberalnya kembali memenangkan pemilihan.

Faktor Popularitas

Sejumlah analis politik mencoba merangkum faktor yang menentukan kemenangan Demokrat dan SBY. Hampir keseluruhan menyatakan, kemenangan partai demokrat tidak dapat dipisahkan dari popularitas pemerintahan SBY. Seperti diketahui, SBY hampir mendominasi setiap survey yang dilakukan sejumlah lembaga, jauh mengungguli rival-rival politiknya. Padahal, diluar survey-survey ini, berbagai persoalan-persoalan ekonomi, politik, sosial, dan hukum terus-menerus berkonfrontasi dan hadir di tengah-tengah rakyat. Sebagai misal, pemerintah SBY tidak pernah mampu mengendalikan harga sembako, yang menyebabkan rakyat selalu mengalami kesulitan.

Pertama, pada saat media semakin memegang kontrol terhadap opini dan mempengaruhi kesadaran rakyat, pemerintahan SBY dapat memanfaatkannya dengan baik. SBY dapat membangun bentuk komunikasi politis, dengan dukungan bahasa verbal, intuitif, dan ekspresif, sehingga bisa mempengaruhi emosi para penonton. Bagi sebagian orang, bahasa komunikasi SBY begitu menjenukan. Tetapi, bagi sebagian besar rakyat yang mudah terbawa pada bentuk-bentuk komunikasi verbal, audio-visual, perilaku presiden SBY benar-benar simpatik bagi mereka. Sebagai contoh, ketika presiden SBY merencanakan untuk menaikkan harga BBM, ia seolah-olah berada pada situasi “tertawan” oleh keadaan.

Apa yang betul-betul membentuk cara berfikir seseorang, dengan segala bahaya yang ditimbulkannya, adalah instrument audio-visual yang bener-benar kuat. dengan kontrol pada segelintir tangan, terutama perusahaan multinasional, mereka dengan leluasa akan memanipulasi informasi untuk melayani kelas berkuasa. Untuk sementara, SBY dan demokrat merupakan kekuatan yang diuntungkan oleh strategi ini.

Kedua, kemampuan memanipulasi kegagalan menjadi sebuah prestasi. Dalam era informasi yang makin canggih, mengutip Marcuse, jarak antara kebenaran dan kesalahan sudah hampir tidak ada. Media dan ahli komunikasi bisa mengkontruksi sebuah peristiwa dan kebijakan menjadi seolah-olah benar, meskipun pada kenyataannya salah. Sebagai contoh disini: kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, yang kemudian disubtitusi dengan BLT. Pada dasarnya, masyarakat miskin tidak dapat mendapatkan keuntungan yang lebih barim dari program BLT, ketimbang biaya dan beban ekonomi yang perlu ditanggung rakyat akibat kenaikan harga BBM. Akan tetapi, melalui tangan-tangan apparatus SBY, kebijakan BLT dapat disulap menjadi seolah-olah kebijakan “populis” pada saat krisis.

Lain lagi dengan program PNPM, KUR, dan BOS, yang keseluruhannya ditanggung dalam bentuk “utang luar negeri”. Di lapangan, para pekerja proyek ini adalah Bank dunia dan apparatus SBY. Meski tidak terlihat hasilnya, karena sejumlah persoalan: anggaran yang kecil, lemahanya pengawasan, dan kurangnya partisipasi rakyat, tetapi kebijakan ini bisa disulap menjadi seolah-olah “misi besar” SBY dalam mengantisipasi kemiskinan. Sangat sulit berbicara program pengentasan kemiskinan, tanpa menjinakkan neoliberalisme lebih dahulu.

Dalam kemiskinan yang akut (darurat), pemberian bantuan (berapapun nilainya) akan menjadi semacam “kejutan” bagi rakyat, dan cukup mempengaruhi pandangan mereka. Inilah yang sementara ini dikelola oleh SBY dan aparatusnya. Sialnya, partai oposisi yang hendak mengeritik ini justru terbawa didalamnya dan mencoba ambil bagian; seperti yang ditunjukkan oleh PDIP dalam kampanyenya.

Selain itu, BPS dan lembaga survey juga punya andil besar. Biro Pusat Statistik (BPS) dengan telanjang memanipulasi angka-angka kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya. Metode penipuannya sebetulnya cukup “kentara”, hanya saja memang tidak ada organisasi pergerakan yang mempersoalkannya secara serius, kecuali Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI). Sudah banyak pengamat yang memprotes “metodologi” penghitungan BPS, tetapi tidak mendapat sokongan kuat dari organisasi sosial.

Sementara Lembaga survey memainkan politik pencitraan. Mereka membuat survey-survey yang sebetulnya cukup manipulatif, dengan mengutak-ngatik sample, indicator, dan semacamnya, mereka dapat mewujudkan image yang bagus mengenai SBY.

Hal-hal seperti diatas, tidak pernah menjadi perhatian serius kaum pergerakan dan kekuatan oposisi. Padahal, pertarungan semacam ini—memenangkan kesadaran rakyat---merupakan tahap penting yang tidak bisa dipisahkan dari perjuangan penaklukan kekuasaan.

Jadi teringat dengan ucapan presiden Hugo Chaves; “ Rakyat perlu diberitahu tentang apa yang dikerjakan oleh pemerintah”.

Ketiga, ketidakmampuan kaum pergerakan maupun kekuatan politik oposisi secara umum, untuk menunjukkan bentuk kritik yang mendidik dan mudah dipahami rakyat, serta terfokus pada sebuah isu yang signifikan dimata rakyat. Akibatnya, hampir tidak ada langkah politik dan ekonomi SBY yang benar-benar ditelanjangi kesalahannya.

Situasi ini, memungkinkan bagi SBY dan partai pendukungnya untuk mengelak dan melancarkan serangan balik. Jika diperhatikan, SBY justru malah memfokuskan pada beberapa isu mengenai kinerjanya: Di bidang politik, dia memfokuskan pada isu pemberantasan korupsi; di bidang ekonomi, ia memfokuskan pada sejumlah program –program pengentasan kemiskinan, seperti BLT, KUR, PNPM-mandiri, dsb.

Kecurangan Pemilu

Dalam segala hal, rejim-rejim neoliberal tidak dapat memenangkan pemilihan hanya dengan mengandalkan pertarungan bebas, tetapi mereka butuh scenario-skenario dibelakang layar untuk kemenangan mereka. Hal ini, misalnya, begitu jelas dipakai sejumlah politisi sayap kanan di Amerika latin, untuk membendung kemenangan partai-partai kiri atau ekspresi perlawanan rakyat terhadap neoliberalisme.

Di Meksiko, rejim neoliberal dapat mempertahankan kontinuitasnya dengan mencurangi pemilihan, sehingga bisa memenangkan Felipe Calderon. Di Peru, kelompok sayap kanan pro-neoliberal juga berhasil menyingkirkan calon sayap kiri-nasionalis, Ollanta Homala, melalui serangkaian kecurangan yang disponsori oleh AS.

Dalam kasus Indonesia, tidak dapat disangkal lagi, bahwa rejim neoliberal tidak cukup “populer” jika hendak “bertarung bebas” dalam pemilihan. Rakyat sedang diliputi rasa skeptis terhadap partai politik. senjata paling memungkinkan bagi mereka adalah membeli suara rakyat (politik uang) dan melakukan kecurangan.

Dalam pemilu 2009 ini, rejim neoliberal betul-betul mengontrol aturan dan tata-penyelenggaraan pemilu. KPU, yang seyogyanya menjadi lembaga independen, justru merupakan infrastruktur utama yang mengkondisikan dan memfasilitasi kemenangan partai-partai neoliberal. Tidak tanggung-tanggung, pengabdian KPU terhadap rejim berkuasa ditunjukkan dengan kehadiran ketua KPU di TPS Cikeas, tempat dimana presiden SBY memberikan suaranya.

Dari berbagai celah yang disediakan, berikut peluang-peluang yang diciptakan KPU bagi kemenangan rejim neoliberal:

Pertama, tidak adanya pengumuman DPT yang resmi dan valid kepada rakyat. Akibatnya, pemilu berjalan tanpa ada kejelasan mengenai jumlah pemilih resmi di setiap dapil dan secara nasional. situasi ini sangat memungkinkan adanya operasi “penggelembungan suara”, baik dengan memanfaatkan petugas KPPS-PPK maupun apparatus pemerintahan, tentunya untuk memenangkan partai dan caleg tertentu.

Di desa Tegal Kertha, Denpasar, ada indikasi penggelembungan suara yang dilakukan oleh petugas KPPS terhadap suara partai demokrat, dengan menambahkan angka “nol” dibelakang perolehan suara sebenarnya. Kejadian seperti ini juga terjadi diberbagai tempat, yang bukan hanya diberikan kepada Demokrat, tetapi juga kepada PKS, Golkar, dan sebagainya. Di kecamatan Woha, Bima, warga malah menangkap bawah petugas PPK yang menukar formulir C1 dengan formulir C1 yang sudah digelembungkan suaranya. (sumber; berdikari online)

Aspek lain dari persoalan ini adalah penghilangan hak politik rakyat. di Pandeglan, Banten, terdapat 35.000 warga yang tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT). Di Ternate, terdapat 15 ribu warga yang tidak dimasukkan di DPT. Di Jakarta Barat, terdapat 50 ribu warga yang tidak masuk DPT. Sementara KPU sendiri mengakui, ada 300 ribuan orang secara nasional yang tidak dimasukkan dalam DPT.

Tidak adanya DPT resmi, memunculkan DPT siluman atau fiktif. Capres Gerindra, Prabowo, memperkirakan ada 20 juta pemilih fiktif di Indonesia. Di Magetan, ada 3.469 yang sudah meninggal dimasukkan di DPT. Sementara itu, Panwaslu Jateng menemukan 66.917 DPT bermasalah di seluruh Jateng. Sedangkan Panwas Jatim menemukan 43.546 DPT bermasalah di wilayahnya (jawa Pos). Sementara itu, Dewan perubahan Nasional (DPN) mensinyalir adanya 33,8 juta suara fiktif alias misterius. (Sinar Harapan)

Kedua, keterlibatan aktif aparat pemerintah dan petugas pemilihan dalam kecurangan, baik dilakukan pada saat pemilihan maupun paska pemilihan. Dalam banyak kasus, saksi partai politik “tidak berdaya” dalam menghadapi kecurangan-kecurangan ini.

Di tingkat bawah, petuga-petugas KPPS banyak yang menjadi agen dari kecurangan. Modusnya, mereka menukar surat suara yang sudah direkapitulasi dengan surat suara dari luar, yang sudah digelembungkan, tentunya. Kejadian ini, terjadi dengan jelas di Kecamatan Woha, Bima. Sedangkan di Tegal Kertha, Denpasar, saksi partai menemukan adanya penggelembungan suara dengan cara menambahkan angka “nol” pada perolehan suara, untuk memenangkan caleg dan partai tertentu. Di Tegal Kertha, jelas penggelembungan suara diberikan untuk Partai Demokrat. Di Magetan, Jatim, menurut sumber PDI Perjuangan (Kompas), petugas KPPS terlibat lansung dalam mengarahkan massa untuk memilih partai tertentu. Di Sulbar, petugas KPPS malah masuk ke dalam bilik suara dan mengarahkan pemilih untuk mencontreng partai tertentu.

Dari berbagai kejadian, selain petugas KPPS, aparat pemerintahan juga turut bermain, terutama pemerintahan di kecamatan. Dalam banyak kasus, kecurangan dilakukan dengan mengubah DPT, merubah hasil rekapan suara, dan merubah berita acara.

Ketiga, Lemahnya aturan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemilu 2009. Berbeda dengan pemilu paska reformasi dimana banyak lembaga independent pemantau pemilu, pada pemilu 2009 hampir tidak ada pengawasan yang ketat terhadap berjalannya pemilu. Karenanya, ini menciptakan ruang bagi terjadinya kecurangan, manipulasi, penggelembungan, dan sebagainya.

Di berbagai TPS, pemantauan kebanyakan dilakukan oleh saksi-saksi dari parpol atau kelompok masyarakat tertentu. Berbeda dengan pemilu 1999 dan 2004, keterlibatan lembaga pemantau independent sangat kecil, bahkan hampir tidak ada.

di Batanghari, Jambi, saksi-saksi dari partai politik malah tidak berdaya menghadapi kecurangan, dan terkesan "membiarkan". Padahal, kecurangan yang terjadi disana bersifat sistematis dan terbuka.

Jebakan Demokrasi Liberal

Demokrasi borjuis, dimanapun, membutuhkan legitimasi dari mayoritas untuk melindungi berjalannya apparatus mereka. Pada era sebelumnya, mereka mencarikan legitimasi melalui upaya-upaya “apa yang disebut sekarang ini sebagai cara-cara anti demokrasi; pembatasan hak pemilih, pemilu yang curang, dan intimidasi. Sekarang ini, legitimasi dicarikan dengan pemilu yang seolah-olah dapat dipercaya oleh semua orang; misalnya, seorang pejabat terpilih diatas hak universal suffrage, kontrol terhadap kecurangan, dan sebagainya.

Di Indonesia, pemilu 2009 merupakan penyempurnaan dari era demokrasi liberal. Sebelumnya, hampir semua badan-badan pemerintahan dipilih melalui pemilihan, seperti pilkada, pilkades, dsb. Selain itu, dibentuk saluran dan kanal-kanal yang memungkinkan terjadinya konflik di dalam proses demokrasi. Konflik pilkada dan pemilu sudah “ditadah” untuk diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam hal ini, menurut saya, untuk saat ini ada dua jebakan utama demokrasi liberal di Indonesia--mungkin juga di berbagai tempat: Pertama, mereka memfragmentasikan dan mengatomasi masyarakat dan kelompok-kelompok sosial menjadi individu-individu dengan orientasi sendiri-sendiri. bangunan ini dibuat dan dikelola, sedemikian rupa, terutama untuk menjaga perang diantara mereka; sebuah konflik horizontal yang dipelihara oleh control horizontal pula.

Dalam lapangan gerakan, bangunan ini dijaga melalui penciptaan sebuah kondisi dimana gerakan-gerakan sosial dipaksa untuk mencari goal nya sendiri. misalnya, gerakan HAM dipaksa hanya berbicara HAM, gerakan buruh juga dipaksa bergerak dalam zona sektoralnya, dan seterusnya. Padahal, neoliberalisme merugikan begitu beragam sektor sosial, bukan hanya kelas pekerja, petani, mahasiswa, dan miskin perkotaan, tetapi juga sebagaian sektor kapitalis nasional.

Dasar untuk menjaga semua sektor-sektor sosial ini agar mereka tetap terisolasi dan terfokus pada orientasi-orientasi parsial, padahal mereka hidup dalam hubungan yang kontradiktif, adalah untuk mencegah mereka menemukan common enemy, bertemu dengan kepentingan kolektif, dan memperjuangkan kepentingan nasionalnya.

Kedua, mereka mencoba memukul mundur partisipasi rakyat dengan cara menularkan apatisme dan anti-politik. Satu sisi, demokrasi liberal melempar rakyat menjadi apatis terhadap politik karena sistim ini gagal mentransformasikan perubahan dan perbaikan terhadap kehidupan rakyat. selain itu, apatisme dan tindakan apolitis ditularkan melalui penjaminan kebebasan individu, konsumerisme, dan sebagainya.

Dalam konteks ini, golput yang sebetulnya punya makna sebagai gerakan korektif terhadap sistem, ternyata perlahan ditransformasikan sejalan dengan kebebasan individu. Seseorang akan bangga dengan sikapnya yang golput, tanpa memeriksa konsekuensi dan tanggung jawab sosialnya secara politik. Alih-alih menjadikan golput sebagai gerakan politik yang aktif, justru diadaftasi oleh kelas menengah dan mapan sebagai kebudayaan politik mereka.

Sebagai contoh, di TPS 07 Komplek Mentri, Jalan Denpasar 2, Setiabudi, Jakarta Selatan. Dari hasilnya terlihat sangat mencengangkan. Dari sekitar 327 nama yang terdaftar, hanya 97 pemilih yang memberikan suaranya. Diantara mereka yang tidak muncul dan memberikan suara adalah Adhyaksa Dault, Aksa Mahmud, Andi Matalata, MS Kaban, Meutia Hatta, Mooryati Soedibyo, Irman Gustam, Widodo AS, Aburizal Bakrie dan Soetardjo Soerjoguritno. Menurut warga, mereka yang tidak menggunakan suaranya karena alasan sibuk, liburan, dan sebagainya. (sumber; bangadang.com)

Hal serupa juga terjadi di TPS 20 Taman Karawang, Karawang, Menteng, Jakarta Pusat, tempat Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mencontreng sudah tutup. Dari 270 orang yang terdaftar dalam DPT, hanya 140 orang yang menggunakan hak pilihnya. Alias hampir 50 persennya golput. Menurut petugas pemilihan, mereka tidak memilih karena memanfaatkan pemilu untuk jalan2 keluar negeri; belanja, dsb.

Berbeda dengan mereka yang merayakan golput sebagai kemenangan, justru saya beranggapan bahwa protes rakyat diberbagai TPS karena hak politiknya dicabut oleh KPU adalah ekspresi perlawanan politik yang aktif. Berbeda dengan pegolput yang berdiam diri dalam sebuah momen politik, justru mereka (baca; rakyat yang protes di TPS karena tidak masuk DPT) memperlihatkan tindakan politik aktif untuk menuntut partisipasinya dalam kehidupan politik.

Bagi saya, ini bisa diperdebatkan dan diuji validitasnya; gerakan golput ini. Jangan-jangan, anda merayakan golput sebagai kemenangan, padahal di Cikeas sana SBY juga berpesta karena besarnya angka golput sehingga dapat mengamankan suaranya. Semoga bukan begitu.

Ketidakmampuan Menghadang Neoliberalisme

Kemenangan Demokrat dan SBY, sebagai personifikasi dari kubu neoliberal, merupakan pukulan telak kepada seluruh kekuatan dan sektor yang anti neoliberal, terlepas apakah mereka ikut bertarung dalam pemilu atau tidak. Kekalahan ini bukan hanya dialami oleh elit-elit politik yang mencoba menggunakan retorika anti-neoliberal, tetapi juga kekalahan nyata dari gerakan anti-neoliberal di dalam gerakan massa.

Hal ini menjelaskan bahwa; pertama, meskipun keresahan terhadap neoliberalisme sudah muncul dimana-mana, akan tetapi gerakan anti-neoliberalisme yang dipromosikan oleh gerakan perlawanan maupun di kekuatan politik di parlemen, belum mampu menggerakkan sektor luas rakyat Indonesia untuk mengambil tindakan politik melawan neoliberalisme.

Baik sentimen anti-neolib di parlemen maupun gerakan massa punya kepentingan yang sama dalam menentang dan menghadang neoliberalisme. Dalam banyak momen dan wilayah aksi, sebetulnya kedua arus ini punya peluang bekerjasama dan menguatkan satu sama lain. Tetapi pada kenyataannya; yang satu meninggalkan yang lain. Akibatnya, kekuatan anti-neoliberal belum cukup kuat menghadang neoliberalisme.

Kedua, kemenangan kali ini, yang berbeda dengan pemilu 2004, telah menempatkan SBY dan pendukungnya sebagai kekuatan mayoritas dalam perolehan suara dan kemungkinan menjadi mayoritas di parlemen.

Seperti diketahui, suara partai demokrat melonjak hampir 300%, sebuah lonjakan yang fantastis. Tentusaja, hal ini berarti lipatan kekuatan bagi SBY dan kubunya dalam menjalankan kebijakan neoliberal yang jauh lebih agressif. Sedangkan bagi kita kaum pergerakan, ini adalah dosa yang perlu ditanggung. Kenapa? Karena kita telah membiarkan rejim begitu reaksioner berkuasa, hampir tanpa perlawanan cukup berarti.

Sudah begitu, meskipun neoliberal muncul sebagai musuh nyata di depan mata, belum juga terlihat sebuah usaha signifikan dari kaum pergerakan untuk membendungnya. Terkadang, kita sering kebingungan dalam mendefenisikan mendefenisikan siapa musuh dan siapa kawan terdekat, maupun sektor-sektor tertentu yang dapat dinetralisir dalam tahap histories tertentu. Sehingga, berulang kali, kita bermimpi hendak memukul musuh keseluruhan secara sekaligus, dalam satu pukulan, pada sebuah momen menentukan. Jadinya, kita selalu menunggu momen menentukan tersebut. Apa bedanya dengan para utopis?

Kemenangan SBY, bagaimanapun, telah menampar muka kita yang terlalu meremehkan keluwesan rejim neoliberal dan demokrasi liberalnya dalam mereproduksi sistem.

Hutang Luar Negeri Dan Kelanjutan Rejim SBY

Dalam sebuah kampanye partai Demokrat di Magelang, Jawa Tengah, pada 5 April lalu, SBY menjawab pertanyaan salah seorang simpatisan partai mengenai kebijakan utang luar negeri. Pada kesempatan itu, SBY menyatakan, "Ngemplang itu enggak punya harga diri. Mau minjam, kok enggak bayar. Saya tidak mau mencoreng bangsa, dan dicap sebagai bangsa yang ngemplang utang.


Pernyataan diatas, sebetulnya, menjelaskan garis besar kebijakan politik dan ekonomi pemerintahan SBY, yakni tetap mengadvokasi neoliberalisme dan pro-imperialisme. Seperti diketahui, perangkap utang (debt trap) merupakan instrumen bagi negeri-negeri kapitalis maju dan korporasinya untuk menjalankan “perampokan” di negeri-negeri dunia ketiga. Bahkan Rizal Ramli menyatakan, karena para pemimpin kita bermental orang terjajah (inlander), cawan-cawan emas itu cuma dipakai untuk mengemis uang pinjaman recehan kepada lembaga multilateral seperti IMF dan Bank Dunia. Uang pinjaman harus “ditukar” dengan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang sesuai dengan garis neoliberal dan kebijakan Washington Consensus. UU Migas, UU Privatisasi Air dan UU Privatisasi BUMN adalah contoh UU yang dibuat dengan iming-iming uang pinjaman dari lembaga multilateral. Dengan kata lain, kebijakan ekonomi Indonesia telah “diijonkan” dan “digadaikan” demi uang pinjaman. Tidak ada lagi kedaulatan dalam bidang ekonomi. Itulah bentuk baru dari neokolonialisme .

SBY dan Utang Luar Negeri

Tidak ada yang berbeda antara SBY dengan rejim sebelumnya. dalam lima tahun masa pemerintahannya, pemerintahan SBY berhasil mengakumulasi jumlah utang yang jauh lebih besar. Untuk diketahui, outstanding Utang luar negeri Indonesia sejak tahun 2004-2009 terus meningkat dari Rp1275 triliun menjadi Rp1667 triliun . sementara itu, tercatat terjadi peningkatan total utang luar negeri secara signifikan dari Rp. 662 triliun (2004) menjadi Rp. 920 triliun (2009). Artinya Pemerintah “berhasil” membawa Indonesia kembali menjadi negara pengutang dengan kenaikan 392 triliun dalam kurun waktu kurang 5 tahun. Atau peningkatan utang negara selama pemerintah SBY naik rata-rata 80 triliun per tahun. Angka penambahan jumlah utang rata-rata ini mengalahkan utang di era Soeharto yakni 1500 triliun dalam jangka 32 tahun .

Sementara itu, sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri menunjukkan tren yang meningkat. Sejak awal masa pemerintahan presiden SBY di tahun 2005 sampai dengan September 2008 total pembayaran bunga dan cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp277 triliun. Sedangkan total penarikan pinjaman luar negeri baru dari tahun 2005 sampai dengan September 2008 sebesar Rp101,9 triliun .

Ketika krisis financial mengguncang dunia, termasuk Indonesia, pemerintah kemudian buru-buru mencari pinjaman baru. Alasannya, menurut Paskah Suzeta, pemerintah memerlukan dana segar untuk mengatasi keterbatasan kapasitas belanja pemerintah agar menopang pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan. Sampai dengan sekarang pemerintah menyatakan ”berhasil” mendapat komitmen pinjaman siaga hingga US$6 miliar (setara Rp. 66 triliun) yang bersumber dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Islam (IDB), Bank Pembangunan Asia (ADB), Pemerintah Australia, dan Pemerintah Jepang .

Akhirnya, keputusan SBY untuk menceraikan IMF pun patut dipertanyakan. Pasalnya, jejak dan kuku-kuku IMF masih menancap tajam di Indonesia. Hal ini tidak sulit untuk dibuktikan; pertama, pemerintah masih memberi tempat utama kepada menteri-menteri dan ekonom pro-IMF, seperti Budiono dan Sri Mulyani. Bahkan, Budiono yang ditunjuk sebagai gubernur BI, adalah bekas menteri keuangan era Megawati yang dikenal dekat dengan IMF. Kedua, perpisahan dengan IMF tidak mengakhiri politik utang ala imperialisme. Sampai saat ini, kebijakan politik dan ekonomi masih dominan oleh campur tangan asing, yang juga merupakan kreditor.

Program BLT-BOS-PNP Mandiri dan Utang Luar Negeri

Banyak pihak yang menuding, peningkatan suara partai demokrat dalam pemilu legislatif lalu tidak terlepas dari program populis SBY, seperti BLT, PNP-mandiri, dan BOS. Bahkan, beberapa pihak mencoba menyamakan program-program SBY tersebut dengan program sosial demokrasi—sistim jaminan sosial?

Baiklah, kita bisa memperdebatkannya. Jika diteliti, program seperti Bantuan Operasional Sekolah, PNPM Mandiri, Bantuan Langsung Tunai, tidak dapat dilepaskan dari pinjaman utang luar negeri. Untuk diketahui, sebagian besar pendanaan program-program itu berasal dari pinjaman utang, terutama Bank dunia (melalui IBRD). Untuk tahun 2008 saja, Bank Dunia menggelontorkan dana untuk Program Nasional Pemberdayaan Nasional (PNPM) Mandiri sebesar USD 400 juta. Seperti yang dituliskan oleh Ishak Rahman, dalam Pembangunan Berbasis Utang vs. Kemandirian Bangsa, dikatakan, utang-utang tersebut harus dikembalikan pada tahun 2030, seperti yang tercantum dalam Loan Agreement Nomor 7504-ID yang ditandatangani pada tanggal 6 Juni 2008 .

Selain PNP Mandiri, Bank dunia juga mendanai program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) senilai USD 600 juta, dan harus dibayar hingga 2033. Data ini akan semakin "mengerikan" jika kita tambahkan dengan berbagai pembiayaan untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT), Peningkatan Kapasitas Sistem Pendidikan Tinggi (yang disebut-sebut sebagai imbalan atas kepatuhan Indonesia memprivatisasi pendidikan tinggi melalui BHP), dan lain-lain .

Dengan demikian, tidak pantas menyebut program BLT, BOS, ataupun PNP Mandiri sebagai program populis, apalagi sosial demokrasi, karena beberapa hal; pertama, kebijakan ini merupakan salah satu cara mengintensifkan utang. Melalui kebijakan ini, proses akumulasi utang berlansung secara agresif dan menimbulkan masalah di masa mendatang (2030). Kedua, kebijakan ini tidak dapat mempertahankan standar kesejahteraan rakyat yang terus merosot. Dari segi efektifitas, dampak dari program ini benar-benar tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan oleh neoliberalism.

Jika jaminan sosial ala sosial demokrasi cenderung menjadi “penawar” bagi racun kapitalisme, maka program BLT, BOS, dan PNPM mandiri lebih merupakan “sogokan” agar rakyat tidak marah karena kebijakan pencabutan subsidi. Jadi, disini, kebijakan BLT, BOS, dan PNPM mandiri sama sekali tidak melanggar mekanisme pasar.

Justru, dengan sedikit bumbu kampanye dan iklan, program-program ini coba ditampakkan seolah-olah sebagai program populis oleh pemerintah. Dan keterkaitan Bank Dunia dalam mempromosikan program ini, menjelaskan bahwa kapitalis internasional benar-benar mendukung kelanjutan rejim neoliberal di Indonesia.

Utang Luar Negeri dan Neoliberalisme

Pada tahun 1970an, pemerintahan di negeri-negeri dunia ketiga begitu mudah untuk mendapatkan pinjaman di bank-bank di Amerika Utara, Eropa, Australia, dan Jepang. Jutaan dollar uang kemudian dituangkan dalam proyek-proyek investasi, tetapi sangat sedikit yang memberi manfaat kepada rakyat negeri dunia ketiga. Rejim-rejim korup di negeri dunia ketiga, yang dibackup oleh kekuasaan di barat, menggunakan pinjaman-pinjaman tersebut untuk proyek seperti stadion olahraga, lapangan golf, dam, persenjataan, dsb, dan sebagian lagi dimasukkan ke kantong pribadi.

Pada akhir 1970an, paska perang berkepanjangan, suku bunga di AS mengalami kenaikan drastis. Hal ini mendorong apa yang disebut krisis utang (debt crisis), dimana Meksiko pertama kali mengawali kejadian ini pada 1982. Meksiko dinyatakan tidak lagi punya kemampuan membayar utangnya.

Pada tahun 1980an, lebih dari 80 negara yang mengalami “debt crisis” dipaksa untuk menjalankan “structural adjustment programs/SAP”, dimana pemerintahnya didorong untuk mengurangi subsidi dan jaminan sosial kepada rakyatnya. Selain itu, “debt crisis” dijadikan sebagai senjata untuk membuka pintu tebal “nasional” negara dunia ketiga dan mengijinkan dominasi korporasi-korporasi raksasa internasional menggantikan perusahaan domestik.

Utang luar negeri, bagaimanapun, bukan hanya alat untuk memaksakan pengaliran capital dari negeri-negeri berkembang ke negara maju, tetapi lebih jauh dari itu adalah instrumen untuk mengontrol kebijakan politik dan ekonomi negara debitur, sehingga membuka jalan untuk menguasai sumber dayanya. Tidak salah, seperti juga yang dicatat oleh Susan George, bahwa utang telah memupuk kesenjangan antara negara dunia pertama dan negara dunia ketiga. Seperti di catat Susan George , pada abad 18 gap antara negeri kaya dan miskin adalah 2:1. Setelah perang dunia ke II, gap ini meningkat menjadi 40:1. Dan sekarang ini, posisi gap nya sudah berada pada 60:1.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Teresa Hayter mengenai hal ini, juga memberikan kesimpulan menarik. Menurut Hayter, hal-hal yang dipersyaratkan dalam pemberian utang luar negeri biasanya adalah: (a) pembelian barang dan jasa dari negara pemberi pinjaman; (b) peniadaan kebebasan dalam melakukan kebijakan ekonomi tertentu, misalnya, nasionalisasi perusahaan asing (khususnya yang dilakukan tanpa kompensasi); (c) permintaan untuk melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikehendaki, terutama peningkatan peran sektor swasta dan pembatasan campur tangan langsung pemerintah dalam bidang ekonomi.

Berdasarkan ketiga persyaratan tersebut, menurut Hayter, utang, secara umum, memungkinkan bagi negara-negara menyesuaikan politik internalnya, menyeleraskan kebijakan luar negerinya, perlakuan yang baik bagi investasi, kebijakan prioritas ekspor, dan sebagainya, yang pada dasarnya merupakan kondisi yang diinginkan, dikehendaki oleh lembaga atau negara pemberi bantuan, supaya tidak mengancam kepentingan mereka.

Apa yang dijalankan oleh pemerintahan SBY, setidaknya dalam lima tahun terakhir, mengkonfirmasi apa yang menjadi kesimpulan Susan George dan Hayter . Disini, saya hanya membeberkan beberapa fakta besarnya; pertama, Berlanjutnya kebijakan pencabutan subsidi sosial, seperti pencabutan subsidi BBM, kesehatan, pendidikan, dll. Dalam hal subsidi BBM, SBY bahkan menaikkan harga BBM sebanyak tiga kali, sebuah rekor tertinggi dibandingkan rejim sebelumnya. kedua, berlanjutnya kebijakan privatisasi. Periode 1991-2001, pemerintah Indonesia 14 kali memprivatisasi BUMN. Yang terprivatisasi 12 BUMN. Sedangkan dibawah SBY, situasinya cukup menggemparkan, bayangkan, hanya dalam setahun 44 BUMN dilego. Apalagi, privatisasi kali ini disertai penjualan seluruh saham 14 BUMN industri, 12 BUMN kepada investor strategis, dan beberapa BUMN lainnya kepada asing. Ketiga, lahirnya produk perundangan yang sangat “ramah” dan mengakomodasi kepentingan asing, terutama bagi perusahaan multi-nasional, seperti UU Penanaman Modal, UU Ketenagakerjaan, UU Privatisasi Air, UU Migas, UU minerba, dsb. Semua hal yang saya sebutkan diatas, merupakan bukti penyelerasan bentuk kebijakan politik dan ekonomi kita kepada kepentingan imperialis dan korporasinya.

Jadi, takkala SBY menolak me-ngemplang utang dengan alasan martabat bangsa, tentunya ini pernyataan absurd. Tidak pantas SBY berbicara martabat dan kemandirian bangsa, selama kebijakan politik dan ekonominya masih menghamba pada neoliberalisme. Utang luar negeri, kebijakan yang dibanggakan SBY, telah menyeret milyaran umat manusia di bumi ke dalam kemiskinan absolut. Raksasa-raksasa seperti General motor, ExxonMobile, Rio Tinto, Shell, Newmont, British Petroleum, dll, telah menikmati “rejeki nomplok” dari kebijakan utang, sedangkan 230-an juta rakyat Indonesia menanggung “beban penderitaan”.

Kamis, 16 April 2009

MERDEKA atau merdeka.....

MERDEKA atau merdeka.....



Kemerdekaan tidak diberikan begitu saja oleh pihak penindas,
karena itu sang tertindaslah yang harus memperjuangkannya
-Martin Luther King Jr-


kenalkah anda dengan Soekarno, hatta, syahrir, atau Tan Malaka. jawabannya sudah pasti anda mengenal mereka semua. yah.. merekalah orang-orang yang sangat berjasa kepada Negeri ini. Para Pounding father yang membawa Negeri kita ke pintu gerbang kemerdekaan Indonesia 63 tahun lalu. Tanpa jasa mereka, kemungkinan besar kita yang hidup di masa sekarang masih memangkul senjata bahkan bergerilya di belantara hutan untuk berperang melawan kaum penjajah.

Kenalkah anda dengan paijo, suratman, atau cecep. jawabannya sudah pasti anda tidak mengenal mereka, saya pun demikian. Kita semua tidak mengenal mereka sama sekali. Mengapa? karena mereka bukanlah kaum intelektual seperti soekarno, hatta, syahrir ataupun tan malaka. mereka hanyalah pahlawan tak di kenal yang pernah berjuang di front terdepan dan bergerilya di hutan-hutan Indonesia untuk melawan kaum penjajah. nama-nama mereka memang tak setenar tokoh-tokoh intelektual diatas. Tapi karena rasa cinta akan negeri ini dan keinginan MERDEKA dari penjajahan membuat mereka melakukan semua itu. Mereka inilah para pahlawan tak dikenal yang mendapat tempat tersendiri dalam karya Chairil anwar "Antara karawang dan Bekasi".

Mereka berjuang tanpa pamrih demi KEMERDEKAAN dalam makna sebenarnya bukan kemerdekaan dalam makna yang sempit. MERDEKA yang mereka impikan adalah melepas diri dari keterkungkungan imperialisme dalam segala aspek yaitu MERDEKA secara fisik, MERDEKA secara ekonomi, MERDEKA secara Politik dan MERDEKA secara Ideologi. Mereka memang tak sepintar tokoh-tokoh intelektual yang saya sebut diatas, namun mereka menaruh harapan dipundak tokoh-tokoh intelektual itu demi keinginan mulia, yakni MEMERDEKAKAN seluruh rakyat Indonesia.

63 tahun sudah berlalu, namun KEMERDEKAAN yang pernah mereka perjuangkan di belantara hutan Indonesia seakan jauh dari impian mereka, MERDEKA yang mereka perjuangkan ternyata hanya dinikmati oleh segelintir orang. Ironis, nyawa dan harta yang dikorbankan seakan tak berharga.

anda mungkin bertanya, siapa nama2 yang saya sebut diatas. mereka itu adalah para pejuang yang pernah bergerilya melawan kaum penjajah yang sekarang anak cucunya hanyalah rakyat miskin yang tidak memiliki apa-apa. sungguh ironis, seorang anak yang kakeknya adalah mantan pejuang kini hanyalah seorang pengemis diperempatan lampu merah. anak ini sempat bercerita panjang lebar tentang heroisme kakeknya kepada saya ketika berperang di Bekasi dan karawang pada tahun-tahun awal kemerdekaan dulu. walaupun akhirnya sang kakek terbunuh di medan perang, namun keberanian sang kakek selalu menjadi cerita turun temurun keluarganya.

so.. sekarang tugas kita sebagai generasi muda bangsa ini untuk MEMERDEKAKAN lebih dari 19,1 juta rakyat miskin indonesia (penerima BLT) ke gerbang KEMERDEKAAN yang kedua kalinya. Mereka (19,1 juta rakyat miskin) telah menaruh harapan itu dipundak kita sebagai kaum intelektual untuk menyelamtkan mereka dari penjajahan gaya baru (neoimperialisme) yang tengah berlangsung di Negeri ini. Asa itu mereka percayakan kepada kita sama seperti orang tua mereka menaruh harapan dipundak para pounding Father.

Akhirnya, selaku pribadi dan generasi muda bangsa ini saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pounding father dan para pahlawan tak dikenal yang telah berjasa besar MEMERDEKAKAN bangsa ini dari kaum imperialis. DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE 63. Sekali Merdeka tetap Merdeka...!!!

Tuhan, Apa Agama-Mu

Tuhan, Apa Agama-Mu


Judul diatas adalah pertanyaan kritis dari seseorang yang penulis temui di atas Kereta api (KA) dalam perjalanan Jakarta-Jogja beberapa waktu lalu, seseorang yang kehilangan keyakinan akan adanya Tuhan dan memilih menjadi seorang Atheis, walaupun di KTP-nya tertulis berAgama Islam, namun menurut dia itu hanyalah simbol untuk kelengkapan data-data KTP. Mungkin ini pilihan dia sebagai seorang anak manusia, namun penulis tetap berharap semoga ada cahaya yang meluruskan presfektifnya tentang Tuhan dan Agama. Insya Allah....

Sesungguhnya kebutuhan manusia akan Agama merupakan kebutuhan primer atau dasar yang berhubungan erat dengan substansi kehidupan, misteri alam, dan hati nurani yang paling dalam. Keyakinan terhadap Agama timbul dari kebutuhan untuk mengetahui dirinya dan hakikat eksistensi alam semesta (makro kosmos) dan sekitarnya, yang sering menimbulkan pertanyaan terhadap manusia. Agama adalah suatu sistem nilai yang di akui dan di yakini kebenarannya oleh pemeluknya dan merupakan jalan menuju keselamatan hidup. Karena beragama merupakan kebutuhan, maka orang yang tidak beragama adalah orang yang tidak memahami esensi kehidupan itu sendiri.

Dalam sejarah, kita mengetahui begitu banyak Agama atau Aliran kepercayaan yang tumbuh dan berkembang, ada yang masih eksis hingga kini dan ada yang telah hilang di telan zaman. Pada hakikatnya semua Agama atau aliran kepercayaan di manapun didunia ini mempercayai akan adanya suatu kekuatan Ghaib yang mengatur Alam Semesta, walaupun dengan penapsiran yang berbeda-beda. Agama samawi (Islam, Kristen dan Yahudi) mempresepsikan Pengatur Makrokosmos ini dengan sebutan Tuhan (Allah), sedangkan Agama Hindu menyebutnya dengan Dewa dan Agama Budha menyebutnya sang hyang widhi, atau Agama dan aliran-aliran kepercayaan yang lainnya menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda. Sejarah zaman purba pun tak lepas dari kepercayaan akan adanya kekuatan Ghaib diluar manusia, Penyembahan Matahari dan pemujaan terhadap roh-roh mengindikasikan hal ini. Manusia dari zaman ke zaman selalu memahami akan eksistensi Ketuhanan dan menempatkannya dalam kebutuhan mendasar.

Dengan adanya penapsiran konseptual yang berbeda-beda ini, maka Ke-eksistensial Tuhan pun mengalami presepsi yang berbeda-beda pula, yang pada akhirnya menjerumuskan manusia dalam perang presepsi. Sehingga tak jarang perang ide ini memasuki wilayah kritis yang terisolasi doktrinisme, dengan nama Tuhan konflik terbukapun tak dapat di elakan. klaim atas kebenaran Agama sering memicu terjadinya diskriminasi terhadap Agama lainnya, yang pada akhirnya menyentuh sisi Spiritualitas penganutnya, timbulah pembelaan-pembelaan atas nama Tuhan bagi Agama yang merasa di ganggu dan dirongrong eksistensinya, dan lahirlah panatisme buta, sehingga Anarkisme, arogansi, dan terorpun terjadi.

Sejarah telah banyak mengabadikan konflik horisontal antar umat beragama. Perang Salib antar umat Islam dan Kristen adalah peristiwa Fenomenal yang bersejarah, konflik ini telah menyulut pertikaian sepanjang zaman dan efeknya sangat luar biasa, karena terasa hingga kini. Konflik-konflik yang muncul di zaman sekarang merupakan representatif dari peristiwa-peristiwa lalu yang kurang lebihnya memiliki muatan dan motif yang sama. Peristiwa serupa juga bukan hanya terjadi antar umat Islam dan Kristen, namun sejarah juga telah mencatat konflik terbuka antara umat hindu dan Budha disaat pertama kali ajaran Budha di siarkan di tanah India. dan banyak pula peristiwa-peristiwa lainnya yang bila kita runut memiliki motif serupa, yakni atas nama Tuhan, Agama dan Keyakinannya.

Dengan nama Tuhan, Sebuah Agama menyatakan Eksistensi dan nilai-nilai serta norma-normanya. Semua Agama meyakini bahwa Tuhan yang mereka sembah adalah benar. Lantas apa Agama Tuhan...? inilah pertanyaan kritis yang coba di lontarkan seseorang yang penulis temui di kereta itu. Pertanyaan yang sederhana Bukan.? namun setidaknya bisa memicu perdebatan yang tak akan habis-habisnya. Seandainya semua pemuka Agama di dunia ini berkumpul dan duduk dalam satu Forum diskusi, apa yang terjadi..? tentunya adalah perbedaan pendapat mempertahankan Ego masing-masing.

Sebagai seorang Muslim, tentunya penulis meyakini Allah sebagai Tuhan dan pengatur Makrokosmos, tapi apakah keyakinan penulis bisa diakui oleh orang-orang yang Non Muslim - Tentu tidak, karena mereka memiliki keyakinan sendiri. Namun lewat tulisan ini penulis mau memberikan sedikit tanggapan atas pertanyaan yang menurut penulis adalah pertanyaan Lucu dan Konyol tentang Apa Agama TUHAN..?
pertama, Bahwa menurut penulis TUHAN tidak beragama, yang berAgama hanyalah Manusia, Tuhan adalah Tuhan bagi semua umat manusia, Alasannya; Seandainya Tuhan beragama, tentunya Agama lain akan dimusnahkan karena melanggar perintahnya.
kedua, Karena penulis beragama Islam, maka informasi tentang Tuhan adalah lewat Al'Qur'an. Dalam surat Al Fatihah, Allah menyebut dirinya Rabbil Alamin (Tuhan Semesta Alam), dari sinilah penulis meyakini bahwa Tuhan adalah milik semua yang ada di alam semesta ini.
Ketiga, Tentang Informasi berikutnya dalam Al'Qur'an Allah menyebut Islam sebagai Agama yang diridhoi (lihat Al'maidah,03). informasi ini menyatakan tentang Islam sebagai Agama yang di Legitimasi langsung oleh Tuhan sebagai Agama yang benar, lurus, dan satu-satunya Jalan menuju kepada-NYA. Dan menegaskan kepada kita semua bahwa Tuhan bukan beragama Islam, namun meridhoi Islam sebagai Agama yang benar.

Terlepas dari ketiga Alasan diatas, Al'qura'an pun mengajarkan kita tentang Toleransi terhadap Agama yang lainnya (lihat Surah Al-Kafirun). Sehingga adanya saling menghormati dan menghargai sesama manusia. karena sesungguhnya kita semua (manusia) adalah mahkluk ciptaannya yang disebarkan di muka bumi ini untuk menjadi Khalifahnya. Sebuah peristiwa berikut di zaman nabi mungkin menjadi contoh dan teladan bagi kita semua, (Ketika Rasulullah sedang duduk dengan para Sahabatnya, lewatlah iring-iringan pembawa mayat seorang Yahudi yang akan di kuburkan. Lantas Rasulullah berdiri - di ikuti para sahabatnya dengan mimik penuh tanda tanya. Setelah iring-iringan itu berlalu, para sahabat kemudian bertanya kepada Rasulullah " ya Rasulullah kenapa anda berdiri , sedangkan mayat yang sedang ditandu adalah seorang yahudi dan bukan seorang mukmin". Dengan senyum, Rasulullah menjawab " memang dia adalah seorang yahudi, tapi bukankah dia seorang Manusia"). Inilah jawaban Rasulullah yang kiranya menjadi renungan bagi kita semua.

Akhirnya, dengan spirit surah Al'Kafirun dan atas nama kemanusiaan, marilah kita semua (umat Manusia) membangun Dunia ini dengan tanpa kekerasan dan saling membenci. Hilangkan Konflik ATAS NAMA TUHAN, sehingga kedamaian yang diimpikan semua Agama bisa terwujud. Semoga Kita semua umat Beragama bisa melihat Sejarah sebagai informasi Edukatif, sehingga pertiakaian atas nama Tuhan tidak lagi menjadi momok yang mengerikan dizaman modern ini. Pertikaian hanya akan menjadikan kesengsaraan yang berkepanjangan bagi kemanusiaan.
HOW ABOUT YOU.???? semoga (ROE)

Rabu, 08 April 2009

Pemusik Yang Sederhana dan Pejuang Revolusioner

Manu Chao adalah superstar dan pemusik terkenal, bukan saja di daratan eropa, tetapi juga di amerika latin, sebagian asia, dan afrika. Kehadirannya dalam dunia musik dipersamakan dengan legenda reggae asal Jamaika, Bob Marley. Kecuali itu, ia juga dianggap tokoh penting dalam mengubah kegiatan bermusik menjadi bagian dari gerakan anti globalisasi, persis seperti ketika Bob Dylan menjadi musik sebagai alat perdamaian dan persamaan hak-hak kaum sipil pada tahun 1960-an.


Manu Chao adalah selebriti terkenal, tapi rendah hati. Ia telah bermain di depan 100.000 di Zocalo, yang merupakan lapangan terbesar di Meksiko city. dia juga mendapat sanjungan 90.000 penonton di festival Coachella di Calfornia pada bulan april, dimana ia tampil setelah band Rage Againts The Machine. Dan di Glastonbury, ia benar-benar mengguncang penonton dengan lagu-lagunya; A Cosa, Clandestino, Tristeza Maleza, La primavera, radio bemba, dan lain-lain.

Album solonya yang pertama, clandestino (1998), yang dibuat pada sebuah studio kecil, ternyata terjual 2,5 juta di Perancis. Tahun 2001, ia kembali merilis album kedua, Esperanza, pada tahun 2001, dimana ia kembali mendapat pujian dan dukungan dari banyak penggemar. Manu Chao di ulas dihalaman depan wall-street journal pada saat itu.

Tiap hari, radio-radio kenamaan di eropa dibanjiri oleh request lagu-lagu Manu Chao. Pada tahun 2005, album radio bemba soundsystem mendapat penghargaan sebagai album terbaik pada tahun itu oleh Rollin Stone, MOJO, SPIN, Blender, National Public Radio dan sebagainya.

Kehidupan Politik

Dilahirkan di Spanyol, 21 juni 1961, dari seorang ayah Galisia dan ibunya yang Basque. Ketika masih kecil, manu (sapaan akrabnya) harus menyertai ayah dan ibunya yang pergi ke perancis untuk menghindari kediktatoran Fransisco Franco. Di perancis, Manu berkenalan dengan kemiskinan dan diskriminasi ekonomi, bersama dengan kaum imigran lainnya. Manu dibesarkan di pinggiran kota Paris, yaitu di Boulogne-Billancourt. Setiap sore, ia selalu bermain bola bersama anak-anak pekerja dari pabrik Renault.

Manu Chao bermain musik sambil berpolitik. Ia mengatakan; “musik adalah ekspresi, dan politik adalah bagian dari kehidupan saya”. “ayah dan ibu saya adalah seorang aktifis, dan sejak kecil saya mengetahui hal itu” ungkap Manu Chao. Kehidupan sebagai pelarian politik, membuat manu dan keluarganya harus berpindah-pindah dari kota yang satu ke kota yang lain.

Pada tahun 1980-an, pada saat masih bersama bandnya “manu negra”, ia dianjurkan melakukan tur ke Amerika Serikat. Tetapi, bukannya berlayar ke Amerika Serikat, malah berlayar ke Amerika Selatan dan bermain musik pada setiap pelabuhan yang dijumpainya. Pada tahun 1993, Manu Negra kembali ke Amerika latin. Di sana, manu negra membeli sebuah kereta tua dan berkeliling Kolombia, dimana ia berjumpa dengan gerilyawan bersenjata, petani, dan penjual obat. Pengalaman itu benar-benar mempengaruhi kesadaran politiknya. Ia makin politis dan membenci neokolonialisme.

Pada bulan maret 2006, Manu Chao tampil memukau membakar semangat anti-imperialisme rakyat Kuba, ketika ia tampil pada konser tunggal di Plaza Jose’ Marti, Havana, Kuba. Ia memulai lagunya dengan orasi pembuka; “gelorakan revolusi kuba, death yankee!”. Ia juga menyatakan solidaritas dan dukungannya kepada rakyat Kuba dan presiden Fidel Castro, yang telah dengan gagah berani menghadapi blockade imperialisme AS. Setelah itu, ia melanjutkan tour Amerika Latinnya ke Caracas, Venezuela, dimana ia bertemu dan belajar proses revolusioner dari tangan pertama, Hugo Chavez. Dia juga melanjutkan tournya Ke Bolivia, dimana Evo Morales telah menunggunya.

Dalam sebuah wawancara yang termuat di Radiochango, Manu jelas menghargai politik Chaves yang berani memutus hubungan dengan AS, bahkan melawannya. Dia sangat menyimak detik-detik kudeta terhadap Chaves, dan actor utama dari kudeta adalah AS. Terhadap gerakan ETA, meskipun orang ibunya adalah seorang Basque, ia tidak terlalu mendukung ide-ide negara berdiri sendiri, tetapi jelas ia mengutuk kekerasan dan penindasan di sana.

Manu Chao sangat kagum pada EZLN (Zapatista), karena meskipun gerakannya adalah bersenjata, tetapi lebih mendahulukan jalan damai. Dalam sebuah perjalanan ke pedalaman Chiapas, Manu Chao bernyanyi ditengah-tengah orang yang sedang memanggul senjata. Terhadap hal itu, ia mengatakan; “Anda tidak bisa melawan teror dengan teror, atau kekerasan dengan kekerasan. Kekerasan hanya bisa dilawan dengan menyediakan pendidikan, pangan, dan saling pengertian yang baik.”

Manu Chao bukan hanya mengeritik kapitalisme melalui lirik lagunya. Manu chao bergabung dalam demonstrasi di Genoa dan Barcelona. Dalam demonstrasi genoa, manu bergabung dengan 300.000 orang penentang kapitalisme. Bahkan, ia menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana polisi melancarkan kekerasan terhadap para demonstran. Dia juga bernyanyi dalam pertemuan para aktifis di Forum Sosial Dunia(WSF), di Porto Allegre, dimana ia mengeritik bush dengan sangat pedas.

Banyak di antara lagunya bercerita tentang realitas penindasan. Rainin' in Paradise (Hujan di Nirwana), misalnya, mengkritik tajam pemerintah Amerika Serikat atas berbagai tragedi yang terjadi di Zaire, Kongo, Irak, Palestina, sampai di Kolombia. Demikian halnya lagu Clandestino (Bawah Tanah), La Primavera (Musim Semi), dan Politik Kills (Politik yang Membunuh), menggambarkan sikap politiknya.

Kesederhanaan

Meski masuk dalam deret selebriti dunia, manu chao tetap merendah. Bahkan, ia menolak musiknya diberi label “musik dunia” oleh BBC. Baginya, itu merupakan salah satu strategi neo-kolonialisme Inggris dan AS untuk menandai musisi dari luar dunia berbahasa inggris.

Dibalik kesederhanaanya, terutama bagi penggemarnya, nama Manu Chao terus melejit. Selain bermain musik diatas panggung dan studio, Manu dapat bermain musik dimana saja, kapan saja, dan dengan peralatan seadanya. Kadang ia bermain musik di kafe, di jalanan, di toko, di jalanan, di rumah-rumah warga, bahkan di perkampungan orang-orang miskin.

Mengenai pembajakan, yang paling ditentang keras oleh pemusik professional dan papan atas, manu malah tidak mempersoalkannya. Malah, lagu-lagunya dalam bentuk audio dan video disebar di internet dan dapat dicopy secara bebas. Ia juga tidak mempermasalahkan lagu-lagunya digandakan orang, tanpa perlu menyetorkan sejumlah uang. Manu lebih senang lagunya dinikmati orang, dihargai, dan jadi inspirasi, ketimbang tersimpan dalam studio, industry-industri musik, dan pusat-pusat penjualan kaset.

Dalam hal penjualan CD-CD-nya, manu berjuang keras agar tidak dikendalikan pasar. Anda dapat mengontrol label, tetapi tidak pada masalah distribusi. Manu berjuang keras agar CD nya dijual murah dan melalui proses sirkulasi yang alami. “kami menurunkan harga CD hingga 500 pesetas (mata uang spanyol)”; kata manu. Kami tidak mementingkan royalti, tetapi seluruh rakyat dapat membeli, itu yang terpenting.

The Clash dan Bob Marley sangat mempengaruhinya. Keduanya adalah pemusik dan juga aktifis politik yang radikal. Ia mengakui pengaruh The Clash pada albumnya, Bongo Bong. Sedangkan untuk penghargaannya kepada Bob Marley, ia menuliskan sebuah lagu berjudul “Mr. Bobby”.

Ia benar-benar mengagumi Diego Armando Maradona, pelatih tim nasional Argentina. Ketika itu, manu muda sempat membuat lagu berjudul “santa maradona”, ketika maradona muda menjadi pahlawan argentina dengan gol tangan tuhannya. Sekarang, dalam album La radiolina, ia mempersembahkan lagu “La Vida Tombola”, khusus untuk penghargaan kepada legenda sepak bola dunia tersebut. Seperti diketahui, Maradona bersama Chaves memimpin aksi puluhan ribu orang menentang FTAA dan kedatangan Bush ke Argentina, pada tahun 2003.

Lagu-lagu Manu juga menggambarkan budaya sehari-hari kaum yang terpinggirkan. Seperti pada hits Minha Galera (Orang-orangku) yang berirama pelan, Manu Chao angkat cerita tentang kerinduan pada kampung halaman, pada kawan-kawan penggemar sepak bola, pada musik daerah, gubuk-gubuk, tarian capoera, pada minuman khas daerah, dan pada asap marijuana. Dalam lagu yang lain, ia tuturkan ketertindasan dan harapan masa depan para pelacur. Lagu berjudul Me Llaman Calle (Aku Dipanggil Jalanan) ini diilhami kehidupan perempuan penghibur di sekitar kafe tongkrongannya, di Barcelona.

Ketika tampil di Brocklyn, dihadapan puluhan ribu penonton, Manu berkali-kali mengulang kata “Corazon”, yang berarti hati, dan meletakkan mikrofon di dadanya. Ia kemudian berkata; sebentar lagi sebuah badai akan datang. Dan tiba-tiba, benar saja, sebuah petir menyambar dan sejumlah peralatan panggung. Manu lantas bernyani Proxima estacion Esperanza'; “ hujan berfungsi sebagai perwujudan harapan, yaitu harapan pada politik negeri yang lebih bermartabat, hari depan yang lebih baik, dan hari depan dimana musik bukan lagi sekadar barang dagangan”.

Politik Kills (Politik Yang Membunuh)

Berbicara mengenai pandangan politik, manu mengatakan; sebelum berbicara mengenai aktifisme, maka setiap orang di dunia ini bertindak atas nama kejujuran, sehingga mereka dapat melangkah dengan baik. Itu juga kupelajari dari kakekku. Akan tetapi, kejujuran tidak dapat membawa anda lebih jauh, karena problem kehidupan cukup banyak dan beragam. Jadi kejujuran saja tidak cukup, anda harus berbuat lebih banyak.

Politik kills adalah lagu yang dibuat untuk melawan politik kebohongan dan pembodohan. Ia jelas menentang politik uang. Menurutnya, masalah terbesar dalam politik adalah uang. Kekuatan ekonomi lebih berkuasa dibandingkan politik itu sendiri. ini bukan demokrasi. Demokrasi telah dikendalikan oleh media.

Di Italia, Berlusconi memenangkan pemilihan presiden karena ia mengendalikan media terbesar. Demikian pula di Perancis, dimana Sarkozy memiliki tipe yang sama dengan Berlusconi. Manu menganggap mereka menang karena politik uang, politik kebohongan, dan pembodohan.

“akhirnya, makin orang yang tidak percaya dengan demokrasi, dan itu sangat berbahaya. Saya adalah seorang demokrat” ungkap Manu. Kita harus bertindak seminimal apapun, terutama untuk menggeser politisi yang dibesarkan oleh uang dan televisi. “ saya akan bersuara dengan mikrofon di tangan saya” demikian manu menjelaskan.

“anda tidak tidak dapat mengubah dunia. Saya pun tidak bisa mengubah dunia sendirian. Saya mungkin tidak dapat mengubah sebuah negara, tetapi saya dapat mengubah sebuah lingkungan kecil. Saya mencoba. Dan saya rasa, itu merupakan tanggung jawab semua orang. Saya tidak yakin sebuah revolusi besar akan datang dan mengubah segalanya seketika. Tetapi, saya percaya bahwa revolusi-revolusi kecil dapat mengubah segalanya dengan perlahan-lahan, setidaknya dilingkungan kita”.

Senin, 06 April 2009

VISI 2030; Mungkinkah Mimpi Jadi Kenyataan?!

VISI 2030; Mungkinkah Mimpi Jadi Kenyataan?!

posisi.jpg Realitas Ketidakmampuan SBY-JK Bermimpi menjadi orang besar tentu hak semua orang. Tidak memandang siapapun dia, termasuk di sini tentu saja mimpi sebuah bangsa. Setiap negara bisa membuat road map pembangunan bangsanya untuk mengejar cita-cita menjadi negara maju.
Toh, dulu Soekarno pernah menganjurkan kita untuk bermimpi setinggi-tingginya karena itu bukan sesuatu yang mustahil untuk didapatkan. Persoalannya sekarang adalah seberapa realistis mimpi-mimpi itu bisa kita wujudkan; seberapa besar syarat-syarat yang kita ciptakan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Mimpi akan menjadi kenyataan hanya jika kita mampu menyiapkan syarat-syarat materialnya dan mimpi hanya akan menjadi kosong jika sama sekali kita tidak memiliki basis materialnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menghadiri acara peluncuran buku Kerangka Dasar Visi Indonesia 2030 di Istana Negara, Kamis (22/3) siang. Buku ini hasil pemikiran Yayasan Indonesia Forum (kompas/22/3/2007). Visi Indonesia 2030 tersebut ditopang oleh empat pencapaian utama, yaitu pengelolaan kekayaan alam yang berkelanjutan, mendorong Indonesia supaya masuk dalam 5 besar kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan perkapita sebesar 18 ribu dolar AS/tahun, perwujudan kualitas hidup modern yang merata, serta mengantarkan sedikitnya 30 perusahaan Indonesia dalam daftar Fortune 500 Companies. Untuk mencapai misi tersebut, menurut Yayasan Indonesia Forum, mensyaratkan beberapa hal, pertama, ekonomi berbasiskan keseimbangan pasar terbuka dengan dukungan birokrasi yang efektif. Kedua, adanya pembangunan sumber daya alam, manusia, modal, serta teknologi yang berkualitas dan berkelanjutan. Ketiga, perekonomian yang terintegrasi dengan kawasan sekitar dan global. Visi Indonesia 2030 mengasumsikan pencapaian itu terealisasi jika pertumbuhan ekonomi riil rata-rata 7,62 persen, laju inflasi 4,95 persen, dan pertumbuhan penduduk rata-rata 1,12 persen per tahun. Pada 2030, dengan jumlah penduduk sebesar 285 juta jiwa, produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 5,1 triliun dollar AS. Untuk mencapai visi itu, menurut Chairul, harus ada sinergi tiga kelompok, yaitu wirausaha, birokrasi, dan pekerja pula. “Sinergi ini mengarah pada peningkatan daya saing global perekonomian Indonesia,” ujarnya. “Saya punya keyakinan, 100 tahun ke depan kita bisa mewujudkan cita-cita dan tujuan dalam Pembukaan UUD 1945. Mengapa kita perlu yakin? Kalau lihat lintasan perjalanan sejarah kita, itu memungkinkan. Jika kita ingin merekonstruksikan masa depan kita 100 tahun ke depan, mari kita lihat perjalanan bangsa 100 tahun ke belakang. Dengan demikian, kita paham perjalanan panjang sejarah untuk memiliki kemampuan dan ketangguhan dalam mewujudkan cita-cita,” ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,(kompas/22/3). Menurut Presiden Yudhoyono, Visi Indonesia 2030 itu bisa saja dianggap sebuah mimpi, tetapi jangan malu dengan mimpi itu. “Sebab, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menciptakan mimpi dan mewujudkannya dalam realitas,” ujar Presiden. Tapi pernyataan presiden SBY sangat absurd karena realitas ekonomi yang bisa dijadikan platform melihat Indonesia ke depan justru sangat memprihatinkan. Realitas yang tidak pernah digambarkan SBY adalah: (1) tanggal 11 September 2006 lalu, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa meluncurkan Laporan Tahunan Pembangunan Manusia (Human Development Report) 2006 yang bertajuk Beyond Scarcity: Power, Poverty, and the Global Water Crisis. Laporan itu selalu menjadi rujukan perencanaan pembangunan dan menjadi salah satu indikator kegagalan atau keberhasilan sebuah negara menyejahterakan rakyatnya. Selama satu dekade, Indonesia berada pada tier medium human development peringkat ke-110, terburuk di Asia Tenggara setelah Kamboja. Posisi Indonesia anjlok. Kemerosotan kualitas hidup manusia Indonesia juga ditunjukkan dalam laporan regional pencapaian Millennium Development Goal Asia Pacific yang diluncurkan 16 Oktober 2006 oleh ADB-UNDP-UNESCAP. Dalam laporan berjudul The Millennium Development Goal, Progress Report in Asia and the Pacific 2006, Indonesia ditempatkan pada peringkat terburuk negara-negara yang terancam gagal mencapai target MDGs tahun 2015 bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Niugini, dan Filipina. Bank Dunia secara resmi meluncurkan hasil studi tentang kemiskinan di Indonesia (Kompas, 11 Desember 2006). Studi itu menghasilkan estimasi jumlah orang miskin hampir 109 juta (49 persen) dari total penduduk Indonesia. Sungguh sebuah kebohongan besar diungkapkan pemerintahan SBY-JK jika indonesia bisa merangkak menuju jajaran 5 negara maju di di dunia dengan basis material problem kemiskinan, turunnya Indeks Pembangunan Manusia (HDI), dan kegagalan ekonomi. (2) untuk mencapai Visi Indonesia 2030, Industrialisasi Nasional sebagai motor penggeraknya, alat untuk mencapai cita-cita tersebut justru mengalami kehancuran (deindutrialisasi). Bahkan dengan orientasi kebijakan liberalisasi pasar, pemerintah tunduk pada dominasi ekonomi-politik yang justru menghancurkan industri nasional. Kebijakan menaikkan harga BBM akhir tahun 2005 telah memukul industri dalam negeri. BUMN yang mestinya diperkuat dengan manajemen yang baik dan modal justru diobral satu-per satu ke tangan imperialis. Salah satu Point penting dari Letter Of Intent (LoI) yang ditandatangani rejim Habibie tahun 1998 adalah liberalisasi ekspor yang berakibat pemenuhan energi dan bahan baku industri semakin sulit. Bila pun sanggup dipenuhi, harus diperoleh dengan harga tinggi sehingga biaya produksi melonjak. Masalah ini, misalnya, tampak pada industri kayu, keramik, pupuk, dll. Dalam hal sumber energi, sebagian besar hasil eksploitasi sumber energi seperti minyak, gas, dan batubara dijual ke luar negeri. Industri nasional juga menghadapi persoalan liberalisasi impor yang berdampak pada kalahnya produk dalam negeri dibanding produk impor yang lebih murah dan berkualitas. Persoalan lainnya adalah liberalisasi investasi yang mengakibatkan modal dapat berpindah dalam waktu singkat tanpa memperhatikan kebutuhan pembangunan jangka panjang. (3) Indonesia terus-menerus dihambat oleh imperialisme. Sangat susah berharap kemajuan tenaga-tenaga produktif kita jika SBY-JK masih patuh dengan resep-resep neoliberal negara-negara imperialis dan kaki tangannya (IMF, WTO, Bank Dunia dan lain-lain). Sebagian besar APBN kita digunakan untuk membayar utang luar negeri yang notabene utang najis, dan jika kita kita terus menerus membayar surat obligasi para bangkir-bangkir - konglomerat hitam akan berakibat anggaran untuk mendorong program Industrialisasi nasional, untuk pendidikan dan kesehatan rakyat, dan program pokok lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan Rakyat menjadi sangat sedikit. Dalam sebuah laporan disebutkan bahwa hanya 4 % angkatan kerja kita yang berpendidikan sarjana, sisanya 95% lebih berpendidikan lulusan SMA ke bawah, bagaimana mungkin bisa menyejajarkan diri dengan negara-industri maju jika SDM kita tidak pernah di bangun dan diprioritaskan pemerintah? Malah pendidikan sekarang dikomersialisasi layaknya barang dagangan untuk kepentingan imperialis. Bagaimana mungkin SBY-JK sanggup mendorong perkembangan tenaga produktif nasional dengan anggaran yang cukup jika anggaran tersebut masih terus-menerus digerogoti oleh Korupsi, bahkan komitmen pemberantasan korupsi SBY-JK sendiri patut dipertanyakan? Soeharto, Koruptor kakap beserta kroninya sampai hari ini belum diadili dan disita hartanya. Birokrasi yang memperkuat pemerintahan SBY-JK hingga ke daerah masih dikuasai mentalitas birokrasi orde baru: Doyan Kolusi-Korupsi-Nepotisme. Karena itu mustahil mencapai Visi indonesia 2030 dengan sumber daya birokrasi seperti ini. (4) Demokrasi sebagai prasyarat pokok untuk memberi ruang partisipasi bagi rakyat untuk menentukan kebijakan yang berpihak dan menguntungkan justru oleh pemerintahan SBY-JK dimanipulasi dengan demokrasi formal- Demokrasi Palsu. Mekanisme pemilu justru menghambat kekuatan politik alternatif dengan sejumlah model pembatasan/perampingan partai politik terutama partai politik Rakyat miskin. Upaya untuk menghambat partisipasi demokrasi rakyat bisa dilihat dalam RUU Parpol atau bentuk serangan langsung seperti penyeranan terhadap aksi PAPERNAS (sebuah Parpol baru yang mengusung program-program alternatif). Demokrasi akan menciptakan syarat-syarat-syarat politik bagi rakyat untuk menemukan kesadarannya, dan dari sini rakyat bisa mengorganisasikan diri untuk mendorong pembangunan nasional. SBY-JK Tidak Bisa!Tapi Rakyat Berkuasa Bisa Melakukannya Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah (sumber mineral, Batubara, energi seperti Minyak Bumi dan Gas Alam), Tanah yang subur untuk pertanian, sumber daya perairan, kekayaan hayati laut, dan Lain sebagainya. Jika dikelola dengan baik berdasarkan prinsip berdaulat dan kerjasama yang setara dengan bangsa-bangsa lain, bisa diperkirakan begitu besar pendapat dan keuntungan yang kita peroleh. Selain sumber daya alam, kita juga memiliki sumber daya manusia yang besar dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang ( Jumlah Angkatan kerja yang besar dan potensial) namun selama ini justru di abaikan dan dikerdilkan oleh rejim SBY-JK lewat Kebijakan Labour Market Flexibility (Sistem Kontrak dan Outsorcing). Bagi kami, jalan menuju visi 2030 yang ditawarkan pemerintahan SBY-JK sangat mustahil tetapi masih ada jalan lain yang sungguh sangat bisa dilakukan yakni hanya dengan dukungan rakyat sepenuhnya. Jalan ini adalah jalan alternatif—Jalan yang tidak mungkin di lakukan SBY-JK. Untuk menuju Jalan ini Rakyat harus membangun kekuatan alternatifnya karena syaratnya harus ada kemandirian dan kedaulatan ekonomi-politik. Jalan itu adalah: (1). Negara harus menjalankan program industrialisasi nasional; dengan memperkuat, melindungi industri nasional dari gempuran neoliberalisme. Negara harus menjamin ketersediaan Energi yang cukup untuk semua jenis industri, perusahaan penghasil energi (minyak, gas, dan batu bara) harus diambil-alih kepemilikannya ke tangan negara untuk memastikan tercukupinya kebutuhan energi dalam negeri. Sebaliknya, kerja sama energi dengan negeri-negeri seperti Venezuela, Libya dan Iran perlu ditingkatkan. (2). Menghentikan Kebijakan Privatisasi BUMN. BUMN harus diperkuat manajemennya, dan difasilitasi oleh negara untuk menjadi tulang punggung industri nasional yang kuat dan kompetitif. Semua unsur-unsur Orde Baru yang tidak demokratik harus diganti dan semua kasus korupsinya diungkap dan diadili. (3) Negara menjamin tersedianya pasar bagi industri yang masih membutuhkan proteksi dengan pengenaan pajak atau cukai yang tinggi terhadap komoditi sejenis, yang diimpor dari luar negeri. Untuk jenis komoditi tertentu, perlu disediakan jalur distribusi yang dapat diakses oleh masyarakat luas dengan harga yang disubsidi. (4) Tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam konteks ini, pendidikan dan kesehatan harus digratiskan. Pendidikan harus layak dan berkualitas, dan merata di seluruh Indonesia. Akses Kesehatan harus diprioritaskan pada klinik –klinik kesehatan di setiap RT/RW dengan fasilitas kesehatan yang modern, untuk tahap awal bisa melakukan kerjasama dengan Kuba dan Venezuela. (5) Memajukan tenaga produktif pertanian dengan cara: a) mengalokasikan kredit yang memadai dengan jaminan oleh pemerintah dan bunga rendah kepada petani melalui bank pertanian; b) mobilisasi potensi seluruh lembaga riset pertanian untuk mengembangkan teknologi pertanian yang sesuai dengan karakter geografis dan sosial-budaya Indonesia. Pengembangan tersebut meliputi masalah pembibitan, mekanisasi proses tanam dan panen, pengairan, listrik, serta infrastruktur lainnya; c) mendorong terbangunnya contoh pertanian kolektif dengan pengolahan lahan bersama serta penerapan teknologi yang lebih maju. Penggarapan ini dilakukan secara demokratis dengan melibatkan petani dalam mengambil keputusan, baik saat proses produksi maupun pemasaran; d) mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian dalam setiap batasan teritori tertentu sesuai dengan komoditi pertanian yang diproduksi. Perlu dijelaskan, program teknologisasi pertanian ini tidak akan menciptakan pengangguran baru, sebaliknya akan membuka lapangan kerja. Karena dari setiap pengembangan tenaga produktif akan membutuhkan tenaga-tenaga kerja baru. (6) Memberikan perhatian terhadap industri kecil dan menengah dengan sarana dan kemudahan akses terhadap kredit mikro, bahan baku produksi yang murah, serta jaminan ketersediaan pasar. Untuk Menjalankan Program di atas, kami sadar bahwa butuh dukungan modal yang sangat besar, maka Kita mengupayakan jalan pembiayaannya dari cara-cara sebagai berikut: (1) penghapusan Utang; Selama ini APBN banyak diprioritaskan untuk membayar utang luar negeri. (2) Mengambil Alih (Nasionalisasi) Industri Pertambangan Asing; (3) Menarik Surat Obligasi Rekapitalisasi perbankan yang justru dinikmati para bangkir, konglomerat hitam. (4) Menyita Harta Koruptor dengan prioritas kasus korupsi Soeharto dan Kroni-Kroninya. Jalan ini hanya mungkin dijalankan oleh Rakyat sendiri. Tidak mungkin dijalankan oleh pemerintahan SBY-JK yang notabene adalah boneka dari Imperialisme.***

Dominggus Oktavianus: Gairah Rakyat Untuk Bangkit Berpolitik adalah Jalan Meretas Perubahan.

Dominggus Oktavianus: Gairah Rakyat Untuk Bangkit Berpolitik adalah Jalan Meretas Perubahan.
Rabu, 01 April 2009

Rabu, 1 Maret 2009 | 14.30

dom.jpgBeberapa waktu yang lalu, redaksi berdikari online melakukan wawancara khusus dengan seorang caleg aktifis kerakyatan, Dominggus Oktavianus, yang maju dari dapil NTT I (Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagakeo, Ende, Sikka, Flotim, Lembata, Alor). Wawancara ini dilakukan oleh kawan Ulfa Ilyas melalui telpon, dan memperbincangkan seputar persiapan dan kerja keras bung Dominggus dalam menyongsong pemilu 2009. Sekedar untuk diketahui, Bung Dominggus juga menjabat sebagai Ketua Umum Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI).

Berikut petikan wawancaranya:

Ulfa Ilyas (BO) :
Bagaimana perjalanan kampanye bung Dominggus? Apa ada hambatan?

Dominggus Oktavianus :

Hambatan yang bersifat politik, untuk sementara ini, sepertinya belum ada. Saya dan kawan-kawan masih terus melakukan perjalanan, melakukan dialog, berdiskusi dengan masyarakat yang pada umumnya adalah petani dan nelayan. Sejauh ini, hambatan yang muncul masih bersifat tekhnis, seperti transfortasi antar daerah. Akan tetapi, hambatan-hambatan ini terus kami terobos, terutama, karena dukungan kawan-kawan dan tim Sukarelawan Perjuangan Rakyat untuk Pembebasan Tanah Air (SPARTAN), yang berada di daratan Flores.


Ulfa Ilyas (BO):
Bagaimana respon masyarakat NTT dengan kehadiran caleg aktivis seperti anda?

Dominggus Okatvianus:

Respon dari rakyat NTT sangat positif. Bagi mereka, baru kali ini dalam kerangka politik di NTT ada caleg dan partai yang tidak lagi mengobral janji-janji, tetapi menawarkan suatu ajakan untuk berjuangan bersama untuk merubah situasi. Untuk pertama kalinya, rakyat kami terlibat dalam organisasi-organisasi perjuangan, dan menunjuk wakil-wakil mereka sendiri untuk bertarung dalam arena politik.

Sederhananya, rakyat lebih membutuhkan hal-hal yang konret, bukan janji-janji abstrak. Para caleg aktifis bukan saja mengajak rakyat berdiskusi, tetapi juga mengajari mereka tentang bagaimana melakukan perjuangan politik. selain itu, berkali-kali para caleg aktifis dan rakyat bahu-membahu dalam aksi-aksi merebut hak-hak rakyat, seperti pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis, perbaikan jalan, listrik, dll. Jadi, caleg aktifis tidak datang membawa pil obat, tetapi juga mengajarkan cara menghindarkan penyakit dan bagaimana membuat obatnya.


Ulfa Ilyas (BO):
Seperti dietahui, NTT adalah daerah yang miskin, bahkan kemiskinan masyarakatnya sudah pada taraf yang paling bawah, Sehingga nyaris tidak menyisakan harapan. Bagaimana anda membangkitkan harapan rakyat untuk merubah situasi ini?

Dominggu Oktavianus :

Ajang pemilu ini, benar-benar kita mamfaatkan untuk bertemu dengan rakyat luas, mendengarkan persoalan mereka, dan mendiskusikan penyelesaian masalahnya. Dalam setiap diskusi-diskusi, kami membawa materi-materi dan leaflet tentang persoalan dominan yang dihadapi rakyat, serta memperlihatkan jalan untuk merubahnya.

Secara umum, 1,2 juta rakyat NTT bergantung pada pertanian, sedangkan 4 juta orang hidup di pesisir. Sektor pertanian terutama terkonsentrasi pada penghasil komoditi mente, kakao, kemiri, dan lain-lain. Masalah utama mereka adalah harga atas komoditi mereka, yang selama ini tidak dapat memberikan nilai tambah kepada petani. Sementara tanaman pangan belum begitu banyak dibudidayakan. Guna mengangkat kesejahteraan petani, maka kami mengajukan program pengembangan budidaya tanaman pangan yang disubsidi oleh pemerintah. Ini juga membutuhkan dukungan modal dan teknologi. Selain itu, pemerintah harus aktif dalam menciptakan pasar dan menstabilkan harga komoditi pertanian. Industri pengolahan juga perlu dibangun, disamping untuk menampung tenaga kerja, juga dimaksudkan untuk memberikan nilai tambah pada harga jual produk pertanian.

Di NTT, setiap tahun juga rakyat kesulitan mengakses air (air untuk pertanian, industri, dan air bersih). Sehingga, diperlukan sebuah pembangunan infrastruktur pengairan yang dapat mengairi seluruh wilayah NTT, bukan cuma hotel-hotel mewah.

Pembangunan infrastrktur juga meliputi pembangunan jalan raya, pelabuhan, listrik, sekolah, pusat pelayanan kesehatan, dan lain-lain. Ini memang membutuhkan anggaran yang besar. Tetapi, menurut saya, potensi kekayaan alam NTT berupa kekayaan tambang, kelautan, pertanian, jika dikelola dengan prinsip kemandirian, bisa menghadirkan mobilisasi anggaran untuk mendanai proses pembangunan itu.

Selain itu, kita juga mengkampanyekan program-program nasional, seperti masalah pengambil alihan perusahaan tambang asing, penghapusan utang luar negeri, dan industrialisasi nasional. kita menjelaskan perlunya memperjuangkan kemandirian bangsa.

Ulfa Ilyas (BO):
seperti diketahui, masalah kemiskinan selau di manipulasi partai besar untuk meraup dukungan rakyat. selain itu, karena kemiskinan partai politik dan caleg berduit begitu gampang membeli suara rakyat. Bagaimana anda berjuang meyakinkan rakyat NTT untuk melawan politik semacam ini.

Dominggus Oktavianus :

Ini merupakan problem besar. Dalam era demokrasi liberal, para elit yang berkontribusi pada pemiskinan rakyat, ternyata mempergunakan jalur demokrasi untuk mengeksploitasi kemiskinan, tentunya guna mendapatkan dukungan luas. Di satu sisi, ini merupakan efek dari penerapan demokrasi liberal dan disokong media, sedangkan pada sisi lain, control rakyat terhadap janji-janji politik parpol cukup lemah.

Dalam setiap diskusi, kita menyampaikan kepada rakyat agar melihat rekam jejak atau"pengalaman masa lalu" si caleg atau parpol. Jika masa lalunya buruk dan menindas rakyat, meskipun berjanji mau membela rakyat, maka seharusnya tidak perlu dipercayai lagi. Ini hanya merupakan salah satu cara politisi dan parpol lama untuk mengambil "hati" masyarakat.

Kemudian, ada sebuah situasi dimana rakyat sudah terlalu sering dibohongi dan dikhianati oleh politisi dan parpol. Hal ini, tentunya, mendorong mereka untuk selektif dalam memilih partai politik. Hanya saja, kadang-kadang, kemiskinan memaksa mereka bertindak pragmatis. Sehingga, mereka begitu mudah dibeli suaranya oleh partai dan caleg tertentu.

Dalam setiap diskusi, kita menjernihkan pemahaman rakyat untuk tidak mudah terseret pada janji-janji palsu, dan tidak mudah terseret melawan politik uang. Kita menyebarkan selebaran dan aktif mendiskusikan mengenai perlunya melawan politik uang. Di NTT, misalnya, ada kecenderungan masyarakat di daerah yang kami lewati untuk bertindak kritis. Mereka pada umumnya sudah mengerti sepak terjang caleg dan partai pelaku politik uang. Mereka juga kami dorong untuk aktif mengkritisi janji-janji para caleg dan parpol, serta menciptakan wadah politik untuk menagih janji itu. Bagi saya, yang terpenting adalah bagaimana membangun dan memperluas wadah-wadah perjuangan rakyat, tentunya yang bersifat permanen.



Ulfa Ilyas (BO):
Apa prioritas kampanye dan program bung dominggu untuk rakyat NTT?

Dominggus Oktavianus :

Untuk program prioritas, kami menyusunnya berdasarkan apa yang menjadi kebutuhan paling pokok dan mendesak rakyat NTT. Ini penting untuk membentengi rakyat dari kemiskinan, supaya tidak makin terperosok lagi. Tetapi, yang terpenting adalah menciptakan dasar (basis) bagi kemajuan rakyat NTT di masa depan.

Di bidang pertanian, kami memfokuskan pada penyediaan modal, teknologi, serta jaminan pasar dan harga yang layak bagi komoditi produk pertanian. Tanah sebagai sarana berproduksi juga harus diberikan kepada rakyat. tentunya, negara harus aktif memproteksi lahan petani dari keserakahan perusahaan multinasional. Bagi nelayan, harus ada bantuan teknologi dan permodalan, supaya mereka bisa menaikkan produktifitas. Selain itu, industri pengolahan hasil pertanian, kelautan, dan perikanan perlu dikembangkan. Disamping dapat memberi nilai tambah pada komoditi dan produk petani dan nelayan, juga bisa memberikan pemasukan bagi anggaran pembangunan (APBD).

Di samping itu, pengembangan SDM menjadi kebutuhan pokok di NTT. APBD harus dikelola untuk membiayai pendidikan dan kesehatan. Fasilitas pendidikan; gedung, perpustakaan, bus sekolah, sarana olahraga, buku-buku, dan nutrisi harus diperbanyak, dan harus dapat diakses oleh seluruh kalangan masyarakat NTT. Demikian pula dengan sarana kesehatan; jumlah tenaga paramedis harus ditambah, pusat pelayanan kesehatan harus diperbanyak, dan kualitas pelayanannya juga harus ditingkatkan.

Terakhir, harus ada pembangunan infrastruktur, seperti jalan, listrik, sarana irigasi, dan lain-lain. Sementara ini, pembangunan di NTT berjalan lambat karena tidak ditopang oleh infrastruktur yang baik. Sebagai contoh jalan, banyak desa dan kampung belum terhubung dengan baik karena tidak adanya infrastruktur jalan yang memadai.

Guna menjalankan ini semua, harus ada seorang sosok pemimpin atau perwakilan rakyat NTT di parlemen dan eksekutif, yang benar-benar punya komitmen politik untuk menjalankan hal ini.


Ulfa Ilyas (BO):
Bagaimana bung Dominggus melihat peluang hadirnya perubahan di bumi NTT?

Dominggus Oktavianus :

Saya sedang melihat gairah rakyat untuk bangkit. Dan bagi saya, gairah kebangkitan ini adalah jalan terang bagi lahirnya perubahan. Sebelum kami datang, ada begitu banyak kantong-kantong massa yang hendak bersikap golput dalam pemilu. Tetapi, setelah kami datang dan menjelaskan, mereka kini menjadi bagian dari gerakan perubahan ini. mereka begitu aktif mengorganisir sesame rakyat. hasilnya, berdirinya sejumlah wadah-wadah dan organisasi perjuangan rakyat.

Jadi, menurut saya, kebangkitan dan daya kritis rakyat pada saat ini adalah bunga-bunga perubahan yang sedang bersiap tumbuh dan mekar. Dan pada saat itu, NTT dan bangsa Indonesia bisa menyongsong perubahan untuk masa depan yang lebih baik.