Kamis, 29 Oktober 2009

UNNES oh UNNES,....

Penyakit Kronis di kampus sekaran

Saat kali pertama datang ke Sekaran, pada pertengahan 2006 lalu, penulis masih bisa dengan mudah menemukan roh intelektual di Kampus Unnes. Bisa dengan mudah, penulis mendapati sekelompok mahasiswa yang berdiskusi sore hari di sekitar kampus.

Dalam pertarungan wacana, bisa dipastikan, setiap Minggu wajah-wajah akrab kawan kuliah kita bisa dengan mudah ditemukan bersama tulisannya di media massa, laiknya Suara Merdeka, Wawasan, Kompas Jateng, dan bahkan media massa nasional seperti Jawapos.Dinamika kampus benar-benar hidup. Mahasiswa benar-benar mewarisi semangat rasionalisasi Rene Descartes, cogito ergo sum. Saya sadar (berpikir) maka saya ada. Semangat rasionalitas ilmiah benar-benar menjadi ukuran keber-ada-an seorang mahasiswa di kampus. Mereka yang tidak “berpikir” maka bersiaplah untuk binasa atau dibinasakan.

Lalu, bagaimana dengan sekarang? Seperti yang bisa kita lihat, terjadi kemalasan global di jagat raya UNNES. Selama ini, yang menjadi ukuran kegiatan mahasiswa adalah UKM dan BEM. Tanpa bermaksud menggeneralisir, kondisi sebagian UKM baik Fakultas dan Universitas mengalami stagnasi, bahkan kemunduran.

Kepemimpinan UKM apalagi. Ada banyak UKM yang dipimpin oleh mereka yang secara terpaksa menjadi ketua, karena tak ada yang lebih layak. Bahkan, banyak pemimpin prematur yang belum siap mentalnya untuk menjadi seorang panutan. Akibatnya, roda organisasi tidak lancar. Atau, sebaliknya UKM dipimpin oleh pemimpin yang sudah uzur. UKM Fakultas lebih parah lagi. Ada beberapa UKM yang kantornya tidak pernah dibuka. Padahal, saat UKM tersebut eksis beberapa tahun yang lalu, UKM tersebut belum memiliki kantor. Kondisi ini diikuti oleh beberapa BEM Fakultas yang seharusnya menjadi wadah untuk memfasilitasi mahasiswa – mahasiswa berkapasitas tetapi apa yang terjadi sangatlah buruk, dan itu artinya BEM Fakultas telah gagal total.

UKM seharusnya lebih menekankan skill dan mengembangkan keahlian khusus. Di sinilah titik unik UKM. Karena, dibutuhkan seorang yang punya jiwa kepemimpinan dan memiliki kemampuan memadai sesuai skill yang dikembangkan UKM tersebut. Begitu pula Dengan BEM, Kenapa Mahasiswa sekarang merasa lebih pede dan nyaman dengan jabatan politis kampus. Hingga merasa perlu berebut untuk mendapatkan jabatan-jabatan politis di kampus.

Penulis tidak bermaksud menyatakan bahwa politisi kampus itu negatif. Akan tetapi, realita yang berkembang di masyarakat adalah bahwa kerja politik adalah jenis pekerjaan yang tidak jelas kerjanya, tetapi hasilnya jelas. Pertanyaanya, apakah kecenderungan politisi kebanyakan juga menular kepada politisi kampus? Silahkan menilai sendiri.

Tegasnya, pergeseran orientasi yang disela-selani dengan kemalasan global telah terjadi di sekitar kita. Kontrakan dan kos-kosan yang dulu menjadi tempat diskusi kini menjelma menjadi Night Club. Dan tampaknya, kondisinya dari hari ke hari kian parah. Dan kita baru geger tatkala terjadi “sesuatu”.

Senyatanya, kemalasan global ini hanya menimpa sebagian mahasiswa kita. Celakanya, sebagian di sini adalah sebagian besar. Karenanya, semua ini harus segera disudahi.

Sekaran Berganti topeng!!!

Bila kita tilik secara mendalam, pergeseran —untuk tidak menyebut degradasi—ini tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari pergeseran gaya hidup mahasiswa UNNES yang juga terpengaruh dengan pergeseran sosiologis di Sekaran.

Sekaran telah berubah menjadi Lokalisasi berjubah kampus, Apel, mesum, dan perbuatan – perbuatan asusila lainnya sudah tak sulit lagi di jumpai di sini. Itu artinya mahasiswa telah menghianati ikrarnya sendiri. Tidak salah lagi jika kita beranggapan bahwa mahasiswa UNNES, Siang “Pelajar” kalau malam “pelacur”, Inikah Kaum muda intelek harapan bangsa?

Counter hape di sekaran dan sekitarnya telah menjamur, bagaimana dengan toko buku? Dewasa ini toko buku terancam gulung tikar karena sepi pembeli. Mari perhatikan, hampir tidak ada mahasiswa yang tidak menenteng hape, meski untuk “memberi makan” mereka masih ‘menodong’ ortu. Parkir kampus penuh, hingga sepeda motor diparkir di depan kelas. Helm racing dibawa masuk kelas.

Komputer warnet perpustakaan selalu penuh. Tapi, apa yang mereka lakukan? Dipastikan, 80 % dari mereka surving, chatting. Penulis tidak bermaksud menyatakan, segala fasilitas tersebut negatif. Tetapi, coba bayangkan, apa jadinya bila kita yang terbiasa dengan fasilitas harus hidup tanpa fasilitas? Bayangkan di sekitar kita tidak ada sepeda motor, tidak ada hape, tidak ada internet.

Pernah suatu ketika, salah seorang teman, tidak bersedia —tepatnya malas—mengantarkan surat ke rektorat, hanya karena tidak ada sepeda motor. Bahwa fasilitas diciptakan manusia sekedar untuk mempermudah, bukan sebagai tempat bergantung. Bila kita bergantung kepada ciptaan manusia sendiri, betapa lemah diri ini.

Memang, ada sekelompok mahasiswa yang tetap mempertahankan idealismenya. Tapi, kebanyakan kita tidak termasuk di dalam golongan ini. Lalu, kaitannya dengan segala fasilitas, akankah kita menegasikannya lalu kemudian memutar balik jarum jam?

Jelas, ini tidak memungkinkan. Yang masih memungkinkan adalah penyadaran tugas dan tanggung jawab mahasiswa yang tidak enteng. Mahasiswa adalah generasi elit yang punya kesempatan untuk mendapatkan banyak pengetahuan. Kesempatan ini membawa tanggung jawab ilmiah dan sosiologis.

Politik dan Ideologi

Pemasaran Politik dan Kontestasi Ideologi

Hampir setiap jam, dalam ruang-ruang publik yang telah dikuasai media massa, iklan-iklan politik datang bergantian dengan iklam produk komersil. Hebatnya, iklan-iklan ini diyakini akan menyulap dukungan, ibarat iklan produk meraih kepercayaan seorang konsumen. Iklan politik semakin menggila takkala berbagai lembaga survey dan pemeringkat menyambut fenomena ini, dengan menciptakan grafik yang menggambarkan korelasi antara iklan politik, popularitas, dan peningkatan basis dukungan. Tak heran, dana yang digelontorkan partai ke iklan politik jauh lebih tinggi, misalnya, dibandingkan dengan dana operasional untuk membuat terbitan, booklet, ataupun material-material literer lainnya.


Demokrasi Liberal dan Pemasaran Politik

Dalam beberapa tahun terakhir, kosakata “liberal” makin akrab di telinga kita. Diskursus dan debat-debat mengenai sistim demokrasi menganut istilah “demokrasi liberal” untuk menjelaskan satu kutub dalam sistim demokrasi. Demokrasi liberal, meminjam pengertian Andrés Pérez Baltodano, merupakan sebuah kerangka atau mekanisme yang memastikan kekuasaan negara berjalan untuk menfasilitasi kepentingan segelintir elit (korporasi dan oligarki) dan menjaga agar standar, prinsip dan nilai-nilai kapitalisme-neoliberal bekerja sebagai sesuatu yang normal.

selain itu, di bawah neoliberalisme, sistim demokrasi juga mengakomodir pemilik korporasi, pejabat partai, dan korporasi untuk bertransaksi layaknya di pasar untuk memperdagangkan produk mereka, dimana rakyat diubah menjadi konsumen pasif yang harus tunduk pada hukum pasar. Sejak tahun 1980-an, seiring dengan ekspansi neoliberal, dikenal istilah “pemasaran politik”, yakni kegiatan promosi guna menjual produk politik (political product). Dalam pemasaran politik , ada tiga hal yang dijual (baca; produk politik) yakni partai, kandidat, dan kebijakan (janji-janji politik). Pemasaran produk politik berjalan integral dengan aktifitas akumulasi profit; seorang kandidat akan menyerahkan sejumlah besar dana untuk pemasaran politik melalui saluran iklan politik (TV, radio, Koran, website, ponsel, dll), ataupun pembuatan/ mencetak poster, kartu nama, spanduk, baliho, dan sebagainya.

Di Indonesia, perkembangan pesat televisi swasta nasional telah menjangkau 80% penduduk, dan potensi viewers-nya berkisar 118 juta orang penduduk (Jurnal Sosial Demokrasi, edisi juli-september 2008). Tentu ini pasar yang menggiurkan bagi penjual produk politik. Tidak heran, seperti yang disebutkan dalam survey AC Nielsen, bahwa ada korelasi antara peningkatan belanja iklan dan peningkatan popularitas dan mengalirnya dukungan terhadap partai. Gerindra mengeluarkan dana iklan di bawah Rp 1 miliar. Namun, sejak Juli hingga Oktober, biaya iklan Gerindra per bulan mencapai Rp 8 miliar; Pada Juni dukungan terhadap Gerindra yang terekam survei LSI hanya pada tingkatan 1,0 persen. Namun, dukungan terhadap Gerindra meningkat menjadi 3,0 persen dan 4,0 persen pada September dan November.

Begitu juga dengan Partai Demokrat (PD). Dari Mei hingga Juli 2008, pengeluaran iklan PD di bawah Rp 1 miliar per bulan. Namun, mulai Agustus hingga Oktober, pengeluaran iklan secara konsisten meningkat dari Rp 8,29 miliar (Agustus); Rp 10,08 miliar (September); dan Rp 15,15 miliar (Oktober).

Dengan belaja politik yang tinggi, mustahil seorang tukang becak dapat menjadi presiden. Kompetisi yang berbasiskan modal (capital), tentu tidak akan memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok sosial, terutama dari kalangan menengah ke bawah, untuk terlibat kontestasi politik. Padahal, secara teoritik politik merupakan arena bagi semua kelompok atau sektor sosial untuk memperjuangkan kepentingannya.

Kontestasi Ideologi

Di sisi lain, perkembangan demokrasi liberal dengan metode pemasaran politiknya tentu saja akan semakin memperkecil arena kontestasi ideologi, yang pada akhirnya akan menghilangkannya. Kontestasi ideologi tercermin pada debat soal program, visi, cita-cita perjuangan. Hal ini akan mendorong kristalisasi ide-ide kelompok masyarakat tentang cita-cita kolektif, yang tentu saja harus diperjuangkan dalam arena politik dan arena manapun; ekonomi dan budaya.

Di Indonesia, proyek depolitisasi era orde baru benar-benar menghapus partisipasi rakyat dalam politik, dan pada saat bersamaan menciptakan penyeragaman ideologi pada level politik.

Paska reformasi, yang ditandai dengan opensif neoliberal yang makin menggila, proses depolitisasi dijalankan pada tingkat institusionalisasi sistim demokrasi yang hanya membuka pintu bagi pemegang capital (modal), dan menutup pintu bagi partisipasi politik rakyat.

Dalam demokrasi liberal, tentu dengan metode pemasaran politiknya, sebuah partai atau politisi berusaha keras memunculkan “brand image” di mata konstituen, persis seperti pola korporasi menciptakan brand produk kepada konsumennya. Soal isi (program, visi, dan cita-cita) tidak menjadi penting, yang paling penting adalah bagaimana iklan ini menyentuh hati dan tersimpan dalam memori rakyat, setidaknya hingga pemilu.

Transformasi ini juga mengakhiri era ideologisasi di dalam partai; bentuk-bentuk pendidikan dan kursus kader mulai ditinggalkan. Partai disibukkan dengan kerja-kerja praktis untuk memenangkan pemasaran kandidat, dan lupa untuk memperkuat infrastruktur partai.

SEJUMPUT HARAPAN

Berdiri tegak mencakar langit
Bersinar menerangi gelapnya malam

Dia kokoh bukan karena pilarnya
Dia indah bukan pula karena ornamennya

Sembilan Dewa menjadi ruh raganya
Ratusan Kurcaci mengisi relung jiwanya

Dia bermartabat karena kedudukannya
Dia akan dimuliakan hanya karena putusannya

Namun…

Retak! Hancur!
Ketika amanah tergadaikan

Pecah! Karam!
Ketika perompak berkeliaran

Mahkota keadilan milik bersama
Dikawal nurani dan harga diri

Merenggut berarti berkhianat!
Mencabik selaput suci keadilan

Melindungi adalah keharusan
Mempertahankan menjadi kewajiban

Panjatkan doa agar tak pernah goyah
Menghadang terpaan dan tikaman dunia

Semoga dia tak pernah berubah
Hingga takdir menyatakan berbeda


***

Merdeka Barat - 28 Oktober 2009

"IBU"

Ibu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir – bibir manusia.
Dan “Ibuku” merupakan sebutan terindah.
Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa.

Ibu adalah segalanya. Ibu adalah penegas kita dilaka lara, impian kta dalam rengsa, rujukan kita di kala nista.
Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi. Siapa pun yang kehilangan ibinya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa
merestui dan memberkatinya.

Alam semesta selalu berbincang dalam bahasa ibu. Matahari sebagai ibu bumi yang menyusuinya melalui panasnya.
Matahari tak akan pernah meninggalkan bumi sampai malam merebahkannya dalam lentera ombak, syahdu tembang beburungan dan sesungaian.

Bumi adalah ibu pepohonan dan bebungaan. Bumi menumbuhkan, menjaga dan membesarkannya. Pepohonan
dan bebungaan adalah ibu yang tulus memelihara bebuahan dan bebijian.

Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud.
Penuh cinta dan kedamaian.

Beberapa saat sebelum sidang skripsi

Telah Nyeri Seluruh Sendi
Telah Luruh Lemak Separuh
Itu Semua Demi Hari Ini

Ibunda Tengah Menanti
Sang Ayah Juga Pasti
Itu Semua Demi Hari ini

Kawan Sejati Terkhianati
Lalu Pergi
Belahan Hati Tersakiti
Juga Pergi
Itu Semua Demi Hari Ini

Wahai Para Penguji
Majulah
Mataku dan Matamu Bertemu
Kita Mengadu Ilmu
Kubayar Terlalu Mahal Hanya Untuk Tunduk Padamu

Wahai Para Penguji
Majulah
Walau Kau Pasang Seribu Tampang Keji
Tak Sedikit pun Surut Nyali
Tak Sedetik pun Kurasa Ngeri
Akan Kusambut Semua Cecar
Biar Kau Sadar
Betapa Ku Tegar

Kupatri Sebuah Janji Dalam Hati
Bila Usai Kala Ini
Kan Kurayu Lagi Si Cinta Mati

Aku bukanlah siapa - siapa hanya pecinta yang lemah yang ungkapkan hati dengan kata - kata karena seluruh hati memuja

puisi satu

Kau
bagai nada dalam angan
selalu terhembus dalam alam bawah sadar
merasuki tiap angan ku
meresap dalam aliran darahku
kau
cinta yang ingin kumiliki
senja yang selalu ku nanti

wahai kau bidadari
berilah aku senyumanmu
senyuman yang mampu buatku melayang
berikan ku kekuatan tuk terus bertahan

wahai kau pujaan hati
berikan ku sinaranmu
berikan ku belaian lembutmu
berikan aku ruang dihatimu

Puisi dua

maafkan aku bidadari
aku buaikan tiap mimpi dengan bayangmu
mengharapkan belaian
hati yang tak pernah terbalas

memang aku cintaimu bidadari
mengharapkanmu dari tiap tetes embun pagi
namun menghilang begitu saja
begitu mentari datang

Puisi tiga

Terima kasih bunda
kau beri aku segala cinta
yang bahkan tak pernah habis tertutup samudra
dan tak pernah berakhir seiring sinar mentari
kau selalu ada untukku bunda
beriku senyum hangat diantara penat
beriku kesejukan diantara kebimbangan hati
dan sadarkanku yang tenggelam dalam gelap


puisi empat

Aku
memang hanya sekedar bayangan
tak pernah bisa menyentuh senyummu
hanya sinarmu yang tampak di kejauhan

Walau hembusan angin selalu menyebut namamu
tak pernah sekalipun kau datang untukku
ku biarkan lepas semua embun pagi
biarkan menghilang seiring sang mentari memusnahkan hatiku

Jangan pernah memandangku cantik
aku hanya kebohongan yang akan berlalu
segera aku akan menyadari
dan kepergianku akan menyadarkanku


Puisi Lima

Biarkan aku sendiri sebentar
Aku masih bernafas di sini
coba untuk perlahan berdiri
jangan mengasihaniku aku tak kan retak

Semua memang salahku
begitu tinggi ku cintaimu
begitu dalam ku percaya padamu
sampai aku begitu tenggelam

Percayala bahwa tak pernah kau hianatiku
Karena yang ku inginkan hanya yang terbaik bagimu
Biarkan ku bawa mimipiku tenggelam
bersama kelamnya angin malam

puisi enam

sampai saat ini ku masih bernafas
mencoba tuk menjaga hatiku yang rapuh
dari semua bayang hitam masa lalu
yang kembali ganggu tidurku

maaf kan aku atas semua anganku
semua tanda kembali resahkanku
kembali memaksaku tuk berkaca sekali lagi
kusadari tak mungkin semua bayang ku raih.

puisi tujuh

Kembali lagi pertanyaan itu hadir
milik siapa hati nya itu
milik siapa sinaran indah dimatanya itu
kepada siapa cintanya terpaut

Bahagia itu selalu hadir
namun bayang keraguan tak pernah sirna
siapa yang kupandang di depanku
aku sudah tak tau lagi

Kadang ku rasa hatiku miliknya
namun kadang kurasa hanya bayangan
kadang kurasa cinta itu begitu dekat
namun kadang cinta itu begitu jauh

puisi delapan

aku berdiri di sini
terdiam dalam kebekuan dan kegelapan
memandang dalam keraguan hati
yang tak pernah berhenti mencari

siapa kamu dan apa maumu
begitu indah namun miliki duri
tak nampak namun mampu sakiti
butakan hatiku yang tak mengerti

kau berikan aku cahaya redup
kau tutupi jalanku dengan kabut
aku buta arah buta tujuan
sampai kusadari bahwa semua hanya kepalsuan

Minggu, 25 Oktober 2009

Oposisi milik siapa???,...

Ketika Republik ini (Indonesia) resmi menyatakan sebagai negara demokrasi dengan corak pemerintah Presidentil,

maka pada saat yang bersamaan resmilah demokrasi barat menjadi takaran demokrasi di tanah air yang kita cintai ini, serta berhasil menggeser berbagai model pemerintahan monarki lokal. Ciri Negara modern yang bercorak Republik biasanya disertai dengan lembaga negara lainnya (penyeimbang) seperti; Legislatif dan Yudikatif.

Kedua lembaga penyeimbang tersebut, di samping Eksekutif, dipisahkan dengan berbagai kewenangan/kekuasaan seperti yang biasa kemudian dimuat didalam konstitusi Negara, oleh karenanya tidak ada satu lembaga Negarapun yang memiliki kekuasaan absolut. Demikian mitos demokrasi didesain Montesqieue yang selama ini kita kenal, termasuk yang kemudian berlangsung di Indonesia.

Prinsip "Check and Balance", sebagai salah satu takaran demokrasi telah terumuskan didalam konstitusi. Sementara takaran oposisi lebih pada bagaimana pemerintahan (Eksekutif) yang berkuasa mendapat kontrol ketat dari partai-partai oposisi. Kontrol parlemen yang merepresentasikan partai-partai politik didalamnya masih belum berjalan efektif. Artinya, sering terjadi kekuatan oposisi di parlemen (gabungan partai-partai yang kalah didalam pemilu), belum mampu menunjukkan perannya. Contoh, ketika masa Orde Baru di Indonesia nyaris tidak ada partai oposisi.

PDI dan PPP sebagai partai diluar pemerintah nyaris tidak bergigi. Bahkan oposisi diharamkan, dan kedua partai diatas dikontrol ketat oleh rezim Suharto. Di era periode pertama pemerintahan SBY meski PDIP mendeklarasikan sebagai partai oposisi output nya tidak jelas. Andaikan ada kritik-kritik yang ia (PDIP) lontarkan, mekanisme parlemen belum mampu menyerap dan memberikan akses politik untuk mengolah kritik menjadi masukan bagi pemerintah (Eksekutif). Sehingga kritik menguap begitu saja, apa lagi kritik tanpa muatan substansi yang jelas.

Pentingnya Partai Oposisi

Selayaknya di Indonesia tumbuh kesadaran beroposisi bagi partai-partai yang kalah didalam pemilu. Oposisi bukan aib, oposisi bukan sesuatu yang membahayakan. Bahkan Presiden SBYpun sempat mengutip pemikiran "David Iston" yang menyatakan "Power tends to Corrupt, power absolutely tends to Corrupt absolutely". Jelas disini Presiden tidak ingin pemerintahan dengan kekuasaan yang absolut, karena cenderung menyimpang. Oleh karenanya diperlukan prinsip "Check and Balance ".

Banyak contoh bahwa absennya oposisi hanya akan menyuburkan perilaku otoriter. Napoleon Bonaparte mabuk kekuasaan tanpa kontrol oposisi hingga memetik buah isolasi hingga kematiannya. Hitler dengan partai Nazi nya bersih dari kehadiran partai oposisi dengan akibat fasisme di Eropa dan Afrika. Stalin, Mussolini, Idi Amin, adalah diantara sederet pemimpin pemerintahan otoriter yang sepi dengan kontrol oposisi, dan andaikan ada oposisi dari awal sudah ditumpas. Jadi format oposisi sangat ideal dinegara penganut demokrasi modern untuk mencegah absolutisme kekuasaan.

Pemerintahan SBY jilid kedua layak menjadi uji kematangan demokrasi dengan kehadiran oposisi. Tidak harus kemudian semua partai yang kalah dan menang bergabung di dalam pemerintahan. Meski kabinet persatuan merepresentasikan integrasi politik paska pemilu, tetapi perlu diwaspadai justru untuk pembangunan politik berkelanjutan akan menjadi bumerang politik dengan tiadanya partai oposisi. Absennya oposisi akan menjadi kolesterol politik dijantung pemerintahan karena lemahnya kontrol.

"Check and Balance " ada kalau partisipasi politik disertai dengan bangkitnya oposisi dinamis. Demokrasi sendiri akan kehilangan makna tanpa oposisi, dan demokrasi hanya mewakili etalase politik tanpa nilai politik. Dinamika pembangunan politik tidak semata melihat kekuasaan sebagai kemenangan, tetapi jauh lebih penting melihat bahwa kekuatan oposisi sebagai ’’Partner in Power", meski tidak harus ada didalam struktur kekuasaan.

Oposisi tidak lagi menjadi beban politik bagi demokrasi, tetapi oposisi sebagai dinamisator dalam kehidupan politik Negara. Pemerintah sekuat apapun maka perlu pendamping oposisi yang kuat pula, dengan demikian tidak perlu ada partai-partai yang merasa galau karena tidak didalam pemerintahan. Jauh dari makna itu bahwa partai oposisi kelak akan merasa bergengsi justru karena berada diluar pemerintah mengontrol pemerintah dan kekuatan oposisi akan menjadi enerji demokrasi sekaligus kehormatan politik. ***

Rabu, 21 Oktober 2009

Kobarkan Api Kebangkitan Kaum Muda-Mahasiswa Menuju Pembebasan Sejati Rakyat!

Maka prinsip kita harus:
Apakah kita mau Indonesia Merdeka, kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?
- kutipan, Pidato Soekarno (Pancasila), 1 Juni 1945


Mahasiswa adalah kelompok sosial yang beruntung memiliki akses untuk menyerap pengetahuan, sehingga lebih cepat memahami persoalan dan merumuskan jalan keluar politik. Tulisan ini hendak menjadi landasan berpikir bagi Gerakan Mahasiswa di Indonesia dan semarang pada khususnya yang oleh banyak pengamat dianggap telah mengalami dis-orientasi, telah kehilangan elang gerakannya---tidak segarang tahun ’98, dan sebagainya.

Sejak Soeharto naik Neoliberalisme yang makin massif di Indonesia, Industri pertambangan adalah lumbung rejeki imperialis; sektor pertambangan telah menjadi upeti utama bagi imperialis; masuknya Freeport tahun 1968, Newmont, Astra International, Exxon Mobil, Shell, Petronas, Total, Chevron, dan Texaco semakin menjelaskan kuatnya dominasi imperialisme Indonesia dan merampas kedaulatan negara kita. UU Migas/2001 memberi keleluasaan MNC/TNC Migas untuk menjarah kekayaan Migas kita. Coba bayangkan! Ditengah kekayaan alam negara kita, disektor Migas saja, sebuah perusahaan multi nasional (MNC) yang bergerak dalam bidang eksplorasi dan eksploitasi migas, termasuk utang (debt trap) sebagi alat Imperialis; Indonesia kemudian semakin tergiring dalam perangkap utang luar negeri dan semakin dipaksa untuk menjalankan syarat-syarat ekonomi ketentuan IMF yang disebut Struktural Adjusman Program [SAP]. Jeffrey Winters menyebutkan hingga krisis ekonomi 1997, hutang Indonesia yang layak disebut hutang najis (odious debt) paska Soekarno dari Bank Dunia dan ADB, serta lembaga multilateral dan bilateral lainnya. Nyata, bahwa Imperialisme paska Soekarno punya agen di Indonesia yaitu rejim-rejim yang sekarang berkuasa.

’98 merupakan pintu masuk bagi liberalisme di Indonesia; perubahan struktur ekonomi-politik kita dengan mekanisme UU yang lebih fleksibel terhadap dominasi modal, mensyaratkan tegaknya demokrasi liberal. Demokrasi formal ini kemudian men-kanalisasi segala bentuk gejolak politik ditingkatan massa, misalnya kesadaran politik massa dikanalisasi dengan Pemilu langsung, BLT, Askeskin, Dana BOS dan lain sebagainya. Tentunya dengan melaksanakan paket-paket kebijakan ekonomi neoliberal, seperti; pencabutan subsidi, liberalisasi perdagangan, privatisasi / swastanisasi, restrukturisasi perbankan, regulasi perundang-undangan dan lain sebagainya. Demokrasi liberal yang dijalankan rejim-rejim di Indonesia paska ’98 telah mengkerangkeng kesadaran politik rakyat dengan ilusi dan kesadaran palsu bahwa perubahan politik yang legal hanya dengan jalan pemilu yang demokratis, toh juga tidak menimbulkan perubahan mendasar!

Gerakan [mahasiswa] Reformasi’98
Perubahan situasi politik antara tahun ’98 dan sekarang ini. Tahun sebelum kejatuhan soeharto, situasinya adalah kediktatoran dimana aktivis gerakan [politik] mahasiswa bekerja dalam situasi syarat-syarat represif, sehingga perjuangan demokratisasi menjadi aspek pokok dalam perjuangannya.

Secara histories gerakan mahasiswa lahir dari polarisasi gerakan di tahun 1947; berawal dari lembaga kampus dan lembaga penerbitan, dan juga jaringan mahasiswa Nasional yang tergabung dalam PPMI membentuk Front Pemuda Indonesia [FPI], sedangkan lawannya gerakan mahasiswa yang dikooptasi oleh Belanda / kolonial dan kelompok tentara dan sayap kanan seperti Masyumi dan PSI keluar dari FPI ditahun 1950-an dan membentuk solidaritas mahasiswa lokal [SOMAL] dan mengibarkan slogan back to campus, kebebasan akademik, mahasiswa tidak boleh berpolitik, dsb.
Sekarang ini banyak hal yang sangat opportunis sedang dipertontonkan dengan mengklaim dirinya sebagai gerakan moral, menolak gerakan politik tetapi terlibat dalam pragmatisme politik seperti sebagian kawan-kawan di *M* yang banyak masuk GOLKAR, dan kawan-kawan di ***M* yang sepenuhnya juga anggota Partai Keadilan Sejahtera [PKS]. Termasuk yang dianut kawan LSM/NGO dan kaum intelektual kampus, pandangan gerakan mahasiswa bahwa gerakan harus berada dalam rel gerakan moral [moral force movement] adalah sepenuhnya menyesatkan, ini tentunya sangat kontra-produktif dengan kebutuhan memajukan gerakan rakyat, karena mana mungkin mendesakkan perubahan mendasar ketika serangan kita tidak pernah menohok pusat kekuasaaan yang merupakan pusat lahirnya kebijakan yang anti rakyat, anti demokrasi dan pro-Imperialisme.

Gerakan mahasiswa progressif memandang kebutuhan bahwa gerakan mahasiswa harus menjadi gerakan politik yang berkolaborasi dengan massa rakyat untuk menuntaskan Revolusi Indonesia. Perjuangan mahasiswa-rakyat tahun ’98 memang telah melahirkan segi-segi positifnya bagi perkembangan demokrasi seperti; kebebasan mendirikan ormas, partai politik dengan sistem multi partai, serikat buruh, kebebasan mengutarakan pendapat; aksi dan demonstrasi, yang walaupun kesimpulan kita itu masih dalam batasan-batasan yang sangat minimal karena dalam beberapa kasus penguasa/pemerintah berkuasa masih sering menggunakan metode-metode represif untuk menghadapi protes-protes rakyat. Sehingga ada sebuah kebutuhan obyektif gerakan kedepan dalam makna keloporan kita [mahasiswa] untuk semakin membuka luas ruang-ruang demokrasi yang nantinya bisa menguntungkan perjuangan rakyat, terutama untuk berorganisasi secara bebas tanpa dikontrol dan dihambat, serta kebebasan dalam menemukan ideologi Demokrasi Kerakyatan.

Gerakan mahasiswa harus benar-benar membersihkan dirinya dari pandangan-pandangan yang tidak mendasar dan belum pernah dibuktikan oleh kajian sejarah yang mendalam! Pandangan-pandangan ini diwakilkan oleh kata-kata kaum intelektual/politisi borjuis-demokrat liberal. Semua paham-paham ini dihembus-hembuskan ke telinga mahasiswa oleh orang-orang yang ketakutan posisinya terancam jika gerakan mahasiswa menjadi radikal dan mulai bergabung dengan rakyat. Elit politik dan partai-partai politik kaum reformis gadungan yang berkuasa kini akan sangat takut kehilangan massanya jika gerakan mahasiswa bergabung dengan rakyat guna memperlihatkan ke mata rakyat kebusukan-kebusukan mereka!

Perjuangan mahasiswa ’98 yang diagung-agungkan sebagian kawan-kawan, sebagian lagi mencelanya sebagai gerakan yang gagal karena tidak mampu melahirkan perubahan mendasar; kesejahteraan bagi rakyat. Tapi, mengandung segi-segi positif dan negatif bagi perjuangan mahasiswa dan rakyat Indonesia kedepan, tapi perlu ditekankan disini bahwa segi positif dan negatif merupakan material yang menyebabkan gerak—menurut filsafat! Yang dimaksud segi-segi positif dari perjuangan mahasiswa tahun ’98 disini antara lain; [1] Berhasil menjatuhkan symbol kediktatoran rejim orde baru Soeharto lewat aliansi mahasiswa-rakyat [buruh-tani-kaum miskin perkotaan], hal ini semakin membuka perspektif bahwa untuk menuntaskan perjuangan reformasi total gerakan mahasiswa harus membangun aliansi strategis gerakan bersama rakyat. [2] Walaupun tidak tuntas telah mampu merubah struktur politik—maksudnya membuka ruang-ruang demokrasi, seperti kebebasan pers, kebebasan membangun organisasi massa, pertemuan-pertemuan politik, dan pemilu multi-partai, meskipun harus diakui bahwa ini masih dalam syarat-syarat demokrasi borjuis. [3] Telah meluaskan aksi massa sebagai metode perjuangan bagi massa rakyat. [4] Meluaskan kesadaran kritis/politik selama 32 tahun floating mass meskipun masih terkadang tingkat kesadaran politik ini masih sangat rendah dan mudah dimanipulasi elit politik.

Sedangkan segi-segi negatifnya adalah; [1] Kelemahan strategi-taktik; membuat mahasiswa tidak mampu membangun struktur politik alternatif bersama gerakan rakyat, sehingga kepemimpinan politik ditelikung oleh borjuis reformis palsu. [2] Fragmentasi gerakan, karena kesalahan memandang dan menyimpulkan situasi ekonomi-politik yang berkembang. [3] Kelemahan ideology gerakan membuat gerakan mahasiswa tidak cukup kuat bertahan ditengah liberalisasi politik dan perkembangan politik yang begitu cepat.

Nah, dari segi-segi positif ini kemudian muncul pandangan bahwa gerakan mahasiswa kemudian mengalami kemunduran drastis dalam hal kemampuan mobilisasi dan kualitas gerakan [ideology-politik-organisasi]. Situasi ini semakin diperparah oleh tidak adanya konsolidasi dalam makna upaya penyatuan gerakan, sehingga sulit menentukan –atau membaca dinamika politik yang ada, masih bersandar pada momentum. Disisi lain, gerakan mahasiswa tidak punya struktur propaganda alternatif untuk melawan dominasi propaganda borjuis, sehingga yang terjadi kemudian kesadaran politik massa bisa dikanalisasi menurut syarat-syarat demokrasi borjuis.

Persoalan pokok dari Revolusi Demokratik rakyat Indonesia saat ini, adalah ketidakmampuan dari gerakan progresif [mahasiswa] dalam berkonsolidasi dan meningkatkan posisi mereka dalam konstelasi politik nasional yang mulai terbuka, mengambil alih dan memaksimalkan keterbukaan politik, hasil dari capaian reformasi’98. Kebutuhan gerakan mahasiswa sekarang sebagai jawaban problem Gerakan yakni; [1] Konsolidasi sektoral mahasiswa, tahapannya bisa dua; pertama konsolidasi BEM satu sisi dan konsolidasi organisasi ekstra disisi lain, kedua konsolidasi bersama dalam bentuk rembug mahasiswa nasional. Kosolidasi sektoral ini akan membuka diri atau mampu terlibat aktif pada konsolidasi multi-sektoral gerakan rakyat. [2] Merumuskan strategi-taktik perjuangan yang tepat, sebagai kesimpulan pembacaan situasi sekarang dan sejarah perkembangan masyarakat indonesia. [3] Merumuskan program-program strategis sebagai solusi problem pokok rakyat indonesia.

Ini harus dimajukan, harus didorong tindakan politiknya agar lebih radikal bermuara pada pembebasan sejati rakyat dari belenggu penjajahan kapitalis-imperialis dengan politik.berdikari: Hapuskan utang luar negeri, nasionalisasi industri pertambangan asing, dan bangun industri nasional!
Saatnya kini rakyat harus disadarkan, rakyat harus diberi pendidikan politik langsung lewat pengalaman langsung perjuangan parlementer yang dikombinasikan dengan perjuangan massa-ekstra-parlementer. Logikanya, perjuangan di lapangan parlemen akan semakin mendorong maju kesadaran politik rakyat bahwa kita harus membangun kekuatan alternatif yang ber-sinergi pada semakin memperbesarnya gerakan massa-ekstra parlementer.

Cukup sudah kita menjadi bangsa kuli di negeri sendiri, saatnya kini kita bangun persatuan untuk bangkit melawan. Dengan demikian, dalam kontradiksi di Indonesia, dalam kerangka mengantisipasi krisis ekonomi-politik yang semakin dekat kedatangannya, kedepan harus menjadi tugas pokok bagi segenap gerakan rakyat progresif revolusioner!


Salam Pembebasan.....Ayo Berontak!
Hidup Mahasiswa-Rakyat.


Minggu, 11 Oktober 2009

Teatrika “PUTIH BIRU”

Aku ingin menjadi ilalang saja yang tak tuhan beri nafsu

Aku ingin jadi duri saja yang tak diberi Tuhan nurani tuk menyakiti

Aku ingin jadi binatang saja yang tak tuhan anugerahi akal

Karna pada kenyataanya aku selalu tidak bisa bertindak seperti manusia yang berakal jika berada di dekatmu

Perjalanan kita telah jauh

Aku telah mendapat banyak pelajaran berharga dari mu

Mengingatmu seperti melahap berton-ton cabe yang sisakan pedas, perih, panas dan air mata

Aku ingin muntahkan tapi rasa yang menyertai pedas dimulutku senyaman hartal nirwana Ketika keringatmu menyekat, membanjiri ruangan tempat kita menulis berlembar-lembar kisah,

Aku mulai pengap, nafasku satu dua,hidungku tersumbat, dan dadaku telah dipenuhi keringat

Ingin sekali aku menyeka segala pengap yang merayap,tapi pesona yang terbekas seharum kasturi surga

Betapa kilau tubuh kita yang basah oleh ludah dan keringat membuat angin merinding


Sebaiknya kita berkaca pada titik-titik air yang mulai menggenang di panggung permainan kita

Apa hendak kau akhiri teatrika bertajuk gairah dan air mata ini?

Jika ya, kita akan memulai sebuah kisah baru

Kita akan membuat pertunjukan yang maha dahsyat

Kita akan bersenggama dalam beberapa baris kata

Dan mungkin orgesme akan kita dapat dari ujung penamu dan kelamin tintaku

Kita akan bercinta dengan alas kertas yang maha luas

Imajinasikan dirimu sesukamu

Orgasmekan aku, tentunya dengan ujung penamu diatas kertas putih biru

Akan banyak yang melihat bersenggamaan kita

Maka mari bermain cantik

Mari bermain liar

Mari tumpahkan air mata seluruh dunia

Mari gelakkan tawa ke angkasa

Menyentuh setiap hati dengan ujung penamu dan kelamin tintaku

Akan ada banyak orang yang menunggu persenggamaan kita

Mereka akan membentangkan kertas putih biru itu

Ayolah…………

Saatnya Mahasiswa Kembali Bangkit*)

Berdirinya Budi Utomo pada 1908, Pencetusan Sumpah Pemuda 1928, serta Peristiwa Reformasi tahun 1998 Membuktikan Bahwa Peran Mahasiswa Tidak Akan Pernah Mati! Dan jangan sampai mati!!!

Dalam berbagai kesempatan telah banyak dikemukakan, bahwa mahasiswa merupakan agent of change/agent of control. Peristiwa 1998 yang merupakan unsur klimaks dari perjuangan mahasiswa di Indonesia telah menunjukkan bukti-bukti tersebut. Dalam kenyataannya, peran mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa yang berpendidikan dan berpengetahuan juga tidak dikesampingkan di sini. Gerakan mahasiswa 1998 yang berhasil menghimpun kekuatan bersama rakyat (social force) dan mampu menggulingkan rejim Soeharto telah membuka pengetahuan baru kepada kita. Ledakan-ledakan yang terjadi sejak tahun 1908 dengan berdirinya Organisasi Budi Utomo sekaligus dimulainya era perjuangan baru bangsa Indonesia, kemudian pada Oktober 1928 dengan adanya Sumpah Pemuda merupakan suatu pembuktian bahwa tanpa mahasiswa, Indonesia tidak akan pernah ada!! Sekali lagi Indonesia tidak akan pernah ada!!

Sebagai penegasan kembali, bahwa perjalanan pasca kemerdekaan baik pada masa ‘Orde Lama’ maupun Orde Baru meskipun tidak terlihat kemampuan yang menunjukkan adanya kemampuan“problem solving” tetapi setidaknya mampu membentuk suatu kebersamaan “solidarity making”. Dan efektifitas dari keterbatasan action semacam ini sekalipun belum mampu menghasilkan result yang sangat baik (sesuai harapan) tetapi setidaknya mampu melenyapkan kemungkinan yang lebih buruk. Dan atau hal terkecil yang paling kita rasakan adalah suasana baru “a new era” (Bukan merk sandal yo boss!), baik setelah turunnya Soekarno dengan Supersemar maupun setelah lengsernya Soeharto tahun 1998. Sebelum dilanjutkan pada bahasan selanjutnya mungkin sedikit “flashback” di atas mampu menggugah semangat kita ke depan, bahwa apa yang terjadi pada “difficult phases” tersebut bukan suatu keniscayaan bagi kita untuk mewujudkannya kembali apa yang mereka kerjakan.

Banyak kalangan menilai bahwa reformasi 1998 merupakan gerakan massa terbesar dalam sejarah Negara kita. Rejim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun dengan otoriteristik-nya, serta keterbatasan ruang gerak cendekiawan oleh todongan senjata karena kuatnya militer pada saat itu. Ternyata mampu digulirkan oleh kalangan demonstran yang terdiri dari para mahasiswa serta masyarakat dan tanpa senjata. Dan apakah gerakan ini menghasilkan? Ya..

Reformasi 1998 memang tidak dapat sepenuhnya lebih dibandingkan dengan moment-moment besar sebelumnya. Apalagi melihat kenyataan saat ini di masyarakat yang penuh dengan euphoria serta turunnya nilai-nilai moral dalam masyarakat. Ekonomi yang semakin mengkerdilkan nasib rakyat (wong cilik) serta semakin merajalelanya budaya korupsi sebagai warisan turun-temurun rejim Orba. Sungguh bukan itu yang kita harapkan dari reformasi 1998 yang gede itu.

Tanpa sedikit mengurangi rasa hormat atas jasa para pejuang 1998 tersebut. Kita sebaiknya sadar bahwa ini merupakan cambuk bagi kita., bahwa perjuangan 1998 bukan akhir dari segala-segalanya. Bahwa saatnya kita berjuang, membentuk kembali jiwa-jiwa pahlawan yang telah hilang dari peredaran bangsa Indonesia , guna membangun pribadi civitas academica yang dinamis dan progresif revolusioner.

Menandai hadirnya masa-masa yang semakin suram ini, krisis multidimensi yang berkepanjangan, terutama krisis moral dan etika. Keadaan ini semakin dipersulit dengan komposisi mahasiswa yang pasca reformasi 1998 mengalami“low environment”. Sudah saatnya para mahasiswa bangkit tanpa menunggu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Persoalan-persoalan bangsa ini yang semakin pelik, ditambah berkurangnya perhatian pemerintah karena terlalu banyaknya permasalahan yang harus dipecahkan menuntut kita untuk turut serta membuat perubahan baru, gerakan baru serta semangat yang baru.

Tipe Perjuangan?

Memang tidak salah jika selain disebut sebagai agent of change, mahasiswa juga sering dikenal sebagai civitas academica. Hal ini menunjukkan betapa urgen-nya posisi mahasiswa dalam proses perjalanan suatu bangsa. Sebab selain sebagai generasi yang mampu bergerak progresif dan revolusioner, mahasiswa juga memiliki kemampuan untuk berpikir dinamis, kritis tetapi logis. Sehingga dalam menyikapi suatu persoalan bangsa hendaknya mampu memilah skala prioritas untuk menyusun kerangka arah perjuangan. Pimilihan unsur strategi ini sangatlah penting mengingat gejolak serta kondisi bangsa yang terus-menerus mengalami perubahan.

Di Era seperti sekarang ini, tentu yang lebih dibutuhkan adalah otak-otak yang mampu bekerja secara teknis, bukan sekadar bicara, retorika-retorika panas dan menggairahkan, terlebih-lebih kontak fisik. Cara-cara lama semacam itu mungkin masih cukup diperlukan (namun dalam skala relatif kecil) mengingat kecakapan utama yang menjadi kebutuhan saat ini adalah kecakapan “problem solving” bukan sekadar “solidarity making” seperti yang terjadi di masa-masa lalu. Artinya pribadi yang ulet, tekun, dan siap saing adalah lebih dibutuhkan saat ini daripada hanya sekadar ‘jargon-jargon palsu’ yang setiap harinya selalu memenuhi tampilan layar televisi serta halaman-halaman utama surat kabar.

Di sisi yang sama, Dr. Nurcholish Madjid pernah menulis bahwa “Model (perjuangan berkobar lewat pidato-pidato panas dan retorika bombastis) ini meskipun barangkali menarik untuk orang awam tetapi perannya dalam mencari pemecahan masalah masyarakat, umat, bangsa, dan negara sangat kecil”. Hal ini membuktikan betapa kerangka berpikir yang strategis sangat sekali diperlukan untuk memecahkan masalah suatu bangsa. Inilah saatnya untuk mulai mengubah diri, agar tidak selalu berpangku tangan. Sebab sudah merupakan tanggungjawab kita sebagai insan akademis untuk melakukan perbaikan terhadap sistem (bukan penghancuran).

Di sisi lain, peran mahasiswa sebagai social transformator dalam perubahan harus memiliki orientasi yang jelas. Sebab tidak menutup kemungkinan, gerakan mahasiswa hanya akan dijadikan alat oleh elite politik terutama adanya indikasi saling tunggang-menunggang antar keduanya. Tidak dapat disangkali bahwa baik sebelum maupun sesudah runtuhnya rejim Orba banyak gerakan mahasiswa yang masih memiliki kebergantungan terhadap kaum elite (terutama parpol). Hal ini tentunya akan sangat sulit untuk menyatukan konsep-konsep maupun pemikiran-pemikiran ke arah yang sama sebab setiap organ memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Itulah sebabnya gerakan mahasiswa pada masa-masa sekarang ini cenderung tidak memiliki kemampuan yang penuh untuk berpikir dinamis, kritis dan logis.

Menghilangkan sikap apatis mahasiswa sebagai ‘tugas tambahan’ yang perlu diperhatikan memang bukan hal yang mudah namun tetap menjadi suatu keharusan. Begitupula pembentukan gerakan mahasiswa yang independent secara hakiki, artinya tidak bergantung kepada apapun dan siapapun. Sebab paradigma-paradigma untuk tidak ambil bagian dalam upaya “berdemokrasi sehat” akan mengakibatkan alpha-nya pihak pemerintah dalam mengemban amanah dan kewajiban mengurus umat. Jika pada Reformasi 1998 kalangan mahasiswa mampu memunculkan musuh bersama serta menyongsong misi mengembalikan kedaulatan rakyat maka sekaranglah saatnya untuk kembali meluruskan arah kedaulatan serta hak-hak rakyat yang mulai tercecer. Jika saat reformasi kita memiliki musuh yang jelas yaitu rejim Orba, maka pada fase kali ini kita dihadapkan pada musuh yang lebih berat, yang tak terlihat, dan sangat menyengsarakan, bahkan tikus-tikus penentang Orba di saat reformasi sekalipun bisa menjadi musuh yang sangat mematikan bagi pergerakan. Oleh sebab itu, independensi dari masing-masing gerakan mahasiswa amat diperlukan dan harus dikembalikan dalam rangka pengembalian harga diri serta kehormatan mahasiswa dan untuk pemecahan permasalahan bangsa. Sudah saatnya, gerakan-gerakan ini mulai melepaskan diri secara substansi dari kongkongan politik praktis apalagi ketergantungan akan modalitas yang menimbulkan perpecahan sesama gerakan. Akhirnya diharapkan mahasiswa mampu memadukan serta menyatukan visi-misi dalam koridor yang jelas dan tersistem agar mampu menghasilkan output yang maksimal.

Di moment yang besar ini, mari sejenak kita jadikan renungan bersama:

Mahasiswa di masa lalu, tepatnya tahun 1908 berani mengubah haluan perjuangan bersenjata (yang sebelumnya bersifat kedaerahan) menjadi perjuangan berskala nasional yang lebih halus dengan dibentuknya organisasi Budi Utomo. Kemudian 20 tahun berselang giliran mahasiswa kembali menorehkan sejarah awal ‘pembentukan’ bangsa Indonesia yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. Selang 80 tahun setelah Sumpah Pemuda, tepatnya Mei 1998 giliran mahasiswa kembali mencapai prestasi puncaknya dalam memperjuangkan kebebasan rakyat melalui gerakan Reformasi-nya. Sudah saatnya kita mengukir sejarah baru. Menghilangkan sikap apatis mahasiswa. Begitupula pembentukan gerakan mahasiswa yang independent secara hakiki, artinya tidak bergantung kepada apapun dan siapapun. Sebab paradigma-paradigma untuk tidak ambil bagian dalam upaya “berdemokrasi sehat” akan mengakibatkan alphanya pihak pemerintah dalam mengemban amanah dan kewajiban mengurus rakyat.

*) Ditulis sebagai paper untuk seorang kawan guna peringatan sumpah pemuda, Hongkong 11 okt.’09.

Sabtu, 10 Oktober 2009

Mahasiswa dan Politik*)

Mahasiswa telah terbukti selalu menjadi pelopor dalam sejarah suatu Bangsa. Pada konteks Indonesia, pengalaman empirik juga membenarkan sekaligus mempertegas realitas tersebut. Catatan terkini memperlihatkan bahwa dengan kemahirannya dalam menjalankan fungsi sebagai Intellectual Organic, mahasiswa telah berhasil memporak-porandakan rezim Orde Baru dan menghantarkan Indonesia kedalam suatu era yang saat ini sedang bergulir, yakni: “Orde Reformasi“.

Namun pada sisi yang lain, fakta juga membuktikan bahwa sampai dengan saat ini, mahasiswa Indonesia belum mampu untuk mendongkel antek-antek Orde Baru dari jajaran elite kekuasaan. Padahal sudah menjadi rahasia umum, bahwa kehadiran mereka di situ untuk menutupi segala kebobrokan kolektif yang telah mereka lakukan di masa lalu.

Dengan kenyataan yang demikian, maka tidaklah mengherankan apabila proses reformasi masih tersendat-sendat dan belum dapat berjalan secara linear. Menurut Sebastian de Grazia (1966 : 72-74), kondisi seperti ini secara cepat atau lambat, otomatis akan menimbulkan suatu situasi anomie yang kuat di dalam kehidupan ber-Masyarakat, ber-Bangsa dan ber-Negara, yang pada akhirnya akan berdampak buruk bagi kesejahteraan mayoritas rakyat.

Bertolak dari argumen di atas, maka mahasiswa dituntut/diharapkan dapat terjun ke arena politik dalam rangka mengawal seluruh agenda reformasi, demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil di dalam kemakmuran dan makmur di dalam keadilan secara demokratis. Akan tetapi, yang menjadi persoalannya adalah bagaimanakah seharusnya mahasiswa berpolitik….??? dan aksi politik yang bagaimanakah yang harus dilakukan oleh mahasiswa….??

Sebelum menjawab kedua pertanyaan di atas, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa istilah politik dalam tulisan ini dipahami sesuai dengan konsep berpikirnya Antonio Gramsci, sehingga di sini politik didefinisikan sebagai aktivitas pokok manusia dimana manusia dapat mengembangkan kapasitas dan potensi dirinya. (Roger Simon, 1999 : 136).

Jika definisi di atas diejawantahkan dalam bentuk aksi, maka mahasiswa dapat berpolitik dalam dua pengertian, yakni : Pertama, berpolitik dalam arti konsep (Concept). Disini mahasiswa secara individual maupun kelompok, harus mengajukan gagasan, pikiran, solusi atau interpretasi mengenai apa yang menjadi kehendak dari mayoritas rakyat. Kedua, berpolitik dalam arti kebijakan (Belied). Di sini mahasiswa sebagai kelompok harus menjadi Pressure Groups yang memperjuangkan aspirasi rakyat, dengan cara mempengaruhi orang-orang yang memegang kebijakan ataupun yang menjalankan kekuasaan, dari luar sistem kekuasaan.

Apabila mahasiswa berpolitik dalam artian yang pertama, maka mahasiswa dituntut untuk benar-benar memahami cara berpikir ilmiah, yaitu teratur dan sistematik. Sedangkan apabila mahasiswa berpolitik dalam arti kebijakan (Belied), maka mahasiswa harus betul-betul mengetahui posisi individu dalam kehidupan ber-Negara, posisi konstitusi dalam kehidupan ber-Negara, posisi Negara dalam menjalin relasi dengan warganya, konstelasi politik terkini dan menguasai manajemen aksi. Pada tataran ideal, mahasiswa seharusnya berpolitik dalam arti konsep (Concept) maupun dalam arti kebijakan (Belied) secara bersamaan. Ini berarti, mahasiswa harus berpolitik sebagai politisi ekstra perlementer.

Demikianlah sumbangan pemikiran saya, mengenai mahasiswa dan politik, kiranya pokok-pokok pikiran yang ada dapat bermanfaat dan mampu mengantarkan kita pada suatu diskusi yang lebih luas.

APAGUNANYA KITA MEMILIKI SEKIAN RATUS RIBU ALUMNI SEKOLAH YANG CERDAS, TAPI RAKYAT DIBIARKAN BODOH … ???

JIKA KONDISI SEPERTI INI TERUS DIPERTAHANKAN, MAKA SEGERALAH KAUM TERDIDIK ITU AKAN MENJADI PENJAJAH RAKYAT
DENGAN MODAL KEPINTARAN MEREKA.

*) Ditulis untuk memperingati hari pemuda, Mahasiswa=Pemuda.