Kamis, 29 Januari 2009

Cerita Sampul 3 (Catatan Hitam Lima presiden Indonesia)


Judul Buku : Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi 1997-2007, Mafia ekonomi, dan Jalan Baru Membangun Indonesia

Penulis : Ishak Rafick

Penerbit : Ufuk Press

Cetakan : I, Februari 2008

Tebal : xx + 422 Halaman

Peresensi : Fahruddin Fitriya


Bung Karno pernah mengungkap, “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Kalimat itu perlu dihadirkan terus-menerus dalam helat kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini. Negara ini bisa bangkit maju, keluar dari belitan masalah, tentu tak luput dari pembacaan sejarah kegagalan dari lima pemimpin Indonesia.


Bermula pada bulan Juli 1997, ditengarai awal munculnya krisis moneter (krismon) yang menyebabkan nilai tukar rupiah mengempis terhadap US$. Keadaan itu membikin khawatir banyak orang. Pelaku bisnis yang sebelumnya mengandalkan utang luar negeri, berubah makhluk yang paling cemas. Sebab setelah kekuatan intervensi ditambah, nilai rupiah langsung masuk ke jurang yang semakin lebar.


Keadaan itu, mendesak para pengamat ekonomi untuk memetakan dan melakukan analisis, mengapa Indonesia gagal tinggal landas setelah 32 tahun Orde Baru. Dan, bagaimana konsepsi peranan dan ketangguhan negara serta koorporasi dalam menghadapi gejolak krisis baik pada tahap awal maupun pasca krisis. Buku ini, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi 1997-2007, Mafia ekonomi, dan Jalan Baru Membangun Indonesia, karya Ishak Rafick, mengupas kegagalan-kegagalan yang dilakukan pemimpin-pemimpin Indonesia.


Krismon, teramal sejak awal oleh pakar-pakar ekonomi semacam Managing Director Econit, waktu itu Dr. Rizal Ramli, pengamat ekonomi kritis Kwik Kian Gie, dan Fu’ad Bawazier —mantan Dirjen Pajak yang kemudian diangkat Soeharto menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Pembangunan VII. Namun, suara-suara pakar itu tersaingi oleh suara-suara lain yang lebih lantang —baik di dalam kabinet maupun di luar. Suara-suara yang lantang itulah akhirnya malah memberi semangat pemerintah untuk ikut saran IMF.


Padahal, kebijakan ekonomi nasional yang melulu berkiblat pada IMF, tampak memperjelas bahwa negara Indonesia hampa ideologi, digilas habis dominasi pragmatisme. Pemimpin-pemimpin Indonesia ditengarai hanya mempertontonkan keadaan negaranya yang lemah visi, sehingga tak ada pilihan lain selain memperkukuh dominasi IMF dan Bank Dunia.

Selain itu, semakin patuh pada pola pikir IMF, membuktikan bahwa elit pengambil kebijakan ekonomi bangsa ini tak kreatif dan memiliki ketergantungan mental dan intelektual sangat kuat terhadap hutang dan pola pikir IMF yang sangat monetaris. Di titik inilah, pemerintah diharap mampu mengembalikan kedaulatan ekonomi dan berupaya menghindari peranan yang sangat besar dari lembaga-lembaga internasional —IMF dan Bank Dunia— dalam menentukan arah dan kebijakan ekonomi nasional.


Dalam konteks itulah, pelajaran menarik saat kita menilik krisis ekonomi yang melanda Asia pada pertengahan 1997. Di mana, negara-negara Asia Timur dan Tenggara justru memanfaatkan krisis ekonomi sebagai momentum historis dengan melakukan berbagai langkah perbaikan struktural. Mahathir misalkan, dengan sadar menolak resep IMF karena pasti akan menimbulkan gejolak ekonomi dan politik di Malaysia. Sementara di Singapura, malah melanjutkan tradisi berpikir Goh Keng Swee (arsitek ekonomi Singapura) yang kritis terhadap dampak negatif dari kapitalisme predatori. Mengambil langkah-langkah penguatan lembaga keuangan dalam negeri dan perbaikan corporate governance guna meredam badai krisis moneter.


Matinya Ideologi Pemilu

Selain tajam menganalisis problem krisis moneter yang menimpa bangsa ini, Ishak Rafick —dalam bukunya ini— juga melakukan pembacaan kritis atas dinamika politik pemilu 1999 dan pemilu 2004. Berdasar argumentasi kuat, Ishak menarik kesimpulan yang tepat tentang kematian ideologi pemilu dalam percaturan politik di Indonesia.


Ternyata pasca Soeharto makzul, ada ruang kosong demokratisasi yang dengan gesit diambil alih oligarki politik serta ekonomi yang tumbuh pada masa Orde Baru. Jangan aneh, bila transisi dari sistem otoriter ke sistem demokratis tidak membawa manfaat besar pada kemajuan negara maupun kesejahteraan rakyat. Jamak diketahui, proses pemilu atau pun pilkada sangat diwarnai dan didominasi oleh politik uang.


Apabila kecenderungan itu terus berlanjut, maka akan timbul pertanyaan, apakah demokrasi bermanfaat untuk rakyat mayoritas. Seperti yang dikatakan Ishak, matinya ideologi dalam proses politik Indonesia merupakan salah satu penyebab utama komersialisasi dan dominasi politik uang dalam proses demokrasi di Indonesia.

Jalan Baru

Tak dapat dimungkiri, masa depan negara dan bangsa ini sekarang berada di titik nadir. Tanpa perjuangan Kabinet Indonesia bersatu SBY-JK, dapat dipastikan nasib rakyat semakin memburuk. Gejalanya mulai tampak bernas, merebaknya pengangguran, busung lapar, kurang gizi, meningkatnya angka putus sekolah, bencana alam, serta berbagai penyakit ringan yang merenggut nyawa —cuma karena si sakit tak punya biaya untuk berobat.


Bila negara-negara maju mampu memberikan asuransi kesehatan kepada segenap rakyatnya dan dunia pendidikan dibikin gratis, bahkan diguyur beasiswa sebagai investasi masa depan, tentu rakyat Indonesia juga berhak mendapat perlakuan serupa dari pemerintahnya.


Buku ini sangat manantang pikiran sekaligus menggugah nurani. Lewat ketangkasan Ishak Rafick —sebagai wartawan senior— yang telah lama bergelut di dunia jurnalistik, mampu menyampaikan topik berat dalam buku ini secara ringan. Bagaimana pun, buku ini telah berkontribusi besar demi kecerdasan para pengambil kebijakan —utamanya di bidang ekonomi— dengan tidak lagi terjerumus dalam neoliberalisme kebijakan.



Jepret










Apakah anda sudah belajar???

Apakah anda sudah belajar???

Aku belajar, bahwa aku tidak dapat memaksa orang lain mencintai_ku, aku hanya dapat melakukan sesuatu untuk orang yang aku cintai

Aku belajar, bahwa butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan dan hanya beberapa detik saja untuk menghancurkannya

Aku belajar, bahwa sahabat terbaik bersama_ku dapat melakukan banyak hal dan kami selalu memiliki waktu terbaik

Aku belajar, bahwa orang yang aku kira adalah orang yang jahat justru adalah orang yang membangkitkan semangat hidup_ku kembali serta orang yang begitu perhatian pada_ku

Aku belajar, bahwa persahabatan sejati senantiasa tumbuh walau dipisahkan oleh jarak yang jauh, beberapa diantara_nya melahirkan cinta sejati

Aku belajar, bahwa jika seseorang tidak menunjukkan perhatian seperti yang aku inginkan bukan berarti bahwa dia tidak mencintai_ku

Aku belajar, bahwa sebaik-baiknya pasangan itu, mereka pasti pernah melukai perasaan_ku dan untuk itu aku harus memaafkanya

Aku belajar, bahwa aku harus belajar mengampuni diri sendiri dan orang lain, kalau tidak mau dikuasai perasaan bersalah terus-menerus

Aku belajar, bahwa lingkungan dapat mempengaruhi pribadi_ku, tetapi aku harus bertanggung jawab untuk apa yang telah saya lakukan

Aku belajar, bahwa dua manusia dapat melihat sebuah benda, tetapi terkadang dari sudut pandang yang berbeda

Aku belajar, bahwa tidaklah penting apa yang saya miliki, tetapi yang penting adalah siapa saya ini sebenarnya

Aku belajar, bahwa tidak ada yang instant atau serba cepat di dunia ini, semua butuh proses dan pertumbuhan, kecuali aku ingin sakit hati

Aku belajar, bahwa aku harus memilih apakah menguasai sikap dan emosi atau sikap dan emosi itu yang manguasai diri_ku

Aku belajar, bahwa aku punya hak untuk marah, tetapi itu bukan berarti aku harus benci dan berlaku bengis

Aku belajar, bahwa kata-kata manis tanpa tindakan adalah saat perpisahan dengan orang yang aku cintai

Selamat belajar, semoga anda cepat sadar,…

Love doesn’t make the world go round, Love is what makes the ride worth while.

Aku Ingin

Aku ingin mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin likaku-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium; meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar ke arah yang mengejutkan. Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai ragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh dan terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin. Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan. Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup!!

Senin, 26 Januari 2009

Demokrasi yang sakit

Hampir tidak mungkin berharap mencuci bersih dengan air yang kotor. Dalam istilah berbeda, analogi ini mirip dengan hubungan antara sapu dan lantai. Seperti yang terjadi pada proses seleksi pimpinan KPK jilid II baru-baru ini. Beberapa saat menjelang hari anti korupsi sedunia, Lembaga anti korupsi ini dibajak sedemikian rupa oleh sekelompok mafia yang ditengarai terdiri dari para koruptor, partai politik dan bahkan negarawan.

Kenyataan terpilihnya Antasari Azhar ditengah penolakan yang sangat keras dari kelompok masyarakat semakin membuktikan, bahwa beberapa anggota Komisi III DPR benar-benar tidak dapat dipercaya. Hal ini bukan catatan pertama tentang oportunisme politik sempit para anggota dewan yang terhormat. Rekayasa-rekayasa, lobi politik, dan dugaan suap mengalir justru lebih besar pada lembaga terhormat ini.

Secara sederhana rakyat dengan mudah dapat melihat gejala kronik keruntuhan moralitas dan komtimen kebangsaan di tubuh masing-masing anggota Komisi III DPR-RI. Meskipun bukan berarti vonis bersalah kita tudingkan secara membabibuta terhadap semua wakil rakyat yang seringkali tidur atau mangkir saat harus mengambil kebijakan strategis demi kepentingan rakyat. Namun, rentetan fakta berbicara, sejarah mencatat, Komisi III DPR telah mengkhianati semangat anti korupsi yang telah mulai dibangun. KPK dibajak hanya untuk kepentingan sekelompok elit partai berkuasa, atau semacam investasi politik yang koruptif. Hingga, setidaknya 4 tahun ke depan, beberapa kalangan tidak perlu takut dijerat hukum ketika melakukan korupsi.

Demokrasi yang sakit

Salah satu pemicu drama tragis pemilihan pimpinan KPK Jilid II ini adalah ketika demokrasi disimplifikasi hanya pada suara terbanyak tanpa menginternalisasikan nilai, tanggungjawab, moralitas dan sensitivitas terhadap semangat perlawanan korupsi. Bagaimana mungkin, seorang calon yang disorot sedemikian rupa, gagal mengeksekusi Tommy Soeharto, melanggar undang-undang & “bekerjasama” dengan koruptor yang telah diputus berdasarkan kekuatan hukum tetap (kasus 33 anggota DPRD Sumbar), diduga menerima gratifikasi dan suap, bahkan pernah mencoba menyuap wartawan, ternyata tetap dipilih dengan suara 37 (tertinggi kedua dari semua calon), hingga akhirnya dinobatkan pada kursi Ketua KPK periode 2007-20011? Di titik inilah, semua logika dan akal sehat runtuh di tangan tirani mayoritas melalui persekongkolan para bandit.

Atau, kalaupun benar, DPR tidak terlalu percaya dengan hasil rekam jejak calon yang dilaporkan oleh ICW bersama Koalisi Pemantau Peradilan (KPP), jika komitmen dan rasa tanggungjawab dengan tugas kenegaraan yang dipikulnya benar-benar ada, tentu seharusnya DPR berupaya maksimal untuk melakukan penelusuran sendiri di lapangan. Dan, kenyataannya hal tersebut tidak dilakukan, bahkan mencermati pertanyaan yang diajukan pada Fit & Proper Test di Komisi III DPR, alih-alih mengajukan pertanyaan investigatif, proses wawancara justru kental dengan ritual dagelan dan cemooh politik. Degradasi moralitas seperti inilah yang semakin meruntuhkan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia.

Dalam pemilihan yang dimulai pukul 19.42 Rabu malam (5/12), 49 anggota komisi hukum itu harus memilih lima nama dengan cara melingkari lima nama yang tercetak dalam selembar kertas. Advokat Chandra M. Hamzah meraih 44 suara. Di urutan kedua adalah Direktur Penuntutan pada Jaksa Muda Pidana Umum Antasari Azhar dengan perolehan 37 suara, Ketiga, Bibit Samad (Kepolisian), Keempat, Haryono (BPKP), dan Kelima M. Jasin (KPK). Yang mengenaskan, calon yang dinilai mempunyai kapabilitas, kompetensi teruji serta menempati urutan teratas pada tes profile assesment Pansel justru mendapat sisa-sisa suara, seperti Amien Sunaryadi, Surachmin, dan Iskandar Sonhadji.

Praktek pengkooptasian & pembajakan seperti ini terjadi karena ketidakjelasan standar sementara kewenangan DPR begitu besar. Hal tersebut menjadi penting dikritisi karena kesadaran individual, moralitas dan etika anggota DPR kita ternyata teruji tidak cukup baik. Sehingga, ke depan konsep dan ide proses seleksi lembaga negara non-politis yang melibatkan DPR patut ditinjau ulang. Karena sangat rentan masuk pada wilayah konflik kepentingan, khususnya di bidang penegakan hukum. Contoh kongkrit yang dapat diamati adalah, diperkirakan kepentingan terbesar pemilihan Antasari adalah keinginan fraksi-fraksi raksasa di DPR untuk mengamankan kelompoknya dari upaya KPK membersihkan para politisi. Salah satu contoh terdekat adalah kasus aliran dana Bank Indonesia pada anggota DPR periode lalu yang sedang ditangani KPK.

Membunuh KPK

Akan tetapi, skeptisme dan penolakan yang dilakukan terhadap hasil pemilihan pimpinan KPK jilid II ini harus berjalan secara hati-hati. Tidak boleh terjebak pada skenario besar yang direkayasa oleh kelompok anti pemberantasan korupsi. Harus ditegaskan, bahwa kekecewaan dan penolakan yang dilakukan lebih pada individu yang dipilih, dan perselingkuhan proses politik di DPR, bukan justru delegitimasi KPK.

Mencermati pendapat yang berkembang di media massa kali ini. Beberapa tokoh reformis hampir terjebak pada wacana pembubaran KPK. Hal ini tentu akan disambut baik oleh mafia koruptif yang memang menginginkan tidak adanya KPK. Setidaknya dapat dibaca tiga skenario sederhana diablik pemilihan Antasari sebagai Ketua KPK.

Pertama, kalaupun KPK tetap dipertahankan, maka kelompok tertentu (elit & kroni partai besar) akan terlindung dari gerakan pemberantasan korupsi di periode 2007-2011. Hal ini dapat dilakukan dengan metode subsidi silang, seperti biasanya diterapkan oleh Kejaksaan dalam mengungkap kasus Pidana. Agar publik tidak terlalu kecewa, maka beberapa kasus kecil akan diungkap dan kampanye besar tentang cerita sukses akan dilakukan. Akan tetapi, kasus-kasus yang berhubungan dengan kelompok elit justru dihambat semaksimal-mungkin.

Kedua, dalam rangkaian pengajuan revisi undang-undang KPK yang sedang berjalan, para pimpinan akan menyusupkan pasal yang semakin melemahkan eksistensi dan gerakan KPK. Wacana agar KPK hanya menangani perkara di level penyidikan (tidak termasuk penuntutan) adalah gejala kongkrit skenario ini. Karenanya, pada tim KPK hari ini, sepatutnya usulan RUU KPK patut ditinjau ulang. Kita tidak ingin membuka kotak pandora yang sangat rentan melemahkan KPK ke depan.

Dan, Ketiga, alternatif terburuk tetapi tetap bernilai penting bagi kelompok koruptif, adalah arah pada pembubaran KPK. Beberapa pendapat ahli sepertinya terjebak mengarah pada wacana ini, dan kemudian disambut baik oleh salah seorang anggota Komisi III DPR dari salah satu fraksi yang sangat mendukung Antasari. “Kalau kerjanya tidak memuaskan, kita bubarkan saja KPK”. (Jawa Pos, 06/12).

Atas dasar itulah, seperti yang juga didorong ICW, bahwa kritik terhadap pimpinan KPK terpilih lebih pada konsep pengawasan dan pembangunan institusional KPK yang lebih baik. Bukan justru mengarah pada upaya pembubaran KPK. Karena kita tidak ingin, rakyat dikalahkan berkali-kali. Atau, jika KPK terbunuh lagi, sejarah akan mencatat, ini adalah yang kedelapan kalinya lembaga anti korupsi terkapar dengan menyakitkan.

Lirik

Darah Juang


Disini Negeri Kami...
Tempat Padi Terhampar...
Samuderanya Kaya Raya...
Tanah Kami Subur Tuan...

Di Negeri Permai Ini...
Berjuta Rakyat Bersimbah Luka...
Anak Kurus Tak Sekolah...
Pemuda Desa Tak Kerja...

Mereka Dirampas Haknya...
Tergusur dan Lapar...
Bunda Relakan Darah Juang Kami...
Untuk Membebaskan Rakyat...



Buruh Tani


Buruh Tani Mahasiswa Rakyat Miskin Kota...
Bersatu Padu Rebut Demokrasi...
Gegap Gempita Dalam Satu Suara...
Demokrasi Sepenuhnya...

Hari-hari Esok Adalah Milik Kita...
Terbebasnya Masyarakat Pekerja...
Terciptanya Tatanan Masyarakat...
Indonesia Baru Tanpa ORBA...

Marilah Kawan Mari Kita Songsongkan...
Ditangan Kita Tergenggam Arah Bangsa...
Marilah Kawan Mari Kita Nyanyikan...
Sebuah Lagu Tentang Pembebasan...

Di Bawah Kuasa Tirani...
Kutelusuri Garis Jalan Ini...
Berjuta Kali Turun Aksi...
Bagiku Itu Langkah Pasti...


Diam

Mengapa DiaDiam, Mengapa Dia Diam...
Mengapa Semua Diam...
Lihat Penindasan, Ketidak Adilan...
Di Indonesia...
2x

Apa Perlu Kita Bangkitkan Bung Karno... (Tidak Perlu)
Apa Perlu Kita Bangkitkan Bung Hatta... (Tidak Perlu)
Apa Perlu Kita Bangkitkan Tomo... (Tidak Perlu)
Atau Kita...... Bergerak Sendiri...

Totalitas Perjuangan

Kepada Para Mahasiswa...
Yang Merindukan Kejayaan...
Kepada Rakyat Yang Kebingungan...
Di Persimpangan Jalan...

Kepada Pewaris Peradaban...
Yang Telah Menorehkan...
Sebuah Catatan Kemenangan...
Dilembar Sejarah Manusia...

Wahai Kalian Yang Rindu Kemenangan...
Wahai Kalian Yang Turun Kejalan...
Demi Mempersembahkan Jiwa Dan Raga...
Untuk Negeri Tercinta...

PERNYATAAN CALON PRESIDEN DITA SARI

PERNYATAAN CALON PRESIDEN DITA SARI

Partai Rakyat Demokratik

PERNYATAAN CALON PRESIDEN DITA SARI

ATAS

PENYERANGAN TERHADAP PAPERNAS

YANG

DITUDUH KOMUNISME - PKI

”Mereka mengidentikkan kami dengan
komunis karena mengusung program perjuangan yang kami
sebut Tripanji. Menurut mereka, Tripanji adalah idiom
komunis padahal bukan,” kata Ketua Umum Papernas Agus
Priyono
dalam jumpa pers di kantor Kontras, kemarin sore.

Dia menjelaskan, Tripanji sebenarnya berisi tuntutan
nasionalisasi industri pertambangan, penghapusan utang
luar negeri, dan industrialisasi nasional untuk
kesejahteraan rakyat. “Asas kami juga bukan komunis
melainkan demokrasi kerakyatan,” sambungnya.

CALON PRESIDEN, DITA INDAH SARI menambahkan,
DIRINYA MENANTANG pihak-pihak YANG ANTI PAPERNAS untuk
membuktikan kaitan antara Papernas dengan komunis.

“Itu hanya makanan basi yang terus dikunyah-kunyah

lalu disemburkan saat momen tertentu,”

tegasnya.

Papernas sendiri adalah partai yang didirikan oleh
sejumlah organisasi dan aktivis gerakan, termasuk PRD
(PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK)
. Baginya, semua perjuangan
Papernas tak ada kaitannya dengan komunis.

“Kami bicara soal nasionalisasi, apa Amien Rais tidak?
Lalu, dengan begitu apa Amien komunis,” ujarnya balik
bertanya.

Soal warna bendera Papernas yang merah, Dita lantas
membandingkannya dengan bendera milik PDI-Perjuangan.

Ditindas (Dita Indah Sari)

Dita Indah Sari lahir di Medan, Sumatra Utara pada tanggal 30 Desember 1972. Anak kedua dari dua bersaudara ini lahir dari pasangan Adjidar Ascha dan Magdalena Willy F Firnandus.

Pendidikan dasarnya mulai dari Taman Kanak-kanak sampai SMP diselesaikan di Harapan Medan. Pendidikan menengah atasnya diselesaikan di SMU I PSKD (1988-1991), Jakarta. Dunia gerakan mulai dikenalnya ketika menjadi mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1991. Pada tahun 1992 ia bergabung dengan Forum Belajar Bebas, sebuah kelompok studi mahasiswa progresif yang membahas persoalan demokrasi dan keadilan sosial.

Berlanjut dari kelompok studi, Dita kemudian menjadi organisator buruh di daerah Tangerang, Bogor, dan Pluit mulai tahun 1993, sampai pada tahun 1994 bersama kawan-kawan yang lain mendirikan Partai Rakyat Demokratik.

Dalam kongres Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) yang pertama di Semarang, Oktober 1994, Dita Sari dipercaya menjadi Sekretaris Jenderalnya yang pertama. PPBI adalah satu-satunya organisasi buruh yang pada masa itu melakukan demonstrasi menuntut kenaikan upah, penghidupan yang layak buat kaum buruh dan penggulingan Soeharto. Sampai pada Februari 1995 Dita kemudian dipercayakan menjadi ketua umum PPBI.

Dita Sari begitu namanya sering disingkat kemudian ditangkap ketika sedang memimpin aksi di Tendes, Surabaya bulan Juli 1996. Dalam sebuah pengadilan yang tidak adil, Dita dijatuhkan hukuman delapan tahun penjara beserta beberapa teman-temannya yang lain, dan oleh rezim Soeharto PPBI dianggap sebagai organisasi terlarang.

Dita Sari pernah ditahan di LP Wanita Malang dan LP Wanita Tangerang periode tahun 1997-1998, Dita kemudian dibebaskan setelah mendapat amnesti dari Presiden Habibie. Tahun 1999 Dita kemudian mendeklarasikan Front Nasional Perjuangan Buruh Nasional Indonesia, yang merupakan penggabungan antara PPBI dengan serikat-serikat buruh lokal seperti PPBS Surabaya, dan SBI Bandung; Dita terpilih sebagai ketuanya.

Pada September 2001, Dita mendapat penghargaan Ramon Magsaysay Award. Februari 2002 Dita juga mendapat Reebok Human Rights Award, yang kemudian ditolaknya karena Reebok sebagai salah satu perusahaan sepatu besar yang tidak berpihak terhadap kesejahteraan kaum buruh. Dalam periode ini Dita juga tercatat sebagai salah seorang pendiri sebuah lembaga penelitian, yaitu Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), serta Senjata Kartini sebuah LSM yang bergerak di bidang perempuan.

Memasuki momentum pemilu 2004, FNPBI, bersama organisasi sektoral lainnya, seperti SBMI, JMD, STN dll, mendirikan Partai Persatuan Oposisi Rakyat (POPOR), dan Dita terpilih sebagai ketua umum, akan tetapi POPOR kemudian gagal memenuhi verifikasi Depkeh HAM.

Pada Maret 2005, dalam kongres luar biasa Dita Indah Sari terpilih sebagai ketua umum Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD).

Menyoal Problem Kepemimpinan Indonesia

Menyoal Problem Kepemimpinan Indonesia


LEADER or leadership is one of the most observed but the least understood phenomena on earth," demikian kata seorang pakar kepemimpinan dunia, James McGregor Burns.

Maksud pernyataan itu adalah di mana-mana kita melihat pemimpin atau kepemimpinan secara formal, tetapi fenomena pemimpin atau kepemimpinan secara substansial masih amat jarang adanya.

Jika kita melihat pemimpin tingkat nasional, dari presiden hingga menteri, maupun di tingkat daerah, seperti gubernur dan bupati sampai ketua RW atau RT di Indonesia akhir-akhir ini, hal itu tampak terjadi. Para pemimpin kita banyak yang bermental suka dilayani, tetapi jarang yang mau melayani dan menyuarakan aspirasi rakyat.

Hasil pengamatan para pakar tentang kepemimpinan, sangat menyedihkan kita semua. Mereka menyatakan bahwa orang yang duduk di kursi pemimpin belum tentu mempunyai kepemimpinan. Di antara mereka ada yang mempunyai kemampuan manajerial, tetapi bukan seorang yang mempunyai kemampuan memimpin. Yang lebih parah lagi, banyak di antara mereka yang duduk di kursi pemimpin, tetapi bukan manusia yang punya kemampuan memimpin dan tidak mempunyai kemampuan manajerial sama sekali.

Orang yang paling ideal menjadi pemimpin adalah orang yang mempunyai kemampuan manajerial dan kepemimpinan sekaligus. Prof Zaleznik dari Universitas Harvard mengatakan, meskipun kondisi ideal itu tidak mudah ditemukan, realitasnya senantiasa ada.

Senada dengan yang di atas, para ahli psikologi kepemimpinan menegaskan, sekarang banyak organisasi yang over managed (diatur secara berlebihan), tetapi underled (kurang dipimpin). Padahal, hari ini dan esok kita berada dalam era penuh ketidakpastian, turbulensi, dan kebingungan. Karena itu, kita butuh seorang pemimpin dan kepemimpinan. Jadi tidak cukup seorang "manajer" saja.

Dalam keadaan multikrisis yang dialami bangsa Indonesia seperti saat ini, secara umum sangat dibutuhkan tiga fungsi utama pemimpin atau kepemimpinan. Pertama, visi yang jelas dengan arah yang menatap jauh ke depan. Dengan begitu, pemimpin dapat mengomunikasikan program dan kebijakannya kepada rakyat untuk bergerak ke masa depan yang lebih progresif.

Kedua, kemampuan aligning people (menyatukan rakyat). Maksudnya adalah kemampuan mengikat orang-orang untuk bersatu, berjajar, serta sejajar maju bersama untuk bergerak menuju ke arah perwujudan visi yang telah digariskan.

Ketiga, inspiring and motivating. Seorang pemimpin harus mampu mempengaruhi "hati dan pikiran" pengikut dan semua rakyatnya. Jika seorang manajer hanya punya "pengaruh secara tidak langsung", maka seorang pemimpin harus punya "pengaruh langsung" kepada bawahan, pengikut, serta semua rakyat.

Trifungsi utama pemimpin atau kepemimpinan di atas dapat kita bedakan dengan tiga fungsi utama manajer, yaitu perencanaan dan penganggaran, pengorganisasian dan pelaksanaan, dan pengawasan.

Oleh karena itu, untuk mengentaskan bangsa Indonesia dari krisis dan mengangkat harkat bangsa Indonesia menuju masa yang mencerahkan, kombinasi kompetensi kepemimpinan dan manajerial adalah sebuah hal yang ideal. Jika tidak memungkinkan, hendaknya paling tidak mempunyai jiwa dan fungsi kepemimpinan sebagaimana diuraikan di muka.

Akar pemimpin bangsa

Jika kita telusuri kembali sejarah bangsa Indonesia, akan tampak bahwa sumber utama munculnya pemimpin bangsa ini adalah kampus, organisasi keagamaan, dan bisnis. Sejak fajar abad kedua puluh (1908), dunia kampus telah melahirkan pemimpin untuk kebangkitan nasional.

Pada masa penjajahan, "kampus" menampakkan wujudnya dalam AMS (SMA), HBS dan Mulo (SLTP). Pada tempat itulah para kiai, ustadz, guru, dan tokoh nasional menggodok jiwa-jiwa "budak" untuk bangkit melawan penjajah menuju kemerdekaan bangsa. Dengan tempaan para tokoh itu, visi, inspirasi, serta motivasi kepemimpinan dapat menghunjam pada dada para pemuda dengan mantap.

Sumpah Pemuda (1928) juga lahir untuk memutuskan sekat-sekat suku dan agama yang sering menimbulkan konflik. Visi dan motivasi para pemimpin dari semua agama dan suku menyatukan pemuda dari berbagai suku dan bermacam latar belakang agama dengan cita-cita persatuan dan kemerdekaan bangsa. Saat menjelang tahun 1945-lah, baru muncul sumber baru kepemimpinan yang berasal dari opsir (perwira) PETA didikan penjajah Jepang selama 3,5 tahun.

Jenderal Clausewitz, ahli strategi besar yang amat terkenal dari Jerman, mengatakan bahwa perang tidak melahirkan seorang jenius besar, tetapi melahirkan seorang pemimpin. Pengalaman kepemimpinan yang ditempa dalam waktu lama tentu akan membawa seseorang menjadi makin matang sebagai pemimpin.

Pengalaman yang berat seperti keadaan perang tentu lebih banyak melahirkan sosok pemimpin jika pengaderan kepemimpinan dikelola dengan baik. Dalam keadaan normal (bukan perang), seharusnya pengaderan kepemimpinan hendaknya lebih diperhatikan secara serius dan profesional.

Berdasarkan realitas di atas, sejarah bangsa Indonesia sampai hari ini menunjukkan bahwa kampus adalah sumber utama pemimpin atau kepemimpinan. Sayangnya, pemerintah sering tidak "bersahabat" dengan kampus sehingga pengaderan kepemimpinan bangsa tidak terprogram dengan baik. Pengalaman besar dari para aktivis kampus lebih banyak ditonjolkan sisi negatifnya. Begitu juga dengan larangan mahasiswa untuk berkiprah dan berkreativitas melalui kebijakan NKK/BKK yang cenderung mengebiri munculnya kader pemimpin baru.

Betapa indahnya jika kita memberi kesempatan menambah ilmu kepada aktivis mahasiswa, sesudah mereka menjadi pemimpin di kampus masing-masing. Seleksi kepemimpinan di kampus harus terus dimatangkan dengan pengembangan ilmu pengetahuan.

Dengan program itulah akan lahir sosok Soekarno muda, Hatta muda, Syahrir muda, Supomo muda, dan banyak lagi kader pemimpin bangsa yang tumbuh dan mengakar ke bawah. Merekalah sosok-sosok pemimpin yang berjiwa kenegaraan dan mempunyai kemampuan intelektual yang meyakinkan. Dengan begitu, nantinya yang muncul bukan hanya pemimpin karbitan dan bukan pula kader jenggot seperti sekarang ini.

Jika dibina secara berjenjang, mantan pemimpin-pemimpin kampus itu kelak akan menjadi pemimpin masyarakat sipil yang kuat. Sebab, sejak awal mereka telah terseleksi di kampus secara demokrasi dan rasional. Oleh karena itu, sudah saatnya secara terarah masyarakat Indonesia mulai menilai dan menyeleksi dari pemimpin tingkat daerah masing-masing, siapa saja yang dapat maju terus ke tingkat nasional. Kompetisi demokratis di dalam lingkup kecil akan mematangkan diri seorang pemimpin ketika berkiprah dalam dunia yang luas.

Dalam usaha mencari pemimpin yang berkualitas, negara-negara tetangga, seperti Singapura, memberikan dukungan nyata pada sumber daya manusia yang baik dan berbakat dengan mengalokasikan anggaran negara dan pembinaan yang serius. Sejak dua dekade lalu, mereka lakukan hal itu dengan membina kader, termasuk di dalamnya memberi gaji yang pantas dalam jabatan pemerintah. Hal itu juga sebagai upaya agar tidak terjadi brain drain dan korupsi dalam birokrasi pemerintah.

Peter F Drucker pernah memberikan sinyalemen tentang rendahnya kualitas birokrat pemerintah dibandingkan dengan swasta akibat rendahnya gaji birokrat pemerintah. Karena tidak dibina dengan baik dan diberikan kesempatan yang luas, jangan heran jika banyak otak Indonesia tamatan luar negeri lebih memilih bekerja di negara tetangga.

Dalam era reformasi yang berjalan tersendat-sendat ini, era kader jenggot dan karbitan sudah harus dibuang jauh-jauh. Di sisi lain, pemerataan antargolongan tetap harus diperhatikan agar kecemburuan sosial tidak selalu menghantui kemajuan bangsa. Kemajemukan adalah persoalan politis yang harus selalu dikelola dengan hati-hati. Dengan begitu, setiap kompetisi pribadi dan golongan tidak berjalan secara sensitif dan berhawa saling curiga, tetapi dengan fair dan sehat.

Sejak dalam era jayanya ABRI dan setelah berakhirnya kombinasi kepemimpinan puncak nasional oleh tentara dan sipil (Sultan Hamengku Buwono dan Adam Malik), saya telah mengingatkan akan kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial dari orang-orang kampus. Hal itu dikarenakan orang pertama dan kedua negeri tercinta yang amat majemuk ini hanya dari satu angkatan, satu suku, dan satu golongan.

Sudah saatnya "equal opportunity" harus dibuka selebar- lebarnya untuk menjaring kader-kader yang berkualitas dalam menghadapi era globalisasi dan kompetisi ini. Dengan begitu, sosok pemimpin Indonesia ke depan benar-benar seorang pemimpin yang mengakar ke bawah, berpengalaman, mempunyai visi ke depan, sanggup mengentaskan bangsa dari krisis, dan mampu meninggikan harkat martabat Indonesia tercinta.

Mimpi untuk perubahan

Patutkah kita bermimpi untuk perubahan???

Akhirnya Amerika Serikat memilih, Mereka memilih untuk mencetak lembaran sejarah baru bagi negerinya. Barrack Hussein Obama terpilih sebagai Presiden kulit hitam pertama di negeri Paman Sam itu dengan mengalahkan rivalnya dari Partai Republik sang pahlawan perang Vietnam; John McCain. Kemenangan yang cukup signifikan dimana Obama berhasil mengumpulkan 349 electoral votes dan 161 elctoral votes bagi McCain & selisih hampir 8 juta ‘popular votes’ (sampai saya menulis note ini). Sebuah kemenangan bagi Amerika Serikat untuk membuktikan mukadimah konstitusinya yang berbunyi “we hold this truth to be self-evident that all men are created equal…”, sebuah kemenangan bagi mimpi seorang Martin Luther King dengan kata2nya yang dimulai dengan “I have a dream…”, sebuah kemenangan bagi Malcolm X yang berjuang bagi warga kulit hitam Muslim maupun non-muslim yg berjuang dengan militan (’by any means necessary…”), sebuah kemenangan bagi Muhammad Ali yang mengganti namanya dari Cassius Clay karena “I don’t want to be called by my slave name!” dan semua pejuang civil rights di Amerika Serikat; the Kennedys, jesse Jackson, Al Sharpton dan masih banyak lagi.

Kemenangan ini bukan titik akhir dari perjuangan kaum Civil Rights activists di AS, dan sesungguhnya juga bukan kemenangan pertama. Kemenangan kecil demi kemenangan kecil telah terjadi di setiap masa. Dan dengan perlahan tapi pasti dengan perjuangan tokoh yang tersebut di atas. Memang tidak secepat hari berganti, tetapi walaupun seperti sebuah Evolusi (bertahap dan perlahan) harus diperjuangkan seakan akan sebuah Revolusi. Terbukti diperlukan tokoh-tokoh Revolusioner yang menghadirkan diri dan ‘ideals’-nya dengan gegap gempita terkadang penuh kemarahan dan tak jarang terlihat arogan. Ketika seorang Muhammad Ali, menentang perang Vietnam dan menolak diberangkatkan kesana sbg bagian dari wajib militer di kala itu, dia dengan keras menyatakan tidak, dengan lantang mengatakan bahwa vietkong2 di vietnam tidak pernah berbuat salah padanya, justru negara nya (AS) yang selama ini masih menindasnya (dan sesama kulit hitam yang lain). Sangat arogan dan dianggap tidak patriotik dia di kala itu, tapi sesungguhnya bukan pesan itu yg dia maksud, namun adalah pesan untuk mengingatkan AS untuk memberikan persamaan hak dahulu di AS sebelum berharap warga kulit hitam mau mengorbankan nyawanya utk negara. Ketika seorang Martin Luther King yang terlihat selalu anti kekerasan, namun dia meng-organize “the million man march” atau pawai sejuta orang untuk menentang kebijakan segregation (segregasi seperti apartheid) dimana ini sesungguhnya bentuk kemarahan dan show off force walaupun di’kosmetik’i ‘tanpa kekerasan’. Atau ketika seorang Malcolm X berpidato di sebuah universitas dan menyatakan perjuangan persamaan hak harus dilakukan dengan “By Any Means Necessary” atau bila diartikan secara singkat ‘menghalalkan segala cara’ seperti revolusi berdarah.

Semua Perjuangan para kaum Revolusioner itulah yang akhirnya berangsur menghapus kebijakan segregasi AS sehingga tidak lagi seorang kulit hitam duduk di tempat duduk khusus di belakang Bis Kota, atau buang air di WC umum yang terpisah dan lebih jelek dari WC umum kaum kulit putih, dan akhirnya seorang ’skinny kid with a funny name’ (mengutip pidato Obama di Konvensi Demokrat 2004 ketika menjelaskan tentang dirinya) dapat menjadi Presiden Amerika Serikat. Semua ini dapat terjadi karena adanya ‘Pergerakan’ yang dimotori oleh beberapa orang di negeri itu. Seperti juga terjadi di Indonesia, ketika bangsa kita memperjuangkan kemerdekaannya dari penjajah, muncul tokoh2 Revolusioner seperti Bung Tomo, Mohammad Yamin, Soekarno, Bung Hatta, Tan Malaka dan masih banyak lagi. Mereka tampil dengan amarah, tangan mengacung-acung, tangan dikepal, berteriak lantang atau menulis dengan tajam melawan penjajahan. Akhirnya penjajahan pun terhapuskan di bumi Indonesia kala itu. Terjadi lagi di era orde baru ketika menuju reformasi, munculnya perlawanan perlawanan tokoh2 muda maupun yg lain di Indonesia mulai dengan kejadian Malari 73, ITB 78, PDI Mega, PPP yg Mega-Bintang pada pemilu 80-an, Amien Rais bicara suksesi di awal 90-an dan berpuncak dengan jatuhnya Rezim Soeharto. Semua yang tampil, tampil dengan percaya diri, berbicara dengan lantang, menunjukkan perlawanan.

Sesungguhnya dengan segala permasalahan Bangsa yang ada sekarang kita membutuhkan kaum kaum Revolusioner baru, yang mau berjuang untuk ‘persamaan hak’ mungkin bukan dalam konteks rasial namun dalam konteks ‘kelas’. Bangsa ini membutuhkan pejuang pejuang revolusioner yang berjuang demi masyarakat yang tidak dapat menyekolahkan anak2nya setinggi-tingginya dengan murah, berjuang demi tersedianya akses pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat yang membutuhkannya, berjuang demi tersedianya perumahan murah bagi masyarakat berekonomi lemah, berjuang agar anak-anak tidak lagi dipekerjakan di pabrik pabrik, berjuang agar pembagian hasil eksplorasi sumber daya alam kita masuk lebih besar ke kas negara kita daripada masuk ke kas korporasi asing maupun dalam negeri, berjuang agar kapitalisme tidak menjadi sistim ekonomi di negeri ini karena sesungguhnya sistim ekonomi sosial lah yang lebih dekat dengan ajaran agama di negeri yang ber-Tuhan ini. Ah, terlalu banyak yang harus diperjuangkan, tetapi kita tidak kekurangan orang… ada 220 juta orang di negeri ini, mudah-mudahan 4 juta yang sudah cukup berpendidikan, cukup kehidupannya mau bergerak dan memperjuangkan ini, sehingga suatu waktu bukan lagi saham Bumi Resources yang anjlok yang dipikirkan Pemerintah, tetapi bagaimana korban lumpur Sidoarjo dapat kembali hidup selayak-layaknya dan anak-anaknya dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya dan menjadi agen-agen Pergerakan untuk Perubahan di masa datang tentunya dengan masalah Bangsa yang berbeda dengan masalah yang sekarang, sehingga suatu saat nanti calon Presiden yang dipilih adalah benar-benar putra terbaik Nusantara yang terpilih bukan karena dana kampanyenya terbesar, bukan karena nama belakangnya, bukan karena dukungan korporasi-korporasi penghisap darah rakyat di negerinya tercinta.

Wassalam

PIDATO PRESIDEN SUKARNO "NAWAKSARA"

PIDATO PRESIDEN SUKARNO "NAWAKSARA"


Di depan Sidang Umum ke-IV MPRS pada tanggal 22 Juni 1966



Saudara-saudara sekalian,

I. RETROSPEKSI
Dengan mengucap Syukur Alhamdulillah, maka pagi ini saya berada di muka Sidang Umum MPRS yang ke-lV. Sesuai dengan Ketetapan MPRS No.I/1960 yang memberikan kepada diri saya, Bung Karno, gelar Pemimpin Besar Revolusi dan kekuasaan penuh untuk melaksanakan Ketetapan-ketetapan tersebut, maka dalam Amanat saya hari ini saya ingin mengulangi lebih dulu apa yang pernah saya kemukakan dalam Amanat saya di muka Sidang Umum ke-ll MPRS pada tanggal 15 Mei 1963, berjudul "Ambeg Parama-Arta" tentang hal ini:

1. Pengertian Pemimpin Besar Revolusi.
Dalam pidato saya "Ambeg Parama-Arta" itu, saya berkata: "MPRS telah memberikan KEKUASAAN PENUH kepada saya untuk melaksanakannya, dan dalam memberi kekuasaan penuh kepada saya itu, MPRS menamakan saya bukan saja Presiden, bukan saja Panglima Tertinggi Angkatan Perang, tetapi mengangkat saya juga menjadi: "PEMIMPIN BESAR REVOLUSI INDONESIA".

Saya menerima pengangkatan itu dengan sungguh rasa terharu, karena MPRS sebagai Perwakilan Rakyat yang tertinggi di dalam Republik Indonesia, menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa saya adalah "Pemimpin Besar Revolusi Indonesia", yaitu: "PEMIMPIN BESAR REPUBLIK RAKYAT INDONESIA"!

Dalam pada itu, saya sadar, bahwa hal ini bagi saya membawa konsekuensi yang amat besar! Oleh karena seperti Saudara-saudara juga mengetahui, PEMIMPIN membawa pertanggungan-jawab yang amat berat sekali!!

"Memimpin" adalah lebih berat daripada sekedar "Melaksanakan". "Memimpin" adalah lebih berat daripada sekedar menyuruh melaksanakan"!

Saya sadar, lebih daripada yang sudah-sudah, setelah MPRS mengangkat saya menjadi "Pemimpin Besar Revolusi", bahwa kewajiban saya adalah amat berat sekali, tetapi Insya Allah S.W.T. saya terima

pengangkatan sebagai "Pemimpin Besar Revolusi" itu dengan rasa tanggung jawab yang setinggi-tingginya!

Saya Insya Allah, akan beri pimpinan kepada Indonesia, kepada Rakyat Indonesia, kepada Saudara-saudara sekalian, secara maksimal di bidang pertanggungan-jawab dan kemampuan saya. Moga-moga Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Murah, dan Maha Asih, selalu memberikan bantuan kepada saya secukup-cukupnya!

Sebaliknya, kepada MPRS dan kepada Rakyat Indonesia sendiri, hal ini pun membawa konsekuensi! Tempohari saya berkata: "Jikalau benar dan jikalau demikianlah Keputusan MPRS, yang saya diangkat menjadi Pemimpin Revolusi Besar Indonesia, Revolusi Rakyat Indonesia, maka saya mengharap seluruh Rakyat, termasuk juga segenap Anggota MPRS, untuk selalu mengikuti, melaksanakan, menfi'ilkan segala apa yang saya berikan dalam pimpinan itu! Pertanggungan-jawab yang MPRS, sebagai Lembaga Tertinggi Republik Indonesia letakkan di atas pundak saya, adalah suatu pertanggungan-jawab yang berat sekali, tetapi denganridha Allah S.W.T. dan dengan bantuan seluruh Rak yat Indonesia, termasuk di dalanlnya juga Saudara-saudara para Anggota MPRS sendiri, saya percaya, bahwa Insya Allah, apa yang digariskan oleh Pola Pembangunan itu dalam 8 tahun akan terlaksana!

Demikianlah Saudara-saudara sekalian beberapa kutipan daripada Amanat "Ambeg Parama-Arta".

Saudara-saudara sekalian,

Dari Amanat "Ambeg Parama-Arta" tersebut, dapatlah Saudara ketahui, bagaimana visi serta interpretasi saya tentang predikat Pemimpin Besar Revolusi yang Saudara-saudara berikan kepada saya.

Saya menginsyafi, bahwa predikat itu adalah sekedar gelar, tetapi saya pun - dan dengan saya semua ketentuan-ketentuan progresif revolusioner di dalam masyarakat kita yang tak pernah absen dalam kancahnya Revolusi kita - saya pun yakin seyakin-yakinnya, bahwa tiap Revolusi mensyarat-mutlakkan adanya Pimpinan Nasional. Lebih-lebih lagi Revolusi Nasional kita yang multi-kompleks sekarang ini, dan yang berhari depan Sosialisme Panca-Sila. Revolusi demikian ta' mungkin tanpa adanya pimpinan. Dan pimpinan itu jelas tercermin dalam tri-kesatuannya Re-So-Pim, yaitu Revolusi, Sosialisme, dan Pimpinan Nasional.

2. Pengertian Mandataris MPRS.

Karena itulah, maka pimpinan yang saya berikan itu adalah pimpinan di segala bidang. Dan sesuai dengan pertanggungan-jawab saya terhadap MPRS, pimpinan itu terutarna menyangkut garis-garis besarnya. Ini pun adalah sesuai dan sejalan dengan kemurnian bunyi aksara dan jiwa Undang-Undang Dasar '45, yang menugaskan kepada MPRS untuk menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Saya tekankan garis-garis besarnya saja dari haluan Negara. Adalah tidak sesuai dengan jiwa dan aksara kemurnian Undang-Undang Dasar '45, apabila MPRS jatuh terpelanting kembali ke dalam alam Liberale democratie, dengan beradu debat dengan bertele-tele tentang garis-garis kecil, di mana masing-masing golongan beradu untuk memenangkan kepentingan-kepentingan golongan dan mengalahkan kepentingan nasional, kepentingan Rakyat banyak, kepentingan Revolusi kita!

Pimpinan itu pun saya dasarkan kepada jiwa Panca-Sila, yang telah kita pancarkan bersama dalam Manipol-Usdek sebagai garis-garis besar haluan Negara. Dan lebih-lebih mendalam lagi, maka saya telah mendasarkan pimpinan itu kepada Sabda Rasulullah S.A.W.: "Kamu sekalian adalah Pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungan-jawabnya tentang kepemimpinan itu di hari kemudian."

Saudara-saudara sekalian,

Itulah jiwa daripada pimpinan saya, seperti yang telah saya nyatakan dalam Amanat "Ambeg Parama-Arta" tersebut tadi. Dan Saudarasaudara telah membenarkan amanat itu, terbukti dengan Ketetapan MPRS No.IV/1963, yang menjadikan Resopim dan Ambeg Parama-Arta masing-masing sebagai pedoman pelaksanaan garis-garis besar haluan Negara, dan sebagai landasan kerja dalam melaksanakan Konsepsi Pembangunan seperti terkandung dalam Ketetapan MPRS No.l dan 11 tahun 1960.

3. Pengertian Presiden seumur hidup

Malahan dalam Sidang Umum MPRS ke-ll pada bulan Mei tahun 1963 itu Saudara-saudara sekalian telah menetapkan saya menjadi Presiden se-umur-hidup. Dan pada waktu itu pun saya telah menjawab keputusan Saudara-saudara itu dengan kata-kata: "Alangkah baiknya jikalau nanti MPR, yaitu MPR hasil pemilihan-umum, masih meninjau soal ini kembali." Dan sekarang ini pun saya masih tetap berpendapat demikian!

II. LANDASAN-KERJA MELANJUTKAN PEMBANGUNAN.

Kembali sekarang sebentar kepada Amanat "Ambeg Parama-Arta" tersebut tadi itu. Amanat itu kemudian disusul dengan amanat saya "Berdikari" pada pembukaan Sidang Umum MPRS ke-lll pada tanggal 11 April 1965, di mana dengan tegas saya tekankan tiga hal:

1. Trisakti.

Pertama :
bahwa Revolusi kita mengejar suatu Idee Besar, yakni melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat; Amanat Penderitaan Rakyat seluruhnya, seluruh rakyat sebulat-bulatnya.

Kedua :
bahwa Revolusi kita berjoang mengemban Amanat Penderitaan Rakyat itu dalam persatuan dan kesatuan yang bulat-menyeluruh dan hendaknya jangan sampai watak Agung Revolusi kita, diselewengkan sehingga mengalami dekadensi yang hanya mementingkan golongann-ya sendiri saja, atau hanya sebagian dari Ampera saja!

Ketiga :
bahwa kita dalam melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat itu tetap dan tegap berpijak dengan kokoh-kuat atas landasan Trisakti, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan dan berdikari dalam ekonomi; sekali lagi berdikari dalam ekonomi!

Saya sangat gembira sekali, bahwa Amanat-amanat saya itu dulu, baik "Ambeg Parama-Arta", maupun "Berdikari" telaK Saudara-saudara tetapkan sebagai landasan-kerja dan pedoman pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana untukmasa 3 tahun yang akan datang, yaitu sisa jangka-waktu tahapan pertama mulai tahun 1966 s/d 1968 dengan landasan "Berdikari di atas Kaki Sendiri" dalam ekonomi. Ini berarti, bahwa Lembaga Tertinggi dalam Negara kita, Lembaga Tertinggi dari Revolusi kita, Lembaga Negara Tertinggi yang menurut kemurnian jiwa dan aksaranya UUD-Proklamasi kita adalah penjelmaan kedaulatan Rakyat, membenarkan Amanat-amanat saya itu. Dan tidak hanya membenarkan saja, melainkan juga menjadikannya sebagai landasan-kerja serta pedoman bagi kita-semua, ya bagi Presiden/Mandataris MPRS/Perdana Menteri ya, bagi MPRS sendiri, ya bagi DPA, ya bagi DPR, ya bagi Kabinet, ya bagi parpol-parpol dan ormas-ormas, ya bagi ABRI, dan bagi seluruh Rakyat kita dari Sabang sampai Merauke, dalam mengemban bersama Amanat Penderitaan Rakyat.

Memang, di dalam situasi nasional dan internasional dewasa ini, maka Trisakti kita, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, berdikari di bidang ekonomi, adalah senjata yang paling ampuh di tangan seluruh rakyat kita, di tangan prajuritprajurit Revolusi kita, untuk menyelesaikan Revolusi Nasional kita yang maha dahsyat sekarang ini.

2. Rencana Ekonomi Perjoangan.

Terutama prinsip Berdikari di bidang ekonomi! Sebab dalam keadaan perekonomian bagaimanapun sulitnya, saya minta jangan dilepaskan jiwa "self-reliance" ini, jiwa percaya kepada kekuatan-diri-sendiri, jiwa self-help atau jiwa berdikari. Karenanya, maka dalam melaksanakan Ketetapan-ketetapan MPRS No.V dan Vl tahun 1965 yang lalu, saya telah meminta Bappenas dengan bantuan dan kerja sama dengan Muppenas, untuk menyusun garis-garis lebih lanjut daripada Pola Ekonomi Perjoar gan seperti yang telah saya canangkan dalam Amanat Berdikari tahun yang lalu.

Garis-garis Ekonomi Perjoangan tersebut telah selesai, dan saya lampirkan bersama ini Ikhtisar Tahunan tentang pelaksanaan Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960. Di dalamnya Saudara-saudara akan memperoleh gambaran tentang Strategi Umum Pembangunan 2 tahun 1966-1968, yaitu Pra-syarat Pembangunan, dan pola Pembiayaan tahun 1966 s/d 1968 melalui Rencana Anggaran 3 tahun.



3. Pengertian Berdikari.

Khusus mengenai Prinsip Berdikari ingin saya tekankan apa yang" telah saya nyatakan dalam pidato Proklamasi 17 Agustus 1965, yaitu pidato Takari, bahwa berdikari tidak berarti mengurangi, melainkan memperluas kerjasama internasional, terutama antara semua negara yang baru merdeka.

Yang ditolak oleh Berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis, bukan kerja sama yang sama-derajat dan saling me nguntungkan.

Dan di dalam Rencana Ekonomi Perjoangan yang saya sampaikan bersama ini, maka Saudara-saudara dapat membaca bahwa: "Berdikari bukan saja tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip dari cara kita mencapai tujuan itu, prinsip untuk melaksanakan Pembangunan dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan negara atau bangsa lain. Adalah jelas, bahwa tidak menyandarkan diri tidak berarti bahwa kita tidak mau kerja sama berdasarkan sama-derajat dan saling menguntungkan."

Dalam rangka pengertian politik Berdikari demikian inilah, kita harus menanggulangi kesulitan-kesulitan di bidang Ekubang kita dewasa ini, baik yang hubungan dengan inflasi maupun yang hubungan dengan pembayaran hutang-hutang luar negeri kita.

III. HUBUNGAN POLITIK DAN EKONOMI

Masalah Ekubang tidak dapat dilepaskan dari masalah politik, malahan harus didasarkan atas Manifesto Politik kita.

Dekon kita pun adalah Manipohdi bidang ekonomi, atau dengan lain perkataan "political-economy"-nya pembangunan kita. Dekon merupakan strategi-umum, dan strategi-umum di bidang pembangunan 3 tahun di depan kita, yaitu tahun 1966--1968, didasarkan atas pemeliharaan hubungan yang tepat antara keperluan untuk melaksanakan tugas politik dan tugas ekonomi. Demikianlah tugas politik-keamanan kita, politik-pertahanan kita, politik dalam-negeri kita, politik luar-negeri kita dan sebagainya.

IV. DETAIL KE-DPR

Detail dari tugas-tugas ini kiranya tidak perlu diperbincangkana dalam Sidang Umum MPRS, karena tugas MPRS ialah menyangkut garisgaris besarnya saja. Detailnya seyogyanya ditentukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR, dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945.

V. TETAP DEMOKRASI TERPIMPIN

Sekalipun demikian perlu saya peringatkan di sini, bahwa UndangUndang Dasar 1945 memungkinkan Mandataris MPRS bertindak lekas dan tepat dalam keadaan darurat demi keselamatan Negara, Rakyat dan Revolusi kita.

Dan sejak Dekrit 5 Juli 1959 dulu itu, Revolusi kita terus meningkat dan bergerak cepat, yang mau-tidak-mau mengharuskan semua Lembaga-lembaga Demokrasi kita untuk bergerak cepat pula tanpa menyelewengkan Demokrasi Terpimpin kita ke arah Demokrasi Liberal.

VI. MERINTIS JALAN KE ARAH PEMURNIAN PELAKSANAAN UUD 1945

Dalam rangka merintis jalan ke arah kemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 itulah, saya dengan surat saya tertanggal 4 Mei 1966 kepada Pimpinan DPRGR memajukan:
a. RUU Penyusunan MPR, DPR dan DPRD.
b. RUU Pemilihan Umum.
c. Penetapan Presiden No.3 tahun 1959 jo. Penetapan Presiden No.3 tahun 1966 untuk diubah menjadi Undang-Undang supaya DPA dapat ditetapkan menurut pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

VII. WEWENANG MPR DAN MPRS

Tidak lain harapan saya ialah hendaknya MPRS dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 itu menyadari apa tugas dan fungsinya, juga dalam hubungan-persamaan dan perbedaannya dengan MPR hasil pemilihan-umum nanti.

Wewenang MPR selaku pelaksanaan kedaulatan Rakyat adalah menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan Negara (pasal 3 UUD), serta memilih Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6 UUD ayat 2).

Undang-Undang Dasar serta garis-garis besar haluan Negara telah kita tentukan bersama, yaitu Undang-Undang Dasar Proklamasi 1945 dan Manipol/Usdek.

VIII. KEDUDUKAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

Undang-Undang Dasar 1945 itu menyebut pemilihan jabatan Presiden dan Wakil Presiden, masa jabatannya serta isi-sumpahnya dalam satu nafas, yang tegas bertujuan agar terjamin kesatuan-pandangan, kesatuan-pendapat, kesatuan-pikiran dan kesatuan-tindak antara Presiden dan Wakil Presiden, yang membantu Presiden (pasal 4 ayat 2 UUD).

Dalam pada itu, Presiden memegang dan menjalankan tugas, wewenang dan kekuasaan Negara serta Pemerintahan. (pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, ayat 2). Jiwa kesatuan antara kedua pejabat Negara ini, serta pembagian tugas dan wewenang seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 hendaknya kita sadari sepenuhnya.

IX. PENUTUP

Demikian pula hendaknya kita semua, di luar dan di dalam MPRS menyadari sepenuhnya perbedaan dan persamaannya antara MPRS sekarang, dengan MPR-hasil-pemilihan-umum yang akan datang, agar supaya benar-benar kemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat kita rintis bersama, sambil membuka lembaran baru dalam sejarah kelanjutan Revolusi Panca-Sila kita.

Demikianlah Saudara-saudara, teks laporan progress saya kepadaMPRS. lzinkanlah saya sekarang mengucapkan beberapa patah kata pribadi kepada Saudara-saudara, terutama sekali mengenai pribadi saya.

Lebih dahulu tentang hal laporan progress ini.

Laporan progress itu saya simpulkan dalam sembilan pasal, sembilan golongan, sembilan punt. Maka oleh karena itu saya ingin memberi judul kepada amanat saya tadi itu. Sebagaimana biasa saya memberi judul kepada pidato-pidato saya, ada yang bernama Resopim, ada yang bernama Gesuri dan lain-lain sebagainya. Amanat saya ini, saya beri judul apa? Sembilan perkara, pokok, pokok, pokok, pokok, saya tuliskan di dalam Amanat ini. Karena itu saya ingin memberi nama kepada Amanat ini, kepada pidato ini "Pidato Sembilan Pokok". Sembilan, ya sembilan apa? Kita itu biasa memakai bahasa Sanskrit kalau memberi nama kepada amanat-amanat, bahkan kita sering memakai perkataan Dwi, Tri, Tri Sakti, dua-duanya perkataan Sanskrit. Catur Pra Setia, catur-empat setia, kesetiaan, Panca Azimat, Panca adalah lima. Ini sembilan pokok; ini saya namakan apa?

Sembilan di dalam bahasa Sanskrit adalah "Nawa". Eka, Dwi, Tri, Catur, Panca, enam-yam, tujuh-sapta, delapan-hasta, sembilan-nawa, sepuluh-dasa. Jadi saya mau beri nama dengan perkataan "Nawa". "Nawa" apa? Ya, karena saya tulis, saya mau beri nama "NAWA AKSARA", dus "NAWA iAKSARA" atau kalau mau disingkatkan "NAWAKSARA". Tadinya ada orang yang mengusulkan diberi nama "Sembilan Ucapan Presiden". "NAWA SABDA". Nanti kalau saya kasih nama Nawa Sabda, ada saja yang salah-salah berkata: "Uh, uh, Presiden bersabda". Sabda itu seperti raja bersabda. Tidak, saya tidak mau memakai perkataan "sabda" itu, saya mau memakai perkataan "Aksara"; bukan dalam arti tulisan, jadi ada aksara latin, ada aksara Belanda dan sebagainya. NAWA AKSARA atau NAWAKSARA, itu judul yang saya berikan kepada pidato ini. Saya minta wartawan-wartawan mengumumkan hal ini, bahwa pidato Presiden dinamakan oleh Presiden NAWAKSARA . ,

Kemudian saya mau menyampaikan beberapa patah kata mengenai diri saya sendiri. Saudara-saudara semua mengetahui, bahwa tatkala saya masih muda, masih amat muda sekali, bahwa saya miskin dan oleh karena saya miskin, maka demikianlah saya sering ucapkan: "Saya tinggalkan this material world. Dunia jasmani sekarang ini laksana saya tinggalkan, karena dunia jasmani ini tidak memberi hiburan dan kepuasan kepada saya, oleh karena saya miskin."

Maka saya meninggalkan dunia jasmani ini dan saya masuk katagori dalam pidato dan keterangan-keterangan yang sering masuk ke dalam world of the mind. Saya meninggalkan dunia yang material ini, saya masuk di dalam world of the mind. Dunianya alam cipta, dunia khayal, dunia pikiran. Dan telah sering saya katakan, bahwa di dalam wolrd of the mind itu, di situ saya berjumpa dengan orang-orang besar dari segala bangsa dan segala negara. Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan nabi-nabi besar; di dalam world of the mind itusaya berjumpa dengan ahli falsafah, ahli falsafah besar. Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan pemimpin-pemimpin bangsa yang besar, dan di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan pejuang-pejuang kemerdekaan yang berkaliber besar.

Saya berjumpa denganorang-orang besar ini, tegasnya, jelasnya dari membaca buku-buku. Salah satu pemimpin besar daripada sesuatu bangsa yang berjuang untuk kemerdekaan, ia mengucapkan kalimat sebagai berikut: "The cause of freedom is a deathless cause. The cause of freedom is a deathless cause. Perjuangan untuk kemerdekaan adalah satu perjuangan yang tidak mengenal mati. The cause of freedom is a deathless cause.

Sesudah saya baca kalimat itu dan renungkan kalimat itu, bukan saja saya tertarik kepada cause of freedom daripada bangsa saya sendiri dan bukan saja saya tertarik pada cause of freedom daripada seluruh umat manusia di dunia ini, tetapi saya, karena tertarik kepada cause of freedom ini saya menyumbangkan diriku kepada deathless cause ini, deathless cause of my own people, deathless cause of all people on this. Dan lantas saya mendapat keyakinan, bukan saja the cause of freedom is a deathless cause, tetapi juga the service of freedom is a deathless service. Pengabdian kepada perjuangan kemerdekaan, pengabdian kepada kemerdekaan itupun tidak mengenal maut, tidak mengenal habis. Pengabdian yang sungguh-sungguh pengabdian, bukan service yang hanya lip-service, tetapi service yang betul-betul masuk di dalam jiwa, service yang betul-betul pengabdian, service yang demikian itu adalah satu deathless service.

Dan saya tertarik oeh saya punya pendapat sendiri, pendapat pemimpin besar daripada bangsa yang saya sitir itu tadi, yang berkata "the cause of freedom is deathless cause". Saya berkata "not only the cause of freedom is deathless cause, but also the service of freedom is a deatheless service".

Dan saya, Saudara-saudara, telah memberikan, menyumbangkan atau menawarkan diri saya sendiri, dengan segala apa yang ada pada saya ini, kepada service of freedom, dan saya sadar sampai sekarang: the service of freedom is deathless service, yang tidak mengenal akhir, yang tidak mengenal mati. Itu adalah tulisan isi hati. Badan manusia bisa hancur, badan manusia bisa dimasukkan di dalam kerangkeng, badan manusia bisa dimasukkan di dalam penjara, badan manusia bisa ditembak mati, badan manusia bisa dibuang ke tanah pengasingan yang jauh dari tempat kelahirannya, tetapi ia punya service of freedom tidak bisa ditembak mati, tidak bisa dikerangkeng, tidak bisa dibuang di tempat pengasingan, tidak bisa ditembak mati.

Dan saya beritahu kepada Saudara-saudara, menurut perasaanku sendiri, saya, Saudara-saudara, telah lebih daripada tiga puluh lima tahun, hampir empat tahun dedicate myself to this service of freedom. Yang saya menghendaki supaya

seluruh, seluruh, seluruh rakyat Indonesia masing-masing juga dedicate jiwa raganya kepada service of freedom ini, oleh karena memang service of freedom ini is a deathless service. Tetapi akhirnya segala sesuatu adalah di tangannya

Tuhan. Apakah Tuhan memberi saya dedicate myself, my all to this service of freedom, itu adalah Tuhan punya urusan.

Karena itu maka saya terus, terus, terus selalu memohon kepada Allah S.W.T., agar saya diberi kesempatan untuk ikut menjalankan aku punya service of freedom ini. Tuhan yang menentukan. De mens wikt, God beslist; manusia bisa berkehendak ,macam-macam Tuhan yang menentukan. Demikianpun saya selalu bersandarkan kepada keputusan Tuhan itu. Cuma saya juga di hadapan Tuhan berkata: Ya Allah, ya Rabbi, berilah saya kesempatan, kekuatan, taufik, hidayat untuk dedicate my self to this great cause of freedom and to this great service.

Inilah Saudara-saudara yang saya hendak katakan kepadamu;dalam saya pada hari sekarang ini memberi laporan kepadamu. Moga-moga Tuhan selalu memimpin saya, moga-moga Tuhan selalu memimpin Saudara-saudara sekalian. Sekianlah

=================================================================================

Sayang anggota DPR dan MPR waktu itu adalah antek2 NEKOLIM binaan AMERIKA !! yg lebih mengutamakan kepentingan perut pribadi ajah... jd pada budek kupingnye...........

Perjuangan Bung Karno

Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, sosok atau ketokohan Bung Karno sebagai pemimpin nasionalis revolusioner memang unik sekali. Karena itulah, dalam rangka memperingati HUT-nya yang ke-100, masalah ini penting juga untuk bersama-sama diangkat kembali atau ditelaah lagi, sebagai usaha untuk menempatkan peran sejarahnya pada ketinggian yang semestinya. Juga untuk mencoba mengerti mengapa ia sejak dari muda ia sudah menerjunkan dirinya dalam perjuangan yang penuh keberanian dan keteguhan hati untuk membela kepentingan rakyat melawan kolonialisme Belanda, dan mengapa pula ketika sudah menjadi kepala negara pun masih tetap mengemban pandangan revolusioner, baik secara nasional maupun secara internasional.

Dengan menelaah kembali ketokohan Bung Karno dari segi ini, maka akan nampak bahwa Bung Karno adalah seorang pemimpin nasionalis revolusioner yang luar biasa!!! Dengan mempelajari kembali sejarahnya, dengan membaca kembali tulisan-tulisan atau mendengarkan kembali pidato-pidatonya, dan dengan meneliti berbagai politiknya ketika sudah menjadi kepala negara, kita bisa mengerti bahwa Bung Karno adalah memang seorang pemimpin bangsa yang seluruh hidupnya telah diabdikan kepada kepentingan rakyat dan bangsa sebagai keseluruhan. Dalam hal ini, patutlah kiranya bahwa Bung Karno dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi banyak orang, yang ingin mengabdikan diri mereka kepada kepentingan rakyat banyak, atau ingin mengabdikan diri mereka kepada persatuan bangsa dan kerukunan antara berbagai golongan dalam masyarakat.

Karena sejarah Bung Karno sudah begitu lama diusahakan dipendam selama Orde Baru/Golkar, dan karena begitu banyak serangan terhadap ajaran-ajarannya atau perlawanan terhadap pandangan-pandangan politiknya di bidang nasional maupun internasional, maka sudah sepantasnyalah kalau sekarang kita kenang kembali siapakah sebenarnya Bung Karno itu, dan apa pulakah artinya bagi perjuangan bangsa Indonesia.

(Sekedar untuk kita ingat-ingat bersama : alangkah pentingnya, untuk tujuan ini, bisa dikumpulkan kembali segala pidatonya yang tertulis dan yang terekam dalam piringan hitam maupun kaset - untuk dipakai sebagai kenangan dan bahan penelitian)

PERJUANGAN REVOLUSIONER SEJAK MUDA

Dengan membaca kembali sejarah Bung Karno ketika ia masih muda, jelaslah bahwa sejak dini sekali ia sudah terpanggil jiwanya oleh perjuangan bangsa. Banyak tulisan yang sudah mengungkap betapa besarnya pengaruh perjuangan Haji O.S. Tjokroaminoto (pimpinan Sarekat Islam) ketika ia mondok (in de kost) di rumahnya di Surabaya ketika Bung Karno menginjak usia dewasa. Sejak umur 15 tahun dan belajar di sekolah menengah Belanda (HBS) ia sudah bergaul dengan berbagai tokoh pergerakan nasional melawan kolonialisme Belanda. Tekad Bung Karno untuk berjuang bagi bangsa memang sudah terlihat dengan nyata sekali sejak muda. Tetapi, hal yang jarang disebut atau bahkan tidak diketahui oleh banyak orang adalah pengakuan Bung Karno sendiri dalam pidatonya di depan kongres PKI ke-6 di Jakarta (tahun 1959).

Dalam pidatonya itu, ia mengatakan bahwa dalam tahun 1922 atau 1923 -- artinya, ketika ia berusia 21-22 tahun telah menyelundup sebagai peninjau (penonton, katanya) untuk menghadiri kongres PKI yang diadakan di satu sekolah partikelir di Jalan Pungkur Bandung. Dikatakannya, bahwa dalam ruangan kongres yang sederhana itu, dalam deretan 15 kursi pimpinan PKI (hoofdbestuur, dalam bahasa Belandanya) ada 9 kursi yang kosong karena mereka yang harus duduk di atas kursi itu sedang meringkuk dalam penjara. (Catatan : Tentang pidato Bung Karno di depan Kongres ke-6 PKI ini, yang dikenal juga sebagai pidato "Yo sanak yo kadang, malah yen mati aku sing kelangan" - Sebagai saudara, sebagai keluarga, kalau mati saya yang kehilangan ada tulisan tersendiri).

Pengakuan Bung Karno sendiri, bahwa sebagai mahasiswa yang belajar di Sekolah Tinggi Belanda untuk menjadi insinyur, telah menyelundup untuk menghadiri Kongres PKI adalah suatu petunjuk penting untuk bisa mengerti tentang komitmennya sebagai pejuang nasionalis revolusioner. Sikapnya sebagai seorang nasionalis, yang sekaligus seorang Muslim dan juga seorang yang berpandangan Marxist diuraikannya secara jelas dalam pidatonya di depan Kongres ke-6 PKI itu (baca : Bintang Merah nomor istimewa Kongres Nasional ke-6 PKI, 1959).

Pidatonya di depan kongres PKI tahun 1959 itu mencerminkan bahwa gagasan dasarnya tentang persatuan revolusioner antara berbagai golongan bangsa bukanlah hanya ketika ia sudah menjadi kepala negara, melainkan sudah sejak ketika ia masih muda. Tulisan-tulisan Bung Karno dalam jilid pertama Dibawah Bendera Revolusi (antara lain : Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme yang ditulisnya untuk majalah Suluh Indonesia dalam tahun 1926) adalah bukti-bukti nyata tentang dasar-dasar gagasannya yang besar itu. Bagi mereka yang ingin mengerti siapa Bung Karno dan apa cita-citanya, membaca karya-karyanya dan mendengar isi berbagai pidato-pidatonya adalah penting sekali.

BUNG KARNO SEBAGAI PERPADUAN TRI-CITRA

Tentang sejarah perjuangan Bung Karno ketika ia masih muda, adalah menarik sekali untuk kita telaah kembali kata pengantar oleh Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi jilid pertama (1963), yang juga mengandung pesan bagi kita semua dalam situasi yang sedang dihadapi oleh bangsa dan negara dewasa ini, sesudah jatuhnya Orde Baru. Kata pengantar tersebut berbunyi antara lain sebagai berikut :

Kalau pembaca tergolong orang dari generasi baru, artinya tidak pernah merasakan atau melihat sendiri pasang-surutnya pergerakan kemerdekaan di jaman penjajahan Belanda (karena masih sangat muda atau belum lahir), akan mendapat pengertian yang lebih jelas tentang hakiki perjoangan kemerdekaan di masa yang lalu, yaitu yang tidak akan didapati dalam buku-buku sejarah. Antara lain akan mengerti, bahwa sejak tahun 1926 Bung Karno sudah mencita-citakan persatuan antara golongan Nasional, Islam dan Marxis, sehingga persatuan Nasakom sekarang ini pada hakekatnya bukan barang baru dalam rangka perjoangan rakyat Indonesia yang dipelopori Ir. Sukarno.

Apa yang tersurat dan tersirat dalam tulisan-tulisan itu, memperjelas pengertian si-pembaca, bahwa revolusi Agustus 1945 yang berhasil gemilang itu, bukanlah suatu maha-kejadian yang berdiri sendiri atau yang terjadi dengan sendirinya, tetapi cetusan di dalam sejarah yang sangat erat hubungannya dengan persiapan-persiapan yang sudah berpuluh-puluh tahun dilakukan oleh pergerakan-pergerakan kemerdekaan di Indonesia dengan pengorbanan yang tidak sedikit.

Bagi pembaca yang mengalami atau melihat sendiri pasang-surutnya perjoangan kemerdekaan di jaman penjajahan Belanda dan turut merasakan atau melihat sendiri peranan Bung Karno sebagai pemimpin terbesar, buku ini merupakan penyegaran kembali pengertian dan kesedaran tentang apa sesungguhnya jiwa dan tujuan pergerakan kemerdekaan di masa lampau itu. Dengan membaca lagi tulisan-tulisan Ir. Sukarno, orang dapat menelaah diri sendiri, misalnya dengan pertanyaan : Apakah sikap dan tindakan saya sekarang ini masih sesuai dengan jiwa dan maksud pergerakan saya di masa yang lalu, yakni tujuan-tujuan yang seharusnya tidak berhenti dengan tercapainya kemerdekaan Indonesia saja, tetapi harus berjalan terus menuju terkabulnya cita-cita pembentukan masyarakat adil dan sempurna (istilah Ir Sukarno di masa yang lalu) yang maksudnya tidak lain yalah masyarakat adil dan makmur. Apakah saya sudah berganti haluan dan berganti bulu, bercita-cita menjadi semacam Exponen dari kapitalisme nasional yang disinyalir dan dikutuk oleh tulisan-tulisan Bung Karno itu.

Di samping ada dua segi manfaat tersebut di atas, buku tebal inipun memberi gambaran tentang tulisan pribadi Ir. Sukarno. Dalam tulisan-tulisan itu tergambarlah Bung Karno sebagai "pendekar persatuan", sebagai "strateeg", sebagai "pendidik", sebagai "senopati" pemegang komando pergerakan kemerdekaan bangsa, sebagai seorang "Islam modern" yang gigih menganjurkan supaya pengertian Islam disesuaikan dengan kemajuan zaman yang pesat jalannya, sebagai "realis", sebagai "humanis" dan sebagai suatu pribadi tempat perpaduan tri-citra, yakni Nasionalis, Islamis dan Marxis (kutipan selesai).

MASA MUDA BUNG KARNO YANG PENUH GEJOLAK

Kalau kita teliti kembali sejarah perjuangan Bung Karno, maka nampak sekali dari tulisan-tulisannya selama masa kolonialisme Belanda, bahwa sebagai seorang pemuda ia sudah berusaha dengan segala cara untuk MEMBANGKITKAN kesadaran dan MENGHIMPUN semua kekuatan bangsa dalam melawan kolonialisme Belanda. Ketika ia masih belajar di Sekolah Tinggi Teknik Bandung, ia sudah melakukan kegiatan-kegiatan politik secara aktif. Dan sesudah tammat sebagai insinyur (tahun 1926) ia memilih jalan kehidupan yang mencerminkan tekadnya untuk mencurahkan tenaga dan fikirannya bagi perjuangan bangsa. Dalam usia 26 tahun ia sudah mendirikan PNI (4 Juli 1927) bersama-sama dengan Mr. Sartono, Mr Wilopo dan Mr Sunaryo, dengan tujuan utama : menentang kolonialisme dan imperialisme dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah satu cara yang ditempuh adalah garis politik tidak kerjasama (non-kooperasi) dengan pemerintahan Belanda.

Salah satu di antara hasil besar kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Bung Karno lewat PNI adalah terbentuknya PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) dalam bulan Desember 1927. Dalam PPPKI tergabung berbagai partai dan perkumpulan yang penting waktu itu. Dengan terbentuknya PPPKI, maka dapat dicegah adanya ketidaksatuan dalam perjuangan dalam melawan kolonialisme Belanda. Peran Bung Karno dalam PNI dan PPPKI adalah penting bagi berlangsungnya satu peristiwa yang amat bersejarah bagi bangsa Indonesia selanjutnya, yaitu diselenggarakannya kongres pemuda di Jakarta dalam tahun 1928. Dalam kongres inilah lahir Sumpah Pemuda : satu nusa, satu bangsa, satu bahasa : Indonesia!

Pemerintahan kolonial Belanda melihat PNI sebagai bahaya yang serius, dan karenanya dalam bulan Desember 1929, para pemimpinnya (Ir. Sukarno, Maskun, Gatot Mangkupradja dan Supriadinata) ditangkap dan diajukan ke depan pengadilan kolonial di Bandung. Dalam peristiwa pengadilan inilah Bung Karno telah makin menunjukkan kecermelangan gagagan-gagasan besarnya, lewat pidato pembelaannya yang bersejarah yang berjudul Indonesia Menggugat itu. Pada tanggal 17 April 193I pengadilan menjatuhkan vonnisnya dan karenanya Bung Karno dimasukkan dalam penjara Sukamiskin (Bandung). Kemudian, PNI terpaksa dibubarkan, demi keselamatan para anggotanya.

Setelah dibebaskan dari penjara dalam tahun 1932, Bung Karno menggabungkan diri dalam Partindo (Partai Indonesia) yang didirikan oleh teman-temannya untuk meneruskan perjuangan PNI dengan nama baru. Tetapi, karena kegiatan-kegiatan Bung Karno di Partindo dianggap terus berbahaya oleh pemerintahan kolonial Belanda, maka ia ditangkap lagi dan kemudian dibuang ke Endeh (Flores) dan diteruskan ke Bengkulu. Bung karno mengalami pemenjaraan selama dua tahun di Sukamiskin dan delapan tahun di pembuangan. Ia baru bebas dalam tahun 1942, setelah tentara Jepang menduduki Indonesia.

Kegiatan politik Bung Karno di masa mudanya (antara usia 20-an sampai 32 tahun) merupakan dasar yang membentuk kesosokannya dalam kehidupannya di kemudian hari. Tetapi, berbagai faktor situasi waktu itu juga punya pengaruh besar terhadap perjuangan Bung Karno. Di antara faktor-faktor itu adalah terjadinya pembrontakan PKI dalam tahun 1926 melawan pemerintahan kolonial Belanda (terutama di Banten dan di Sumatra Barat). Patut diingat bahwa karena pembrontakan melawan Belanda ini, sebanyak 1 300 orang telah ditangkap dan kemudian dibuang ke Boven Digul.

UNTUK MENGHANCURKAN BUNG KARNO PERLU DIHANCURKAN PKI

Dengan latar-belakang yang demikian itulah barangkali kita bisa mencoba mengerti kepribadian Bung Karno, sebagai pejuang kemerdekaan bangsa, dan juga, kemudian, sebagai kepala negara. Sejak muda ia sudah melahirkan gagasan-gagasan besar bagi bangsa. Gagasannya yang amat cemerlang adalah yang dituangkannya dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, yang terkenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Bahwa pada usia 44 tahun ia telah dapat merumuskan berbagai fikiran yang begitu luas dan mendalam adalah sesuatu yang menunjukkan bahwa Bung Karno memang patut diakui sebagai pemimpin bangsa atau negarawan atau pemikir yang ulung.

Selama perjuangan revolusi fisik (antara 1945-sampai 1949), Bung Karno juga telah memainkan peran penting dalam memimpin revolusi besar melawan kolonialisme Belanda (dan juga Inggris, pada tahun-tahun permulaan kemerdekaan). Demikian juga setelah terbentuknya Republik Indonesia Serikat dan dibubarkannya (kemudian) negara federal ini, Bung Karno telah berhasil memimpin perjuangan bangsa, sampai terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tetapi, sejak tahun 1950 tidak henti-hentinya perjalanan sejarah bangsa kita mengalami berbagai persoalan yang rumit. Baik yang merupakan persoalan-persoalan dalamnegeri, sebagai bagian dari banyak persoalan negeri yang baru dibangun, maupun yang merupakan akibat dari persoalan yang berkaitan dengan faktor-faktor internasional waktu itu. Untuk sekedar mengambil sebagai contoh betapa banyaknya persoalan dalam negeri yang harus dihadapi oleh negara dan bangsa waktu itu : pembrontakan RMS, pembrontakan Andi Aziz, pembrontakan Kahar Muzakkar, pembrontakan DI-TII, akibat pemilu 1955, akibat diputuskannya perjanjian dengan Belanda, akibat pembrontakan PRRI-Permesta, perjoangan merebut kembali Irian Barat.

Di bidang internasional, faktor-faktor yang berikut juga mempunyai pengaruh langsung atau tidak langsung dengan perkembangan dalamnegeri Indonesia sejak tahun 1950 sampai 1965 : lahirnya RRT, persekutuan antara Taiwan (Kuomintang) dengan AS, pecahnya Perang Korea, berkobarnya perang di Indo-Cina, lahirnya ANZUS dan SEATO, penyelenggaraan konferensi Bandung dalam tahun 1955, hubungan Indonesia yang baik antara Uni Soviet dan juga RRT, peran Indonesia dalam Gerakan Non Blok, kerjasama tertutup antara TNI AD dengan AS, bantuan CIA kepada pembrontakan PRRI-Permesta, didirikannya Malaysia. Banyak faktor-faktor luarnegeri ini (terutama faktor Perang Dingin waktu itu) mempunyai hubungan atau pengaruh langsung terhadap persoalan-persoalan yang timbul di dalamnegeri.

Jelaslah dari jalannya perkembangan situasi waktu itu, bagi Bung Karno menjadi sasaran bagi kekuatan-kekuatan tertentu dalamnegeri, dan juga bagi kekuatan-kekuatan asing yang sudah sejak lama melihat pada sosok Sukarno sebagai kekuatan yang harus dihancurkan atau dilumpuhkan. Percobaan pembunuhan 7 kali terhadapnya, dikepungnya Republik Indonesia, pemboikotan ekonomi oleh pasaran Barat dll, adalah usaha-usaha untuk menghancurkannya.

Dengan mempertimbangkan situasi dalamnegeri yang demikian itu, dan juga gangguan (subversi) kekuatan-kekuatan asing waktu itu, Bung Karno telah mendorong atau menyetujui lahirnya idee untuk kembali ke UUD 45, diberlakukannya SOB, sistem demokrasi terpimpin, pembentukan kabinet Gotong Royong, gagasan Nasakom, lahirnya Manipol dan USDEK, dll. Kalau kita baca kembali pidato-pidato Bung Karno sejak tahun 1958 sampai 1965, persoalan-persoalan ini dibeberkannya dengan jelas. Inti segala pidato Bung Karno waktu itu yalah penggalangan persatuan revolusioner seluruh bangsa untuk menghadapi kontra-revolusi, baik yang datang dari dalamnegeri maupun dari luarnegeri. Sekarang, berbagai hasil penelitian banyak ahli luarnegeri dengan jelas membongkar adanya usaha-usaha kekuatan asing (antara lain CIA) untuk menghancurkan kekuatan politik Sukarno (tentang soal ini ada catatan tersendiri).

Kalau kita teliti kembali perkembangan situasi dalamnegeri, maka nampaklah bahwa sejak Pemilu tahun 1955, di antara kekuatan-kekuatan politik yang mendukung Bung Karno terdapat PKI. Karena dukungan PKI kepada berbagai politik Bung Karno inilah maka baik PKI maupun Bung Karno menjadi sasaran tembak, baik oleh kekuatan-kekuatan tertentu dalamnegeri maupun luarnegeri. Kekuatan dalamnegeri dan luarnegeri yang anti-Sukarno ini tahu betul bahwa untuk menghancurkan Bung Karno perlulah dihancurkan PKI terlebih dulu. Mereka juga tahu bahwa dengan dihancurkannya PKI maka seluruh kekuatan pendukung Bung Karno akan ikut terseret digulung. Mereka juga tahu bahwa dengan menghancurkan Bung Karno, maka seluruh kekuatan progresif di Indonesia akan bisa dilumpuhkan dalam jangka lama. Dan inilah yang telah terjadi selama Orde Baru.

SEJARAH AKAN MEREHABILITASI BUNG KARNO!

Mengingat itu semua, maka patutlah kiranya bahwa dalam rangka Peringatan HUT ke-100 Bung Karno kita renungkan kembali bersama-sama banyak hal yang berkaitan dengan sejarah perjuangan Bung Karno, yang antara lain adalah sebagai berikut (sekedar sebagai bahan renungan) :

- Berdasarkan pengalaman sistem politik dan praktek-praktek Orde Baru/GOLKAR selama lebih dari 32 tahun, maka jelaslah bahwa dihancurkannya Bung Karno secara fisik dan secara politik, merupakan kerugian monumental bagi nation and character building. Seperti yang kita saksikan dewasa ini, Orde Baru telah membikin kerusakan-kerusakan besar di bidang moral bagi dua generasi bangsa, sehingga negeri kita menghadapi krisis parah di seluruh bidang.

- Gagasan-gagasan besar Bung Karno, yang di-embannya sejak usia-mudanya, tentang :

semangat persatuan bangsa, kerukunan antar-berbagai suku dan ras, semangat pengabdian kepada rakyat untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur, nasionalisme yang tidak sempit, internasionalisme dalam melawan imperialisme, semangat berdikari dan gotong royong dll adalah gagasan-gagasan besar yang sampai sekarang masih punya arti penting dan berguna dijadikan referensi bersama, dan dipakai sebagai sumber inspirasi bangsa.
Bung Karno adalah pemimpin dan pendidik bangsa. Seluruh hidupnya mencerminkan bahwa ia adalah pejuang revolusioner, baik dalam skala nasional maupun skala internasional. Ia adalah negarawan yang humanis. Ia adalah seorang nasionalis, seorang Islamis (Muslim) yang juga sekaligus Marxist.

Melalui pengalaman dan waktu, sejarah akan terus membuktikan, bahwa Bung Karno memang seorang putera Indonesia yang patut dihormati. Dan juga dijadikan sumber inspirasi dalam perjuangan untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa.