Sabtu, 28 Februari 2009

Teks Deklarasi Anti Korupsi

DEKLARASI ANTIKORUPSI INDONESIA

Dengan Rahmat Tuhan YME,
Kami, Anak Bangsa Indonesia meyakini bahwa:

Korupsi bukanlah budaya Bangsa Indonesia,
Korupsi adalah kejahatan luar biasa,
Korupsi merampas hak-hak rakyat untuk sejahtera,
Korupsi menyengsarakan rakyat Indonesia,
Korupsi merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kami, anak bangsa, bertekad membebaskan Indonesia dari korupsi untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Pada hari ini, kami mewakili anak bangsa Indonesia menyatakan:

1. Tidak akan melakukan perbuatan korupsi.
2. Menciptakan generasi muda antikorupsi
3. Mengutuk segala bentuk perilaku korupsi.
4. Korupsi harus dihancurkan dan dimusnahkan dari bumi pertiwi.
5. Bertekad menjadikan Indonesia sebagai negeri yang bersih tanpa korupsi.


Semarang, 1 Maret 2009

Ttd

Anak Bangsa Indonesia

Selasa, 17 Februari 2009

Korupsi Produk Struktur Sosial Feodalisme

Di Indonesia. praktek korupsi semakin marak dan vulgar di mata publik. Korupsi yang terjadi meluas dan menjangkiti hampir seluruh lembaga negara, sehingga sangat susah menemukan lembaga negara yang benar-benar bersih. Kasus suap yang menimpa jaksa Urip Trigunawan merupakan aib bagi lembaga penegakan hukum di Indonesia. belum lepas ingatan masyarakat pada kasus tersebut, anggota DPR, Amin Nasution, tertangkap tangan menerima suap dari sekda bintan, Azirwan, terkait kasus pengalihan hutan lindung menjadi pusat kota. Rentetan kejadian diatas sudah cukup untuk menjadi bukti untuk membenarkan temuan lembaga Transfarancy International yang menyebutkan bahwa DPR merupakan lembaga terkorup di Indonesia.

Karena kasus ini pula, seharusnya DPR harus membatalkan niatnya untuk menggugat grup band SLANK, karena lirik lagu “gossip jalanan” yang dianggap melecehkan lembaga DPR. Apa yang selalu disangkal dan mau ditutup-tutupi oleh DPR lama kelamaan semakin terbongkar dihadapan publik. Kejadian ini berkecenderungan membawa reputasi DPR sebagai sebuah lembaga perwakilan rakyat semakin menurun dimata rakyat.

Akar Politik Korupsi

Korupsi dapat diartikan secara sederhana sebagai penyelewengan kekuasaan, untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dari segi psikologis, korupsi terutama di motivasi oleh watak keserakahan dan niat untuk memperoleh atau memperkuat kekuasaan. Korupsi menurut Patrick Glynn, Stephen J. Korbin dan Moises Naim muncul akibat perubahan politik yang sistematik, sehingga memperlemah atau menghancurkan tidak saja lembaga sosial politik, tetapi juga sistem hukum. Pemikir Jack Bologne mengatakan, akar penyebab korupsi ada empat: Greed (keserakahan), Opportunity( celah dari sistem yang memberikan peluang korupsi), Need (kebutuhan hidup yang konsumeristis), dan Exposes( bentuk penghukuman yang tidak membuat ampun). Seorang pemikir ternama umat islam, Rahman Ibn Khaldun mengatakan bahwa akar penyebab korupsi adalah nafsu untuk hidup bermewah-mewah di kalangan kelompok yang berkuasa.

Terlepas dari semua pemikiran tersebut, korupsi dalam struktur budaya Indonesia terlahir dari bentuk masyarakat feudal. Kelahirannya di bidani oleh sebuah struktur sosial hirarkhis, dimana kekuasaan yang berada diatas mengumpulkan kekayaan dengan menghisap struktur sosial dibawahnya. Dari sini muncul kebiasaan menyetorkan “upeti” kepada raja, biasanya sebagai symbol ketataatan/kesetiaan. Bagi raja, upeti bukan hanya bermakna nilai kekayaan yang terkumpul, akan tetapi, juga bermakna pengakuan mayoritas terhadap kekuasaannya. Ketika kolonialisme masuk ke Indonesia, tradisi ini sepenuhnya tidak pernah diputus. Malahan administrator belanda memanfaatkan budaya ini untuk memperkuat dan memaksimalkan profit keuntungannya. Istilah “pangreh praja” merujuk kepada administrator hindia-belanda yang direkrut dari para bupati, patih, wedana dan lain-lain. Setelah Indonesia merdeka, bentuk budaya lama (korupsi) tidak terhapus oleh kelahiran budaya baru yang progressif. Penyebabnya adalah lapisan sosial yang banyak mengisi jabatan pemerintahan setelah Indonesia merdeka masih didominasi kaum priayi. Sebuah kelompok elit Jawa yang banyak menikmati status sosialnya dari kerja dan pengabdian masyarakat bawah.

Menurut Pramoedya Ananta Toer, salah satu persoalan yang melatarbelakangi korupsi adalah lemahnya produktifitas dan sebaliknya, nafsu untuk mengkonsumsi sangat kuat. Sehingga korupsi bukan hanya melingkupi lembaga negara tetapi masuk kedalam hampir seluruh struktur sosial masyarakat Indonesia.

Memberantas Korupsi

Memberantas korupsi yang sudah berurat dan berakar dalam struktur sosial masyarakat Indonesia memang bukan pekerjaan yang mudah. Kerugian besar yang diderita negara belum cukup untuk mengundang protes luas dan massal dari rakyat. Persoalannya, kritisisme dari rakyat sangat susah muncul mengingat ada kecenderungan sikap “diam” atas permasalahan ini. Karakter masyarakat yang seperti ini, juga dimotivasi dan dilahirkan oleh struktur sosial masyarakat yang masih kuat dipengaruhi budaya feodalistik. Akan tetapi, yang terpenting untuk dilakukan dalam situasi sekarang adalah penyelamatan uang negara dari nafsu serakah koruptor. Ujung tombak dari gerakan ini terletak pada; pertama lembaga pemberantasan korupsi negara, yakni KPK, Kepolisian, Kejaksaan, BPK, dan institusi negara lainnya. Kedua gerakan protes yang terdiri dari gerakan mahasiswa, LSM, Serikat pekerja, organisasi tani, partai politik, pekerja seni dan lain-lain.

Untuk memperkuat capaian KPK memburu koruptor, maka sudah seharusnya KPK dibentuk hingga kabupaten/kota diseluruh Indonesia. perluasan struktur KPK ke kabupaten akan mempersempit ruang dan kesempatan apparatus birokrasi untuk melakukan tindakan korupsi.

Kritisisme rakyat akan muncul oleh kenyataan-kenyataan berikut; besarnya kerugian negara dalam bentuk anggaran publik yang diselewengkan, semakin menipisnya anggaran yang jatuh untuk proyek pembangunan dan proyek sosial karena disunat oleh aparat birokrasi, dan kemiskinan yang semakin meluas berhadapan (kontras) dengan kekayaan segelintir elit yang memperoleh kekayaan dengan jalan korupsi. Perkembangan maju dari kritisme rakyat mulai memperlihatkan diri dari survey-survey yang dilakukan oleh beberapa lembaga independent. Tidak salah kalau tuntutan hukuman mati bagi koruptor menjadi pilihan banyak anggota masyarakat.

Antara Demokrasi dan Realitas Kesejahteraan

Kegagalan reformasi membawakan perubahan, terutama dalam aspek kesejahteraan dan keadilan sosial, telah memberikan sebuah pertanyaan besar soal demokrasi. Kenapa demokrasi? Karena demokrasi telah menjadi antitesa baru atas pembangunan ekonomi Orde Baru yang bersandar pada sistem politik otoritarian. 32 tahun pembangunan ekonomi ala orde baru tidak memberikan trickle down effect, malah sebaliknya, memperbesar jurang pemisah antara mayoritas rakyat dengan segelintir elit dan kaum kaya yang bertengger di Cendana. Akar persoalannya adalah minimnya partisipasi rakyat dalam pembangunan. Mansour Fakih (1999) menyatakan bahwa bentuk kediktatoran militeristik ala orde baru telah menghilangkan peranan dan partisipasi rakyat dalam pembangunan. Demokrasi dianggap telah menjadi prasyarat bagi lahirnya partisipasi rakyat dalam pembangunan.

10 tahun reformasi berjalan. Kesejahteraan dan keadilan sosial yang diharapkan tidak kunjung datang. letak kegagalan ini kemudian dimanfaatkan kelompok status quo yang menuduh bahwa akar dari penyebab semua persoalan ini adalah ketidakadaan stabilitas politik dan ekonomi. Mereka menuduh demokrasilah yang sudah menjadi biang kerok dan de-stabilisasi politik dan ekonomi itu. Mereka juga meyakini bahwa prinsip-prinsip demokrasi –kebebasan pers, kebebasan berpendapat, penghargaan terhadap HAM, sipil diatas militer, dan kebebasan berorganisasi— telah menjadi instrument yang melahirkan ketidakstabilan. Ini merupakan ancaman terhadap demokrasi.

Dua Jiwa dalam Demokrasi

Dalam waktu yang sama, demokrasi dipaksa menghadirkan dua keadaan sekaligus, yakni; kebebasan politik dalam artian persamaan dalam mengakses alat-alat politik dan keadilan ekonomi (kesejahteraan). Logikanya sederhana; demokrasi akan melahirkan partisipasi aktif dari seluruh lapisan sosial, dan selanjutnya kebijakan yang dilahirkan akan berpihak kepada semuanya. Dalam bukunya, Poverty and Famines, Amartya Sen menjelaskan hubungan antara kediktatoran dan kemiskinan. Menurutnya, ketiadaan demokrasi yang sering melahirkan ketidakadilan adalah akar dari semua bentuk kemiskinan. Akan tetapi, kenyataan memperlihatkan bahwa beberapa negara yang menganut demokrasi secara bersemangat justru tidak melahirkan kesejahteraan yang merata. Di AS (rujukan demokrasi liberal), 1 orang dari 10 orang atau 36,5 juta jiwa penduduknya dinyatakan miskin (biro Sensus AS, 2007). Di Indonesia, angka kemiskinan malah menghampiri setengah dari populasi (49.5%). Bahkan Lee Kwan Yew—Mantan PM Singapura mengatakan I believe what a country needs to develop is discipline more than democracy. The exuberance of democracy leads to indiscipline and disorderly conduct, which are inimical to development.”

Tidak ada yang salah dengan teori Amartya Sen ataupun Lee kwan Yew. Keduanya berangkat dari dua substansi berbeda tentang pengertian dan ukuran demokrasi. Amartya berangkat dari jiwa demokrasi yang bersandarkan kebebasan sosial (egalitarian), sedangkan Lee Kwan Yew berangkat dari demokrasi yang bermazhabkan kebebasan individu atau kebebasan sipil. Inilah yang dikatakan oleh Galvano della Volpe sebagai dua jiwa dalam demokrasi. Jiwa yang pertama berhulu pada revolusi borjuis di perancis, sedangkan jiwa yang kedua disuburkan oleh kemunculan sosialisme dalam gerakan pekerja. Perkembangan modern dari dua jiwa demokrasi dimunculkan dalam pengertian antara demokrasi prosedural (demokrasi liberal) dan demokrasi substantif( demokrasi sosial).

Kegagalan Demokrasi di Indonesia

Perkembangan sistem politik Indonesia sangat dipengaruhi oleh kolonialisme. Selain melakukan penjajahan fisik untuk mengeksplotasi kekayaan alam Indonesia, kolonialisme juga telah mencangkokkan sistem politik liberal. Paska kemerdekaan, sistem politik Indonesia tidak banyak berubah. Piranti-piranti dari sistem politik lama masih bertahan bersandingan dengan gejolak revolusi. Indonesia yang baru mengembangkan sistem politik demokrasi, tiba-tiba dihentikan (interupsi) oleh kelahiran rejim ordebaru yang cukup militeristik. Selama orde baru berkuasa, sistem politik dibonzai benar-benar menyingkirkan partisipasi politik rakyat. Rakyat hanya dimobilisasi pada saat pemilu dan protes sosial diharamkan.

Penjatuhan orde baru oleh gerakan mahasiswa sebenarnya mewakili tipe baru dari kelahiran demokrasi baru di Indonesia. Meskipun masih samar, akan tetapi, konsep dan gagasannya patut untuk diacungi jempol. Misalnya, munculnya kosakata-kosakata baru sebagai antitesa terhadap orba; mahakamah rakyat, komite rakyat Indonesia, Dewan Rakyat, ataupun presidium nasional. Sayang, proses kreasi demokrasi tipe baru ini dibajak oleh kelompok reformis palsu. Bagi James petras, pengamat politik Amerika latin, proses pembajakan demokrasi ini dimungkinkan karena elit lama tidak sepenuhnya hancur, tetapi sanggup bertransformasi menjadi kekuatan besar dalam kehidupan bisnis dan politik.

Demokrasi Indonesia sudah terlanjur cacat. Berbagai piranti demokrasi—kelembagaan, reformasi hukum, birokrasi, dan militer—mengalami kemandegan dan ditengah jalan diambil oleh kelompok elit tadi. Jadilah sebuah system politik oligarkhi; dimana segelintir elit mendominasi kehidupan politik dan sumber-sumber ekonomi. Oligarkhi politik cenderung sanggup memapankan diri, karena cara-pandang aktivis gerakan dan kaum demokrat yang mengharamkan memanfaatkan institusi demokrasi liberal, semacam pemilu. Dalam perkembangan kontemporer, dikenal istilah “radikalisasi demokrasi.” Istilah ini merujuk pada tindakan beberapa kelompok kiri di Amerika Latin yang memanfaatkan momentum elektoral untuk memperluas dan mendorongnya semakin menampung partisipasi massa. Wacana ini patut untuk diujikan di Indonesia.

Bukan sengaja qt gila!!!!

kami memang gila... hidup kami bertolak belakang dengan kehidupan masyarakat umum menolak kenikmatan dunia yang terbentang dihadapankan kami lebih suka bersusah payah melawan arus
berani melawan rezim tirani yang berkuasa

kami memang tolol...
menghabiskan masa muda dengan buku, pikiran dan gerakan menghabiskan waktu menentang sang durjana menghabiskan tenaga untuk perjuangan yang dianggap sia-sia menghabiskam uang untuk perjuangan yang dianggap semu belaka

kami memang bodoh...
dicap sebagai teroris yang merupakan ancaman masyarakat
dicap sebagai ekstrimis penganut jaman batu
dicap militan yang sebenarnya itu yang kami mau
dicap orang gila yang punya mimpi-mimpi utopis

biarlah kami dianggap gila, totol dan bodoh
kegilaan kami karena cinta kami kepada-Nya
ketololan kami karena rindu tegak syariat-Nya
kebodohan kami karena masih belum banyak
yang kami lakukan untuk perjuangan ini

Sabtu, 14 Februari 2009

Tri Panji Persatuan Nasional sebagai Jalan Keluar

Tri Panji Persatuan Nasional sebagai Jalan Keluar

Dirampoki di Tanah Sendiri

Sejak masa Orde Baru, kepentingan pokok dari kaum imperialis terhadap negeri seperti Indonesia adalah sebagai sumber bahan baku utama sekaligus energi bagi industri modern di negeri-negeri imperialis utama. Yang untuk itu, mereka tega menukarnya dengan darah jutaan rakyat dan penutupan ruang demokrasi selama 32 tahun plus pembodohan dan pemiskinan massal. Akibat pengerukan[1] yang dilakukan oleh modal asing (baca: imperialis) selama empat dasawarsa[2] kita tinggal menunggu cadangan mineral, logam, minyak, dan gas Indonesia habis terkuras. Perlu dicatat bahwa sampai saat ini Indonesia adalah penghasil 25% timah, 2,2% batubara, 7,2% emas, dan 5,7% nikel dunia[3]. Berlawanan dengan semakin menipisnya cadangan mineral tambang kita, sampai saat ini sumbangan industri pertambangan pada PDB tidak pernah menembus angka 3%[4], atau tidak pernah lebih dari 50 trilyun rupiah. Bandingkan dengan perhitungan kasar produksi tembaga dan emas pada tahun 2004 dari PT Freeport (salah satu dari banyaknya perusahaan tambang asing yang beroperasi di Indonesia) di lubang Grasberg yang setara dengan 1,5 milyar US$ (15 trilyun rupiah).[5] Lemahnya kedaulatan negara atas kekayaan alamnya diwakili oleh data bahwa saham PT. Freeport yang dimiliki pemerintah Indonesia hanya sebesar 9,4% dari keseluruhan saham. Hal itu ditambah kelemahan-kelemahan yang ada pada Kontrak Karya pertambangan kita[6].

Merujuk data tahun 1995, di areal tersebut tersimpan cadangan tembaga sebesar 40,3 milyar pon dan emas 52,1 juta ons. Deposit ini mempunyai nilai jual 77 milyar dollar AS. Hingga 45 tahun ke depan penambangan di Grasberg masih menguntungkan. Kemasan promosinya yang paling menakjubkan adalah, biaya produksi tambang emas dan tembaga di sini yang termurah di dunia. Tapi lihatlah apa yang terjadi atas penduduk asli dari suku Amungme maupun suku-suku lainnya. Jika disimak dari kategori Alvin Toffler, The Third Wave, sebagian besar dari mereka hidup masih seperti di zaman batu. Dengan kaki telanjang dan penutup tubuh hanya sebatas kemaluan, mereka mengembara di hutan-hutan, mengejar binatang buruan bersenjatakan panah dan tombak. Nyaris tidak masuk akal bahwa ada mahluk manusia bertahan dengan cara demikian di tengah udara dingin di atas ketinggian lebih 2.000 m dari permukaan laut[7].

Nasib sektor minyak dan gas (migas) pun tidak jauh berbeda. Pengerukan skala besar selama puluhan tahun terhadap sumur-sumur minyak, dengan selalu mengatas namakan devisa[8], sangat sedikit kontribusinya terhadap peningkatan taraf hidup rakyat kita. Padahal, dengan produksi minyak sebanyak 500 juta bbl per tahun, Indonesia punya sisa waktu hingga 10 tahun. Sedangkan dengan produksi 2,9 TSCF per tahun, cadangan gas bumi akan kosong dalam 30 tahun[9]. Sepanjang kurun waktu tiga tahun terakhir, pemasukan sektor migas- yang mayoritasnya adalah ekspor- mencapai 25% (rata-rata) dari keseluruhan pendapatan negara (APBN), atau sekitar 70-80 trilyun rupiah. Sayangnya nilai tersebut sangat tidak ada artinya jika dibandingkan dengan keuntungan sebesar 170 trilyun rupiah per tahun[10] yang akan diraih Exxon ke depannya di blok Cepu saja. Besarnya kekayaan migas yang ‘dirampok’ imperialis bisa dilihat dari sekitar 137 perusahaan migas yang kini beroperasi di Indonesia, sedangkan hanya 20 di antaranya yang merupakan perusahaan nasional[11].

Belum lagi dalam persoalan pembagian hasil produksi dengan KPS-KPS (kontraktor production sharing) atau MNC-MNC migas dan cost recovery[12] yang begitu merugikan bangsa kita. Sebagai contoh mungkin bisa dipergunakan data per-migas-an kita setahun lalu. Jika menggunakan asumsi rata-rata harga minyak 2005 US$60 per barel maka dengan data BP-MIGAS yang mencatat angka lifting minyak 2005 adalah 364.376.000 barel maka total pendapatan minyak di tahun 2005 adalah US$21,8 miliar. Angka tersebut belum dipotong cost recovery, dengan membengkaknya cost recovery minyak hingga US$4,19 miliar yang harus dibayar pemerintah pada KPS, maka sisa pendapatan migas yang harus dibagi hasil US$17,61 miliar. Dari kontrak kerja sama antara pemerintah dengan KPS, sepertinya tidak ada pembagian hasil 85:15 sebagaimana disebut-sebut selama ini. Rata-rata kontrak kerja sama pemerintah dengan KPS adalah 60% pemerintah dan 40% KPS. Dengan demikian dari pendapatan minyak US$17,61 miliar, pemerintah US$10,6 miliar, KPS US$7,04 miliar, hanya selisih US$3 miliar dari pendapatan pemerintah. Padahal KPS sudah menerima bagian US$4,19 miliar yang harus dibayar pemerintah sebagai cost recovery sehingga total bagian KPS dari seluruh pendapatan migas US$11,23 miliar. Sementara pemerintah hanya mendapat US$10,6 miliar. Dari angka yang ada, maka bagian pemerintah lebih kecil ketimbang KPS[13].

Kesemuanya menjadi lengkap setelah pada tahun 2001 disahkan saebuah UU migas yang sangat pro imperialis- UU Migas No.22 tahun 2001- yang akan semakin mempermudah MNC-MNC Migas dunia seperti Shell, Petronas, Total, Chevron, dan Texaco menjelajahi ranah usaha yang sama sekali baru tetapi cukup menggiurkan bagi mereka - sektor hilir migas. Undang-undang yang salah satu pra syarat pencairan pinjaman lembaga-lembaga keuangan dunia, telah memuluskan liberalisasi sektor hilir migas seperti pengilangan, pengangkutan, sampai ke pemasaran. Sangat logis jika agenda pengurangan subsidi BBM dilakukan secara ‘serius’ sekali oleh rezim Mega-Hamzah sampai ke SBY-JK. Persaingan di sektor hilir harus dibuat ‘seadil-adilnya’ untuk tamu-tamu asing tersebut (baca: MNC-MNC migas). Sungguh menyedihkan bila melihat bagaimana Pertamina yang korup dan hampir bangkrut dipaksa bersaing dengan MNC-MNC bermodal besar dan teknologi tinggi, sampai akhirnya dapat dipastikan akan tersingkir sama sekali di masa depan jika tidak ada perubahan (baca: reformasi) yang radikal di dalam tubuhnya[14].

Dengan ideologi yang menghamba pada modal asing (baca: neo-liberal), rezim orde baru dan reformis gadungan penerusnya memaksa rakyat Indonesia memandangi begitu saja kekayaan alam (plus keuntungannya) mereka dibawa lari ke luar negeri sambil terus dimiskinkan secara massal, serta meratapi bagaimana satu-satunya perusahaan nasional yang bisa mereka andalkan (baca: Pertamina) dikebiri.

Nasionalisasi: Merebut Kembali Kedaulatan atas Kekayaan Alam Pertambangan

“Kami menasionalisasi seluruh sumber minyak dan gas bumi negara ini, bersama ini pemerintahan mengambil alih keuntungan, kepemilikan dan memiliki kontrol total dan absolut terhadap seluruh sumber alam ini. Kami memulainya dengan nasionalisasi migas. Besok kami akan menambahnya dengan pertambangan, kehutanan dan semua sumber alam yang telah diperjuangkan nenek moyang kami,''

Cuplikan pidato Evo Morales di ladang gas San Alberto, Bolivia Selatan, 1 Mei 2006

Kita tak boleh diam melihat kenyataan yang telah diuraikan di atas. Sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 33, sudah saatnya kekayaan alam tanah nusantara harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran mayoritas rakyat, bukan cuma untuk kaum imperialis dan segelintir anteknya di tanah air saja. Rakyat miskin Indonesia yang jumlahnya telah mencapai 115 juta[15] harus juga merasakan warisan mereka dari Ibu Pertiwi, yang imperialisme melalui kaki-kakinya telah mengangkangi kekayaan itu. Karena telah dapat disimpulkan bahwa penguasaan industri pertambangan, dan menjadikan Indonesia sebagai pasar, adalah jantungnya kepentingan utama imperialisme di Indonesia, maka jalan keluar utama untuk membendung dan melawan arus penjajahan asing adalah dengan melaksanakan program nasionalisasi seluruh aset pertambangan dan migas pada tahap awalnya. Program-program semacam nasionalisasi, pengambilalihan hingga pemberlakukan pajak yang tinggi bagi investasi dan royalti pendapatan perusahaan-perusahaan asing, adalah program-program yang sangat ditakuti oleh imperialisme. Bagaimanapun juga, penguasaan sumber-sumber pendapatan yang penting bagi negara adalah landasan bagi terwujudnya program-program mendesak rakyat[16]. Oleh karena itu, dukungan mayoritas rakyat sangat diperlukan.

Ada beberapa metode yang pernah digunakan di dunia untuk melakukan nasionalisasi semacam ini. Yang pertama adalah dengan jalan mere-negoisasi kontrak kerja sama (Kontrak Karya dan Kontrak KPS). Langkah ini ditempuh baru-baru saja oleh Bolivia. Pada tanggal 1 Mei 2006 lalu, sekaligus dalam rangka peringatan Hari Buruh Sedunia, Presiden Evo Morales mengleuarkan sebuah dekrit yang memutuskan untuk menasionalisasi seluruh aset migas di Bolivia yang diwujudkan dengan paksaan untuk re-negoisasi seluruh kontrak yang telah ada. Disebutkan bahwa seluruh perusahaan energi asing memiliki waktu 180 hari untuk menyetujui kontrak baru dengan perusahaan milik pemerintah Yacimientos Petroliferos Fiscales Bolivianos (YPFB)-semacam Pertamina nya Bolivia. Selama masa transisi, YPFB akan memperoleh pemasukan 82 persen dan produsen (MNC-MNC) hanya 18 persen. Hanya perusahaan yang mau menerima kontrak baru tersebut yang diizinkan beroperasi di Bolivia. Langkah ini dilakukan dengan mengajak seluruh rakyat. Dalam salah satu pidatonya Morales memanggil para warga Bolivia untuk memobilisasi diri guna menghadapi setiap upaya sabotase yang dilakukan pihak lain atas operasi pengambilalihan itu. Tidak ketinggalan militer setempat pun ikut digerakkan atas komando sang presiden. Tak lama setelah Morales mengeluarkan perintah itu, pimpinan militer segera mengerahkan pasukannya ke ladang migas yang ada di negara Amerika Latin itu. Sekitar 56 ladang migas telah diduduki oleh negara.

Perubahan dalam kontrak meliputi aspek peningkatan pembagian keuntungan (saham), kejelasan konsep alih teknologi, dan peningkatan pajak/royalti. Jika diasumsikan bahwa investor akan lari karena hal-hal tersebut, itu hanyalah rasa takut yang tidak beralasan. Hal tersebut telah terbukti di Venezuela. Pada tahun tahun lalu pemeritah Venezuela minta kepada maskapai-maskapai swasta asing itu untuk merobah kontrak mereka dengan menjadikannya sebagai joint-venture atau mixed company bersama Petroleos deVenezuela SA (semacam Pertamina nya Venezuela), dengan pembagian saham sedikitnya 60% untuk perusahaan minyak negara Venezuela. Banyak maskapai-maskapai asing ini[17] menerima tawaran syarat-syarat baru ini tanpa banyak perlawanan, karena berpendapat bahwa meskipun lebih banyak uang yang masuk kas negara Venezuela, mereka toh masih mendapat keuntungan juga.

Yang kedua adalah penghentian sepihak kontrak yang sudah ada dan kemudian memberikan kompensasi. Jika kepentingan nasional mendesak dan merugikan, kita berhak melakukan secara sepihak pemutusan kontrak lalu memberikan kompensasi seperlunya untuk masa kontrak yang belum dipenuhi. Ini seperti pernah dilakukan Perdana Menteri Iran Mossadegh yang pernah menasionalisasi perusahaan minyak Anglo-Iranian pada masanya berkuasa[18]. Memang betul bahwa tindakan penghentian kontrak karya ditengah jalan memungkinkan dibawanya negara ke arbitrase internasional[19]. Namun demikian, hak ini dibatasi hanya untuk menentukan batas kompensasi yang wajar yang diakibatkan oleh “nasionalisasi atau pengambilalihan total dari hak kepemilikan perusahaan modal asing”. Pasal ini dengan demikian hanya relevan pada kasus-kasus dimana terjadi pengambilalihan investasi seluruhnya dan secara langsung oleh negara, misalnya ketika pemerintahan mengambil alih operasi perusahaan modal asing dan menjadikannya milik negara.

Kalaupun harus menghadapi semacam pengadilan internasional akibat pemutusan sepihak atau pelanggaran terhadap kontrak oleh negara, pemerintahan kita dengan dukungan rakyat harus berani menanggungnya. Ini mirip seperti apa yang diungkapkan Menteri Urusan Minyak Venezuela Ramirez soal kesiapannya menghadapi konfrontasi dengan maskapai-maskapai asing yang mereka sita ladang minyaknya, seperti TOTAL (Perancis) dan ENI (Italia). Ia mengatakan bahwa pemerintahnya “siap untuk pergi ke pengadilan di langit kalau mereka mau”, dan memperingatkan bahwa maskapai-maskapai asing yang terlibat dalam konfrontasi semacam itu tidak akan diikutsertakan dalam proyek-proyek yang akan datang di Venezuela yang mempunyai cadangan minyak sangat besar itu.

Metode yang ketiga adalah dengan menasionalisasi secara langsung tanpa adanya re-negoisasi kontrak ataupun kompensasi. Situasi-situasi yang revolusioner dari massa rakyat sangat menunjang untuk pelaksanaan metode ini. Contoh yang paling bagus adalah seperti dalam kasus Kuba. Setahun setelah Revolusi Kuba 1959, pemerintah Fidel Castro menasionalisasi kilang-kilang minyak AS, Texaco dan Exxon, serta Shell milik Belanda, juga menasionalisasi seluruh industri pokok—termasuk 382 perusahaan dalam negeri—sektor perbankan swasta asing dan dalam negeri. Upaya yang mirip juga pernah terjadi di Indonesia pada zaman pemerintahan Sukarno saat suhu perpolitikan tanah air sedang panas sekali di penghujung tahun 50-an. Himbauan langsung dari Sukarno untuk menasionalisasi seluruh aset Belanda[20] yang ada di Indonesia disambut dengan meluasnya aksi-aksi rakyat buruh-tani yang terorganisir di bawah PKI di banyak daerah. Tetapi sangat disayangkan aksi-aksi rakyat tersebut begitu mudahnya dikooptasi oleh kelompok militer reaksioner. Seluruh perusahaan yang telah berhasil dinasionalisasi kekuatan buruh-tani diserahkan semerta-merta kepada militer[21]

Kegagalan masa lalu harus menjadi pelajaran untuk gerakan rakyat ke depannya. Setelah disajikan beberapa pilihan langkah untuk menasionalisasi, rakyat lah yang akan menentukan metode seperti apa yang digunakan sesuai dengan kondisi objektif yang berlaku dan yang paling memungkinkan. Program ini haruslah diyakini rakyat karena banyak sekali hal baik yang bisa dicapai untuk bangsa dengan melaksanakannya. Contoh lainnya yang bisa mewakili keuntungan dari nasionalisasi adalah Rusia. Dari usaha nasionalisasi, Rusia telah mengambil alih perusahaan-perusahan swasta di antaranya pertambangan milik Yukos, perusahaan swasta perminyakan raksasa. Hasilnya adalah Rusia berhasil meraih pendapatan ratusan miliar dolar AS dari ekspor migas. Sehingga anggaran belanja negara mencatat surplus sebesar 56 miliar dollar AS. Rusia juga bisa memiliki cadangan devisa sebesar 277 miliar dollar AS, ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan Jepang. Jika berhasil menasionalisasi sektor migas saja, Indonesia akan menguasai mutlak minimalnya[22] delapan milyar barrel cadangan minyak mentah Indonesia[23] (produksi tahunan minyak mentah kita sekitar satu jutaan barrel) yang dengan asumsi harga minyak internasional 60 dollar AS per barrelnya akan bisa menyumbang cadangan devisa kita sebesar 480an milyar dollar AS.

Jeratan Hutang Najis

Hutang merupakan instrumen utama yang digunakan imperialis untuk mempertahankan akses bahan baku murah di negara lain, terutama negara-negara berkembang[24]. Untuk menutupi hutangnya kepada negara-negara maju, negara-negara berkembang tersebut saling berlomba memacu ekspornya ke negara- negara maju. Akibatnya terjadi kejenuhan pasar, sehingga harga komoditas tersebut semakin tertekan yang berdampak pada penurunan pendapatan produsen (misalnya, petani) di negara berkembang. Sementara negara-negara maju yang terletak di belahan utara menikmati surplus dan produk harga murah dari negara berkembang. Seperti itulah nasib tesis penganjur-penganjur ekonomi pasar bebas itu.

Negara-negara yang telah meminjam uang (kreditor) dari badan-badan keuangan internasional yang merupakan perlambang persatuan jahat kapitalis-kapitalis Internasional (debitor), justru terjebak dalam utang (debt trap). Kapital yang dimiliki harus lari ke tangan korporasi Internasional, dan capital flight ini akan semakin besar seiring menguatnya mata uang Dollar Amerika[25]. Bahkan jika dikumulatifkan jumlah seluruh pembayaran cicilan utang yang dimiliki negara debitor sudah jauh lebih besar dari jumlah yang dipinjamkan itu sendiri, seperti yang terjadi di Indonesia, Meksiko, Argentina. Rakyat di negara-negara debitor tersebut terpaksa merasakan pahitnya kemiskinan, kebodohan dan penyakit, karena manajemen anggaran pemerintah lebih ditekankan kepada pembayaran utang luar negeri bukannya subsidi sosial. Di negara-negara seperti Tanzania, Zambia, Mozambique, Honduras dan Nicaragua, pembayaran hutang menyerap lebih dari seperlima dari total penerimaan pemerintah, sehingga menekan jumlah yang dibelanjakan untuk program sosial seperti kesehatan dan pendidikan. Di tahun 1997 terjadi kesenjangan sangat besar, yaitu cadangan devisa Indonesia sebesar 16,587 miliar dollar AS, yang jauh lebih kecil daripada total kewajiban sebesar 39,197 miliar dollar AS.

Rasionalitas tuntutan untuk penghapusan hutang pada dasarnya terletak pada semakin besarnya angsuran pokok dan bunga hutang yang harus dibayar oleh Indonesia[26]. Sementara kemampuan mereka untuk membayarnya, dari sisi anggaran atau cadangan devisa, cenderung semakin terbatas. Akibatnya, di tengah-tengah kesenjangan ekonomi yang semakin menganga secara internasional, negara-negara dunia ketiga cenderung semakin terjepit antara melayani kepentingan modal internasional atau memenuhi kewajiban mereka kepada rakyatnya masing-masing. Kenyataan tersebut diperparah oleh sejumlah fakta lain seperti: (a) keterlibatan negara-negara kreditor dalam memompa pemberian utang, termasuk dengan cara-cara manipulatif; (b) pembuatan utang oleh sebuah rezim diktator dan korup, yaitu yang bermuara pada lahirnya konsep hutang najis (odious debt); dan (c) dialaminya krisis ekonomi oleh negara-negara kapitalis pinggiran tersebut.

Permasalahan hutang najis[27] sudah dialami Indonesia sejak memperoleh pengakuan kedaulatan dari masyarakat internasional. Sebagaimana diketahui, saat itu pihak Republik menyetujui salah satu isi kesepakatan KMB tentang pelimpahan utang luar negeri Hindia Belanda kepada kepada Republik Indonesia. Hutang najis berikutnya adalah tentang utang luar negeri rezim Soeharto selama puluhan tahun. Bank Dunia bahkan sudah mengakui secara terbuka bahwa sekitar 30 persen utang luar negeri orde baru tidak sampai ke tangan rakyat Indonesia. Pembangunan ekonomi zaman orde baru yang sangat jauh dari efisiensi dan orientasi kerakyatan menyisakan puluhan juta rakyat miskin dan pengangguran. Untuk itulah pemerintahan dengan dukungan mayoritas rakyat (yang miskin dan menganggur) sangatlah berhak untuk menghapuskan hutang luar negeri Indonesia. Pencadangan dana yang seharusnya dibayarkan dalam bentuk hutang ini akan diabdikan untuk mendanai pembangunan industri nasional ke depannya yang berbasiskan pemenuhan program mendesak rakyat seperti pendidikan dan kesehatan gratis.

Pembebasan dari Jeratan Hutang

Hutang luar negeri haruslah dihapuskan demi pendanaan program-program mendesak rakyat. Langkah-langkah yang bisa diambil untuk pembebasan dari jeratan hutang adalah: Penghapusan hutang (Write Off), Peringanan pokok hutang dan bunga (Debt Relief), Penundaaan pembayaran hutang (Debt Moratorium), Konversi hutang (Debt Swap), dan Pembebasan hutang najis (Hair Cut Debt). Di bawah ini akan dibahas satu persatu alternatif langkah berikut relevansinya,

Program penghapusan utang (write off) terhadap negara-negara dunia ketiga seperti disebutkan diatas sudah dikampanyekan oleh gerakan-gerakan sosial. Dalam kancah Internasional World Sosial Forum (WSF) yang di dominasi oleh gerakan-gerakan sosial (Social Movement) juga telah mengkampanyekan program penghapusan utang terhadap negara-negara miskin. Ada point mendasar dalam konsepsi tersebut. Dalam berbagai perdebatan penolakan terhadap utang baru pasca penghapusan utang (write off) menurut hemat saya sesungguhnya tidak menguntungkan. Beberapa pembenaran (moralis) menyebutkan jika menerima kembali utang baru post write off (pasca penghapusan utang) itu sama saja tidak memiliki harga diri sebagai sebuah bangsa. Menurut saya itu keliru. Di Argentina setelah penghapusan utang luar negeri, para kreditor-kreditor swasta dari negara-negara Induk justru tetap meminjamkan uangnya, bahkan memburu obligasi negara yang ditawarkan. Sebab memang mereka (Kreditor dan Investor) membutuhkan pasar dan tenaga produktif untuk menggerakkan modal yang mereka miliki agar berlipatganda. Di negara Sosialis sekaliber Cuba, yang menjadi salah satu pelopor penolakan penghapusan utang terhadap negara-negara dunia ketiga, tetap membutuhkan pinjaman luar negeri untuk kebutuhan-kebutuhan perkembangan ekonomi mereka. Padahal di Cuba tingkat pendidikan dan kesehatan sama dengan negara-negara Induk di Eropa maupun Amerika.

Secara prinsipil, sesungguhnya utang akan menjadi Fisher Paradox ketika pemerintahan negara debitor tersebut membebek kepada seluruh kebijakan-kebijakan ekonomi politik badan-badan keuangan Internasional dan berbagai kreditor-kreditor lainnya. Dan membuat praktek Neoliberalisme dijalankan, diturunkan dalam berbagai perundang-undangan pendukung seluruh kebijakan Structural Adjustment Programme (SAP). Sehingga manajemen anggaran negara ditekankan pada pembayaran utang luar negeri, belanja militer, bukan untuk meningkatkan kualitas tenaga produktif sebagai Kapital Sosial yang tak tergantikan melalui besarnya anggaran Subsidi Sosial. Justru yang dilakukan oleh pemerintahan yang berkarakter neoliberalis berkebalikan dari konsep tersebut. Penolakan terhadap utang baru pasca penghapusan utang malah berakibat buruk bagi pertumbuhan Industri dan perkembangan ekonomi. Dalam kepentingan menstimulus perkembangan Industrialisasi Nasional itulah kepentingan utang ditekankan, yang jelas berkarakter kerakyatan tentunya. Tetapi segala lagi, program Write off , dan mau menerima utang baru hanya dapat dilaksanakan apababila Pemerintahaan tersebut memiliki kekuasaan politik dan karakter yang demokratis, merdeka dan merakyat. Jika tidak akan sama saja dengan pemerintahan Soeharto maupun setelahnya.

Sejauh ini, program penghapusan utang luar negeri (write off) masih tepat. Akan tetapi pemerintahan sekarang ini maupun sebelum-sebelumnya bukanlah pemerintahan Popular (Berkarakter Kerakyatan), bukanlah pemerintahan yang memiliki kewibaan politik serta keberanian politik demi kepentingan rakyatnya. Pemerintahan ini dan sebelum-sebelumnya, hanyalah pemerintahan Makelar (calo) bagi kreditor-kreditor itu. Sama sekali tidak punya karakter. Maka program penghapusan utang hanya sekedarnya ditangkap oleh pemerintah dan tidak secara sungguh-sungguh diperjuangkan. Walhasil, sama sekali belum tercapai program sejati tersebut. Pembenaran pemerintah dan beberapa ekonom penganjurnya selalu dengan kalimat, bahwa itu (penghapusan utang) dilaksanakan membuat negara kita tidak punya wibawa, tidak punya harga diri, tukang ngemplang, negara kita akan dijauhi para Investor. Di Massa rakyat sendiri, pandangan-pandangan tersebut muncul dan menular.

Kesulitan-kesulitan program ini terletak pada hal tersebut. Akan tetapi, ini tidak berarti program ini salah. Program ini masih merupakan program yang Paling Tepat. Akan tetapi harus dicari program lainnya, yang memiliki kandungan metode, agar secara umum pandangan –pandangan yang keliru bisa secara sistematis bergeser pada pandangan yang sejati.

Debt relief atau penghapusan sebagian utang luar negeri dari pengampunan (penghapusan ) sebagian utang pokok yang berakibat pada penghapusan sebagian bunga utang. Ketika terjadinya musibah Tsunami, di Sumatera dan Aceh, beberapa ekonom sudah mendesak agar pemerintah Indonesia untuk meminta Debt Relief dan tidak hanya debt moratorium. Program Debt relief sempat dikampanyekan oleh INFID. Sebagai sebuah program penghapusan utang masih sangat sedikit yang mengkampanyekannya. Pada momentum Tsunami, meski coba diangkat oleb beberapa Ngo akan tetapi yang menguat justru moratorium utang. Selain problem perbedaan skema tersebut, meski tepat debt relief diambil sebagai program akan tetapi segi-segi kelemahannya terletak pada belum dimulainya (dalam makna luas dan besar) debt relief tersebut sebagai sebuah program gerakan penghapusan utang.

Pasca Tsunami berbagai intelektual, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi-Organisasi massa sesungguhnya mendesak adanya penghapusan utang kepada pemerintah. Agar pemerintah secara serius dalam arbitrase bilateral maupun multilateral berjuangan untuk mendapatkan keringanan utang tersebut. Sebab terdapat undang-undang yang menyebutkan jika ada negara debitor yang mengalami musibah maka harus diberikan peringanan utang (debt relief). Tetapi ini justru tidak secara serius diperjuangkan oleh pemerintah. Justru yang diperjuangkan oleh pemerintah adalah moratorium utang. Padahal Srilangka dengan jumlah korban Tsunami lebih sedikit ketimbang Indonesia, justru mendapatkan debt relief. Bukannya perjuangan untuk menghapuskan utang pemerintah atau minimal (meski saya kurang setuju) memperjuangkan moratorium yang lebih besar dari Rp. 3,9 Triliun[28] yang dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi pemerintah meminta pinjaman utang luar negeri yang baru. Padahal dalam situasi tersebut pemerintah tiba pada posisi mudah untuk mendapatkan peringanan utang.

Moratorium utang (debt moratorium) merupakan peringanan utang dengan penundaan pembayaran utang pokok dan bunga dalam jangka waktu tertentu yang disepakati antara kreditor dan debitor itu sendiri. Tercatat negara-negara yang secara terbuka mendukung moratorium untuk Indonesia adalah Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Perancis. Tetapi ini tidaklah menguntungkan sebab selama pemerintahan yang ada menerapkan konsep ekonomi yang pro neoliberalisme. Moratorium hanyalah “mesin pembunuh” yang akan siap menghancurkan ekonomi ketika tibanya masa pembayaran utang. Dalam kata lain, memindahkan kotoran yang sama ke masa yang akan datang, dan membiarkannya menumpuk dan menjadi penyakit.

Bank Dunia dan IMF serta badan-badan keuangan internasional lainnya sesungguhnya sadar bahwa negara-negara debitor berada dalam jebakan utang (debt trap). Agar perlawanan-perlawanan tersebut tidak meluas, dan menyadarkan rakyat di negara-negara dunia ketiga bahwa sumber kemiskinan mereka adalah kebijakan politik utang pemerintahannya yang “membebek” pada kepentingan kreditor negara-negara Induk. Maka, utang luar negeri yang melimpah itu dengan berlagak humanis di konversikan dengan berbagai aktifitas/program yang disepakati diantara negara kreditor dan debitor itu sendiri. Bentuk Konversi utang (Debt Swap) yang diterapkan Paris Club III terdiri dari enam skema antara lain: debt swap for development (untuk lingkungan dan pendidikan seperti diterapkan pemerintah Jerman), debt to equity swap, debt to repayment against export delivery, debt swap to privatization, debt swap for FDI, dan debt to project investment swap. Berdasarkan Perjanjian Paris Club II (2002) maupun Paris Club III debt swap ini digunakan untuk pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, pelestarian lingkungan, menciptakan lapangan kerja, investasi dll. Dan pada umumnya, pembayaran dilakukan dengan mata uang lokal.

Ini semua hanyalah kebohongan-kebohongan belaka. Debt Swap (Konversi Utang) hanyalah istilah lain dari debt trap. Bagaimana mungkin akan ada penanggulangan kemiskinan, penyelamatan hutan, bahkan pembangunan manusia dalam tahun millenium ini. Jika Manajemen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara justru diprioritaskan untuk pembayaran utang luar negeri dan dalam negeri (Domestic debt). Bukankah ini artinya debt sustainabilty, membuat negara-negara debitor terus dan terus membayar utang mereka. Bukankah sustainable yang dimaksud IF ialah, terus berlanjut dan berlanjut dalam membayar utang hingga semua yang kalian (negara dan rakyat) miliki habis terjual ke tangan kami para kreditor-kreditor, sedangkan kalian nikmatilah kemiskinan itu. Dan bagimana mungkin debt swap akan mensejahterakan, jika bukan itu pokok permasalahannya. Pokok permasalahannya adalah mengprioritaskan anggaran negara untuk membangun industri dalam negeri baik infrastrukturnya maupun suprastrukturnya melalui pemberian sebesar-besarnya subsidi sosial. Point yang keliru justru diperlihatkan dengan kesesatan berpikir dimana anggaran negara dipakai untuk menanggulangi, bukannya mencegah kemiskinan, kebodohan, penyakit dan pengrusakan hutan. Apalagi pemerintahan saat ini tidak memiliki karakter bersih dan ekologis, sebab debts swap hanya akan menguntungkan oknum-oknum yang melakukan praktik-praktik korupsi (Inefisensi)., penyelundupan, penebangan liar (illegal logging). Begitupun juga semua kebijakan Washington konsesus, tidak akan ada kesejahteraan, jika ternyata industri dalam negeri harus hancur dengan adanya liberalisasi perdagangan yang berkonsekuensi kehancuran perusahaan-perusahaan domestik serta PHK massal serta krisis agraria, liberalisasi keuangan yang berkonsekuensi terjadinya capital flight.

Justru sangat menggelikan ketika Pemerintahan Indonesia dengan Pemerintah Inggris bersepakat untuk melaksanakan debt to transportation swap yang dikategorikan debt to project investment swap untuk mempercepat pelunasan utang. Dalam kesepepakatannya pihak pengguna, yakni Perum Damri (akan mendapat 700 unit bus) dan Perum PPD (kebagian 300 unit bus) menghendaki agar bus yang digunakan adalah Mercedes-Benz buatan DaimlerChrysler. Penggunaaan Mercedes-Benz ini dengan alasan (sok ekologis) yaitu harus sesuai dengan standar kadar emisi Euro II, yang lebih ramah lingkungan. Bukankah ini harus dibeli dengan dollar dan merugikan prioritas anggaran negara dan mengakibatkan terjadinya capital flight juga.

Semua kebijakan yang berlagak sok “humanis” itu hanya memperdalam jebakan kemiskinan. Data dari organisasi buruh internasional (ILO), pada saat ini separuh dari pekerja di dunia, 1,4 milyar hidup kurang dari sebesar 2 dollar perhari. Jumlah orang yang kelaparan pun mengalami peningkatan 18 juta menjadi 852 juta total dari keseluruhan, termasuk 815 juta di negara berkembang; 28 juta di negara-negara yang sedang mengalami transisi, dan 9 juta di negara-negara industri maju (Laporan FAO).[29] Sebab secara esensial pembangunan manusia atau pencapaian kesejahteraan hanya akan terwujud bilamana anggaran negara tersebut sebesar-besarnya diperuntukkan bagi peningkatan kualitas tenaga produktif dan penciptaan lapangan pekerjaan serta memperahankan Industri Nasional tersebut untuk terus hidup dan berkembang. Disitulah esensinya, yang justru tak pernah dipahami pemerintah, malah terus keyakini kekeliruan-kekeliruan washington konsensus. Ekonom Joseph E. Stiglitz menegaskan implementasi Washington Consensus, yang melahirkan tonggak privatisasi, liberalisasi, dan pengetatan anggaran justru menguntungkan sekelompok koruptor di negara berkembang[30].

Dari berbagai pandangan yang muncul Herkat Utang bisa diperluas berdasarkan beberapa hal, yang sudah mengemuka antara lain:

1) Pembebasan utang atas utang najis. Utang najis (Oudious Debt) yang dimaksud disini adalah seluruh pinjaman luar negeri selama masa pemerintahan Soeharto. Landasan moralnya, diletakkan pada aspek tidak legitimasinya pemerintahan Soeharto. Sebab selama 32 tahun pemerintahan Soeharto berkuasa, bukan lahir dari pemilihan umum yang demokratis dan bersih atau dalam kata lain bukan hasil dari proses pemilihan langsung Presiden. Tapi hasil kongkalikong antara Soeharto dan kroni-kroninya di DP pada saat sidang MPR berlangsung. Sehingga dalam kata lain utang yang diminta serta digunakan oleh Soeharto beserta kroninya bukanlha utang yang legitimate (ilegitimate debt). Bank Dunia menyebutkan total pinjaman yang diberikan kepada Soeharto sejak tahun 1966 hingga tahun 1998 sebesar $30 Miliar Amerika. Saat ini Utang kita sebesar US$ 190 miliar (dengan rincian: utang luar negeri pemerintah US$ 78,7 miliar, utang luar negeri BUMN US$ 4,8 miliar, utang luar negeri swasta US$ 45,5 miliar, dan utang pemerintah di dalam negeri setara US$ 60 miliar).

2) Ada pula pandangan yang menitikberatkan pada pembebasan utang (Hair Cut Debt) hanya pada oudios debt pemerintah Soeharto. Dimana menurut Bank Dunia dan juga Soemitro 30% dari utang luar negeri pada massa Soeharto telah dikorupsi untuk kepentingan Soeharto beserta kroni-kroninya. Tetapi bagaimana kesimpulan 30% utang luar negeri itu dikorupsi, tidak ada penghitungan atau penjabaran yang jelas dan kongkret. Jika kita berpikir bahwa elemen dari pendukung Soeharto itu saja menyatakan demikian. Maka jelas kenyataan kongkretnya mungkin jauh lebih besar dari 30%. Mungkin 40% atau bahkan lebih. Jika dikumulatifkan maka utang yang dikorupsi oleh Soeharto sebanyak $9 Miliar (dengan dasar data World Bank, persentase korupsi sebesar 30% ). Jika kita memakai asumsi bahwa total yang dikorupsi oleh Soeharto dan kroninya sebesar 40% maka jumlah utang najis yang harus dihapuskan sebesar $12 Miliar. Jeffrey Winters menyebutkna hingga krisis ekonomi 1997, hutang Indonesia yang layak disebut odious debt sedikitnya US$30 miliar, dimana US$10 miliar dari Bank Dunia, sisanya dari ADB, serta lembaga multilateral dan bilateral lainnya.

3) Pandangan lain menyebutkan bahwa pembebasan utang najis tidak hanya atas utang yang dikorupsi pada masa Soeharto saja. Tetapi juga atas utang luar negeri yang dikorupsi pada masa pemerintahan selanjutnya, yakni Habibie, Gusdur, Megawati, dan SBY-Kalla. Ada atau tidak dan berapa jumlah korupsi atas utang luar negeri ketika mereka berkuasa memang harus diteliti lebih dalam. Sebab belum banyak data yang kongkret memberikan secara pasti berapa jumlah penggelapan uang dari penjaman luar negeri tersebut selama mereka berkuasa. Dan juga pada pandangan ini ditambahkan bahwa Oudious Debt termasuk penyalahgunaan dana Kredit Ekspor (KE) yang ditekankan pada anggaran militer. Berbagai Informasi menyebutkan Indonesia meminjam sekitar 1,76 milyar Dollar Amerika dari pemerintah Inggris. Dimana Indonesia melakukan pinjaman Kredit Ekspor (KE) melalui Departemen Penjamin Kredit Ekspor Inggris (EGCD). EGCD menjamin semua kontrak Indonesia dengan perusahaan-perusahaan swasta. Pinjaman KE kepda Inggris ini dipergunakan untuk membeli pesawat tempur Hawks (£382,7 juta) dan kendaraan lapis baja Scorpion dan Stormer (£80,7 juta). Keseluruhan pinjaman untuk persenjataan ini dipergunakan sepenuh-penuhnya untuk memperkuat struktur militer. Kalau ditetapkan berdasarkan penghitungan ini maka total pembebasan utang yang akan didapatkan lebih dari $40 Miliar ( Total utang Soeharto, pembayaran bunga utang Soeharto, Korupsi utang luar negeri pada pemerintahan pasca Soeharto (?), Kredit Ekspor untuk persenjataan)

Pemerintahan Argentina mendapatkan 75% penghapusan utang (debt relief) dari partisipan kreditornya. Padahal Argentina menolak untuk bekerjasama dengan IFI. Dan hebatnya, di pengadilan internasional Argentina yang dikenai Sanksi uang karena menolak membayar utang luar negerinya, tetapi mereka secara tegas menolak membayar sanksi tersebut. Inilah contoh keberanian politik sebuah pemerintahan, yang tidak pernah ditiru oleh pemerintahan SBY-Kalla. Satu hal lagi yang patut dcatat, setelah debt relief dan penolakan kerjasama dengan IFI, Argentina tetap mendapatkan pinjaman dari kreditor, dan Investasi tetap berjalan. Ini menepis keraguan-raguan ekonom yang menghendaki adanya peningkatan kesejahteraan yang baik untuk negara debitor tetapi lemah iman keberpihakannya pada rakyat negara tersebut yang terjebak utang.

Pengalaman Nigeria[31] juga tidak pernah dicontoh oleh pemerintahan Indonesia. Nigeria dengan lobby Internasional yang baik, dan segala upaya-upaya arbitrase bilateral dan multilateral yang konsisten. Akhirnya bisa mendapatkan debt relief sebesar $18 Miliar lebih besar Kongo, $10 Miliar, atau 60% dari utang yang ada. Meski hal itu bisa dibilang masih sedikit sebab Nigeria bisa mendapatkan lebih besar dari itu, jika Nigerai mampu memainkan politik Internasional yang lebih keras. Sebab bagaimanaupun juga Inggris sebagai kreditor terbesar bagi Nigeria tidak mau kehilangan “emas hitam” Afrika tersebut, terlebih dengan kandungan minyak di Negria yang yang sangat besar. Dan jangan pernah dilupakan kontribusi terpenting aksi massa buruh dan rakyat lainnya di Ngeria dengan jumlah ratusan ribu menolak Privatisasi minyak. Inggris tidak akan bersikeras membantu dan memberikan debt relief tanpa adanya aksi massa tersebut.

Hair Cut merupakan pilihan yang paling bisa (harus) ditawarkan saat ini. Hal itu semakin kongkret dengan beberapa landasan:

1) Oudious debt, Iligitimate debt, Criminal debt sesungguhnya sudah diyakini oleh seluruh negara-negara bahkan oleh lembaga-lembaga keuangan Internasional. World Bank dalam article on agreement juga sudah menyebutkan hal itu. Sehingga Hair cut atas Oudious debt, Iligitimate debt, Criminal debt sesungguhnya memiliki nilai kebenaran umum, atau kelegalan umum.

2) Pemerintah harus (terpaksa) bersedia untuk mendesakkan adanya hair cut atas Oudious debt tersebut. Sebab itu memiliki kebenaran yang juga diakui oleh dunia Internasional. Jika tidak maka Pemerintah semakin tidak memiliki legitimasi untuk berkuasa. Dan rakyat akan tiba pada kesimpulan, masih adakah pemerintah? Lebih baik pemerintah diganti saja?

3) Ini juga merupakan sebuah program (berkarakter taktik) agar para ekonom-ekonom keblinger di Indonesia yang selalu memberikan solusi-solusi yang katanya rasional padahal sesungguhnya justru melanggengkan jebakan utang. Sehingga mengakui dan mau bertindak bersama-sama untuk mengkampanyekan dan menuntut kebenaran Hair Cut.

4) Selain juga menjadi batu loncatan atau pintu masuk untuk menjelaskan ketepatan-ketepatan program utama penghapusan utang luar negeri (write off).

Seluruh program –program ini hanya bisa dijalankan jika pemerintah yang ada bersedia untuk memakai kekuasaan politiknya demi kepentingan pengurangan kemiskinan (yang sesungguhnya) dan juga pembangunan manusia (yang sejatinya). Maka karakter pemerintahan yang dapat melaksanakan ini hanyalah pemerintahan dengan karakter Kerakyatan, Bersih dan juga Merdeka dari intervensi IFI dan Mafia Barkeley’s.

Membangun Tenaga Produktif untuk Industrialisasi Nasional

“ Soal kapital menjadi halangan besar untuk memajukan industrialisasi di Indonesia. Rakyat sendiri tidak mempunyai kapital. Kalau industrialisasi mau berarti sebagai jalan untuk mencapai kemakmuran rakyat, perkataan-perkataan ‘kemakmuran untuk rakyat’ mestilah kapitalnya datang dari pihak rakyat atau dari pihak pemerintah. Karena, kalau kapital harus didatangkan dari luar, tampuk produksi terpegang oleh orang luaran. Pedoman bagi mereka artinya bagi penanam modal asing untuk melekatkan kapital mereka di Indonesia ialah keuntungan. Keuntungan yang diharapkannya mestilah lebih daripada yang biasa, barulah berani mereka melekatkan kapitalnya itu. Supaya keuntungan itu dapat tertanggung, maka dikehendakinya supaya dipilih macam industri yang bakal diadakan, dan jumlahnya tidak boleh banyak. Berhubung dnegan keadaan industri, agraria dan tambang yang paling menarik hati kaum kapitalis asing itu. Dan dengan jalan itu tidak tercapai industrialisasi bagi Indonesia, melainkan hanya mengadakan pabrik-pabrik baru menurut keperluan kapitalis luar negeri itu saja. Sebab itu, industrialisasi dengan kapital asing tidak dapat diharapkan.”

Dr. Hatta, dalam karangannya “Soal Industrialisasi Nasional

Pada tahun 2005, United Nation Industrial Development Organisation (UNIDO) menempatkan Indonesia dalam peringkat industrialisasi terbawah diantara negara-negara ASEAN[32]. Menurut mereka, lemahnya sektor ini disebabkan oleh daya saing yang lemah dan minimnya upaya (dana) untuk riset dan pengembangan. Dari uraian-uraian sebelumnya tentang program nasionalisasi industri pertambangan dan penghapusan hutang, pasti kemudian akan muncul pertanyaan: akan dike manakan pencadangan modal sebesar itu? Jawabannya adalah dipergunakan sebesar-besarnya untuk memajukan tenaga produktif rakyat. Prinsip yang harus dipegang adalah arah dari kebijakan ekonomi yang harus ditempuh adalah yang sanggup memberi jalan keluar terhadap keterbelakangan tenaga produktif nasional; bersifat massal untuk mengatasi ledakan pengangguran akibat kebijakan neoliberal; mampu memberi jalan keluar penyelamatan industri dalam negeri yang saat ini sekarat dan mengalami kebangkrutan masaal; serta yang pengelolaan, tujuan, dan hasil-hasilnya dibadikan untuk kepentingan mayoritas rakyat dan bukan segelintir elit kapitalis asing dan kapitalis dalam negeri yang menjadi kroninya yang serakah seperti yang selama ini terjadi. Singkatnya arah dari perspektif ekonomi masa depan adalah meletakan dasar-dasar dan syarat-sarat ekonomi dan sosial bagi program industrialisasi nasional yang berhasil agar tercipta landasan ekonomi nasional yang modern dan kokoh dan sanggup membuka lapangan kerja secara massal. Untuk itulah kenapa menjadi sangat penting untuk membangun industri (baja, mesin terutama mesin untuk modernisasi pertanian, farmasi, petrokimia, otomotif, telekomunikasi, serat optik dsb), juga penguasaan nasional terhadap seluruh industri nasional, sehingga tercipta lapangan kerja secara luas. Sementara program pendidikan (dari TK hingga perguruan tinggi) dan kesehatan gratis (dari biaya rawat inap, konsultasi medis, dan obat-obatannya) dibutuhkan untuk mencetak sumber daya kapital, sumber daya manusia yang terus meningkat kemampuan dan kualitasnya. Industri dalam negeri yang sudah ada, yang saat ini terancam kebangkrutan massal juga harus diselamatkan, karena jika tidak barisanb penagngguran akan bertambah panjang.

Industrialisasi tidak hanya dimaksudkan agar kontribusi sektor industri dalam pendapatan nasional makin meningkat, tetapi harus dilaksanakan dengan tujuan-tujuan yang lebih luas cakupannya, khususnya agar tingkat kesejahteraan masyarakatnya makin membaik dan makin merata. Oleh karena itu, persoalanpersoalan sosial dalam kehidupan masyarakat yang nampak lambat perkembangan penanggulangannya pelu dijadikan pertimbangan penting di dalam memilih strategi pelaksanaan industrialisasi. BPS menyebutkan bahwa pada bulan Februari 2006 tingkat pengangguran terbuka mencapai 10,4% dari jumlah angkatan kerja atau sekitar 11 juta orang. Mungkin kita akan sedikit berlega hati, dari sepuluh orang Indonesia, sembilan orang memiliki pekerjaan. Tentu tidaklah semudah itu penalarannya. Nyatanya BPS juga memiliki data bahwa dari seratusan juta angkatan kerja kita, 60,6 juta orang bekerja pada sektor informal[33]. Besarnya sektor informal merupakan konsekuensi logis lemahnya perindustrian di tanah air. Mungkin gambarannya sekarang akan menjadi: dari sepuluh orang Indonesia (angkatan kerja), satu orang menganggur, enam orang bekerja tanpa kepastian, sisanya bekerja normal. Pun perlu digaris bawahi, orang yang ‘bekerja normal’ sebagian besar saat ini sangat rentan kondisinya di bawah penerapan UU No.13/2003 ataupun revisinya (jika yang terakhir ini akhirnya disahkan). Dari data-data yang telah disebutkan, setidaknya kita telah memiliki satu pijakan untuk merealisasikan industrialisasi nasional: potensi sumber daya manusia yang melimpah[34]. Tetapi harus menjadi catatan adalah bahwa tenaga kerja kita masih sangat lemah produktivitasnya.

Lemahnya tenaga produktif dapat digambarkan dari banyaknya pengangguran dan pekerja sektor informal di suatu negara. Padahal menurut hukum ekonomi politik, produksi adalah basis kehidupan dan perkembangan masyarakat. Dan faktor yang paling menentukan dalam semua aktivitas produksi adalah manusia itu sendiri, tenaga kerjanya (baca: tenaga produktif). Maka pertanyaannya adalah: apa yang membentuk tenaga produktif? Atau dengan kata lain, syarat-syarat apa saja yang menjadikan seseorang produktif? Untuk bisa menjadi produktif, kebutuhan primer (dasar) dan sekunder (penunjang) warganya haruslah dipenuhi secara mutlak oleh negara. Kebutuhan primer manusia mencakup sandang (pakaian), pangan (makanan dan minuman), dan papan (tempat tinggal atau perumahan). Sedangkan kebutuhan sekunder mencakup pendidikan, kesehatan, rekreasi dan olahraga. Fakta bahwa negara sangat sedikit campur tangannya dalam pemenuhan kedua hal di atas bagi warganya, dengan malah melemparnya ke mekanisme pasar, membuat dampak-dampak seperti kemiskinan dan lemahnya tenaga produktif menjadi sangat logis. Lemahnya akses masyarakat kepada pemenuhan syarat-syarat produktivitas mereka akbat kemiskinan, akan menciptakan kemiskinan-kemiskinan yang baru pula. Fenomena itu bagai sebuah lingkaran setan. Satu-satunya jalan untuk memutus rantai lingkaran itu adalah: negara harus melakukan intervensi untuk membuka seluas-luasnya akses mayarakat dalam pemenuhan syarat-syarat tenaga produktif mereka. Akses rakyat terhadap makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan rekreasi haruslah dibuka seluas-luasnya. Kesemuanya haruslah mendapat perlindungan (subsidi) dari pemerintah. Pada tahapan awal haruslah ada yang digratiskan seperti pendidikan dan kesehatan sebagai pemacu awal.

Basis kekayaan alam (bahan mentah) untuk Industrialisasi Nasional

Pijakan lainnya terletak pada kekayaan asli tanah Nusantara. Kita harus tahu secara pasti tentang betapa kayanya negara kita- yang menjadi sangat kontradiktif dengan kemiskinan yang menimpa mayoritas rakyat. Negara kita yang merupakan negara tropik berposisi geografik strategis, menempati kawasan yang sangat luas[35] dengan banyaknya pulau-pulau[36] dan garis pantai terpanjang di dunia[37]. Luas daratan kita sekitar 191 juta hektar, sedangkan teritori laut sekitar 317 juta hektar[38]. Dari gambaran kondisi iklim dan luasnya wilayah, sangat bisa dibayangkan betapa kayanya negara ini. Kekayaan alam yang tidak terbarukan[39] tentu sudah banyak diketahui karena telah lama menjadi incaran kaum imperialis dan sebagian besarnya telah dikeruk. Tapi mari coba kita tengok kekayaan alam kita yang mampu diperbaharui (renewable), keaneka ragaman hayati Indonesia sangatlah dahsyat. Kekayaan hayati di daratan[40] tercatat menduduki peringkat no.2 di dunia dan jika di gabung dengan kekayaan laut (darat + laut), peringkat no. 1!

Tetapi janganlah lupa diri, kekayaan bahan mentah (hayati dan non-hayati) yang kita miliki harus dinaikkan ‘nilai tambah’-nya dengan suatu ‘proses produksi’. Gelondongan kayu akan lebih memiliki ‘nilai tambah’ jika sudah berwujud kursi atau meja. Dan bukankah sedari awalnya perkembangan umat manusia ditentukan oleh produksi barang/komoditi. Sedangkan proses nilai tambah itu sendiri merupakan proses kompleks yang berjalan terus rnenerus dan hanya dapat dikatakan berhasil jika pemanfaatan mesin-mesin, ketrampilan manusia, dan material sepenuhnya dapat diintegrasi oleh teknologi sehingga menghasilkan produk barang dan jasa yang bernilai lebih tinggi dari nilai material dan masukkan lainnya.

Strategi Industrialisasi Nasional

Dengan kedua pijakan tersebut, seharusnya sudah lengkap syarat-syarat untuk mewujudkan industrialisasi nasional. Tidak terhitung berapa banyaknya industri massal yang mampu kita bangun dari hilir ke hulu plus industri penunjangnya (jasa). Sekarang adalah mengenai strategi pembangunannya. Untuk bisa merumuskan strategi yang baik, haruslah dilihat potensi dan permasalahannya (kondisi industri yang sudah berjalan). Untuk potensi sudah cukup banyak dipaparkan, tinggal permasalahannya. Gambaran permasalahan dunia perindustrian kita adalah sebagai berikut:[41]

  1. Sektor pertanian cukup besar kontribusinya pada PDB, sekitar 18,5% dan sebagian besar tenaga kerja mendapatkan nafkah dari sektor ini, yaitu sekitar 54%. Akan tetapi disisi lain tingkat upah di sektor ini sangat rendah dibanding sektor industri, yaitu sekitar setengahnya.
  2. Produk sektor pertanian sebagian besar tidak diolah lanjut menjadi komoditas yang tinggi nilainya, baik untuk pasaran dalam negeri maupun untuk export, seperti beras, aci (tepung cassava), minyak goreng, crumb rubber, sheet, bungkil, teh, kopi, ikan, udang, kayu lapis, cengkeh, dan sebagainya. Penggunaan karet untuk dijadikan komoditas yang lebih tinggi nilainya masih terbatas pada ban mobil dan sejenisnya, belum mencakup konversi menjadi material konstruksi dengan sifat-sifat khusus ataupun komponen permesinan yang berkualitas tinggi. Ekstrak dari tumbuh-tumbuhan untuk bahan obatobatan, misalnya masih sangat terbatas dan pengolahan lanjut dari ekstrak semacam itu juga lebih terbatas lagi.
  3. Produk-produk sektor pertambangan juga belum diolah, atau sangat sedikit yang telah diolah menjadi komoditas-komoditas yang bernilai tinggi, seperti high performance steel, high performance ceramics, senyawa organo-metalik, monomer, synthetic polymers, dan sebagainya.
  4. Kemampuan produksi barang modal pada umumnya masih sangat terbatas pada struktur-struktur statik, seperti tangki, anjungan, tiang listrik, badan pesawat terbang, boilers, chassing, dan sejenisnya. Produksi rotary dan dynamic devices seperti turbin, kompressor, mesin-mesin perkakas (machinetools), dan sebagainya pada umumnya terbatas pada perakitan, atau belum dilaksanakan.
  5. Telah terakumulasi kemampuan teknologi untuk mengoperasikan sistemsistem yang komplex, seperti pembangkit listrik, pabrik pupuk, pabrik LNG, dan sejenisnya; juga dalam hal perakitan dan konstruksi berbagai jenis struktur, serta dalam melakukan system-design.
  6. Kemampuan dalam produksi barang-barang elektronik sangat terbatas pada pengoperasian sistem produksi komponen dan perakitan barang-barang konsumen. Kemampuan produksi barang elektronik untuk pemakaian profesional, seperti instrumen untuk pengukuran dan pengendalian otomatik, komputer, dan sejenisnya dapat dikatakan belum terjangkau.

Mempertimbangkan faktor-faktor yang dikemukakan diatas, maka strategi dasar yang digagaskan dalam upaya industrialisasi adalah melengkapi dan memperkuat, dan bila perlu memodifikasi pendekatan dan pelaksanaan industrialisasi yang kini berlangsung dengan memberi penekanan pada upaya:

  1. Memanfaatkan sebesar-besarnya kemampuan dan kekuatan yang telah dipunyai, dan yang selama ini telah menunjukkan ketahanan dan ketangguhan dalam menopang perkembangan ekonomi komoditas, yaitu sektor pertanian, dengan cara mengalokasikan upaya yang besar untuk menegakkan industri yang berbasis pada pemanfaatan produk-produk pertanian menjadi komoditas yang bernilai tambah tinggi dan dibutuhkan di dalam negeri serta mempunyai peluang yang baik di pasar internasional;
  2. Menegakkan berfungsinya industri teknologi, yang pada taraf mula ditekankan bagi berkembangnya industri pemroses hasil pertanian menjadi komoditas yang lebih canggih, sebagaimana dikemukakan di butir sebelumnya.

Untuk mewujudkan strategi dasar tersebut langkah-langkah yang harus dilaksanakan adalah:

- Mengenali dan menerapkan teknologi budi daya yang lebih produktif dan efisien di sektor pertanian, baik dalam budi daya tanaman, pengusahaan hutan, maupun dalam budi daya ternak dan perikanan;

- Meniadakan hambatan-hambatan institusional dalam perdagangan hasil-hasil sektor pertanian, khususnya yang menyangkut kebijaksanaan harga serta pengaturan tata-niaga, dan secara bersamaan membuka peluang pasar bagi produk-produk tersebut dengan memfungsikan industri proses pengolah hasil pertanian menjadi produk-produk yang lebih canggih, berpeluang pasar, dan berdaya saing;

- Mengerahkan sumberdaya IPTEK (dengan pendanaan yang mencukupi) untuk melakukan penelitian dan pengembangan yang mendukung pada terbentuknya preskripsi-preskripsi teknologis dalam berbudi daya, menggunakan teknik-teknik bio-teknologi, dan dalam memproses hasil budi daya menjadi komoditas-komoditas canggih;

- Mengalokasikan sumberdaya nasional untuk menumbuhkan industri peralatan proses (process equipment industries) dan mengembangkan keahlian-keahlian yang diperlukan untuk itu, baik dalam perancangan dan fabrikasi dan konstruksi peralatan proses, maupun di dalam melakukan proses-proses alih teknologi;

- Menegakkan industri teknologi, terutama yang memfokuskan perhatian dan upaya dalam penciptaan proses-proses pengolahan hasil-hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan(kelautan) dan menciptakan sistem-sistem pemroses (peralatan proses) untuk mengakomodasi pelaksanaan proses-proses yang dikembangkan tersebut. Secara ringkas, strategi dasar yang diturunkan dengan pendekatan analitis sebagaimana diuraikan terdahulu, pada dasarnya merumuskan langkah-langkah untuk memperkuat upaya yang tertuju pada pelaksanaan industrialisasi yang secara eksplisit merujuk kepada penekanan untuk menggunakan landasan kekuatan ekonomi yang telah tersedia, yaitu sektor-sektor yang telah disebutkan di atas[42].

Inti dari pendekatannya adalah meningkatkan keterkaitan sektor-sektor tersebut dengan sektor industri manufaktur, dan upaya yang dipilih untuk itu adalah:

• Meningkatkan permintaan agregat terhadap komoditas hasil sektor pertanian dan lainnya dengan mendorong pertumbuhan investasi di sektor manufaktur yang tertuju pada pengolahan hasil-hasil pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan, dll untuk menghasilkan komoditas yang canggih, bernilai tambah tinggi, dan mempunyuai permintaan pasar yang tinggi di dalam negeri dan di pasar internasional;

• Memperkuat industri alat-alat proses agar lebih mampu menyediakan dan menanggapi permintaan barang modal yang diperlukan dalam industri manufaktur pengolah hasil pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan dll;

• Meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor pertanian, perikanan, perkebunan, dll dengan melakukan intervensi teknologis, sehingga sektor ini mampu menanggapi permintaan yang dibangkitkan dari upaya yang dikemukakan di butir pertama, tidak hanya dalam kuantitas tetapi juga dalam memenuhi dinamika perubahan persyaratan yang dikehendaki;

Jika semuanya sudah lengkap, maka yang menjadi kekurangan selama ini adalah political will dari pemerintah. Tetapi hal tersebut adalah sangat wajar karena semenjak orde baru watak pemerintah Indonesia selalu berpihak kepada kaum imperialis, bukan kepada rakyatnya. Persoalan kemampuan manusia Indonesia (dalam bidang teknologi) untuk mewujudkannya pun seharusnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Kita tentu masih ingat bagaimana putra-putra terbaik bangsa baru-baru ini meraih empat medali emas di Olimpiade Fisika Internasional setingkat SMU yang diadakan di Singapura[43]. Atau bagaimana dengan mahasiswa-mahasiswa Strata-1 dari Teknik Elektro ITB yang belum lama ini karya ilmiah mereka tentang teknologi informasi dan komunikasi diberi penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik dalam The 9th LSI Design Contest in Okinawa 2006 yang diselenggarakan di Jepang[44]. Prestasi yang sangat membanggakan bila melihat “lawan-lawan” mereka adalah mahasiswa-mahasiswa program Master di Universitasnya.Belum lagi jika kita menengok banyaknya paten dalam bidang teknologi yang dihasilkan oleh akademisi-akademisi pribumi. Salah satunya adalah Dr. Gede wenten yang paten pertama sebagai hasil disertasi doktoralnya langsung mendapat perhatian dunia membran bahkan disebut–sebut sebagai revolusi terbesar pada industri bir dalam 50 tahun terakhir. Paten pertamanya tentang klarifikasi bir di Denmark ini adalah karya yang pertama mengangkat namanya, sempat diperebutkan oleh perusahaan bir dunia termasuk Carlsbreg walau akhirnya dibeli oleh perusahaan bir X-Flow dari Belanda [45]. Kalaupun ada teknologi yang kita perlukan tapi belum kita kuasai, kita tinggal menyewa patennya sambil terus diupayakan untuk mencari alternatifnya.

Dengan demikian sudah jelaslah bahwa: Hapuskan Hutang; ambil-alih perusahaan tambang: bangun pabrik (industri) nasional demi kesejahteraan rakyat!! haruslah menjadi panji-panji utama yang diusung rakyat dalam perjuangannya mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Rakyat harus bersatu dalam mengusung ketiga panji tersebut- maka kita bisa menyebut ketiganya sebagai Tri Panji Persatuan Nasional. Tidak ada lagi alasan menghindar bagi pemerintah untuk merealisasikan keseluruhan Tri Panji Persatuan Nasional sebagai jalan keluar krisis bangsa. Rakyat tidak bisa terus berharap (untuk kemudian dibohongi) pada pemerintahan kita yang merupakan antek imperialis, yang dengan setianya terus menerapkan kebijakan neo-liberal yang menyengsarakan mereka. Melalui kekuatannya sendiri rakyat harus berusaha merebut pemerintahan, untuk kemudian medirikan suatu pemerintahan alternatif persatuan rakyat yang bersendikan pada Tri Panji Persatuan Nasional.



[1] Hingga tahun 2001 sebanyak 890 ijin Kontrak Karya, Kuasa Pertambangan, dan PKP2B (Perjanjian Kerja Pengusaha Pertambangan Batubara) telah diberikan negara dengan penguasaan lebih dari 35% daratan kepulauan Indonesia. Angka-angka itu belum termasuk penguasaan pertambangan galian C (tambang pasir, marmer, dsb).

[2] beralaskan UU Penanaman Modal No.1 tahun 1967 dan UU No.11 tahun 1967 tentang Pertambangan Umum

[3] Situs Kementerian ESDM, Oktober 2004

[4] Sepanjang 1993-1995 hanya berkisar 2,54-2,92%; tahun 2002 hanya beranjak sedikit ke angka 2,7%

[6] kontrak kerja di sektor pertambangan sudah saatnya dirubah menjadi kontraktor bagi hasil (Kontraktor Production Sharing). Di bidang perminyakan, kontrak kerja sudah ditinggalkan sejak 1963 karena dinilai tidak adil bagi negara penghasil minyak. Dia menilai kontrak kerja yang diterapkan pada produk pertambangan tidak adil, karena harga dan jumlah produk yang dijual semuanya dikendalikan oleh investor. Kondisi ini, menyebabkan pemerintah tidak bisa memberikan jaminan kepada rakyat bahwa apa yang diperoleh negara dari investor sudah maksimal.

[8] Karena hampir semua produksi minyak dan gas bumi diperuntukkan untuk ekspor.

[9] JATAM: Indonesia Bangkrut

[10] Detik.com 28 Juli 2006

[12] Cost recovery merupakan pengeluaran negara untuk membiayai investasi pengembangan lapangan migas sehingga pendapatan dari migas harus dipotong cost recovery dulu baru masuk kantong pemerintah. Total cost recovery yang dikeluarkan pemerintah untuk migas 2005 membengkak 50,9% atau US$2,54 miliar dari US$4,99 miliar pada 2004 menjadi US$7,53 miliar.

[13] Bisnis Indonesia : Friday, June 30, 2006

[14] Berdasarkan UU Migas No.22/2001, Pertamina diarahkan untuk menjadi perusahaan yang terpecah-pecah menjadi berbagai anak-anak perusahaan, yang kemudian pada tahun 2010 diharapkan sudah siap untuk diprivatisasikan melalui penawaran saham umum.

[15] Bank Dunia pada tahun 2004 menyebutkan bahwa sekitar 52,4% (kurang lebih 115 juta) dari total populasi penduduk harus hidup di bawah US$2 per hari (sekitar Rp 600 ribu per bulan)

[16] Tujuannya adalah merebut kedaulatan ekonomi dari raksasa-raksasa modal AS, untuk dipergunakan bagi kemajuan tenaga produktif dan kesejahteraan rakyat

[17] Tercatat 20 maskapai asing telah mau menanda tangani ketentuan-ketentuan hukum yang baru dalam rangka membentuk joint-venture untuk pengelelolaan 25 lapangan minyak. Di antara maskapai-maskapai itu terdapat REPSOL YPF (perusahaan campuran Spanyol-Argentina), Royal Dutch, Shell, China National Petroleum

[18] tetapi lalu digulingkan oleh Amerika.

[19] Jelas dilampirkan dalam Pasal 21-22 UU PMA bahwa keberadaan hak kepada investor asing yang melakukan penanaman modal yang dibolehkan dalam UU PMA untuk melakukan arbitrase terhadap pemerintah Indonesia jika terjadi pemutusan secara sepihak.

[20] Himbauan nasionalisasi ini tertuang secara hukum di PP 13/1960 (nasionalisasi industri perbankan), PP 50/1959 (nasionalisasi industri pertambangan), PP 45/1959 (nasionalisasi industri maritim), PP no. 012/1959 (nasionalisasi peternakan dan perkebunan), PP no. 018/1959 (nasionalisasi industri gas dan listrik), dll.

[21] Hal ini ditunjukkan secara jelas, pada Tahun 1957, dengan dibenuknya Badan Nasionalisasi (BANAS) oleh Sukarno untuk melaksanakan ambil alih, atau Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda, dengan Ketua Harian BANAS Bapak D. Suprayogi (Mayjen), dan Bapak Suhardiman (Kapten-TNI-AD) sebagai Sekretaris BANAS. TMSU (Tambang Minyak Sumatera Utara) diserahkan kepada KASAD. Di zaman PM Ir. H. Juanda, 22 Juli 1957 -- setelah rapat umum yang dihadiri 15 ribu orang di Pangkalan Berandan 16 Juni 1957 -- Menteri Perindustrian dan Perdagangan IR. Inkiriwang menyerahkan kekuasaan mengenai TMSU kepada KASAD Jenderal AH. Nasution. Sebagai pemegang saham atas nama Pemerintah Republik Indonesia bertindak Ibnu Sutowo dan asistennya Mayor Harijono

[22] Belum jika ditambah dari hasil penyitaan aset-aset MNC-MNC migas.

[24] Susan George dalam A Fate Worse Than Debt (Grove Weidenfeld, 1990)

[25] Di tahun 1969, 1 dollar AS sama dengan Rp 387, Sekarang 1 dollar AS sama dengan Rp 10.000. ini berarti Dalam kurun waktu yang sama, penurunan nilai tukar rupiah dari 2.600 persen

[26] Sebagai perbandingan, cicilan pokok dan bunga hutang luar negeri setara dengan 30-40% dari total pendapatan pajak. Jika ditambahkan dengan beban bunga hutang obligasi rekapitalisasi perbankan, yang sekarang ini melalui program privatisasi/divestasi (ini juga kebijakan yang muncul sebagai syarat pencairan hutang) dimana 40% bank nasional sudah dikuasai asing, maka beban pembayaran hutang setiap tahunnya menghabiskan anggaran setara lebih dari setengah pendapatan pajak nasional.

[27] Jeffrey Winters menyebutkna hingga krisis ekonomi 1997, hutang Indonesia yang layak disebut hutang najis (odious debt) sedikitnya US$30 miliar, dimana US$10 miliar dari Bank Dunia, sisanya dari ADB, serta lembaga multilateral dan bilateral lainnya.

[28] Lampiran Peraturan Presiden RI NO 30 TAHUN 2005 Tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.

[29] Data IGJ.

[30] Majalah Bisnis

[31] Nigeria merupakan salah satu negara yang masuk dalam HIPC

[32] Tempo Interaktif, 8 Maret 2005

[33] sektor pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan yang tetap dan tiadanya keamanan kerja (job security) atau tidak ada status permanen atas pekerjaan

[34] jumlah angkatan kerja kita mencapai 106,2 juta

[35] 1,3 % dari muka bumi

[36] 13 - 17 ribu pulau, hanya ± 6000 di antaranya berpenduduk

[37] ± 81.000 km

[38] menjadi 473 hektar dengan Zona Ekonomi Ekslusif

[39] minyak bumi, gas bumi, batubara, aluminium, tembaga, nikel, emas, besi, mangan, dll.

[40] ± 800 spesies tanaman pangan dan ± 1000 spesies tanaman medisinal

[41] Saswinadi SASMOJ, ‘Science, Teknologi, Masyarakat, dan Pembangunan’

[42] pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan(kelautan)

[43] Hanya kalah dari Tim Cina. Kompas, 16 Juli 2006

[45]