Dialektika Hegel saya rasa cukup dikenal di kalangan para pecinta Ilmu ilmu sosial. Sebagai sebuah doktrin yang cukup mampu bertahan dan diikuti oleh banyak orang dialektika Hegel ibarat sebuah teori Newton yang diamini dan dianggukki oleh sosiolog maupun pemerhati sosial yang lainnya. Ketika menjelaskan atau berusaha menerangkan tentang proses-proses sosial, dialektika hegel ini selalu saja banyak dicopot dan dijadikan sebuah penjelasan. Proses sosial memang sepertinya bekerja seperti dialektika Hegel ini, namun bagi saya Dialektika Hegel cukup melenakan dan menjauhkan atas kekomplekan apa yang terjadi sebenarnya. Doktrin ini melemahkan, menyempitkan dan menyederhanakan realita Proses Sosial yang ada. Doktrin Hegel ini memang cukup menarik dan cukup memberikan suatu penjelasan yang keliatannya rasional.
Dikembangkan dari filsafatnya Kant yang tertulis di Critique of Pure Reason, Dialektika Hegel kemudian mereduksi dan mengembangkan cirinya sendiri. Sebagai sebuah penjelasan atas proses-proses tertentu, dialektika itu sendiri sudah jauh dari apa yang dimaksudkan oleh Kant. Dialektik terdiri dari Ritme Tiga Hentakan: Thesis, AntiThesis dan Sintesis. Thesis dan Anti Thesis dikembangkan oleh hegel dari Antinomi-antinominya Kant yang notabene membahas mengenai batas-batas dari rasionalitas kita atau merupakan kritik atas rasionalitas kita (Critique of Pure Reason) yang mengatakan bahwa kita tidak akan mampu memahami sesuatu yang sifatnya seperti ketakberhinggaan dan bersifat dua kutub, bipolar. Kita akan selalu menemui jalan buntu (antinomi) yang berlawanan satu sama lain ketika berusaha memahami semisal waktu atau ruang. Silahkan search tulisan saya yang lain mengenai Antinomi Kant soal waktu dan ruang ini. Akan tetapi Hegel mengambil jalan lain. Sembari mengatakan bahwa Kant memang benar bahwa dalam banyak hal di kehidupan kita adalah merukpakan antinomi-antinomi akan tetapi diantara dua buah kutub tersebut bisa muncul gabungan dari dua kutub tersebut.
Dalam hal ini sebenarnya Hegel membuat antinomi Kant menjadi melebar dan menyentuh apa yang sebenarnya tidak ingin dikatakan oleh Kant. Hegel kemudian mengadopsi antinomi Kant ini dalam sebuah doktrin Dialektika Sosialnya. Thesis, merupakan sesuatu yang pada dasarnya berkebalikan dengan AntiThesis. Dalam sebuah ide AntiThesis merupakan lawan atau kutub yang berkebalikan dengan Thesis. Pro dan Kontra istilahnya. Namun ketika Thesis dan AntiThesis ini bergejolak dan bertemu di dunia nyata maka suatu saat akan timbul hal baru yang merupakan akomodasi atau hasil-hasil dari benturan keduanya (entah itu kompromi, win-win solution, perjanjian, atau ide2 baru, dan semua proses sosial atau budaya baru) yang ia sebut sebagai Sintesis. Sintesis kemudian bisa menjadi Thesis dan kemudian menemukan AntiThesisnya dan melahirkan Sintesis baru. Demikian seterusnya.
Setidaknya menurut Hegel Dialektika ini merupakan sebuah proses yang mati. Istilah kerennya Dialektika ini adalah Hukum Sosial yang berlaku untuk semua waktu dan semua tempat. Kalau dalam Fisika atau ilmu dikenal dengan Hukum Newton maka Dialektikanya ini merupakan Hukum Sosialnya. Seluruh Proses Sosial kemasyarakatan merupakan proses yang pada dasarnya berdialektika seperti ini, demikian kata Hegel. Tentunya ini merupakan dukungan dari Ide Sosial yang ia sebut sebagai Roh Masyarakat (Zeitgeis kalau tidak salah, tolong dikoreksi ya). Akan tetapi sebagai sebuah doktrin yang sudah mengurat akar di kalangan sosial (saya kok yakin setiap ilmuan sosial mengenal bahkan sering meyakini Doktrin ini), jika dianggap sebagai sebuah keimanan, hal ini akan membahayakan dan merupakan kekeliruan atau penyederhanaan yang berlebihan. Kecenderugan Historisis dalam Dialektika ini sangatlah tinggi. Seperti Kehendak Hukum Tuhan mungkin.
Ah, saya juga tidak begitu mengerti. Tolong dikoreksi dan dibantah jika saya keliru dalam memahaminya.
Salam Penuh Tanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar