“Apa yang kau pelajari disekolah hari ini, anakku? Apa yang kau pelajari disekolah hari ini, anaku? Aku di ajari bahwa Washinton tidak pernah berdusta, Aku diajari bahwa tentara itu tidak gampang mati, Aku diajari bahwa setiap orang punya kebebasan, begitulah yang diajarkan guruku. Itulah yang aku pelajari di sekolah hari ini, itulah yang aku pelajari di sekolah...” inilah kutipan dari lirik lagu Tom Paxton yang dinyanyikan Pete Seeger. Namun sangat miris, lagu ini tidak berdengung merdu saat kenyataan di Indonesia yang mayoritas masyarakat tidak mampu mengeyam pendidikan karena pendidikan semakin mahal. Layaknya mitos, Uang seolah-olah menjadi peri yang mengabulkan cita-cita dan mimpi seseorang. Dalam negeri ini, seragam menjadi lebih berharga dari pada esenssi dan tujuan pendidikan.
Seragam saat ini menjadi sebuah simbol dalam dunia pendidikan di indonesia. Layaknya sebuah fashion, seragam mampu mencitrakan sebuah identitas dimana seragam menunjukan nilai sosial dan status sosial. Namun tidak hanya itu, dalam simbolisasi seragam juga tersimpan ideologi yang tersembunyi. Dengan demikian, mekanisme gerak ideologi beriringan dengan sebuah interaksi simbolik dan menjadikan sebuah konstruksi sosial yang mempengaruhi tindakan dan interaksi ketika sebuah simbol dilekatkan, karena manusia akan bertindak terhadap sebuah simbol ketika ia mampu mengartikan dan memaknainya.
Kenyataannya seragam dalam dunia pendidikan di Indonesia hanya sebagai bahan untuk mengidentifikasi peran sosial. Seragam tidak dimaknai melalui proses interpretasi dan akhirnya tidak ada pengaruh yang sangat signifikan terhadap sebuah sistem pendidikan. Seragam dalam dunia pendidikan hanya sebuah simbol untuk mendefinisikan peran sosial. Seandainya seragam ini dimaknai sebagai simbol yang mempunyai nilai universal dan dimaknai dengan lebih baik akan berdampak positif terhadap perilaku murid untuk berinteraksi dan bertindak layaknya seorang yang sangat terpelajar dan seragam akan menjadi kontrol dari perilaku pelajar yang menyimpang.
Memang dilematis ketika ada penyeragaman ini, disatu sisi seragam bisa menjadi sebuah kontrol perilaku dan di sisi lain seragam tidak terlalu subtansial dalam proses pembelajaran untuk menimba ilmu pengetahuan. Dalam kasus ini, cita-cita negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa lagi-lagi terbentur oleh permasalah anggaran. Sangat di sayangkan ketika warga negara harus “ter-cekik” seragam yang mahal untuk mencoba bernafas menghirup udara sekolahan. Bahkan, ada yang mati “ter-cekik” karena tidak mampu membeli seragam untuk menyekolahkan anaknya. Akhirnya, banyak yang menjadi korban dari biaya seragam yang mahal.
Dapat diresapi, bahwa masih banyak anak bangsa yang putus sekolah karena dampak dari biaya pendidikan mahal. Seharusnya pemerintah lebih responsif dalam permasalah yang menjadi gejala akut dalam dunia pendidikan. Selain itu, dalam menentukan anggaran pendidikan sebaiknya pemerintah menggunakan bentukpartisipatory budgeting system, yakni bentuk sistem yang mengikutsertakan peran publik dalam proses menentukan anggaran dan transparansi lewat proses yang lebih demokrasi.
Asumsi dasar bentuk sistem anggaran berbasis partisipasi adalah publik sebagai pihak yang paling berhak untuk mengelola dan mengalokasikan anggaran yang dimiliki pemerintah, sehingga publik mempunyai ruang yang besar untuk mengatur sebuah anggaran pemerintahnya untuk kepentingan publik. Dengan demikian, kebijakan pemerintah dapat bersinergi dengan aspirasi rakyat untuk menyelesaikan permasalahan publik dalam hal anggaran pendidikan sekolah. Walaupun, dalam kenyataannya pemerintah memang lebih menyukai mengalokasikan penganggarannya sendiri ketimbang melibatkan partisipasi publik. Karena itu, pengagaran jenis partisipasi menuntut sebuah komitmen dari pemerintah.
Perlu diingat bahwa pendidikan bukanlah sebuah ornamen yang berdiri indah dan hanya dapat dilihat tanpa dimiliki. Sistem pendidikan memang sangat kompleks dan pendidikan di Indonesia memiliki banyak rintangan dalam perjalanannya. Sehingga, pemerintah bersamaan dengan publik harus memberikan perhatian ekstra terhadap dunia pendidikan. Melihat realitas pendidikan yang semakin komersil menjadikan kita harus responsif melihat pengagaran secara menyeluruh tidak hanya pengagaran dalam hal pendidikan melainkan pengangaran pembangunan yang lain dengan tidak menegasikan begitu saja. Pada akhirnya lagi-lagi, pemerintah sebagai ujung tombak dari pemenggang kebijakan harus mampu memahami segala permasalahan dengan maksud agar pemerintah dapat menentukan prioritas utama yakni, pendidikan untuk semua warga negara bukan seragam untuk semua warga negara.
Sejatinya tujuan pendidikan tidak hanya sebuah proses membuat orang yang tidak tahu menjadi tahu (pencerahan). Namun, pendidikan sebagai character buildding nation (pembentuk sebuah bangsa). Apa bila kita cermati, pendidikan adalah sebuah media pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam pendidikan, seragam (symbol) bukanlah hal yang sangat subtansial dalam pengembangan ilmu pengetahuan karena proses pendidikan yang hakiki adalah proses pemberubahan mind set perserta didik sebagai`agent of enlightment.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar