Tolak Komersialisasi Kampus
Oleh ; Administrator
Namanya Widya, mahasiswa semester satu angkatan 2006, Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Widya dan puluhan kawannya yang lain harus menerima kenyataan pahit tak lagi mampu kuliah karena di droped out (DO). Penyebabnya bukan karena mereka pengguna narkoba atau melakukan tindakan indisipliner, tapi karena masalah klasik : BIAYA!. Widya telat membayar uang kuliah.
Kebijakan rektorat memang mengharuskan barang siapa yang telat membayar SPP dengan alasan apapun tanpa pengecualian (termasuk sakit dan belum punya uang) harus siap menerima sanksi tidak dapat mengikuti semester berikutnya. Jika mahasiswa diatas semester dua agar tidak dianggap mengundurkan diri maka terpaksa mengambil cuti kuliah. Sedangkan bagi yang semester satu (mahasiswa baru) maka statusnya secara otomatis gugur studi alias droped out (Surat Pembaca SINDO 10 Februari 2007).
Bisa dipastikan, Widya dan puluhan kawannya yang lain terpaksa angkat kaki dari kampus akibat kebijakan kampusnya yang tidak manusiawi itu. Lihat bagaimana hukuman bagi mahasiswa tak mampu lebih berat atau setara dengan mahasiswa pengguna narkoba, tawuran atau berbuat tindak kriminal. Kampus menjadi hampir sama dengan “rumah bordil”, yang bisa masuk dan menikmati isi di dalamnya hanya yang memiliki uang. Karena sama dengan rumah bordil, kampus pun penuh sesak dengan orang-orang yang siap memperbudak dirinya demi uang.
Widya pastinya tak sendirian, selain Widya masih banyak jutaan orang yang tak mampu meneruskan kuliahnya atau tak mampu mengenyam bangku perguruan tinggi. Kampus Widya pun tak sendirian. Hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia mematok tarif selangit bagi mahasiswa nya atau kampus yang menerapkan kebijakan yang tidak demokratis, diskriminatif dan tidak berpihak kepada orang miskin. Dunia pendidikan memang hakim yang paling kejam dan tak adil bagi status sosial seseorang.
Badai neo-liberalisme yang menghantam dunia pendidikan ikut menjauhkan orang miskin mendapatkan pendidikan khususnya perguruan tinggi. Privatisasi yang menjadi salah satu program kebijakan neo-liberalisme menjelma menjadi kebijakan pasar bebas dan mendorong pemerintah untuk melakukan penjualan berbagai asset pemerintah, termasuk perguruan tinggi. Privatisasi kampus berarti pemerintah akan mengurangi anggaran pendidikan. Kampus harus membiayai dirinya sendiri. Alasannya, banyak perguruan tinggi yang sudah maju hingga layak dilepas pemerintah. Otonomi kampus inilah yang menjadi landasan kampus memungut biaya semaunya. Belum lagi menerapkan kurikulum dan peraturan-peraturan lainnya yang otoriter dipaksakan kepada mahasiswa.
Maka tak heran jika perguruan tinggi berlomba-lomba menetapkan harga tinggi dengan dalih untuk peningkatan mutu dan kualitas. Padahal tidak selamanya peningkatan mutu dan kualitas diikuti harga yang mahal.
Lalu bagaimana nasib rakyat miskin ditangan Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Nampaknya nasib rakyat miskin untuk mendapatkan pendidikan tak akan berubah. Karena isi RUU BHP adalah melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Kelak tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta. Semuanya dikelola dalam sebuah model privatisasi dan tentunya komersialisasi yang hebat. Lembaga pendidikan yang sebelumnya tidak diperbolehkan melakukan kegiatan bisnis, sebagai BHP diperbolehkan melakukan kegiatan yang mendatangkan keuntungan, sepanjang laba yang diperoleh diinvestasikan untuk peningkatan mutu pelayanan yang diberikan.
Dalam pasal 7 RUU BHP soal Pendanaan dan Kekayaan secara terang dipaparkan bahwa pendanaan awal Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHPT) murni berasal dari masyarakat dan Badan Hukum Perguruan Tinggi. Dijelaskan juga pada ayat 1, dana untuk investasi awal, pengembangan, dan operasi Perguruan tinggi didapat dari masyarakat lewat dana hibah dari dalam dan luar negeri. Di samping itu, Badan Hukum Perguruan Tinggi juga diberi beban untuk menggalang dana lewat aneka usaha.
Pasal 7 ayat 5 menerangkan juga bahwa tugas pemerintah hanya sebatas memberikan bantuan dalam bentuk hibah. Bantuan ini disebut sebagai dana kompetisi, bukan dana rutin, dan bersifat TIDAK WAJIB. Artinya sudah cukup jelas RUU BHP menguatkan lepasnya tanggung jawab negara terhadap pendidikannya. Lantaran sudah otonom, lembaga pendidikan berstatus BHPT dipastikan bakal menjadikan siswa didik sebagai ladang mengeruk dana. Perguruan tinggi di luar negeri juga berstatus otonom. Namun, berbeda dengan Indonesia, di luar negeri pemerintah tidak mencoba lepas tangan. Malaysia misalnya, pemerintah Malaysia tetap membiayai 90 persen biaya pendidikan kendati perguruan tinggi di Malaysia berstatus otonom.
Van Hoof & Van Wieringen dalam suatu konferensi pendidikan tinggi Eropa mengatakan, jika pemerintah suatu negara tidak secara serius memerhatikan arah dan pengelolaan pendidikan tinggi di negaranya, dapat dipastikan pembangunan ekonomi Negara tersebut akan terhambat.
Dampak buruk dari privatisasi dan komersialisasi kampus juga hilangnya solidaritas sosial. Misalnya, jika seseorang kuliah di fakultas kedokteran dengan membayar Rp 250 juta-1 miliar, apa motivasi mereka setelah lulus? Pasti mencari uang agar modal mereka saat kuliah kembali. Itu sebabnya sangat sulit mencari dokter yang peduli dengan orang miskin.
Kita harus belajar dari Negara yang sangat peduli dengan dunia pendidikan seperti di Kuba atau Venezuela. Presiden Venezuela Hugo Chavez pernah mengatakan, “Jika kita (pemerintah) ingin menyejahterakan rakyat miskin maka berilah rakyat miskin kekuatan. Dan kekuatan itu bernama pendidikan. Maka berilah rakyat miskin pendidikan” ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar