Mencermati UU Badan Hukum Pendidikan
Walau Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan agar sektor pendidikan diberi anggaran minimal 20 persen dari total APBN dan APBD, pemerintah tak kunjung mematuhinya. Justru yang dilakukan sebaliknya, mendorong agar Rancangan Undang-Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan secepatnya disahkan.
RUU tersebut akan melegalkan pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan. Tidak hanya di perguruan tinggi, tapi juga di sekolah, termasuk pada tingkat pendidikan dasar; sekolah dasar, dan sekolah menengah pertama. Setidaknya ini tergambar dalam draf RUU Badan Hukum Pendidikan versi 12 Oktober 2005. Dari 35 pasal, tidak ada satu pun yang mengatur kewajiban pemerintah dalam penyediaan dana pendidikan.
Pada bagian pendanaan dan kekayaan, yaitu pasal 22 ayat 3, hanya disebutkan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan sumber daya dalam bentuk hibah kepada badan hukum pendidikan sesuai dengan penugasan yang diberikan. Pada ayat 4 disebutkan bahwa hibah dan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 digunakan sepenuhnya untuk pendidikan dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (www.depdiknas.go.id).
Sikap pemerintah tersebut setidaknya mencerminkan dua hal. Pertama, pengeluaran pendidikan masih dilihat dari perspektif biaya. Dalam ekonomi, biaya atau sering kali disebut beban adalah penurunan dalam modal pemilik yang biasanya melalui pengeluaran uang atau penggunaan aktiva (Soemarso, 1999). Karena itu, sesuai dengan prinsip ekonomi, semua biaya harus dipangkas atau sedapat mungkin ditekan.
Penempatan pendidikan dalam perspektif biaya disebabkan oleh tidak adanya komitmen pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang menjadi kewajibannya atau malah pemerintah tidak mengetahui pentingnya pendidikan. Jika dua asumsi tersebut benar, upaya untuk terus meneriakkan bahkan memaksa pemerintah agar sadar dan mau menjalankan kewajibannya merupakan langkah penting.
Cara yang sudah digunakan dengan memperkarakan pemerintah melalui Mahkamah Konstitusi, seperti yang dilakukan guru-guru dari Banyuwangi dan diteruskan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia serta Persatuan Guru Republik Indonesia, menjadi sangat relevan. Termasuk mendorong dilakukannya impeachment apabila pemerintah terus membandel.
Kedua, belum ada program yang jelas. Proses penganggaran tidak hanya berkaitan dengan uang, tapi juga dengan apa yang akan dilakukan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tentu saja, apabila pemerintah memiliki rencana mengenai pendidikan, akan disediakan dana untuk mendukung rencana tersebut.
Kemungkinan lain, bisa saja pemerintah telah memiliki rencana (program) tapi tidak membutuhkan dana yang besar. Tanpa menyediakan anggaran minimal 20 persen dari total APBN/APBD seperti amanat UUD 1945, program sudah bisa dijalankan. Mengenai program pendidikan, memang hanya pemerintah yang mengetahuinya. Hal tersebut tergambar dalam mekanisme penganggaran keuangan Departemen Pendidikan (www.setjen.depdiknas.go.id). Jelas terlihat, dari penentuan dan penjabaran kebijakan hingga monitoring dibuat sangat sentralistis.
Jika demikian kondisinya, memaksa pemerintah menyediakan anggaran besar tidak akan membawa dampak apa pun bagi peningkatan mutu pendidikan. Sebab, masalahnya bukan pada kekurangan dana, melainkan pemerintah tidak mengetahui apa yang akan dilakukan. Apabila ini tetap dipaksakan, bukan tidak mungkin dana yang melimpah akan habis dikorupsi.
Hasil riset Indonesia Corruption Watch memperlihatkan kenaikan anggaran dalam dua tahun terakhir, 2004 dan 2005, ternyata tidak mempengaruhi pelayanan dan biaya yang ditanggung masyarakat. Anggaran pendidikan pada 2004 sebesar Rp 15,3 triliun meningkat menjadi Rp 26,5 triliun pada 2005, termasuk dana bantuan operasional sekolah.
Menurut penilaian masyarakat, gedung, peralatan belajar-mengajar, serta guru dan kepala sekolah masih mengecewakan. Selain itu, biaya yang dikeluarkan cenderung meningkat. Misalnya untuk tingkat sekolah dasar negeri di Semarang. Pada 2004, para orang tua mengaku mengeluarkan biaya langsung ke sekolah rata-rata Rp 725.255, kemudian pada 2005 meningkat menjadi Rp 950.956.
Menolak privatisasi
Melihat realitas pendidikan yang terus memburuk, menuntut kenaikan anggaran merupakan hal yang penting. Tapi upaya tersebut tidak dijadikan sebagai tujuan akhir. Sebab, kenaikan anggaran harus dimasukkan ke kerangka peningkatan mutu layanan dan perluasan akses bagi warga. Ini berarti medan perjuangan harus diperluas.
Selain terus memaksa pemerintah taat pada amanat konstitusi negara, UUD 1945, hal yang penting adalah mengawal agar anggaran tidak dihabiskan untuk membiayai birokrasi pendidikan. Upaya memaksa agar proses penganggaran lebih partisipatif, terbuka, dan akuntabel dari tingkat pusat hingga sekolah menjadi sangat mendesak.
Penting juga didorong reformasi dalam sistem penganggaran, dengan memperjelas porsi bagi penyelenggara dan porsi untuk peningkatan mutu serta perluasan akses pendidikan bagi warga. Diharapkan nantinya kenaikan anggaran tidak dimanipulasi oleh birokrasi untuk mengeruk keuntungan sendiri.
Langkah lainnya adalah menolak berbagai aturan yang melegalkan pelepasan tanggung jawab negara dalam pelayanan pendidikan. RUU Badan Hukum Pendidikan yang kini memunculkan kontroversi hanyalah turunan dari aturan di atasnya, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, terutama pasal 53, mengenai badan hukum pendidikan.
Karena itu, upaya memperbaiki pendidikan nasional tidak bisa dilakukan secara parsial. Kenaikan anggaran tidak cukup dijadikan sebagai jawaban karena masalah pendidikan tidak hanya berkaitan dengan besar-kecilnya dana yang disediakan. Yang lebih penting adalah untuk apa dan bagaimana dana tersebut digunakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar