"Jurnalisme anti kolonialisme"
Sangat penting mengenal bahasa melayu, karena bahasa bukan saja alat pemersatu tapi juga pembentuk “nation” itu sendiri. Pers atau bacaan telah mengambil peran pertama kali pada hal ini, karena perannya yang telah menggugah kesadaran kaum terjajah dan mengenalkan pertama kali basaha melayu. Seperti yang dijelaskan Takashi Shiraishi, dalam “ An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926”, bahwa pergerakan anti kolonialisme mengenal beberapa tahapan pada awalnya, yaitu bacaan dan Pers, vergadering dan Pemogokan, serta aksi politik dan partai. Maka, menarik untuk mendiskusikan kehadiran bacaan dan pers dalam konteks perjuangan anti-kolonialisme di Indonesia.
Koran Sebagai Pembentuk Kesadaran Nasional
Koran Memasuki abad 20, sebuah zaman baru dalam politik kolonial, yakni zaman etis, sedang dimulai. Tentu saja semangat utama dari zaman baru ini adalah modernitas, yang menurut pribumi adalah kemajuan, yakni sebuah perkembangan yang tetap harus dibawah pengaruh dan pengawasan bangsa kolonial. Pengalaman yang diperoleh kaum pergerakan dari sekolah dan gaya pendidikan kolonial bukan saja pengertian akan kebiasaan-kebiasaan, kebudayaan modern, dan sekulerisme, tapi juga tumbuhnya “kesadaran nasional” sebagai bumiputra, dan mengejar bersama-sama kesetaraan dan kesejajaran dengan bangsa-bangsa lain. Mereka mulai mencari makna akan keberadaan mereka. Kaum muda yang terdidik di Ujung Pandang, Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Jogjakarta, dan seluruh Hindia Belanda, sedang mencari dan berbagi gagasan tentang bangsanya. Sebelum menemukan nama “INDONESIA”, kaum muda ini sudah menemukan alat kelembagaan untuk mengungkapkan kesadaran “nasionalnya”, yaitu surat kabar atau Koran bumi-putera.
Pada awalnya, penerbitan surat kabar dan percetakan dimonopoli oleh pemerintah kolonial, kemudian diikuti oleh orang-orang tionghoa. Kaum pribumi sendiri ambi bagian didalamnya, pertama sebagai pekerja magang pada Koran-koran tersebut, setelah itu menjadi redakturnya, dan akhirnya dapat mendirikan Koran dan penerbitan sendiri. beberapa terbitan pribumi yang pertama kali, seperti Pewarta Prijaji, Retnodhoemillah, dll, tidak mengekpresikan kepentingan nasional tersebut, tapi lebih banyak berguna untuk kepentingan kolonial.
Pada tahun 1903, muncul jurnalis muda dan seorang pribumi, yaitu RM Tirtoadhisuryo, yang mendirikan Soenda Berita, dan kemudian merintis pendirian Medan Prijaji, pada tahun 1907. Medan priayi menjadi Koran terkemuka pada masa itu, dengan jumlah pelanggan 2000 orang pada awal 1911. meskipun menggunakan nama “medan priayi, surat kabar ini bukan menjadi alat kaum priayi; bangsawan, raja-raja, ataupun saudagar, tapi menjadi milik kaum terperintah. “Bangsa” kini mulai menemukan batas-batas yang jelas, dalam hal ini seperti diungkap Tirtoadhisuryo sebagai “anak negeri” hindia belanda. R.M. Tirto Adhi Soerjo, meminjam istilah Pramoedya, adalah "kenyataan hulu" atau kenyataan historis yang merupakan cikal bakal dari "kenyataan hilir" tokoh Minke dalam tetralogi Pramoedya. Dalam tetralogi keempat, Rumah Kaca, disebutkan oleh sang pencerita orang pertama, Jacques Pengemanan, bahwa Minke bukan nama yang diberikan ayahnya. Inisial Minke sebenarnya Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.
Menurut Pram, "Sarekat Priyayi" merupakan peletak dasar bahasa Melayu sebagai alat komunikasi nasional. Cikal bakal bahasa Indonesia tersebut disebarluaskan melalui organ surat kabar Sarekat Priyayi, Medan Priyayi. Tentang hal itu, Robert Templer dalam Prospect Magazine berkomentar, "Tirto Adi Suryo, a pioneer of Indonesian journalism in the first decade of this century and an important figure in the development of nationalism."
Koran dan Pergerakan anti Kolonial
Beberapa tokoh pegerakan, terutama sekali pada masa awal, merupakan seorang jurnalis. Misalnya E.D dengan De Expres, Mas Marco dengan Doenia Bergerak, Sneevlit dengan De Volharding, dan Haji Misbach dengan Medan Moeslimin-nya. Tapi tampilnya Koran dalam kancah pergerakan anti colonialism bukan karena kebetulan pengelolahnya adalah aktifis, tapi karena Koran telah menjadi organ perjuangan yang mengambil tempat penting dalam pertarungan gagasan. Sejak awal, Marco berkehendak memunculkan “perang suara” melalui Doenia Bergerak. Marco bersuara lantang mengeritik pengaruh aristokrat dan pedagang batik di dalam tubuh organisasi SI, terutama Tjokro dan H. Samanhudi. Demikian pula, dengan kritiknya terhadap D.A Rinkes, penasehat urusan bumiputera, karena begitu banyak membantu Tjokro dalam mempebesar pengaruh di SI.
Ketika vergadering dan pemogokan sudah mengambil tempat dan berlansung dimana-mana, Koran dan terbitan selalu diselipkan ditengah-tengah massa sebagai pegangan. Ibaratnya, tak lengkap mendengar pidato-pidato politik dari para tokoh pergerakan, tanpa menyimak fikiran-fikiran dan tulisannya. Silang pendapat, pertentangan gagasan, antar tokoh pergerakan ataupun dengan kolonial, dapat dibaca kaum bumiputra dari Koran-koran pergerakan. Dari situ, keingin-tahuan rakyat semakin besar, dan hampir setiap vergadering dan rapat-rapat umum pergerakan selalu disesaki oleh rakyat, sekedar untuk mendengarkan pidato dan debat.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa koran pergerakan mengambil posisi berfihak pada perjuangan anti-kolonial, dan tidak mentoleransi sikap kompromi terhadap kebijakan penjajah. Medan moeslimin misalnya, yang selain mengeritik kebijakan kolonial, juga menggunakan gambar kartun untuk menyindir para bangsawan yang menjadi kaki tangan kolonial. Demikian pula dengan Tjipto yang menyerang kekuasaan sunan dalam Koran Penggoegah dan Volksraad. Tjipto menganggap, bahwa Amangkurat II dan keturunannya adalah budak-budak VOC berikut penggatinya, Negara Hindia Belanda. Sudah barang tentu, serangan Tjipto kepada Sunan do Volksraad dan Penggoegah , merupakan pembeberan politik paling menghancurkan dari yang pernah dilakukan terhadap mandulnya politik dan kememahan sultan.
Ketika ISDV muncul, peranan Koran sebagai alat propaganda semakin menempati ruang dalam pergerakan. VSTP menerbitkan majalah bernama ‘Si Tetap’ sampai mencapai 15.000 eksemplar, dengan memperkenalkan ajaran ilmu pengetahuan tentang sosialisme. Dalam hal ini, masalah yang diangkat bukan hanya seputar perundangan kolonial yang merugikan buruh, tapi juga aspek-aspek dari relasi produksi kapitalis yang menghisap pekerja.
pada tahap ini, peran Koran sebagai pembentuk kesadaran “nation” telah meningkat menjadi pergerakan, dan Koran menjadi bagian dari pergerakan itu sendiri. dalam fase ini, Koran telah mewadahi beberapa hal; pertama, sebagai media menyampaikan kebusukan-kebusukan dan ketertindasan dibawah penindasan kolonial, maupun sisa kekuasaan feudal yang cenderung memihak kepada Belanda. Kedua, mewadahi perdebatan diantara kalangan pergerakan, berupa pandangan-pandangan soal isu-isu politik dan prinsip-prinsip perjuangan. Ketiga, mendorong politisasi dan radikalisme rakyat, selain melalui vergadering, juga mulai dimassalkannya terbitan dan Koran-koran pergerakan.
*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Sastra Pendar Pena.
Sangat penting mengenal bahasa melayu, karena bahasa bukan saja alat pemersatu tapi juga pembentuk “nation” itu sendiri. Pers atau bacaan telah mengambil peran pertama kali pada hal ini, karena perannya yang telah menggugah kesadaran kaum terjajah dan mengenalkan pertama kali basaha melayu. Seperti yang dijelaskan Takashi Shiraishi, dalam “ An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926”, bahwa pergerakan anti kolonialisme mengenal beberapa tahapan pada awalnya, yaitu bacaan dan Pers, vergadering dan Pemogokan, serta aksi politik dan partai. Maka, menarik untuk mendiskusikan kehadiran bacaan dan pers dalam konteks perjuangan anti-kolonialisme di Indonesia.
Koran Sebagai Pembentuk Kesadaran Nasional
Koran Memasuki abad 20, sebuah zaman baru dalam politik kolonial, yakni zaman etis, sedang dimulai. Tentu saja semangat utama dari zaman baru ini adalah modernitas, yang menurut pribumi adalah kemajuan, yakni sebuah perkembangan yang tetap harus dibawah pengaruh dan pengawasan bangsa kolonial. Pengalaman yang diperoleh kaum pergerakan dari sekolah dan gaya pendidikan kolonial bukan saja pengertian akan kebiasaan-kebiasaan, kebudayaan modern, dan sekulerisme, tapi juga tumbuhnya “kesadaran nasional” sebagai bumiputra, dan mengejar bersama-sama kesetaraan dan kesejajaran dengan bangsa-bangsa lain. Mereka mulai mencari makna akan keberadaan mereka. Kaum muda yang terdidik di Ujung Pandang, Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Jogjakarta, dan seluruh Hindia Belanda, sedang mencari dan berbagi gagasan tentang bangsanya. Sebelum menemukan nama “INDONESIA”, kaum muda ini sudah menemukan alat kelembagaan untuk mengungkapkan kesadaran “nasionalnya”, yaitu surat kabar atau Koran bumi-putera.
Pada awalnya, penerbitan surat kabar dan percetakan dimonopoli oleh pemerintah kolonial, kemudian diikuti oleh orang-orang tionghoa. Kaum pribumi sendiri ambi bagian didalamnya, pertama sebagai pekerja magang pada Koran-koran tersebut, setelah itu menjadi redakturnya, dan akhirnya dapat mendirikan Koran dan penerbitan sendiri. beberapa terbitan pribumi yang pertama kali, seperti Pewarta Prijaji, Retnodhoemillah, dll, tidak mengekpresikan kepentingan nasional tersebut, tapi lebih banyak berguna untuk kepentingan kolonial.
Pada tahun 1903, muncul jurnalis muda dan seorang pribumi, yaitu RM Tirtoadhisuryo, yang mendirikan Soenda Berita, dan kemudian merintis pendirian Medan Prijaji, pada tahun 1907. Medan priayi menjadi Koran terkemuka pada masa itu, dengan jumlah pelanggan 2000 orang pada awal 1911. meskipun menggunakan nama “medan priayi, surat kabar ini bukan menjadi alat kaum priayi; bangsawan, raja-raja, ataupun saudagar, tapi menjadi milik kaum terperintah. “Bangsa” kini mulai menemukan batas-batas yang jelas, dalam hal ini seperti diungkap Tirtoadhisuryo sebagai “anak negeri” hindia belanda. R.M. Tirto Adhi Soerjo, meminjam istilah Pramoedya, adalah "kenyataan hulu" atau kenyataan historis yang merupakan cikal bakal dari "kenyataan hilir" tokoh Minke dalam tetralogi Pramoedya. Dalam tetralogi keempat, Rumah Kaca, disebutkan oleh sang pencerita orang pertama, Jacques Pengemanan, bahwa Minke bukan nama yang diberikan ayahnya. Inisial Minke sebenarnya Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.
Menurut Pram, "Sarekat Priyayi" merupakan peletak dasar bahasa Melayu sebagai alat komunikasi nasional. Cikal bakal bahasa Indonesia tersebut disebarluaskan melalui organ surat kabar Sarekat Priyayi, Medan Priyayi. Tentang hal itu, Robert Templer dalam Prospect Magazine berkomentar, "Tirto Adi Suryo, a pioneer of Indonesian journalism in the first decade of this century and an important figure in the development of nationalism."
Koran dan Pergerakan anti Kolonial
Beberapa tokoh pegerakan, terutama sekali pada masa awal, merupakan seorang jurnalis. Misalnya E.D dengan De Expres, Mas Marco dengan Doenia Bergerak, Sneevlit dengan De Volharding, dan Haji Misbach dengan Medan Moeslimin-nya. Tapi tampilnya Koran dalam kancah pergerakan anti colonialism bukan karena kebetulan pengelolahnya adalah aktifis, tapi karena Koran telah menjadi organ perjuangan yang mengambil tempat penting dalam pertarungan gagasan. Sejak awal, Marco berkehendak memunculkan “perang suara” melalui Doenia Bergerak. Marco bersuara lantang mengeritik pengaruh aristokrat dan pedagang batik di dalam tubuh organisasi SI, terutama Tjokro dan H. Samanhudi. Demikian pula, dengan kritiknya terhadap D.A Rinkes, penasehat urusan bumiputera, karena begitu banyak membantu Tjokro dalam mempebesar pengaruh di SI.
Ketika vergadering dan pemogokan sudah mengambil tempat dan berlansung dimana-mana, Koran dan terbitan selalu diselipkan ditengah-tengah massa sebagai pegangan. Ibaratnya, tak lengkap mendengar pidato-pidato politik dari para tokoh pergerakan, tanpa menyimak fikiran-fikiran dan tulisannya. Silang pendapat, pertentangan gagasan, antar tokoh pergerakan ataupun dengan kolonial, dapat dibaca kaum bumiputra dari Koran-koran pergerakan. Dari situ, keingin-tahuan rakyat semakin besar, dan hampir setiap vergadering dan rapat-rapat umum pergerakan selalu disesaki oleh rakyat, sekedar untuk mendengarkan pidato dan debat.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa koran pergerakan mengambil posisi berfihak pada perjuangan anti-kolonial, dan tidak mentoleransi sikap kompromi terhadap kebijakan penjajah. Medan moeslimin misalnya, yang selain mengeritik kebijakan kolonial, juga menggunakan gambar kartun untuk menyindir para bangsawan yang menjadi kaki tangan kolonial. Demikian pula dengan Tjipto yang menyerang kekuasaan sunan dalam Koran Penggoegah dan Volksraad. Tjipto menganggap, bahwa Amangkurat II dan keturunannya adalah budak-budak VOC berikut penggatinya, Negara Hindia Belanda. Sudah barang tentu, serangan Tjipto kepada Sunan do Volksraad dan Penggoegah , merupakan pembeberan politik paling menghancurkan dari yang pernah dilakukan terhadap mandulnya politik dan kememahan sultan.
Ketika ISDV muncul, peranan Koran sebagai alat propaganda semakin menempati ruang dalam pergerakan. VSTP menerbitkan majalah bernama ‘Si Tetap’ sampai mencapai 15.000 eksemplar, dengan memperkenalkan ajaran ilmu pengetahuan tentang sosialisme. Dalam hal ini, masalah yang diangkat bukan hanya seputar perundangan kolonial yang merugikan buruh, tapi juga aspek-aspek dari relasi produksi kapitalis yang menghisap pekerja.
pada tahap ini, peran Koran sebagai pembentuk kesadaran “nation” telah meningkat menjadi pergerakan, dan Koran menjadi bagian dari pergerakan itu sendiri. dalam fase ini, Koran telah mewadahi beberapa hal; pertama, sebagai media menyampaikan kebusukan-kebusukan dan ketertindasan dibawah penindasan kolonial, maupun sisa kekuasaan feudal yang cenderung memihak kepada Belanda. Kedua, mewadahi perdebatan diantara kalangan pergerakan, berupa pandangan-pandangan soal isu-isu politik dan prinsip-prinsip perjuangan. Ketiga, mendorong politisasi dan radikalisme rakyat, selain melalui vergadering, juga mulai dimassalkannya terbitan dan Koran-koran pergerakan.
*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Sastra Pendar Pena.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar