Patutkah kita bermimpi untuk perubahan???
Akhirnya Amerika Serikat memilih, Mereka memilih untuk mencetak lembaran sejarah baru bagi negerinya. Barrack Hussein Obama terpilih sebagai Presiden kulit hitam pertama di negeri Paman Sam itu dengan mengalahkan rivalnya dari Partai Republik sang pahlawan perang Vietnam; John McCain. Kemenangan yang cukup signifikan dimana Obama berhasil mengumpulkan 349 electoral votes dan 161 elctoral votes bagi McCain & selisih hampir 8 juta ‘popular votes’ (sampai saya menulis note ini). Sebuah kemenangan bagi Amerika Serikat untuk membuktikan mukadimah konstitusinya yang berbunyi “we hold this truth to be self-evident that all men are created equal…”, sebuah kemenangan bagi mimpi seorang Martin Luther King dengan kata2nya yang dimulai dengan “I have a dream…”, sebuah kemenangan bagi Malcolm X yang berjuang bagi warga kulit hitam Muslim maupun non-muslim yg berjuang dengan militan (’by any means necessary…”), sebuah kemenangan bagi Muhammad Ali yang mengganti namanya dari Cassius Clay karena “I don’t want to be called by my slave name!” dan semua pejuang civil rights di Amerika Serikat; the Kennedys, jesse Jackson, Al Sharpton dan masih banyak lagi.
Kemenangan ini bukan titik akhir dari perjuangan kaum Civil Rights activists di AS, dan sesungguhnya juga bukan kemenangan pertama. Kemenangan kecil demi kemenangan kecil telah terjadi di setiap masa. Dan dengan perlahan tapi pasti dengan perjuangan tokoh yang tersebut di atas. Memang tidak secepat hari berganti, tetapi walaupun seperti sebuah Evolusi (bertahap dan perlahan) harus diperjuangkan seakan akan sebuah Revolusi. Terbukti diperlukan tokoh-tokoh Revolusioner yang menghadirkan diri dan ‘ideals’-nya dengan gegap gempita terkadang penuh kemarahan dan tak jarang terlihat arogan. Ketika seorang Muhammad Ali, menentang perang Vietnam dan menolak diberangkatkan kesana sbg bagian dari wajib militer di kala itu, dia dengan keras menyatakan tidak, dengan lantang mengatakan bahwa vietkong2 di vietnam tidak pernah berbuat salah padanya, justru negara nya (AS) yang selama ini masih menindasnya (dan sesama kulit hitam yang lain). Sangat arogan dan dianggap tidak patriotik dia di kala itu, tapi sesungguhnya bukan pesan itu yg dia maksud, namun adalah pesan untuk mengingatkan AS untuk memberikan persamaan hak dahulu di AS sebelum berharap warga kulit hitam mau mengorbankan nyawanya utk negara. Ketika seorang Martin Luther King yang terlihat selalu anti kekerasan, namun dia meng-organize “the million man march” atau pawai sejuta orang untuk menentang kebijakan segregation (segregasi seperti apartheid) dimana ini sesungguhnya bentuk kemarahan dan show off force walaupun di’kosmetik’i ‘tanpa kekerasan’. Atau ketika seorang Malcolm X berpidato di sebuah universitas dan menyatakan perjuangan persamaan hak harus dilakukan dengan “By Any Means Necessary” atau bila diartikan secara singkat ‘menghalalkan segala cara’ seperti revolusi berdarah.
Semua Perjuangan para kaum Revolusioner itulah yang akhirnya berangsur menghapus kebijakan segregasi AS sehingga tidak lagi seorang kulit hitam duduk di tempat duduk khusus di belakang Bis Kota, atau buang air di WC umum yang terpisah dan lebih jelek dari WC umum kaum kulit putih, dan akhirnya seorang ’skinny kid with a funny name’ (mengutip pidato Obama di Konvensi Demokrat 2004 ketika menjelaskan tentang dirinya) dapat menjadi Presiden Amerika Serikat. Semua ini dapat terjadi karena adanya ‘Pergerakan’ yang dimotori oleh beberapa orang di negeri itu. Seperti juga terjadi di Indonesia, ketika bangsa kita memperjuangkan kemerdekaannya dari penjajah, muncul tokoh2 Revolusioner seperti Bung Tomo, Mohammad Yamin, Soekarno, Bung Hatta, Tan Malaka dan masih banyak lagi. Mereka tampil dengan amarah, tangan mengacung-acung, tangan dikepal, berteriak lantang atau menulis dengan tajam melawan penjajahan. Akhirnya penjajahan pun terhapuskan di bumi
Sesungguhnya dengan segala permasalahan Bangsa yang ada sekarang kita membutuhkan kaum kaum Revolusioner baru, yang mau berjuang untuk ‘persamaan hak’ mungkin bukan dalam konteks rasial namun dalam konteks ‘kelas’. Bangsa ini membutuhkan pejuang pejuang revolusioner yang berjuang demi masyarakat yang tidak dapat menyekolahkan anak2nya setinggi-tingginya dengan murah, berjuang demi tersedianya akses pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat yang membutuhkannya, berjuang demi tersedianya perumahan murah bagi masyarakat berekonomi lemah, berjuang agar anak-anak tidak lagi dipekerjakan di pabrik pabrik, berjuang agar pembagian hasil eksplorasi sumber daya alam kita masuk lebih besar ke kas negara kita daripada masuk ke kas korporasi asing maupun dalam negeri, berjuang agar kapitalisme tidak menjadi sistim ekonomi di negeri ini karena sesungguhnya sistim ekonomi sosial lah yang lebih dekat dengan ajaran agama di negeri yang ber-Tuhan ini. Ah, terlalu banyak yang harus diperjuangkan, tetapi kita tidak kekurangan orang… ada 220 juta orang di negeri ini, mudah-mudahan 4 juta yang sudah cukup berpendidikan, cukup kehidupannya mau bergerak dan memperjuangkan ini, sehingga suatu waktu bukan lagi saham Bumi Resources yang anjlok yang dipikirkan Pemerintah, tetapi bagaimana korban lumpur Sidoarjo dapat kembali hidup selayak-layaknya dan anak-anaknya dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya dan menjadi agen-agen Pergerakan untuk Perubahan di masa datang tentunya dengan masalah Bangsa yang berbeda dengan masalah yang sekarang, sehingga suatu saat nanti calon Presiden yang dipilih adalah benar-benar putra terbaik Nusantara yang terpilih bukan karena dana kampanyenya terbesar, bukan karena nama belakangnya, bukan karena dukungan korporasi-korporasi penghisap darah rakyat di negerinya tercinta.
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar