Jangan Pilih Capres-Cawapres Pro-Neolib,
Pilihlah Meraka Yang Pro Kemandirian Bangsa dan Pro-Rakyat!
Apa itu neoliberalisme? Neoliberalisme adalah istilah yang dapat disamakan dengan kolonialisme, imperialisme, dan penjajahan. Dimana letak penjajahannya? Sebetulnya, penjajahan itu hadir dan nampak jelas dalam kehidupan keseharian kita; gedung-gedung tinggi dan mewah tetapi menggunakan nama dan bendera asing; kekayaan alam kita (minyak, gas, batubara, mineral, dsb) di eksploitasi oleh perusahaan asing; bank-bank sebagain besar dikuasai asing sehingg “ogah” menyalurkan kredit ke rakyat miskin; pemukiman kumuh dan rumah-rumah rakyat digusur, kemudian digantikan dengan mall dan hotel mewah. Akhirnya, karena neoliberalisme, asset nasional banyak dinikmati oleh bangsa asing dan hanya 10% orang Indonesia (kaum kaya dan mandor-mandor neolib di Indonesia). Sementara itu, kata Bank Dunia, jumlah penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan mencapai 50% atau pendapatannya kurang dari 2 USD (dollar). Padahal, nilai 2 USD (dollar) setara dengan nilai subsidi seekor sapi di AS dan Eropa. Jadi, dibawah pemerintahan SBY, rakyat Indonesia dihargai atau disejajarkan dengan seekor sapi.
Di bawah neoliberalisme, potensi orang untuk kehilangan pekerjaan atau menganggur cukup tinggi, karena kesempatan kerja diliberalkan---istilah ilmiahnya pasar Tenaga kerja yang fleksibel. Tidak ada jaminan pekerjaan yang sifatnya tetap dan layak, sementara semua pekerja di berbagai perusahaan ditetapkan sebagai “pekerja kontrak” atau outsourcing. Jadi, selama pemerintahannya masih menganut neolib, maka tidak akan ada yang namanya pekerjaan tetap dan layak (berupah layak). Tidak heran, pada tahun 2008, terdapat 69% rakyat Indonesia yang bekerja serabutan (tukang ojek, tukang parkir, tukang cuci, PKL, buruh bangunan, buruh angkut, dsb) setiap harinya, dan 8,14 % orang yang bekerja kurang dari 1 jam dalam seminggu. Relakah anda menggadaikan masa depan anda dengan memilih capres –cawapres pro neoliberal?
Dalam Neoliberalisme, karena pasarlah yang menjadi tuannya, maka segala sesuatu ditentukan berdasarkan kompetisi dan kemampuan. Artinya, hanya mereka yang kuat dan memiliki skill yang bisa bertahan hidup, sementara mereka yang lemah dan tanpa skill harus rela menerima nasib; miskin dan menganggur. Padahal, menurut Undang-Undang Dasar, negara bertanggung jawab untuk menciptakan kesejahteraan umum (rakyat) dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Di bawah pemerintahan yang menganut neolib, semua bentuk jaminan sosial dan subsidi bagi orang miskin dihapuskan. Setelah itu, untuk mengerem terjadinya “kemarahan sosial” maka diperkenalkanlah program sogokan seperti BLT, BOS, PNP-mandiri, dan KUR. Semua program pemerintah SBY itu didanai melalui utang luar negeri. Jadi, ketika anda menerima “santunan” 100 ribu per-bulan, maka negara akan membayarnya kepada Bank Dunia dan ADB, melalui pencabutan subsidi (kenaikan BBM), kenaikan TDL, dan kenaikan harga sembako. Jadi, anggaran yang semestinya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat (pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, dsb), justru dipergunakan untuk membayar cicilan utang luar negeri dan bunganya. (diperkirakan, tiap tahunnya pemerintah SBY membayar 15-20 trilyun pertahun untuk Utang Luar Negeri. Untuk tahun 2009, SBY berencana untuk membayar utang luar sebesar US$10,1 miliar, yang terdiri dari pokok utang sebesar US$7,1 miliar, dan bunga US$3,0 miliar)
Di bidang pendidikan, biarpun ada dana BOS yang berhasil menggratiskan pendidikan di jenjang SD, tetapi pendidikan menengah sampai perguruan tinggi diserahkan kepada pasar bebas. Akibatnya, tingkat putus sekolah di Indonesia sangat tinggi. misalnya, menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Dalam tahun 2008 angka tersebut meningkat, karena terjadi pertambahan putus sekolah sekitar 841.000 siswa sekolah dasar dan 211.643 siswa SMP/madrasah tsanawiyah. Jadi, dibawah pemerintahan SBY (neoliberal), rakyat hanya boleh berpendidikan SD, tapi tidak mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi (menengah sampai perguruan tinggi).
Lantas, jika demikian, apakah kita masih punya jalan keluar dari persoalan ini. Jawab kami; masih ada dan sangat besar. Dalam pilpres ini, kubu yang jelas-jelas neoliberal hanya satu; pasangan SBY-Budiono. Sementara, pasangan capres diluar SBY-Budiono sedang menjajikan harapan; yang satu adalah industrialis yang hendak membuat bangsa Indonesia lebih mandiri, sedangkan yang satunya hendak menciptakan ekonomi kerakyatan yang memakmurkan rakyat. Trus, Apa yang harus dilakukan rakyat? bangun wadah persatuan di tingkat RT/RW dan kampung, dan mulai kampanyekan bahaya neoliberalisme. bilang kepada tetangga, kerabat, dan teman-teman ada; “Jangan coba-coba memilih capres neolib, karena dapat menimbulkan kemiskinan, busung lapar, pengangguran, PHK massal, kenaikan harga sembako, dan penggusuran,”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar