BEGITU banyak cerita tentang Tan Malaka—sang pacar merah Indonesia, tokoh yang suatu kali dielu-elukan sebagai ratu adil, dan di kali berikutnya dianggap sebagai orang yang paling berbahaya oleh teman-temannya di era revolusi kemerdekaan Indonesia. Tetapi dari semua itu, untuk sementara, bagian yang paling misterius adalah tentang kematiannya. Siapa yang membunuh Tan Malaka, karena apa, dan di mana kuburnya?
Dalam sebuah diskusi bertema ”Menguak Misteri Kematian Tan Malaka” yang digelar di Gedung Joang ’45, Menteng, Jakarta, akhir pekan lalu (13/1), sejarawan Harry A Poeze yang menulis sejumlah buku tentang Tan Malaka mengatakan, dia tengah menyiapkan sebuah sequel yang bercerita tentang saat-saat menjelang eksekusi Tan Malaka.
Laki-laki berdarah Minang yang suatu kali di era 1920-an pernah jadi guru di Medan dan punya nama asli Ibrahim itu, kata Poeze, dieksekusi di sekitar Kediri. Poeze yang juga peneliti Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV), Belanda, mengatakan bahwa dia menemukan tiga titik di Jawa Timur yang kemungkinan besar menjadi kuburan Tan Malaka.
Poeze yakin seyakin-yakinnya—dia mengatakan keyakinannya sebesar 99,99 persen—bahwa cerita tentang kematian Tan Malaka versinya yang akan terbit beberapa bulan lagi adalah benar. Menunggu sequel itu, Poeze hanya bersedia membagi inisial pembunuh Tan Malaka: Su. Su yang mana?
Menjelang Ajal
Menjelang akhir Maret 1946, Tan Malaka ditangkap. Dia dituduh berkomplot untuk menculik Perdana Menteri Sjahrir dan sejumlah anggota kabinet. Beberapa hari setelah penangkapan Tan Malaka, penculikan itu menjadi kenyataan. Perdana Menteri Sjahrir dan sejumlah anggota Kabinet Sjahrir II diculik oleh—belakangan setelah Sjahrir dibebaskan diketahui adalah—Mayor Jenderal Sudarsono, yang punya kaitan dengan Persatuan Perjuangan.
Adalah Tan Malaka yang menjadi motor pendiri Persatuan Perjuangan di Purwokerto awal tahun itu. PP dibentuk oleh 141 organisasi, mulai dari partai politik seperti Masyumi dan PNI, sampai kesatuan-kesatuan laskar rakyat. Mereka tak puas dengan diplomasi Sjahrir yang mereka nilai terlalu lambat. Setelah membebaskan Sjahrir, Soedarsono mengajukan sejumlah tuntutan kepada Presiden Sukarno. Antara lain meminta agar Kabinet Sjahrir II dibubarkan, dan Presiden Sukarno menyerahkan pimpinan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik.
Permintaan itu tak dipenuhi. Seperti Tan Malaka, Soedarsono dan pengikutnya pun dijebloskan ke penjara. Bedanya, Tan Malaka tak pernah diadili.
Dua tahun setelah mendekam di penjara, Tan Malaka dibebaskan bulan September 1948. Menurut Poeze, Tan Malaka dibebaskan kabinet Mohammad Hatta menyusul kepulangan Muso dari Moskow. Tan Malaka dipercaya dapat menjadi penyeimbang, mengingat hubungan Tan Malaka dan Muso yang sama-sama kiri itu tidak begitu baik. Setelah Muso dan pemberontakan PKI di Madiun bulan September 1948 ditumpas tentara Indonesia, Tan Malaka mendirikan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba). Tetapi ia tak memimpin partai itu. Tan Malaka memilih bergerilya menghadapi Belanda di Kediri—tempat terakhir yang disinggahinya.
Merdeka Seratus Persen
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aswi Warman Adam yang juga berbicara dalam diskusi di Gedung Joang itu meminta agar pemerintah merehabilitasi nama Tan Malaka. Gelar pahlawan kemerdekaan nasional yang diberikan Sukarno kepada Tan Malaka tahun 1963 silam memang tak pernah dicabut. Tetapi sejak Orde Baru berkuasa, nama Tan Malaka menghilang begitu saja dari buku sejarah.
Menurut hemat Aswi, ada baiknya pemerintah membentuk tim khusus untuk mencari di mana kuburan Tan Malaka. Dengan uji forensik, hal ini tentu mudah. Setelah tulang belulangnya, atau apapun yang tertinggal dari dirinya ditemukan, kuburan Tan Malaka dapat dipindah ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pun sudah beberapa kali Aswi menyarankan agar nama Tan Malaka digunakan sebagai nama bandara internasional di Padang yang baru beroperasi sejak Juli 2005.
Sementara sejarawan Hilmar Farid yang juga berbicara dalam diskusi itu menilai, kalau pun ditemukan, biarlah Tan Malaka berbaring abadi di tengah-tengah rakyat. Buat apa ke TMP Kalibata, toh tak semua penghuninya adalah pahlawan sungguhan, kata dia.
Wartawan senior Rosihan Anwar yang juga hadir berbagi cerita. Dia hanya satu kali bertemu dengan Tan Malaka. Kala itu Februari 1946 di Gedung Sono Budoyo Solo. Sejumlah wartawan menggelar kongres yang melahirkan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Tan Malaka hadir dengan baju hitam-hitam dan topi helm hijau. Di podium dia berbicara tak kurang dari empat jam tentang materialisme, dialektika dan logika (madilog) tanpa teks.
Lain lagi Adnan Buyung Nasution. Dia juga punya cerita tentang Tan Malaka. Kata Bang Buyung, di tahun 1946, saat itu dia baru berusia 12 tahun, Tan Malaka pernah ”bersembunyi” di rumah keluarga Nasution selama tiga bulan. Dia dan Tan Malaka berbagi kamar. Bang Buyung masih ingat salah satu ajaran moral Tan Malaka: kalau seorang perampok masuk ke dalam rumahmu, usir dia sekuat tenaga.
Mungkin secara sederhana, itulah merdeka seratus persen yang dipercaya Tan Malaka sampai maut menjemputnya. Tak ada kemerdekaan bila masih berkompromi dengan penjajah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar