HASIL Pemilu secara resmi belum diumumkan. Tetapi, berbagai hasil perhitungan cepat (quick count) sudah mendaulat Partai Demokrat sebagai pemenang. Situasi ini, bagaimanapun, mencoba mengkondisikan situasi bahwa partai demokrat memang pantas untuk memenangkan pemilihan. Perlu diketahui, bahwa kemenangan partai demokrat merupakan simbolisasi kemenangan kubu neoliberal di Indonesia. Apalagi, beberapa partai yang mengusung ideology serupa (baca; neoliberalisme), seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), juga mendapatkan tambahan perolehan suara
Pada pemilu 2004, rakyat Indonesia dapat menghukum rejim Mega-haz, yang menyengsarakan rakyat karena projek neoliberalnya, pada saat pemilihan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang merupakan partai pendukung pemerintah, akhirnya mengalami kejatuhan perolehan suara.
Akan tetapi, pengalaman pemilu 2004 tidak terjadi pada pemilu kali ini. pemerintahan SBY yang jauh lebih neoliberal dibandingkan pemerintahan sebelumnya, malah berhasil memenangkan pemilihan. Terlepas dari euforia dari mereka yang merasa menang karena jumlah golput yang signifikan, tetapi sebuah dunia nyata hadir di depan kita; SBY dan kubu neoliberalnya kembali memenangkan pemilihan.
Faktor Popularitas
Sejumlah analis politik mencoba merangkum faktor yang menentukan kemenangan Demokrat dan SBY. Hampir keseluruhan menyatakan, kemenangan partai demokrat tidak dapat dipisahkan dari popularitas pemerintahan SBY. Seperti diketahui, SBY hampir mendominasi setiap survey yang dilakukan sejumlah lembaga, jauh mengungguli rival-rival politiknya. Padahal, diluar survey-survey ini, berbagai persoalan-persoalan ekonomi, politik, sosial, dan hukum terus-menerus berkonfrontasi dan hadir di tengah-tengah rakyat. Sebagai misal, pemerintah SBY tidak pernah mampu mengendalikan harga sembako, yang menyebabkan rakyat selalu mengalami kesulitan.
Pertama, pada saat media semakin memegang kontrol terhadap opini dan mempengaruhi kesadaran rakyat, pemerintahan SBY dapat memanfaatkannya dengan baik. SBY dapat membangun bentuk komunikasi politis, dengan dukungan bahasa verbal, intuitif, dan ekspresif, sehingga bisa mempengaruhi emosi para penonton. Bagi sebagian orang, bahasa komunikasi SBY begitu menjenukan. Tetapi, bagi sebagian besar rakyat yang mudah terbawa pada bentuk-bentuk komunikasi verbal, audio-visual, perilaku presiden SBY benar-benar simpatik bagi mereka. Sebagai contoh, ketika presiden SBY merencanakan untuk menaikkan harga BBM, ia seolah-olah berada pada situasi “tertawan” oleh keadaan.
Apa yang betul-betul membentuk cara berfikir seseorang, dengan segala bahaya yang ditimbulkannya, adalah instrument audio-visual yang bener-benar kuat. dengan kontrol pada segelintir tangan, terutama perusahaan multinasional, mereka dengan leluasa akan memanipulasi informasi untuk melayani kelas berkuasa. Untuk sementara, SBY dan demokrat merupakan kekuatan yang diuntungkan oleh strategi ini.
Kedua, kemampuan memanipulasi kegagalan menjadi sebuah prestasi. Dalam era informasi yang makin canggih, mengutip Marcuse, jarak antara kebenaran dan kesalahan sudah hampir tidak ada. Media dan ahli komunikasi bisa mengkontruksi sebuah peristiwa dan kebijakan menjadi seolah-olah benar, meskipun pada kenyataannya salah. Sebagai contoh disini: kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, yang kemudian disubtitusi dengan BLT. Pada dasarnya, masyarakat miskin tidak dapat mendapatkan keuntungan yang lebih barim dari program BLT, ketimbang biaya dan beban ekonomi yang perlu ditanggung rakyat akibat kenaikan harga BBM. Akan tetapi, melalui tangan-tangan apparatus SBY, kebijakan BLT dapat disulap menjadi seolah-olah kebijakan “populis” pada saat krisis.
Lain lagi dengan program PNPM, KUR, dan BOS, yang keseluruhannya ditanggung dalam bentuk “utang luar negeri”. Di lapangan, para pekerja proyek ini adalah Bank dunia dan apparatus SBY. Meski tidak terlihat hasilnya, karena sejumlah persoalan: anggaran yang kecil, lemahanya pengawasan, dan kurangnya partisipasi rakyat, tetapi kebijakan ini bisa disulap menjadi seolah-olah “misi besar” SBY dalam mengantisipasi kemiskinan. Sangat sulit berbicara program pengentasan kemiskinan, tanpa menjinakkan neoliberalisme lebih dahulu.
Dalam kemiskinan yang akut (darurat), pemberian bantuan (berapapun nilainya) akan menjadi semacam “kejutan” bagi rakyat, dan cukup mempengaruhi pandangan mereka. Inilah yang sementara ini dikelola oleh SBY dan aparatusnya. Sialnya, partai oposisi yang hendak mengeritik ini justru terbawa didalamnya dan mencoba ambil bagian; seperti yang ditunjukkan oleh PDIP dalam kampanyenya.
Selain itu, BPS dan lembaga survey juga punya andil besar. Biro Pusat Statistik (BPS) dengan telanjang memanipulasi angka-angka kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya. Metode penipuannya sebetulnya cukup “kentara”, hanya saja memang tidak ada organisasi pergerakan yang mempersoalkannya secara serius, kecuali Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI). Sudah banyak pengamat yang memprotes “metodologi” penghitungan BPS, tetapi tidak mendapat sokongan kuat dari organisasi sosial.
Sementara Lembaga survey memainkan politik pencitraan. Mereka membuat survey-survey yang sebetulnya cukup manipulatif, dengan mengutak-ngatik sample, indicator, dan semacamnya, mereka dapat mewujudkan image yang bagus mengenai SBY.
Hal-hal seperti diatas, tidak pernah menjadi perhatian serius kaum pergerakan dan kekuatan oposisi. Padahal, pertarungan semacam ini—memenangkan kesadaran rakyat---merupakan tahap penting yang tidak bisa dipisahkan dari perjuangan penaklukan kekuasaan.
Jadi teringat dengan ucapan presiden Hugo Chaves; “ Rakyat perlu diberitahu tentang apa yang dikerjakan oleh pemerintah”.
Ketiga, ketidakmampuan kaum pergerakan maupun kekuatan politik oposisi secara umum, untuk menunjukkan bentuk kritik yang mendidik dan mudah dipahami rakyat, serta terfokus pada sebuah isu yang signifikan dimata rakyat. Akibatnya, hampir tidak ada langkah politik dan ekonomi SBY yang benar-benar ditelanjangi kesalahannya.
Situasi ini, memungkinkan bagi SBY dan partai pendukungnya untuk mengelak dan melancarkan serangan balik. Jika diperhatikan, SBY justru malah memfokuskan pada beberapa isu mengenai kinerjanya: Di bidang politik, dia memfokuskan pada isu pemberantasan korupsi; di bidang ekonomi, ia memfokuskan pada sejumlah program –program pengentasan kemiskinan, seperti BLT, KUR, PNPM-mandiri, dsb.
Kecurangan Pemilu
Dalam segala hal, rejim-rejim neoliberal tidak dapat memenangkan pemilihan hanya dengan mengandalkan pertarungan bebas, tetapi mereka butuh scenario-skenario dibelakang layar untuk kemenangan mereka. Hal ini, misalnya, begitu jelas dipakai sejumlah politisi sayap kanan di Amerika latin, untuk membendung kemenangan partai-partai kiri atau ekspresi perlawanan rakyat terhadap neoliberalisme.
Di Meksiko, rejim neoliberal dapat mempertahankan kontinuitasnya dengan mencurangi pemilihan, sehingga bisa memenangkan Felipe Calderon. Di Peru, kelompok sayap kanan pro-neoliberal juga berhasil menyingkirkan calon sayap kiri-nasionalis, Ollanta Homala, melalui serangkaian kecurangan yang disponsori oleh AS.
Dalam kasus Indonesia, tidak dapat disangkal lagi, bahwa rejim neoliberal tidak cukup “populer” jika hendak “bertarung bebas” dalam pemilihan. Rakyat sedang diliputi rasa skeptis terhadap partai politik. senjata paling memungkinkan bagi mereka adalah membeli suara rakyat (politik uang) dan melakukan kecurangan.
Dalam pemilu 2009 ini, rejim neoliberal betul-betul mengontrol aturan dan tata-penyelenggaraan pemilu. KPU, yang seyogyanya menjadi lembaga independen, justru merupakan infrastruktur utama yang mengkondisikan dan memfasilitasi kemenangan partai-partai neoliberal. Tidak tanggung-tanggung, pengabdian KPU terhadap rejim berkuasa ditunjukkan dengan kehadiran ketua KPU di TPS Cikeas, tempat dimana presiden SBY memberikan suaranya.
Dari berbagai celah yang disediakan, berikut peluang-peluang yang diciptakan KPU bagi kemenangan rejim neoliberal:
Pertama, tidak adanya pengumuman DPT yang resmi dan valid kepada rakyat. Akibatnya, pemilu berjalan tanpa ada kejelasan mengenai jumlah pemilih resmi di setiap dapil dan secara nasional. situasi ini sangat memungkinkan adanya operasi “penggelembungan suara”, baik dengan memanfaatkan petugas KPPS-PPK maupun apparatus pemerintahan, tentunya untuk memenangkan partai dan caleg tertentu.
Di desa Tegal Kertha, Denpasar, ada indikasi penggelembungan suara yang dilakukan oleh petugas KPPS terhadap suara partai demokrat, dengan menambahkan angka “nol” dibelakang perolehan suara sebenarnya. Kejadian seperti ini juga terjadi diberbagai tempat, yang bukan hanya diberikan kepada Demokrat, tetapi juga kepada PKS, Golkar, dan sebagainya. Di kecamatan Woha, Bima, warga malah menangkap bawah petugas PPK yang menukar formulir C1 dengan formulir C1 yang sudah digelembungkan suaranya. (sumber; berdikari online)
Aspek lain dari persoalan ini adalah penghilangan hak politik rakyat. di Pandeglan, Banten, terdapat 35.000 warga yang tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT). Di Ternate, terdapat 15 ribu warga yang tidak dimasukkan di DPT. Di Jakarta Barat, terdapat 50 ribu warga yang tidak masuk DPT. Sementara KPU sendiri mengakui, ada 300 ribuan orang secara nasional yang tidak dimasukkan dalam DPT.
Tidak adanya DPT resmi, memunculkan DPT siluman atau fiktif. Capres Gerindra, Prabowo, memperkirakan ada 20 juta pemilih fiktif di Indonesia. Di Magetan, ada 3.469 yang sudah meninggal dimasukkan di DPT. Sementara itu, Panwaslu Jateng menemukan 66.917 DPT bermasalah di seluruh Jateng. Sedangkan Panwas Jatim menemukan 43.546 DPT bermasalah di wilayahnya (jawa Pos). Sementara itu, Dewan perubahan Nasional (DPN) mensinyalir adanya 33,8 juta suara fiktif alias misterius. (Sinar Harapan)
Kedua, keterlibatan aktif aparat pemerintah dan petugas pemilihan dalam kecurangan, baik dilakukan pada saat pemilihan maupun paska pemilihan. Dalam banyak kasus, saksi partai politik “tidak berdaya” dalam menghadapi kecurangan-kecurangan ini.
Di tingkat bawah, petuga-petugas KPPS banyak yang menjadi agen dari kecurangan. Modusnya, mereka menukar surat suara yang sudah direkapitulasi dengan surat suara dari luar, yang sudah digelembungkan, tentunya. Kejadian ini, terjadi dengan jelas di Kecamatan Woha, Bima. Sedangkan di Tegal Kertha, Denpasar, saksi partai menemukan adanya penggelembungan suara dengan cara menambahkan angka “nol” pada perolehan suara, untuk memenangkan caleg dan partai tertentu. Di Tegal Kertha, jelas penggelembungan suara diberikan untuk Partai Demokrat. Di Magetan, Jatim, menurut sumber PDI Perjuangan (Kompas), petugas KPPS terlibat lansung dalam mengarahkan massa untuk memilih partai tertentu. Di Sulbar, petugas KPPS malah masuk ke dalam bilik suara dan mengarahkan pemilih untuk mencontreng partai tertentu.
Dari berbagai kejadian, selain petugas KPPS, aparat pemerintahan juga turut bermain, terutama pemerintahan di kecamatan. Dalam banyak kasus, kecurangan dilakukan dengan mengubah DPT, merubah hasil rekapan suara, dan merubah berita acara.
Ketiga, Lemahnya aturan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemilu 2009. Berbeda dengan pemilu paska reformasi dimana banyak lembaga independent pemantau pemilu, pada pemilu 2009 hampir tidak ada pengawasan yang ketat terhadap berjalannya pemilu. Karenanya, ini menciptakan ruang bagi terjadinya kecurangan, manipulasi, penggelembungan, dan sebagainya.
Di berbagai TPS, pemantauan kebanyakan dilakukan oleh saksi-saksi dari parpol atau kelompok masyarakat tertentu. Berbeda dengan pemilu 1999 dan 2004, keterlibatan lembaga pemantau independent sangat kecil, bahkan hampir tidak ada.
di Batanghari, Jambi, saksi-saksi dari partai politik malah tidak berdaya menghadapi kecurangan, dan terkesan "membiarkan". Padahal, kecurangan yang terjadi disana bersifat sistematis dan terbuka.
Jebakan Demokrasi Liberal
Demokrasi borjuis, dimanapun, membutuhkan legitimasi dari mayoritas untuk melindungi berjalannya apparatus mereka. Pada era sebelumnya, mereka mencarikan legitimasi melalui upaya-upaya “apa yang disebut sekarang ini sebagai cara-cara anti demokrasi; pembatasan hak pemilih, pemilu yang curang, dan intimidasi. Sekarang ini, legitimasi dicarikan dengan pemilu yang seolah-olah dapat dipercaya oleh semua orang; misalnya, seorang pejabat terpilih diatas hak universal suffrage, kontrol terhadap kecurangan, dan sebagainya.
Di Indonesia, pemilu 2009 merupakan penyempurnaan dari era demokrasi liberal. Sebelumnya, hampir semua badan-badan pemerintahan dipilih melalui pemilihan, seperti pilkada, pilkades, dsb. Selain itu, dibentuk saluran dan kanal-kanal yang memungkinkan terjadinya konflik di dalam proses demokrasi. Konflik pilkada dan pemilu sudah “ditadah” untuk diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam hal ini, menurut saya, untuk saat ini ada dua jebakan utama demokrasi liberal di Indonesia--mungkin juga di berbagai tempat: Pertama, mereka memfragmentasikan dan mengatomasi masyarakat dan kelompok-kelompok sosial menjadi individu-individu dengan orientasi sendiri-sendiri. bangunan ini dibuat dan dikelola, sedemikian rupa, terutama untuk menjaga perang diantara mereka; sebuah konflik horizontal yang dipelihara oleh control horizontal pula.
Dalam lapangan gerakan, bangunan ini dijaga melalui penciptaan sebuah kondisi dimana gerakan-gerakan sosial dipaksa untuk mencari goal nya sendiri. misalnya, gerakan HAM dipaksa hanya berbicara HAM, gerakan buruh juga dipaksa bergerak dalam zona sektoralnya, dan seterusnya. Padahal, neoliberalisme merugikan begitu beragam sektor sosial, bukan hanya kelas pekerja, petani, mahasiswa, dan miskin perkotaan, tetapi juga sebagaian sektor kapitalis nasional.
Dasar untuk menjaga semua sektor-sektor sosial ini agar mereka tetap terisolasi dan terfokus pada orientasi-orientasi parsial, padahal mereka hidup dalam hubungan yang kontradiktif, adalah untuk mencegah mereka menemukan common enemy, bertemu dengan kepentingan kolektif, dan memperjuangkan kepentingan nasionalnya.
Kedua, mereka mencoba memukul mundur partisipasi rakyat dengan cara menularkan apatisme dan anti-politik. Satu sisi, demokrasi liberal melempar rakyat menjadi apatis terhadap politik karena sistim ini gagal mentransformasikan perubahan dan perbaikan terhadap kehidupan rakyat. selain itu, apatisme dan tindakan apolitis ditularkan melalui penjaminan kebebasan individu, konsumerisme, dan sebagainya.
Dalam konteks ini, golput yang sebetulnya punya makna sebagai gerakan korektif terhadap sistem, ternyata perlahan ditransformasikan sejalan dengan kebebasan individu. Seseorang akan bangga dengan sikapnya yang golput, tanpa memeriksa konsekuensi dan tanggung jawab sosialnya secara politik. Alih-alih menjadikan golput sebagai gerakan politik yang aktif, justru diadaftasi oleh kelas menengah dan mapan sebagai kebudayaan politik mereka.
Sebagai contoh, di TPS 07 Komplek Mentri, Jalan Denpasar 2, Setiabudi, Jakarta Selatan. Dari hasilnya terlihat sangat mencengangkan. Dari sekitar 327 nama yang terdaftar, hanya 97 pemilih yang memberikan suaranya. Diantara mereka yang tidak muncul dan memberikan suara adalah Adhyaksa Dault, Aksa Mahmud, Andi Matalata, MS Kaban, Meutia Hatta, Mooryati Soedibyo, Irman Gustam, Widodo AS, Aburizal Bakrie dan Soetardjo Soerjoguritno. Menurut warga, mereka yang tidak menggunakan suaranya karena alasan sibuk, liburan, dan sebagainya. (sumber; bangadang.com)
Hal serupa juga terjadi di TPS 20 Taman Karawang, Karawang, Menteng, Jakarta Pusat, tempat Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mencontreng sudah tutup. Dari 270 orang yang terdaftar dalam DPT, hanya 140 orang yang menggunakan hak pilihnya. Alias hampir 50 persennya golput. Menurut petugas pemilihan, mereka tidak memilih karena memanfaatkan pemilu untuk jalan2 keluar negeri; belanja, dsb.
Berbeda dengan mereka yang merayakan golput sebagai kemenangan, justru saya beranggapan bahwa protes rakyat diberbagai TPS karena hak politiknya dicabut oleh KPU adalah ekspresi perlawanan politik yang aktif. Berbeda dengan pegolput yang berdiam diri dalam sebuah momen politik, justru mereka (baca; rakyat yang protes di TPS karena tidak masuk DPT) memperlihatkan tindakan politik aktif untuk menuntut partisipasinya dalam kehidupan politik.
Bagi saya, ini bisa diperdebatkan dan diuji validitasnya; gerakan golput ini. Jangan-jangan, anda merayakan golput sebagai kemenangan, padahal di Cikeas sana SBY juga berpesta karena besarnya angka golput sehingga dapat mengamankan suaranya. Semoga bukan begitu.
Ketidakmampuan Menghadang Neoliberalisme
Kemenangan Demokrat dan SBY, sebagai personifikasi dari kubu neoliberal, merupakan pukulan telak kepada seluruh kekuatan dan sektor yang anti neoliberal, terlepas apakah mereka ikut bertarung dalam pemilu atau tidak. Kekalahan ini bukan hanya dialami oleh elit-elit politik yang mencoba menggunakan retorika anti-neoliberal, tetapi juga kekalahan nyata dari gerakan anti-neoliberal di dalam gerakan massa.
Hal ini menjelaskan bahwa; pertama, meskipun keresahan terhadap neoliberalisme sudah muncul dimana-mana, akan tetapi gerakan anti-neoliberalisme yang dipromosikan oleh gerakan perlawanan maupun di kekuatan politik di parlemen, belum mampu menggerakkan sektor luas rakyat Indonesia untuk mengambil tindakan politik melawan neoliberalisme.
Baik sentimen anti-neolib di parlemen maupun gerakan massa punya kepentingan yang sama dalam menentang dan menghadang neoliberalisme. Dalam banyak momen dan wilayah aksi, sebetulnya kedua arus ini punya peluang bekerjasama dan menguatkan satu sama lain. Tetapi pada kenyataannya; yang satu meninggalkan yang lain. Akibatnya, kekuatan anti-neoliberal belum cukup kuat menghadang neoliberalisme.
Kedua, kemenangan kali ini, yang berbeda dengan pemilu 2004, telah menempatkan SBY dan pendukungnya sebagai kekuatan mayoritas dalam perolehan suara dan kemungkinan menjadi mayoritas di parlemen.
Seperti diketahui, suara partai demokrat melonjak hampir 300%, sebuah lonjakan yang fantastis. Tentusaja, hal ini berarti lipatan kekuatan bagi SBY dan kubunya dalam menjalankan kebijakan neoliberal yang jauh lebih agressif. Sedangkan bagi kita kaum pergerakan, ini adalah dosa yang perlu ditanggung. Kenapa? Karena kita telah membiarkan rejim begitu reaksioner berkuasa, hampir tanpa perlawanan cukup berarti.
Sudah begitu, meskipun neoliberal muncul sebagai musuh nyata di depan mata, belum juga terlihat sebuah usaha signifikan dari kaum pergerakan untuk membendungnya. Terkadang, kita sering kebingungan dalam mendefenisikan mendefenisikan siapa musuh dan siapa kawan terdekat, maupun sektor-sektor tertentu yang dapat dinetralisir dalam tahap histories tertentu. Sehingga, berulang kali, kita bermimpi hendak memukul musuh keseluruhan secara sekaligus, dalam satu pukulan, pada sebuah momen menentukan. Jadinya, kita selalu menunggu momen menentukan tersebut. Apa bedanya dengan para utopis?
Kemenangan SBY, bagaimanapun, telah menampar muka kita yang terlalu meremehkan keluwesan rejim neoliberal dan demokrasi liberalnya dalam mereproduksi sistem.
Pada pemilu 2004, rakyat Indonesia dapat menghukum rejim Mega-haz, yang menyengsarakan rakyat karena projek neoliberalnya, pada saat pemilihan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang merupakan partai pendukung pemerintah, akhirnya mengalami kejatuhan perolehan suara.
Akan tetapi, pengalaman pemilu 2004 tidak terjadi pada pemilu kali ini. pemerintahan SBY yang jauh lebih neoliberal dibandingkan pemerintahan sebelumnya, malah berhasil memenangkan pemilihan. Terlepas dari euforia dari mereka yang merasa menang karena jumlah golput yang signifikan, tetapi sebuah dunia nyata hadir di depan kita; SBY dan kubu neoliberalnya kembali memenangkan pemilihan.
Faktor Popularitas
Sejumlah analis politik mencoba merangkum faktor yang menentukan kemenangan Demokrat dan SBY. Hampir keseluruhan menyatakan, kemenangan partai demokrat tidak dapat dipisahkan dari popularitas pemerintahan SBY. Seperti diketahui, SBY hampir mendominasi setiap survey yang dilakukan sejumlah lembaga, jauh mengungguli rival-rival politiknya. Padahal, diluar survey-survey ini, berbagai persoalan-persoalan ekonomi, politik, sosial, dan hukum terus-menerus berkonfrontasi dan hadir di tengah-tengah rakyat. Sebagai misal, pemerintah SBY tidak pernah mampu mengendalikan harga sembako, yang menyebabkan rakyat selalu mengalami kesulitan.
Pertama, pada saat media semakin memegang kontrol terhadap opini dan mempengaruhi kesadaran rakyat, pemerintahan SBY dapat memanfaatkannya dengan baik. SBY dapat membangun bentuk komunikasi politis, dengan dukungan bahasa verbal, intuitif, dan ekspresif, sehingga bisa mempengaruhi emosi para penonton. Bagi sebagian orang, bahasa komunikasi SBY begitu menjenukan. Tetapi, bagi sebagian besar rakyat yang mudah terbawa pada bentuk-bentuk komunikasi verbal, audio-visual, perilaku presiden SBY benar-benar simpatik bagi mereka. Sebagai contoh, ketika presiden SBY merencanakan untuk menaikkan harga BBM, ia seolah-olah berada pada situasi “tertawan” oleh keadaan.
Apa yang betul-betul membentuk cara berfikir seseorang, dengan segala bahaya yang ditimbulkannya, adalah instrument audio-visual yang bener-benar kuat. dengan kontrol pada segelintir tangan, terutama perusahaan multinasional, mereka dengan leluasa akan memanipulasi informasi untuk melayani kelas berkuasa. Untuk sementara, SBY dan demokrat merupakan kekuatan yang diuntungkan oleh strategi ini.
Kedua, kemampuan memanipulasi kegagalan menjadi sebuah prestasi. Dalam era informasi yang makin canggih, mengutip Marcuse, jarak antara kebenaran dan kesalahan sudah hampir tidak ada. Media dan ahli komunikasi bisa mengkontruksi sebuah peristiwa dan kebijakan menjadi seolah-olah benar, meskipun pada kenyataannya salah. Sebagai contoh disini: kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, yang kemudian disubtitusi dengan BLT. Pada dasarnya, masyarakat miskin tidak dapat mendapatkan keuntungan yang lebih barim dari program BLT, ketimbang biaya dan beban ekonomi yang perlu ditanggung rakyat akibat kenaikan harga BBM. Akan tetapi, melalui tangan-tangan apparatus SBY, kebijakan BLT dapat disulap menjadi seolah-olah kebijakan “populis” pada saat krisis.
Lain lagi dengan program PNPM, KUR, dan BOS, yang keseluruhannya ditanggung dalam bentuk “utang luar negeri”. Di lapangan, para pekerja proyek ini adalah Bank dunia dan apparatus SBY. Meski tidak terlihat hasilnya, karena sejumlah persoalan: anggaran yang kecil, lemahanya pengawasan, dan kurangnya partisipasi rakyat, tetapi kebijakan ini bisa disulap menjadi seolah-olah “misi besar” SBY dalam mengantisipasi kemiskinan. Sangat sulit berbicara program pengentasan kemiskinan, tanpa menjinakkan neoliberalisme lebih dahulu.
Dalam kemiskinan yang akut (darurat), pemberian bantuan (berapapun nilainya) akan menjadi semacam “kejutan” bagi rakyat, dan cukup mempengaruhi pandangan mereka. Inilah yang sementara ini dikelola oleh SBY dan aparatusnya. Sialnya, partai oposisi yang hendak mengeritik ini justru terbawa didalamnya dan mencoba ambil bagian; seperti yang ditunjukkan oleh PDIP dalam kampanyenya.
Selain itu, BPS dan lembaga survey juga punya andil besar. Biro Pusat Statistik (BPS) dengan telanjang memanipulasi angka-angka kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya. Metode penipuannya sebetulnya cukup “kentara”, hanya saja memang tidak ada organisasi pergerakan yang mempersoalkannya secara serius, kecuali Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI). Sudah banyak pengamat yang memprotes “metodologi” penghitungan BPS, tetapi tidak mendapat sokongan kuat dari organisasi sosial.
Sementara Lembaga survey memainkan politik pencitraan. Mereka membuat survey-survey yang sebetulnya cukup manipulatif, dengan mengutak-ngatik sample, indicator, dan semacamnya, mereka dapat mewujudkan image yang bagus mengenai SBY.
Hal-hal seperti diatas, tidak pernah menjadi perhatian serius kaum pergerakan dan kekuatan oposisi. Padahal, pertarungan semacam ini—memenangkan kesadaran rakyat---merupakan tahap penting yang tidak bisa dipisahkan dari perjuangan penaklukan kekuasaan.
Jadi teringat dengan ucapan presiden Hugo Chaves; “ Rakyat perlu diberitahu tentang apa yang dikerjakan oleh pemerintah”.
Ketiga, ketidakmampuan kaum pergerakan maupun kekuatan politik oposisi secara umum, untuk menunjukkan bentuk kritik yang mendidik dan mudah dipahami rakyat, serta terfokus pada sebuah isu yang signifikan dimata rakyat. Akibatnya, hampir tidak ada langkah politik dan ekonomi SBY yang benar-benar ditelanjangi kesalahannya.
Situasi ini, memungkinkan bagi SBY dan partai pendukungnya untuk mengelak dan melancarkan serangan balik. Jika diperhatikan, SBY justru malah memfokuskan pada beberapa isu mengenai kinerjanya: Di bidang politik, dia memfokuskan pada isu pemberantasan korupsi; di bidang ekonomi, ia memfokuskan pada sejumlah program –program pengentasan kemiskinan, seperti BLT, KUR, PNPM-mandiri, dsb.
Kecurangan Pemilu
Dalam segala hal, rejim-rejim neoliberal tidak dapat memenangkan pemilihan hanya dengan mengandalkan pertarungan bebas, tetapi mereka butuh scenario-skenario dibelakang layar untuk kemenangan mereka. Hal ini, misalnya, begitu jelas dipakai sejumlah politisi sayap kanan di Amerika latin, untuk membendung kemenangan partai-partai kiri atau ekspresi perlawanan rakyat terhadap neoliberalisme.
Di Meksiko, rejim neoliberal dapat mempertahankan kontinuitasnya dengan mencurangi pemilihan, sehingga bisa memenangkan Felipe Calderon. Di Peru, kelompok sayap kanan pro-neoliberal juga berhasil menyingkirkan calon sayap kiri-nasionalis, Ollanta Homala, melalui serangkaian kecurangan yang disponsori oleh AS.
Dalam kasus Indonesia, tidak dapat disangkal lagi, bahwa rejim neoliberal tidak cukup “populer” jika hendak “bertarung bebas” dalam pemilihan. Rakyat sedang diliputi rasa skeptis terhadap partai politik. senjata paling memungkinkan bagi mereka adalah membeli suara rakyat (politik uang) dan melakukan kecurangan.
Dalam pemilu 2009 ini, rejim neoliberal betul-betul mengontrol aturan dan tata-penyelenggaraan pemilu. KPU, yang seyogyanya menjadi lembaga independen, justru merupakan infrastruktur utama yang mengkondisikan dan memfasilitasi kemenangan partai-partai neoliberal. Tidak tanggung-tanggung, pengabdian KPU terhadap rejim berkuasa ditunjukkan dengan kehadiran ketua KPU di TPS Cikeas, tempat dimana presiden SBY memberikan suaranya.
Dari berbagai celah yang disediakan, berikut peluang-peluang yang diciptakan KPU bagi kemenangan rejim neoliberal:
Pertama, tidak adanya pengumuman DPT yang resmi dan valid kepada rakyat. Akibatnya, pemilu berjalan tanpa ada kejelasan mengenai jumlah pemilih resmi di setiap dapil dan secara nasional. situasi ini sangat memungkinkan adanya operasi “penggelembungan suara”, baik dengan memanfaatkan petugas KPPS-PPK maupun apparatus pemerintahan, tentunya untuk memenangkan partai dan caleg tertentu.
Di desa Tegal Kertha, Denpasar, ada indikasi penggelembungan suara yang dilakukan oleh petugas KPPS terhadap suara partai demokrat, dengan menambahkan angka “nol” dibelakang perolehan suara sebenarnya. Kejadian seperti ini juga terjadi diberbagai tempat, yang bukan hanya diberikan kepada Demokrat, tetapi juga kepada PKS, Golkar, dan sebagainya. Di kecamatan Woha, Bima, warga malah menangkap bawah petugas PPK yang menukar formulir C1 dengan formulir C1 yang sudah digelembungkan suaranya. (sumber; berdikari online)
Aspek lain dari persoalan ini adalah penghilangan hak politik rakyat. di Pandeglan, Banten, terdapat 35.000 warga yang tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT). Di Ternate, terdapat 15 ribu warga yang tidak dimasukkan di DPT. Di Jakarta Barat, terdapat 50 ribu warga yang tidak masuk DPT. Sementara KPU sendiri mengakui, ada 300 ribuan orang secara nasional yang tidak dimasukkan dalam DPT.
Tidak adanya DPT resmi, memunculkan DPT siluman atau fiktif. Capres Gerindra, Prabowo, memperkirakan ada 20 juta pemilih fiktif di Indonesia. Di Magetan, ada 3.469 yang sudah meninggal dimasukkan di DPT. Sementara itu, Panwaslu Jateng menemukan 66.917 DPT bermasalah di seluruh Jateng. Sedangkan Panwas Jatim menemukan 43.546 DPT bermasalah di wilayahnya (jawa Pos). Sementara itu, Dewan perubahan Nasional (DPN) mensinyalir adanya 33,8 juta suara fiktif alias misterius. (Sinar Harapan)
Kedua, keterlibatan aktif aparat pemerintah dan petugas pemilihan dalam kecurangan, baik dilakukan pada saat pemilihan maupun paska pemilihan. Dalam banyak kasus, saksi partai politik “tidak berdaya” dalam menghadapi kecurangan-kecurangan ini.
Di tingkat bawah, petuga-petugas KPPS banyak yang menjadi agen dari kecurangan. Modusnya, mereka menukar surat suara yang sudah direkapitulasi dengan surat suara dari luar, yang sudah digelembungkan, tentunya. Kejadian ini, terjadi dengan jelas di Kecamatan Woha, Bima. Sedangkan di Tegal Kertha, Denpasar, saksi partai menemukan adanya penggelembungan suara dengan cara menambahkan angka “nol” pada perolehan suara, untuk memenangkan caleg dan partai tertentu. Di Tegal Kertha, jelas penggelembungan suara diberikan untuk Partai Demokrat. Di Magetan, Jatim, menurut sumber PDI Perjuangan (Kompas), petugas KPPS terlibat lansung dalam mengarahkan massa untuk memilih partai tertentu. Di Sulbar, petugas KPPS malah masuk ke dalam bilik suara dan mengarahkan pemilih untuk mencontreng partai tertentu.
Dari berbagai kejadian, selain petugas KPPS, aparat pemerintahan juga turut bermain, terutama pemerintahan di kecamatan. Dalam banyak kasus, kecurangan dilakukan dengan mengubah DPT, merubah hasil rekapan suara, dan merubah berita acara.
Ketiga, Lemahnya aturan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemilu 2009. Berbeda dengan pemilu paska reformasi dimana banyak lembaga independent pemantau pemilu, pada pemilu 2009 hampir tidak ada pengawasan yang ketat terhadap berjalannya pemilu. Karenanya, ini menciptakan ruang bagi terjadinya kecurangan, manipulasi, penggelembungan, dan sebagainya.
Di berbagai TPS, pemantauan kebanyakan dilakukan oleh saksi-saksi dari parpol atau kelompok masyarakat tertentu. Berbeda dengan pemilu 1999 dan 2004, keterlibatan lembaga pemantau independent sangat kecil, bahkan hampir tidak ada.
di Batanghari, Jambi, saksi-saksi dari partai politik malah tidak berdaya menghadapi kecurangan, dan terkesan "membiarkan". Padahal, kecurangan yang terjadi disana bersifat sistematis dan terbuka.
Jebakan Demokrasi Liberal
Demokrasi borjuis, dimanapun, membutuhkan legitimasi dari mayoritas untuk melindungi berjalannya apparatus mereka. Pada era sebelumnya, mereka mencarikan legitimasi melalui upaya-upaya “apa yang disebut sekarang ini sebagai cara-cara anti demokrasi; pembatasan hak pemilih, pemilu yang curang, dan intimidasi. Sekarang ini, legitimasi dicarikan dengan pemilu yang seolah-olah dapat dipercaya oleh semua orang; misalnya, seorang pejabat terpilih diatas hak universal suffrage, kontrol terhadap kecurangan, dan sebagainya.
Di Indonesia, pemilu 2009 merupakan penyempurnaan dari era demokrasi liberal. Sebelumnya, hampir semua badan-badan pemerintahan dipilih melalui pemilihan, seperti pilkada, pilkades, dsb. Selain itu, dibentuk saluran dan kanal-kanal yang memungkinkan terjadinya konflik di dalam proses demokrasi. Konflik pilkada dan pemilu sudah “ditadah” untuk diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam hal ini, menurut saya, untuk saat ini ada dua jebakan utama demokrasi liberal di Indonesia--mungkin juga di berbagai tempat: Pertama, mereka memfragmentasikan dan mengatomasi masyarakat dan kelompok-kelompok sosial menjadi individu-individu dengan orientasi sendiri-sendiri. bangunan ini dibuat dan dikelola, sedemikian rupa, terutama untuk menjaga perang diantara mereka; sebuah konflik horizontal yang dipelihara oleh control horizontal pula.
Dalam lapangan gerakan, bangunan ini dijaga melalui penciptaan sebuah kondisi dimana gerakan-gerakan sosial dipaksa untuk mencari goal nya sendiri. misalnya, gerakan HAM dipaksa hanya berbicara HAM, gerakan buruh juga dipaksa bergerak dalam zona sektoralnya, dan seterusnya. Padahal, neoliberalisme merugikan begitu beragam sektor sosial, bukan hanya kelas pekerja, petani, mahasiswa, dan miskin perkotaan, tetapi juga sebagaian sektor kapitalis nasional.
Dasar untuk menjaga semua sektor-sektor sosial ini agar mereka tetap terisolasi dan terfokus pada orientasi-orientasi parsial, padahal mereka hidup dalam hubungan yang kontradiktif, adalah untuk mencegah mereka menemukan common enemy, bertemu dengan kepentingan kolektif, dan memperjuangkan kepentingan nasionalnya.
Kedua, mereka mencoba memukul mundur partisipasi rakyat dengan cara menularkan apatisme dan anti-politik. Satu sisi, demokrasi liberal melempar rakyat menjadi apatis terhadap politik karena sistim ini gagal mentransformasikan perubahan dan perbaikan terhadap kehidupan rakyat. selain itu, apatisme dan tindakan apolitis ditularkan melalui penjaminan kebebasan individu, konsumerisme, dan sebagainya.
Dalam konteks ini, golput yang sebetulnya punya makna sebagai gerakan korektif terhadap sistem, ternyata perlahan ditransformasikan sejalan dengan kebebasan individu. Seseorang akan bangga dengan sikapnya yang golput, tanpa memeriksa konsekuensi dan tanggung jawab sosialnya secara politik. Alih-alih menjadikan golput sebagai gerakan politik yang aktif, justru diadaftasi oleh kelas menengah dan mapan sebagai kebudayaan politik mereka.
Sebagai contoh, di TPS 07 Komplek Mentri, Jalan Denpasar 2, Setiabudi, Jakarta Selatan. Dari hasilnya terlihat sangat mencengangkan. Dari sekitar 327 nama yang terdaftar, hanya 97 pemilih yang memberikan suaranya. Diantara mereka yang tidak muncul dan memberikan suara adalah Adhyaksa Dault, Aksa Mahmud, Andi Matalata, MS Kaban, Meutia Hatta, Mooryati Soedibyo, Irman Gustam, Widodo AS, Aburizal Bakrie dan Soetardjo Soerjoguritno. Menurut warga, mereka yang tidak menggunakan suaranya karena alasan sibuk, liburan, dan sebagainya. (sumber; bangadang.com)
Hal serupa juga terjadi di TPS 20 Taman Karawang, Karawang, Menteng, Jakarta Pusat, tempat Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mencontreng sudah tutup. Dari 270 orang yang terdaftar dalam DPT, hanya 140 orang yang menggunakan hak pilihnya. Alias hampir 50 persennya golput. Menurut petugas pemilihan, mereka tidak memilih karena memanfaatkan pemilu untuk jalan2 keluar negeri; belanja, dsb.
Berbeda dengan mereka yang merayakan golput sebagai kemenangan, justru saya beranggapan bahwa protes rakyat diberbagai TPS karena hak politiknya dicabut oleh KPU adalah ekspresi perlawanan politik yang aktif. Berbeda dengan pegolput yang berdiam diri dalam sebuah momen politik, justru mereka (baca; rakyat yang protes di TPS karena tidak masuk DPT) memperlihatkan tindakan politik aktif untuk menuntut partisipasinya dalam kehidupan politik.
Bagi saya, ini bisa diperdebatkan dan diuji validitasnya; gerakan golput ini. Jangan-jangan, anda merayakan golput sebagai kemenangan, padahal di Cikeas sana SBY juga berpesta karena besarnya angka golput sehingga dapat mengamankan suaranya. Semoga bukan begitu.
Ketidakmampuan Menghadang Neoliberalisme
Kemenangan Demokrat dan SBY, sebagai personifikasi dari kubu neoliberal, merupakan pukulan telak kepada seluruh kekuatan dan sektor yang anti neoliberal, terlepas apakah mereka ikut bertarung dalam pemilu atau tidak. Kekalahan ini bukan hanya dialami oleh elit-elit politik yang mencoba menggunakan retorika anti-neoliberal, tetapi juga kekalahan nyata dari gerakan anti-neoliberal di dalam gerakan massa.
Hal ini menjelaskan bahwa; pertama, meskipun keresahan terhadap neoliberalisme sudah muncul dimana-mana, akan tetapi gerakan anti-neoliberalisme yang dipromosikan oleh gerakan perlawanan maupun di kekuatan politik di parlemen, belum mampu menggerakkan sektor luas rakyat Indonesia untuk mengambil tindakan politik melawan neoliberalisme.
Baik sentimen anti-neolib di parlemen maupun gerakan massa punya kepentingan yang sama dalam menentang dan menghadang neoliberalisme. Dalam banyak momen dan wilayah aksi, sebetulnya kedua arus ini punya peluang bekerjasama dan menguatkan satu sama lain. Tetapi pada kenyataannya; yang satu meninggalkan yang lain. Akibatnya, kekuatan anti-neoliberal belum cukup kuat menghadang neoliberalisme.
Kedua, kemenangan kali ini, yang berbeda dengan pemilu 2004, telah menempatkan SBY dan pendukungnya sebagai kekuatan mayoritas dalam perolehan suara dan kemungkinan menjadi mayoritas di parlemen.
Seperti diketahui, suara partai demokrat melonjak hampir 300%, sebuah lonjakan yang fantastis. Tentusaja, hal ini berarti lipatan kekuatan bagi SBY dan kubunya dalam menjalankan kebijakan neoliberal yang jauh lebih agressif. Sedangkan bagi kita kaum pergerakan, ini adalah dosa yang perlu ditanggung. Kenapa? Karena kita telah membiarkan rejim begitu reaksioner berkuasa, hampir tanpa perlawanan cukup berarti.
Sudah begitu, meskipun neoliberal muncul sebagai musuh nyata di depan mata, belum juga terlihat sebuah usaha signifikan dari kaum pergerakan untuk membendungnya. Terkadang, kita sering kebingungan dalam mendefenisikan mendefenisikan siapa musuh dan siapa kawan terdekat, maupun sektor-sektor tertentu yang dapat dinetralisir dalam tahap histories tertentu. Sehingga, berulang kali, kita bermimpi hendak memukul musuh keseluruhan secara sekaligus, dalam satu pukulan, pada sebuah momen menentukan. Jadinya, kita selalu menunggu momen menentukan tersebut. Apa bedanya dengan para utopis?
Kemenangan SBY, bagaimanapun, telah menampar muka kita yang terlalu meremehkan keluwesan rejim neoliberal dan demokrasi liberalnya dalam mereproduksi sistem.
1 komentar:
Saya Ibu Hannah Boss, A pemberi pinjaman uang, saya meminjamkan uang kepada individu atau perusahaan yang ingin mendirikan sebuah bisnis yang menguntungkan, yang menjadi periode utang lama dan ingin membayar. Kami memberikan segala jenis pinjaman Anda dapat pernah memikirkan, Kami adalah ke kedua pinjaman pribadi dan Pemerintah, dengan tingkat suku bunga kredit yang terjangkau sangat. Hubungi kami sekarang dengan alamat email panas kami: (hannahbossloanfirm@gmail.com) Kebahagiaan Anda adalah perhatian kami.
Posting Komentar