“akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”
(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)
“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”
Di bawah ini ada sebuah puisi Gie yang kita tak tahu judulnya. kiranya ada yang tahu, sila lah berbagi info pada kami.
(Puisi Gie)
ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi
ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
mari, sini sayangku
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa”
Soe Hok Gie
“Siap-siap kalau mau ikut naik lagi ke Gunung Semeru. Kasih kabar secepatnya, sebab harus ada persiapan di musim penghujan Desember, juga pertengahan Desember itu bulan puasa Ramadhan,” kata Herman O. Lantang, mantan pimpinan pendakian Musibah Semeru 1969, yang masih amat bugar di umurnya yang sudah lewat 57 tahun.Terkejut dan tersentuh juga saya saat mendengar ajakan Herman itu. Dia merencanakan membentuk tim kecil untuk mendaki puncak Semeru lagi Desember ini, sambil memperingati 30 tahun meninggalnya dua sobat lama kami, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis. “Kita juga akan berdoa, sekalian mengenang Freddy Lasut yang meninggal beberapa bulan lalu,” lanjutnya.Soe meninggal dunia saat baru berumur 27 tahun kurang sehari. Idhan malah baru 20 tahun. “Tanpa terasa Soe sudah tiga dasawarsa meninggalkan kita sejak Orde Baru … perkembangan yang terjadi di Tanah Air dalam dua tahun terakhir ini, khususnya gerakan mahasiswa yang telah menggulingkan pemerintahan Orde Baru, mengingatkan kita kembali pada situasi tahun 1960-an, ketika Soe masih menjadi aktivis mahasiswa kala itu,” begitu bunyi naskah buku kecil acara “Mengenang Seorang Demonstran”, (berisikan antara lain diskusi panel soal bangsa dan negara Indonesia ini), yang bakal diselenggarakan Iluni FSUI dan Alumni Mapala UI.
Kasih batu dan cemara
Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Soe yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), di benak saya mulai tergali suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di G. Semeru.Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya G. Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, bersama Maman saya terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan. Kami menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru. Di depan kelihatan Soe sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan. Sempat pula kami berpapasan dengan Herman dan Idhan. Kelihatannya kedua teman itu akan menjadi yang paling akhir mendaki ke Mahameru.Dengan tertawa kecil, Soe menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan’ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum bersama Maman saya turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, kami menunggu datangnya Herman, Freddy, Soe, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Soe dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, kami berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Soe, dan Idhan berkali-kali.Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Soe dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Kami berharap semoga Soe dan Idhan cuma pingsan, besok pagi siuman lagi untuk berkumpul dan tertawa-tawa lagi, sambil mengisahkan pengalaman masing-masing.Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta kami menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.“Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, kami berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.
Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, kami yakin kalau Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kami jumpai jasad kedua kawan kami sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Kami semua diam dan sedih.
Mengapa naik gunung
Sejak dari Jakarta Soe sudah merencanakan akan memperingati hari ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember, dalam tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta kami menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini monoton sampai sudah membosankan kuping dan tenggorokan.Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mi hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam dingin dan hujan itu, kami bertujuh banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung. “Pokoknya gue akan berulang tahun di atas,” katanya sambil mesam-mesem. “Nyanyi lagi dong. Lagu Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali.”Pagi hari nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke puncak, kami sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung. “Keren enggak?” Tanyanya.Rombongan pun berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru dari dataran di kaki G. Bajangan. Soe sebagaimana biasanya, selalu memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih banyak harimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau Cemoro Kandang berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan.Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya (saya), asal muasal nama recopodo alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa. Namun sang mahasiswa juga membayangkan dengan geli, betapa kagetnya wakil DPR-RI saat itu ketika menerima bingkisan dari kelompok Soe berisi gincu dan cermin sebagai perlambang fungsi anggota DPR yang banci. Sayang, cuma segitu ingatan saya tentang Soe pada jam-jam terakhirnya. Yang masih tetap terngiang justru rayuan dan “falsafahnya”, kala mengajak seseorang mendaki gunung. “Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru, sekali-kali menjadi orang tertinggi di P. Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di P. Jawa ini,” kira-kira begitu katanya, sambil menyinggung nama mantan Presiden Soeharto, nun sekitar 30 tahun lalu.Memang pendakian ke Semeru ini merupakan proyek kebanggaan Mapala FSUI 1969. Soe dengan keandalannya melobi kiri-kanan, mampu mengumpulkan dana untuk subsidi penuh beberapa rekan yang mahasiswa bokek sejati.Singkat cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak orang. Kami yang ditinggal dalam suasana tak menentu, selama sembilan hari benar-benar hidup tidak kejuntrungan. Selain puasa sampai tiga hari karena kehabisan makanan, kami makin sedih saat menerima surat dari Tides via kurir, menanyakan keadaan Soe dan Idhan.Herman, kami sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, sesudah jalan sepanjang malam (sekitar 20 jam). Pak Lurah menyanggupi tenaga bantuan 10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, dan Maman dll. secepatnya mendahului rombongan … Tides dan Wiwik 18-12-69.Saya pun terpilih menjadi kurir, mendahului rombongan sambil membawa surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau bukan minta bantuan tenaga dan bahan makanan. Herman pun menulis surat: Saya tunggu di Cemorokandang dan bermaksud menunjukkan “site” tempat jenazah Soe dan Idhan … kirimkan: gula/gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaian hangat … sebanyak mungkin!
Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh anggota rombongan baru berkumpul lagi pada tanggal 22 Desember di Malang. Kurus dan kelelahan. Maman terpaksa dirawat khusus beberapa hari di RS Claket. Sedangkan Soe dan Idhan, terbaring kesepian di dalam peti jenazah masing-masing.
Untuk terakhir kali, kami tengok Soe dan Idhan. Soe yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.
Monyet tua yang dikurung
Kalau diingat-ingat, selama beberapa minggu sebelum keberangkatan dengan kereta api ke Jatim, Soe memang suka berkata aneh-aneh. Beberapa kali dia mengisahkan kegundahannya tentang seorang kawan yang mati muda gara-gara ledakan petasan. Ternyata dalam buku hariannya di CSD, Hok Gie menulis: “… Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru ….” Soe yang banyak membaca dan sering diejek dengan julukan “Cina Kecil”, memanfaatkan kebeningan ingatannya untuk menyitir kata-kata “sakti” filsuf asing. Antara lain, tanggal 22 Januari 1962, ia menulis: “Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.” Soe yang penyayang binatang (dia memelihara beberapa ekor anjing, banyak ikan hias dan seekor monyet tua jompo), sebelum musibah Semeru itu sempat berujar: “Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”Arief Budiman, sang kakak yang menjemput jenazah Soe di Gubuk Klakah, juga merasakan sikap aneh adiknya. Sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang … makin lama makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan … Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian.” (CSD) Arief sendiri mengungkapkan, ibu mereka sering gelisah dan berkata: “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang.” Terhadap Ibu, dia cuma tersenyum dan berkata: “Ah, Mama tidak mengerti”.Arief pun menulis kenangannya lagi: … di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram karena voltase yang selalu naik turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, sering kali masih terdengar suara mesin tik … dari kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangan … saya terbangun dari lamunan … saya berdiri di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik, “Gie kamu tidak sendirian”. Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yag saya katakan itu.
Mimpi seorang mahasiswa tua
John Maxwell yang menyusun disertasinya, Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesia Intellectual (Australian National University, 1997), menjabarkan betapa banyaknya komentar penting terhadap kematian Hok Gie. Harian Indonesia Raya yang masa itu sedang gencar-gencarnya mengupas kasus korupsi Pertamina-nya Ibnu Sutowo, memuat tulisan moratorium tentang Soe secara serial selama tiga hari.Mingguan Bandung Mahasiswa Indonesia, mempersembahkan editorial khusus: …Tanpa menuntut agar semua insan menjadi seorang Soe Hok-gie, kita hanya bisa berharap bahwa pemuda ini dapat menjadi model seorang pejuang tanpa pamrih … kita membutuhkan orang seperti dia, sebagai lonceng peringatan yang bisa menegur kita manakala kita melakukan kesalahan.Di luar negeri, berita kematian Soe sempat diucapkan Duta Besar RI Soedjatmoko, di dalam pertemuan The Asia Society in New York, sebagai berikut: … Saya ingin menyampaikan penghormatan pada kenangan Soe Hok-gie, salah seorang intelektual yang paling dinamis dan menjanjikan dari generasi muda pasca kemerdekaan …. Komitmennya yang mutlak untuk modernisasi demokrasi, kejujurannya, kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan … bagi saya ia memberikan suatu ilustrasi tentang adanya kemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang telah disampaikannya kepada kita, dalam hidupnya yang singkat itu.Kepada Ben Anderson, pakar politik Indonesia yang juga kawan lengket Soe, dalam salah satu surat terakhirnya, Soe menulis, … Saya merasa semua yang tertulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan semuanya ingin saya isi dengan bom!Dari cuplikan berbagai tulisan Soe, terasa sekali sikap dan pandangannya yang khas. Misalnya, Soe pernah menulis begini: Saya mimpi tentang sebuah dunia, di mana ulama - buruh - dan pemuda, bangkit dan berkata - stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apa pun. Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.Khusus soal mahasiswa, menjelang lulus sebagai sejarawan, 13 Mei 1969, Soe sempat menulis artikel Mimpi-mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua. Dalam uraian tajam itu, ia menyatakan: … Beberapa bulan lagi saya akan pergi dari dunia mahasiswa. Saya meninggalkan dengan hati berat dan tidak tenang. Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan … Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa.Saat dirinya masuk korps dosen FSUI, secara blak-blakan Soe mengungkap ada dosen yang membolos 50% dari jatah jam kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Terjemahan mahasiswa itu dipakainya sebagai bahan pengajaran, karena sang dosen ternyata tidak tahu berbahasa Inggris.Masih di seputar mahasiswa, dalam nada getir, Soe menulis: … Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh sementara dosen-dosen korup mereka.Khusus untuk wakil mahasiswa yang duduk dalam DPR Gotong Royong, Hok Gie sengaja mengirimkan benda peranti dandan. Sebuah sindiran supaya wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di mata pemerintah. Padahal wakil mahasiswa itu teman-temannya sendiri yang dijuluki “politisi berkartu mahasiswa”. Langkah Soe ini membuat mereka terperangah. Sayangnya, momentum ini kandas. Soe Hok Gie keburu tewas tercekik gas beracun di Puncak Mahameru. Berpolitik cuma sementaraJohn Maxwell dalam epilog naskah buku Mengenang Seorang Demonstran (November 1999), menulis begini, “Saya sadar telah menulis tentang seorang pemuda yang hidupnya berakhir tiba-tiba, dan terlalu dini dengan masa depan yang penuh dengan kemungkinan yang begitu luas.”Kita telah memperhatikan bagaimana Soe Hok Gie terpana politik dan peristiwa nasional, setidak-tidaknya sejak masih remaja belasan tahun … namun hasratnya terhadap dunia politik, diredam oleh penilaiannya sendiri bahwa dunia politik itu pada dasarnya lumpur kotor. Semua orang seputar Soekarno dinilainya korup dan culas, sementara pimpinan partai dan politisi terkemuka, tidak lebih dari penjilat dan bermental “asal bapak senang”, serta “yes men”, atau sudah pasrah.Pandangan ini menjadi latar belakang pembelaan Soe akan kekuatan moral dalam politik di awal tahun 1966. Keikutsertaannya dalam politik hanya untuk sementara. Pada pertengahan tahun yang sama, dia menyampaikan argumentasi bahwa sudah tiba saatnya bagi mahasiswa untuk mundur dari arena politik dan membiarkan politisi profesional bertugas, membangun kembali institusi politik bangsa.” Demikian tulis Maxwell.Soe memang sudah bersikap. Dia memilih mendaki gunung daripada ikut-ikutan berpolitik praktis. Dia memilih bersikap independen dan kritis dengan semangat bebas. Pikiran dan kritiknya tertuang begitu produktif dalam pelbagai artikel di media cetak. Namun secara diam-diam, Soe ternyata juga menumpahkan unek-uneknya dalam bentuk puisi indah. Salah satunya Mandalawangi-Pangrango yang terkenal di kalangan pendaki gunung. Pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis manis FSUI, selain kutu buku, macan mimbar diskusi, kambing gunung, tukang nonton film, juga penggemar berat folksong (meski sama sekali tak becus bernyanyi merdu). Berbadan kurus nyaris kerempeng, di gunung makannya gembul.Bagi pemuda dan khususnya mahasiswa demonstran, masih ada potongan puisi Hok Gie yang sempat tercecer, baru muncul di harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973. Judulnya “Pesan” dan cukilan pentingnya berbunyi:Hari ini aku lihat kembaliWajah-wajah halus yang keras Yang berbicara tentang kemerdekaaan Dan demokrasi Dan bercita-cita Menggulingkan tiran Aku mengenali mereka yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator dan yang tanpa uang mau memberantas korupsi Kawan-kawan Kuberikan padamu cintaku Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Mandalawangi-Pangrango
Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima dakuaku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semestamalam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilahdan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmuaku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup
Jakarta 19-7-1966
Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekah.
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza.
Tapi, aku ingin habiskan waktuku di sisimu, sayangku.
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang
manis di lembah Mendalawangi.
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang.
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra.
Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku.
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya.
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu.
Mari sini, sayangku.
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku.
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung.
Kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa.
Soe Hok Gie, Demonstran yang Teguh dalam Prinsip
Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin. Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, RRT.
Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).
Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.
Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Pemuda Kritis
Sejak SMP, Hok Gie menulis buku catatan harian, termasuk surat- menyurat dengan kawan dekatnya. Semakin besar, ia makin berani menghadapi ketidakadilan, termasuk melawan tindakan semena-mena sang guru. Sekali waktu, Soe pernah berdebat dengan guru SMP-nya. Tentu saja guru itu naik pitam.
Dalam catatan hariannya, ia menulis: Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau. Begitu tulis anak muda yang sampai hari ajalnya, tetap tak bisa mengendarai sepeda motor, apalagi nyupir mobil. "Gue cuma bisa naik sepeda, juga pandai nggenjot becak."
Sikap kritisnya semakin tumbuh ketika dia mulai berani mengungkit kemapanan. Misalnya, saat dirinya menjelang remaja, Soe menyaksikan seorang pengemis sedang makan kulit buah mangga. Dia pun merogoh saku, lalu memberikan uangnya yang cuma Rp 2,50 kepada pengemis itu. Di catatannya ia menulis: Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga, 'paduka' kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik. Aku besertamu orang-orang malang.
Bacaan dan pelajaran yang diterimanya membentuk Soe menjadi pemuda yang percaya bahwa hakikat hidup adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dan dapat merasai kedukaan itu.
Catatan Seorang Demonstran
Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).
Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.
Tahun 1966 ketika mahasiswa tumpah ke jalan melakonkan Aksi Tritura, ia termasuk di barisan paling depan. Konon, Soe juga salah seorang tokoh kunci terjadinya aliansi mahasiswa-ABRI pada 1966.
Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.
John Maxwell menulis biografi Soe Hok Gie dengan judul Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997).
Pada tahun 2005, catatan hariannya menjadi dasar bagi film yang disutradarai Riri Riza, Gie, dengan Nicholas Saputra berperan sebagai Hok Gie.
riwayat hidup soe hok gie
Sosok Soe Hok Gie sendiri dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu Yi dalam bahasa Mandarin (dialek Pinyin). Anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, ini sejak kecil amat suka membaca, mengarang dan memelihara binatang. Keluarga sederhana itu tinggal di bilangan Kebon Jeruk, di suatu rumah sederhana di pojokan jalan, bertetangga dengan rumah orang tua Teguh Karya. Saudara laki-laki satu-satunya Soe Hok Djien yang kini kita kenal sebagai Arief Budiman, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal sebagai seorang akademisi, sosiolog, pengamat politik dan ketatanegaraan yang kini bermukim di Australia. Sejak SMP, ia menulis buku catatan harian, termasuk surat-menyurat dengan kawan dekatnya.
Semakin besar, ia semakin berani menghadapi ketidakadilan, termasuk melawan tindakan semena-mena sang guru. Sekali waktu, Gie pernah berdebat dengan guru SMP-nya. Tentu saja guru itu naik pitam. Di dalam catatan hariannya yang kemudian dibukukan dalam Catatan seorang Demonstran, ia menulis: “Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.” Begitu tulis anak muda yang sampai hari ajalnya, tetap tak bisa mengendarai sepeda motor, apalagi mobil. Tulisnya lagi: “Gue cuma bisa naik sepeda, juga pandai nggenjot becak.”
Sikap kritisnya semakin tumbuh ketika dia mulai berani mengungkit kemapanan. Misalnya, saat dirinya menjelang remaja, Gie menyaksikan seorang pengemis sedang makan kulit buah mangga. Dia pun merogoh saku, lalu memberikan uangnya yang cuma Rp 2,50 kepada pengemis itu. Di catatannya ia menulis: “Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga, ‘paduka’ kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik. Aku besertamu orang-orang malang.”
Gie melewatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Tahun 1962-1969 ia melanjutkan studinya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan ilmu sejarah. Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rezim Orde Baru. Ketika keadaan perekonomian di tanah air semakin tidak terkendali sebagai akibat adanya depresi perekonomian pada sekitar dekade enam puluhan yang mengakibatkan kemudian pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti pemotongan nilai mata uang (Sanering) yang menurut Gie hal ini akan semakin mempersulit kehidupan rakyat Indonesia .Ia kemudian masuk organisasi Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS). Sementara keadaan ekonomi makin kacau. Gie resah. Dia mencatat: “Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak.” Maka lahirlah sang demonstran.
Mulai saat itulah hari-hari Gie diisi dengan berbagai aktivitas di dalam dunia pergerakan seperti rapat-rapat, demonstrasi, aksi pasang memasang ribuan selebaran propaganda, sampai dengan ancaman teror serta cacian dari penguasa karena aktivitas pergerakannya menjadi suatu hal yang lumrah bagi Gie, “Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini, menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya. Dan kepada rakyat aku ingin tunjukkan, bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah pimpinan patriot-patriot universitas,” begitu tulisnya. Tahun 1966 ketika mahasiswa tumpah ke jalan melakonkan Aksi Tritura, Gie kemudian menggabungkan diri di dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) ia termasuk di barisan paling depan.
Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.
Seperti yang telah diceritakan diatas, Gie adalah juga salah seorang tokoh kunci terjadinya aliansi mahasiswa-militer pada tahun 1966. Gie sendiri dalam buku Catatan Seorang Demonstran, menulis soal aktivitas gerakannya tersebut: “Malam itu aku tidur di Fakultas Psikologi. Aku lelah sekali. Lusa Lebaran dan tahun yang lama akan segera berlalu. Tetapi kenang-kenangan demonstrasi akan tetap hidup.” Dia adalah batu tapal daripada perjuangan mahasiswa Indonesia. Batu tapal dalam revolusi Indonesia dan batu tapal dalam sejarah Indonesia. Karena yang dibelanya adalah keadilan dan kejujuran. Tertulis di akhir kalimatnya, Jakarta, 25 Januari 1966.
Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442 m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya: “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth.”
Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.
Soe Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Beberapa tulisannya benar-benar tajam dan menohok pemerintah kala itu, sehingga seringkali ia mendapat ancaman dari berbagai pihak. Salah satu tulisannya yang terkenal adalah “Betapa Tak Menariknya Pemerintah Sekarang”, yang pernah dimuat di harian Kompas, 16 Juli 1969
Dalam tulisannya, aktivis gerakan mahasiswa 1966 ini menyoroti kinerja kabinet di bawah Presiden Soeharto. Gie melihat adanya kesenjangan antara persepsi masyarakat luas dengan kinerja pemerintahan Soeharto saat itu.
Menlu Adam Malik yang bolak-balik ke luar negeri dipersepsikan masyarakat sebagai usaha untuk mendapat utang-utang baru dari negara donor. “Nama Adam Malik dapat diganti dengan nama Emil Salim, Widjojo Nitisastro, Presiden Soeharto dan seterusnya. Seolah-olah seluruh usaha diplomasi kita adalah diplomasi cari utang untuk kelangsungan hidup repulik kita yang sudah 24 tahun usianya,” tulis Gie.
Gie –saat itu– menganggap pemerintah Soeharto yang baru dibentuk merupakan antitesis dari pemerintah Soekarno yang korup dan tidak berpijak pada realitas. Pemerintah Soekarno dan pemerintah Soeharto memiliki cita-cita yang sama besarnya dalam menyejahterakan masyarakat. Namun caranya berbeda. Dan di sinilah subjektivitas Hok Gie muncul. “Jauh lebih mudah membuat sebuah monumen dengan emas di puncaknya daripada membuat dan memperbaiki 1000 kilometer jalan raya,” katanya menyinggung proyek Monumen Nasional yang dibangun di jaman Presiden Soekarno.
Adik Arief Budiman ini juga melihat mispersepsi masyarakat terhadap kinerja kabinet muncul karena tidak adanya partisipasi sosial dan mobilisasi sosial yang dilakukan pemerintah. “Usaha Adam Malik dan kawan-kawan mencari kredit baru, menunda pembayaran utang-utang adalah bagian permulaan daripada usaha besar. Tetapi apakah pemuda-pemuda lulusan SMP di Wonosobo menyadari soal ini?”
Pemerintah yang pragmatis dan kegagalan komunikasi yang dimengerti masyarakat umum pada akhirnya gagal menimbulkan gairah dan sokongan kerja masyarakat. Masyarakat dijejali istilah rule of law, human rights, tertib hukum dari Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung dan bahkan Presiden Soeharto. Namun di lain pihak, setiap hari mereka mendengar oknum militer yang menampar rakyat, anak-anak penggede yang ngebut serta penyelundupan yang dilindungi.
Gie pernah berkata pada Arief, kakaknya, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”.
Gie menulis kritik-kritik yang keras di koran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat-surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia, antara lain, “Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja”. Ibu Gie sering gelisah dan berkata, “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang”. Terhadap ibunya dia cuma tersenyum dan berkata, “Ah, mama tidak mengerti”.
Kemudian, Gie juga pernah jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi orang tuanya tidak setuju — mereka selalu dihalangi untuk bertemu. Orang tua gadis itu adalah seorang pedagang yang cukup kaya dan Gie sudah beberapa kali bicara dengan dia. Kepada Arief, Gie berkata, “Kadang-kadang, saya merasa sedih. Kalau saya bicara dengan ayahnya si ***, saya merasa dia sangat menghargai saya. Bahkan dia mengagumi keberanian saya tanpa tulisan-tulisan saya. Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti akan menolak. Terlalu besar risikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya”. Karena itu, ketika seorang temannya dari Amerika menulis kepadanya: “Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, Selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan”. Surat ini dia tunjukkan kepada Arief. Arief menuturkan, “Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata: Ya, saya siap.”
Gie, berdasarkan kedudukannya dapat disetarakan dengan tentara yang kembali dari medan perang. Ia dipuji dan dielu-elukan rakyat, namun ketika sang tentara hendak mencari pasangan hidup, tentu orang tua sang wanita tak akan rela menyerahkan anak gadisnya untuk dinikahi sang tentara. Kenapa begitu? Biarpun yang ia lakukan itu benar dan berjasa besar, namun tindakannya terlaku berbahaya dan beresiko.
“…Kelompok yang berjaga-jaga mulai keluar dengan berpakaian serba hitam dan bersenjatakan pedang, pisau, pentungan dan bahkan senjata api. Rumah-rumah penduduk yang diduga sebagai anggota PKI dibakar sebagai bagian pemanasan (warming up) bagi dilancarkannya tindakan-tindakan yang lebih kejam. Kemudian pembantaian pun terjadi dimana-mana…” Tulis Gie dalam buku hariannya.
Gie adalah salah satu tokoh yang sangat menyoroti tragedi G30/S/PKI, tragedy yang sangat memilukan dalam sejarah kelam Bangsa Indonesia. Tapi tidak demikian halnya dengan pengungkapan reaksi balik yang tidak kalah biadabnya dari gerakan 30 September 1965 yang menimpa orang dituduh anggota dan simpatisan PKI. Pembantaian, pemberangusan, penghilangan lawan politik yang sungguh biadab dan diluar batas nilai-nilai kemanusiaan.
Cerita pembantaian massa PKI Bali ditulis oleh Robert Cribb, Soe Hok Gie serta tambahan laporan dari Pusat Studi Pedesaan Universitas Gajah Mada yang dicatat dari pemberitaan harian Suara Indonesia yang terbit di Denpasar. Juga ada dokumen dari Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat tentang penumpasan G30S/PKI di Bali. Cribb dan Gie mengawali catatannya untuk menggambarakan bagaimana brutal dan sadisnya pembantaian PKI di Bali.
Komandan RPKAD, Sarwo Edhi, yang pasukannya tiba pada akhir Desember 1965, dilaporkan pernah berkata, “Di Jawa kami harus menghasut penduduk untuk membantai orang-orang komunis. Di Bali kami harus menahan mereka, untuk memastikan bahwa mereka tidak bertindak terlalu jauh.”
Situasi di Bali dalam catatan Soe Hok Gie memang agak terlamabat menerima komando untuk melakukan pembantaian. Elite-elite politik di Bali lama mengamati pertarungan yang terjadi di Jakarta dan menunggu siapa yang keluar sebagai pemenang. Banyak para keluarga di Bali yang kehilangan anggota keluarganya dalam Tragedi 65 melakukan ritual ini untuk menutup rapat tragedi menyedihkan tersebut.
Ada sebuah catatan kecil dari pemikiran Soe Hok Gie tentang konsep kebudayaan yang ada di buku hariannya ketika ia sedang berdiskusi dengan Ong Hok Ham yang dicatatnya pada tanggal 31 Desember 1962. Di sana dia menulis, ”Lihat di Irian Barat, telanjang, bercawat, tidak ada kebudayaan.”
Nampaknya waktu itu Soe Hok Gie masih terpengaruh ide yang berpendapat bahwa hal-hal yang masih primitif itu adalah hal-hal yang belum mengenal atau tersentuh oleh kebudayaan. Konsep yang sudah ketinggalan jaman pada waktu itu sebenarnya. Semoga saja pendapatnya ini berubah seiring dengan berjalannya waktu.
Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676 meter. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya: “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Dalam suasana yang seperti inilah Gie meninggalkan Jakarta untuk pergi ke puncak gunung Semeru. Pekerjaan terakhir yang dia kerjakan adalah mengirim bedak dan pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan dengan begitu akan tambah cantik di muka penguasa. Suatu tindakan yang membuat dia tambah terpencil lagi, kali ini dengan beberapa teman-teman mahasiswa yang dulu sama-sama turun ke jalanan pada tahun 1966.
8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”
Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut. Gie tewas bersama rekannya, Idhan Lubis. Tanggal 16 Desember 1969, Soe Hok Gie yang berencana merayakan ulang tahunnya di puncak Mahameru menghembuskan nafasnya yang terakhir karena terjebak gas beracun.
24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.
Soe Hok-gie, Anak Zaman Peralihan
Judul: Soe Hok-gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, Penulis: John Maxwell, Penerbit: PT Pustaka Utama Grafiti, Cetakan Pertama, 2001, Tebal: (xiii + 443) halaman.
DALAM perjalanan panjang sejarah Indonesia pascakemerdekaan, dekade tahun 1960-an mempunyai arti yang sangat penting karena ditandai dengan transisi jabatan kepresidenan secara "paksa" dari Soekarno ke Soeharto. Peristiwa itu didahului adanya kup yang disebut-sebut didalangi oleh Partai Komunis Indonesia. Di era itu juga dilaksanakan Demokrasi Terpimpin, yang kemudian berakhir setelah Soekarno jatuh.
Soe Hok-gie, sebagai anak zaman yang "kebetulan" besar dan tumbuh saat bangsa Indonesia sedang bergejolak tahun 1960-an tersebut. Ia dan kawan-kawan ikut menyuarakan perjuangan menentang pemerintah (Soekarno) yang dinilai mulai mengarah ke tirani.
John Maxwell dalam Soe Hok-gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani ini mengungkapkan bahwa Soe Hok-gie adalah sosok minor dalam dunia politik Indonesia. Minor karena nama Soe Hok-gie tak dikenal luas di Indonesia, kendati tulisannya begitu mencengangkan di kalangan tertentu, terutama di antara orang-orang Indonesia yang menjadi pembaca media cetak bermutu di Jakarta.
Dalam buku yang semula adalah desertasinya di Australia National University, Department of Political and Social Change Canberra, Maxwell juga menjelaskan bahwa sisi minor tadi masih ditambah bahwa secara etnis dan kultural, sebagai orang Cina-Indonesia, Soe Hok-gie ia harus memulai kehidupan sebagai orang "asing".
Secara politik, ia bukanlah anggota atau pemimpin suatu partai politik tertentu. Ini menyebabkan nama Soe Hol-gie sulit ditemukan dalam catatan kaki dan publikasi literatur politik dasawarsa tahun 1960-an (hlm 4).
Namun, Maxwell menegaskan bahwa Soe Hok-gie adalah sebuah sejarah; sejarah munculnya kesadaran politik seorang anak muda ketika ia tengah berusaha merespon apa yang terjadi dalam masyarakat di sekelilingnya dan ketika ia berusaha menjawab persoalan politik bangsanya.
***
BUKU ini dibagi menjadi enam bab yakni: Asal-usul, Konteks, Tahun-tahun Awal di Universitas: Kemunculan Seorang Aktivis Politik, Terjun ke Kancah Aktivisme Politik: Demonstrasi Mahasiswa 1966, Membersihkan Orde Lama; Bergulat dengan Kemunculan Orde Baru. Dalam tiap bab yang terdiri dari bagian-bagian tertentu, diuraikan urutan fase kehidupan Hok-gie lebih berfokus pada kejadian-kejadian sosial politik bangsa tahun 1950-1970.
Bagian pertama menceritakan asal usul Soe Hok-gie sebagai keturunan peranakan yang istimewa. Maxwell begitu jernih mengulas tentang latar belakang Soe Hok-gie kecil dan remaja yang begitu terpikat pada dunia buku dan ide-ide yang kreatif penuh imajinasi. Orang-orang terdekat Soe Hok-gie, juga menjadi ulasan Maxwell dalam usaha lebih dalam mengenal pribadinya.
Seperti lazimnya anak manusia, identitas adalah sesuatu yang menjadi pemikiran Soe Hok-gie dalam perkembangan pribadinya. Ia tumbuh dan terpengaruh gejolak pada awal masa kemerdekaan, saat pencarian identitas bangsa Indonesia juga berpengaruh pada pencarian keyakinan, jati diri, keadilan dan kemanusiaannya (Bab 1).
Maxwell berusaha secara gamblang menguraikan sosok paradoksal ini dengan seringnya mengemukakan persaingan Soe Hok-gie dengan kakaknya Arief Budiman, kebimbangannya akan cinta dan seks, juga keraguannya akan agama, sampai pada kebenciannya pada dunia borjuis dan ketertarikannya pada demokrasi, hak-hak individu, dan kebebasan.
Bab-bab selanjutnya (dua sampai enam), penuh diisi dengan kiprah Soe Hok-gie di dunia kampus dan politik Indonesia. Sebagai mahasiswa Jurusan Sejarah, nuraninya tergugah ketika melihat betapa kacaunya situasi bangsa dan negara Indonesia waktu itu karena pemerintahan yang tidak stabil dan bobroknya moral para pejabat. Tulisan-tulisannya (yang banyak dikutip oleh Maxwell) begitu tajam, menggigit dan seringkali sinis ketika ia menyerang seorang tokoh, keadaan ataupun kebijakan pemerintah yang dirasanya tidak sesuai dengan prinsip demokrasi, kebebasan, dan kejujuran.
Maxwell yang mencoba menganalisis Soe Hok-gie dari tulisan-tulisannya di surat-surat kabar, catatan harian, dan sumber-sumber lain selama periode tahun 1950-1970, dalam lima bab berikutnya, ternyata memang mau tidak mau harus banyak mengungkapkan fakta-fakta politik dan situasi bangsa Indonesia guna menemukan relevansinya dengan entri-entri yang ditulis Soe Hok-gie.
Terlihat bahwa kesadaran subyektif Soe Hok-gie sangatlah menentukan langkah dan pandangannya tentang sebuah perjuangan moral. Maxwell menangkap hal ini, ketika ia menuliskan kekecewaan Soe Hok-gie akan teman-teman seperjuangannya yang larut pada struktur kekuasaan dan meninggalkannya dalam kesepian dan keterasingan (Bab 6).
Akan halnya tentang sisi kehidupan lain seorang Soe Hok-gie, sejalan dengan tidak sedikitnya entri dan catatan harian yang ditulisnya tentang seks, perkawinan, agama, keluarga, cinta, dan dunia petualangan, maka cinta dan petualangan menjadi fokus dari semuanya. Sebagai sosok pribadi yang tegar, keras, kokoh, dan pantang menyerah seperti ditunjukkan dalam petualangannya di gunung-gunung, Soe Hok-gie ternyata adalah pribadi yang lembut dan emosional ketika berbicara tentang cinta. Kasih yang tak sampai kepada gadis pujaannya gara-gara perbedaan agama dan etnis menyebabkannya begitu sedih dan putus asa (hlm 334-336).
Maxwell tampaknya sengaja menyinggung masalah cinta ini guna memperlihatkan sosok Soe Hok-gie yang begitu manusiawi, jujur, dan sederhana saat berbicara tentang cinta sama seperti ketika ia juga menulis dan berbicara secara jujur, lugas dan apa adanya tentang ketidaksenangannya terhadap kekejaman, kekejian, kelicikan, dan ketidakadilan yang menimpa bangsa Indonesia waktu itu.
***
KIRANYA buku biografi ini layak untuk dijadikan bacaan. Tidak hanya bagi mahasiswa yang menjadi salah satu dari the effective opposition guna menjalankan dinamika sosial politik suatu bangsa, melainkan juga bagi para pemerhati sejarah Indonesia. Mengapa? Tidak lain adalah karena minimnya anak zaman seperti Soe Hok-gie yang dimiliki Indonesia.
Secara etnis ia bukan pribumi; tetapi secara jiwa, raga, dan nurani, Soe Hok-gie barangkali lebih meng-Indonesia daripada orang Indonesia sendiri (baca: pribumi). Kejujuran, tulisan-tulisan, dan kedukaannya, bahkan kematiannya di Gunung Semeru (16 Desember 1969) akibat gas beracun, mungkin tidak berarti banyak bagi bangsa Indonesia yang harus terus maju menentang badai.
Sumber: http://abengtaziex.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar