Neoliberalisme merupakan penjelmaan kembali paham liberalisme klasik dalam jasad dan ruh yang baru. Oleh karenanya, menjadi sulit melakukan pembahasan terhadap neoliberalisme, jikalau kita tidak menyinggung apa itu liberalisme. Paham liberalisme berkonotasi luas, dapat mengacu pada paham ekonomi, politik, dapat pula berkait dengan gagasan agama. Namun demikian, dalam diskursus ini, liberalisme dimaksud ialah terkait dengan liberalisme ekonomi. Pada pokoknya paham ini memperjuangkan leissez faire (persaingan bebas), yaitu paham yang memperjuangkan hak-hak atas pemilikan dan kebebasan individual. Di mana mereka lebih percaya pada kekuatan pasar untuk menyelesaikan masalah sosial, ketimbang melalui metode regulasi negara. Kata neo dalam neoliberalisme, sesungguhnya merujuk pada bangkitnya kembali bentuk baru aliran ekonomi liberalisme klasik, yang pada awal mulanya dibangkitkan oleh ekonom Inggris Adam Smith, dalam karyanya yang berjudul The Wealth of Nations (1776) [1] Pemikiran Smith menggagas penghapusan intervensi pemerintah dalam ekonomi. Menurut Smith, seharusnya pemerintah membiarkan mekanisme pasar bekerja, melakukan proses deregulasi, melalui segenap pengurangan restriksi pada industri, mencabut semua rintangan birokratis perdagangan, bahkan berupaya untuk menghilangkan tarif bagi perdagangan, demi menjamin terwujudnya free trade. Perdagangan dan persaingan bebas adalah cara terbaik bagi ekonomi nasional untuk berkembang. Dengan demikian, liberalisme di sini berkonotasi “bebas dari kontrol pemerintah,” atau kebebasan individual untuk menjalankan persaingan bebas. Termasuk kebebasan bagi kaum kapitalis untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Akan tetapi, konsep Smith akhirnya runtuh saat bencana depresi besar (the great depression) di tahun 1930-an melanda Eropa.
Bencana ini melahirkan mesias berikutnya, seorang ekonom Inggris, John Maynard Keynes. Keynes tampil dengan pemikiran alternatif terhadap paham liberal. Ia mengembangkan teori yang menantang kebijakan liberalisme. Gagasannya justru menyatakan, bahwa “full employment” buruh harus dipertahankan, karena berperan strategis bagi perkembangan kapitalisme. Karenanya, intervensi pemerintah dan bank sentral harus dilibatkan guna menciptakan lapangan kerja.[2] Sejak berkembang pemikiran Keynes, peran negara dalam bidang ekonomi kian menguat, dan menenggelamkan paham liberalisme. Namun krisis kapitalisme yang terjadi dalam periode berikutnya, sebagai akibat dari terbentuknya konsorsium negara-negara penghasil minyak (OPEC), berimplikasi pada melambungnya harga minyak dunia. Efeknya, tingkat keuntungan yang bisa dinikmati perusahaan transnasional dan Negara-negara Maju menjadi semakin berkurang. Proses ini berimbas pada jatuhnya tingkat akumulasi kapital mereka. Kejadian ini kian meneguhkan tekad korporasi besar untuk kembali ke sistem liberal. Pada akhirnya, melalui metode “corporate globalization,” mereka berhasil merebut kembali ekonomi, dan mengembalikan paham liberalisme, bahkan dengan skala global dan dalam strategi gerakan yang lebih masif.
Pada mulanya, neoliberalisme dikembangkan melalui “konsensus” yang dipaksakan. Yakni apa yang disebut dengan “the Neoliberal Washington Consensus.” Konsensus ini berisi kesepakatan dari para pembela ekonomi privat, terutama wakil dari perusahaan-perusahaan besar (TNC’s/MNC’s), untuk mendominasi informasi kebijakan dalam membentuk opini publik secara global. Pokok-pokok pikiran yang ingin dikembangkan oleh paham neoliberalisme dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, biarkan pasar bekerja, artinya berikan kepercayaan yang sebesar-besarnya pada perusahaan swasta (private enterprise) untuk bebas bekerja, terlepas dari intervensi negara atau pemerintah, apapun akibat sosialnya. Termasuk di dalamnya keterbukaan terhadap perdagangan internasional dan investasi. Kedua, pangkas semua anggaran negara yang tidak produktif (efisiensi), diantaranya subsidi untuk pelayanan sosial, seperti anggaran pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial lainnya. Ketiga, perlunya deregulasi ekonomi, regulasi negara harus dikurangi, demi terciptanya kebebasan ekonomi, sebab regulasi selalu mengurangi keuntungan. Keempat, perlunya privatisasi, jual semua perusahan negara kepada investor swasta, dengan alasan efisiensi dan mengurangi korupsi. Hal ini telah berakibat pada mahalnya harga kebutuhan dasar yang harus ditanggung rakyat kecil. Kelima, petieskan semua paham sosial atau komunitas, ganti dengan paham tanggung jawab individual.[3] Terkait dengan upaya memasifkan program-program di atas, kelompok Washington Consensus kemudian berusaha mempelopori terbentuknya suatu lembaga internasional, yang mempunyai kewenangan untuk mengatur seluruh kegiatan perdagangan dunia, guna mempercepat proses liberalisasi dan privatisasi, serta mengatur secara mutlak arus-arus finansial.[4]
Tentang Globalisasi Neliberal
Semenjak ditandatanganinya kesepakatan mengenai perdagangan dan tarif, GATT, pada April 1994 di Marrakesh, Maroko, maka secara resmi muncullah sebuah era baru, era perdagangan bebas, yang sangat identik dengan globalisasi. Meskipun sebenarnya istilah ini sudah lumayan usang, namun kosakata globalisasi kini menjadi mantra yang mampu menghipnotis banyak orang. Banyak orang menganggap, globalisasi identik dengan perkembangan teknologi. Begitu mendengar istilah globalisasi pastilah kita selalu mengasosiasikannya dengan teknologi informasi, perusahaan multinasional, dan komunikasi via satelit.[5] Sedangkan kalangan pemerintah, sering berkoar-koar bahwa globalisasi membawa berkah berupa modal asing, yang kemudian menjelma menjadi lapangan pekerjaan.[6] Tetapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan globalisasi?
Secara etimologi, globalisasi berarti pengglobalan atau proses masuk ke ruang lingkup dunia. Held menafsirkan globalisasi sebagai hubungan keterkaitan (interconectedness) dan saling ketergantungan antar benua yang berbeda, dalam berbagai aspek, dari kriminal hingga aspek budaya, dari keuangan hingga aspek spiritual.[7] Selanjutnya Mansour Fakih mengatakan, globalisasi adalah proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam sebuah sistem ekonomi global.[8] Sedangkan menurut Wellerstein, globalisasi adalah proses pembentukan sistem kapitalis dunia.[9] Menurut tafsiran fenomenologisnya, globalisasi berarti; “…pemadatan dunia dan intensifikasi kesadaran dunia sebagai satu keseluruhan atau intensifikasi relasi-relasi sosial seluas dunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa di satu tempat ditentukan oleh peristiwa lain yang terjadi bermil-mil jaraknya dari situ dan sebaliknya, atau meningkatnya jejaring interdependensi antar umat manusia pada tataran benua-benua.[10]
Globalisasi sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke lima belas. Yakni semenjak dimulainya penjelajahan bangsa-bangsa Eropa untuk mencari dunia baru, dalam kerangka imperialisme kuno. Pada perkembangannya, globalisasi mengalami transformasi bentuk, wujud, ukuran dan tujuan, meski masih dalam taraf kemiripan. Dalam dekade terakhir kata globalisasi tidak hanya menjadi konsep ilmu pengetahuan sosial dan ekonomi, tetapi juga menjadi jargon politik, ideologi pemerintah, dan hiasan bibir masyarakat awam di seluruh dunia.[11] Globalisasi memang menjanjikan kesejahteraan bagi umat manusia, akan tetapi dalam praktiknya, globalisasi malah banyak menimbulkan ketidakadilan sosial, sebab secara ideologis, globalisasi sebenarnya berakar dari faham neoliberalisme.
Globalisasi dimengerti sebagai hegemoni negara-negara modal terhadap Negara Dunia Ketiga. Guna membenarkan eksistensi dari proses global ini, secara politis globalisasi didukung oleh ideologi pasar bebas, di mana modal, tenaga kerja, dan komoditas perdagangan, bergerak tanpa hambatan fiskal antara satu negara dengan negara lainnya.[12] Secara legal formal, proses ini diperkuat oleh lahirnya IMF, Bank Dunia, dan WTO. WTO bertindak sebagai institusi utama proyek globalisasi, organ ini dimaksudkan untuk mengatur sistem perdagangan internasional secara masif, dengan tujuan untuk meliberalisasi pasar. Upaya ini dilakukan melalui dorongan kuat kepada anggota-anggotanya untuk terintegrasi ke dalam pasar bebas.[13] Melalui WTO, Negara Maju memaksa Negara Berkembang untuk menerapkan kebijakan atau ideologi globalisasi dalam kebijakan nasional mereka. Agar supaya negara pemilik modal bisa dengan leluasa mengeksploitasi sumber-sumber ekonomi yang ada di Negara-negara Dunia Ketiga tersebut.[14]
Pada hakikatnya, globalisasi sangatlah identik dengan penjajahan/imperialisme. Sebab kosakata penjajahan kiranya sudah tak seksi lagi di abad 21 ini, maka negara kolonialis memilih kosakata globalisasi untuk bersembunyi dibalik penjajahan mereka. Globalisasi adalah suatu proses yang sangat tidak adil dengan distribusi keuntungan maupun kerugian yang tidak adil pula, sebab ciri utama globalisasi ialah peningkatan konsentrasi monopoli berbagai sumberdaya dan kekuatan ekonomi oleh perusahaan-perusahaan transnasional, lembaga-lembaga ekonomi keuangan internasional dan negara-negara pemilik modal.[15]
[1]dam Smith menyelesaikan karyanya “The Wealth of Nations” dalam waktu 1777 hari, pemikiran ini memperkukuh filsafat individualistis, yang sebelumnya telah berkembang dalam golongan merkantilis. Smith dengan analisisnya, berhasil menghancurkan pemikiran yang didasarkan pada etika Kristen paternalistik (Christian Paternalistic Ethic) yang berasal dari abad pertengahan di Eropa Barat, etika ini menentang egoisme dan pengumpulan harta dengan rakus. Pemikiran Adam Smith mendapat legitimasi dari Etika Kristen Protestan, yang hadir bersamaan dengan lahirnya liberalisme klasik, etika ini memberi legitimasi keagamaan pada filsafat individualistis yang dikemukakan Adam Smith (Sritua Arif, 1982). Lengkapnya lihat Weber, The Protestan Ethic and Spirit Capitalism. Teori Adam Smith selanjutnya dikembangkan oleh David Ricardo, dalam teori keunggulan komparatif (comparative advantage), seperti dijelaskan dalam bukunya Principles of Political Economy and Taxation, tahun 1817.
[2] Noreena Hertz, The Silent Take Over, Global Capitalism and Death of Democrazy (terj), (Yogyakarta: Alinea, 2005), hal. 17-47.
[3] Kelompok ini dikenal sebagai kelompok Kanan Baru (the New Right), sebagai kubu the Washington Consesus (WC). Kubu ini mempromotori penghapusan semua kontrol atas aliran finansial global, mempropagandakan privatisasi, serta mendesak bahwa semua hambatan kuota harus diganti dengan tarif. Kubu ini mendapat tantangan berat dari penganut Structuralist Syntesis (SS). Kubu SS menyatakan bahwa privatisasi tidak dengan sendirinya berarti meningkatkan produktivitas, dan FDI (foreign direct investment) belum tentu lebih efektif dalam membuat perubahan teknologi (technical change), daripada perusahaan dalam negeri. Reformasi perdagangan lewat tarif tidak dengan sendirinya akan lebih unggul dibandingkan dengan penetapan kuota. Kubu SS percaya bahwa, liberalisasi sektor keuangan hanya akan membuahkan ketidakstabilan. Dengan demikian, perubahan kebijakan ekonomi harus dilakukan secara bertahap—bukan secara radikal—dengan mempertimbangkan peran kelembagaan di masing-masing negara (Steger 2001, Stiglitz 2002). Setidak-tidaknya diantara keduanya terdapat empat ketidaksepahaman, yaitu: (1) Reformasi perdagangan; (2) Privatisasi dan investasi asing; (3) Liberalisasi sektor finansial; dan (4) Deregulasi pasar tenaga kerja.
[4] B. Herry Priyono, Dalam Pusaran Neoliberalisme, (dalam I.Wibowo dan F. Wahono (ed), Neoliberalisme, (Yogyakarta: Cindelaras, 2003), hal. 47-84. Lihat James Petras dan Henry Veltmeyer, Globalization Unmasked (terj), (Jakarta: Caraka Nusantara, 2001), hal.101-116.
[6] B. Hari Juliawan, Keretaku Tak Berhenti Lama, (Majalah Basis No. 05-06, Tahun ke-53, Mei-Juni 2004), hal. 5.
[7] David Held, Global Transformation: Politics, Economics and Culture, (California: Stanford University Press, 1999), hal. 100.
[8] Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembanguinan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press, 2001), hal. 198-200.
[9] Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global, dalam Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardoyo, Problem Globalisasi: Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi dan Agama, (Surakarta: UMS Press, 2001), hal. 3. Dikutip dari R. Robertson, hal. 14.
[10] B. Hari Juliawan, Op. Cit., hal. 6. Sebagaimana disarikan dari (R. Robertson, Globalization Social Theory and Global Culture, London: Sage, 1992, hal. 8), (A. Giddens, The Consequences of Modernity, Cambridge: Polity, 1990, hal. 64), dan (R.O. Keohane and Joseph S. Nye, Globalization: What’s New? What’s Not? And So what?, Spring, 2000, hal. 105).
Secara lebih utuh Roland Robertson mendefinisikan globalisasi sebagai hubungan antara penduduk bumi yang melampaui batas-batas konvensional, seperti bangsa dan negara, dalam proses tersebut dunia telah dimampatkan (compressed) serta terjadi intensifikasi kesadaran terhadap dunia sebagai kesatuan utuh (Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, 2001).
[11] Didik J. Rahbini, Mitos dan Implikasi Globalisasi Catatan untuk Bidang Ekonomi dan Keuangan, dalam pengantar Paul Hirst dan G. Thompson, Globalisasi Adalah Mitos, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hal. vii.
[12] F. Wahono dan Kenneth D. Thomas, Globalisasi dan Inisiatif-Inisiatif Lokal, dalam F. Wahono, dkk, Pangan Kearifan Lokal, Keanekaragaman Hayati: Pertaruhan Bangsa yang Terlupakan, (Yogyakarta: Cindelaras dan USC Satunama, 2001), hal.21.
[14] Menurut definisi OECD,”globalisasi berarti proses penciptaan pasar dan produksi di berbagai negara menjadi terus-menerus bergantung satu sama lain sebagai akibat dari dinamika perdagangan berang dan jasa, gerak kapital dan teknologi” (Hans Kung, Etika Ekonomi Politik Global (terj), (Yogyakarta: Qalam, 2002), hal. 273).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar