Pengarang : Satjipto Rahardjo
Penerbit : Penerbit Buku KOMPAS
Cetakan : I, November 2007
Tebal : x + 158 halaman (termasuk indeks)
Resensi oleh : Fahruddin Fitriya
Buku “Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum“ merupakan buku terbaru yang ditulis oleh Prof Tjip (sapaan Prof Satjipto Rahardjo). Berbeda dengan dua buku sebelumnya (Buku Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indonesia dan Buku Membedah Hukum Progresif) yang merupakan kumpulan tulisan terpilih beliau yang dirangkum menjadi sebuah buku, buku ini (Biarkan Hukum Mengalir) merupakan karangan yang sengaja ditulis untuk menjadi publikasi berbentuk buku.
Terdiri dari sepuluh bab yang secara berurutan judul babnya adalah: 1] pergulatan manusia dan hukumnya; 2] jagat ketertiban; 3] dinamika di luar hukum negara; 3] hukum nasional sebagai beban untuk komunitas lokal; 5] cara bangsa-bangsa berhukum; 6] mempertanyakan kembali kepastian hukum; 7] hukum itu manusia, bukan mesin; 8] watak liberal hukum modern; 9] biasa dan luar biasa dalam berhukum; dan 10] hukum progresif yang membebaskan. Pada setiap akhir bab-nya Prof Tjip selalu mengajak pembaca untuk berefleksi dan menghimbau, biarkan hukum mengalir saja. Suatu ajakan yang beranjak dari asumsi bahwa hukum itu bukan hanya tatanan determinatif yang sengaja dibikin (rule making) tetapi dalam kehidupannya hukum mengalami benturan, kelokan dan terantuk-antuk, sehingga untuk mencapai tujuannya yang tertinggi perlu dilakukan terobosan-terobosan (rule breaking).
Biarkan Hukum Mengalir secara jelas dipengaruhi oleh hipotesa Karl Ranner yang menyatakan agar hukum itu dibiarkan mencari dan menemukan jalannya sendiri secara progresif, “the development of the law gradually works out what is socially reasonable” (hal 5, 47 dan 89). Kalimat itu berkali-kali dikutip oleh Prof Tjip dalam buku ini. Di saat peraturan perundang-undangan tidak mengakomodir secara yuridis kepentingan masyarakat atau dikala penerapan hukum mematahkan pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, maka hukum sebagai suatu cerminan sosiologis masyarakat akan mencari dan menemukan jalannya sendiri. Ibarat air, ketika dibendung oleh suatu tembok, ia akan mencari celah untuk menembus tembok tersebut. Pandangan yang demikian sekilas terlihat menggunakan pandangan yang ada dalam hukum alam. Meskipun Prof Tjip tidak secara jelas menyatakan pandangan itu dipinjam dari mazhab hukum alam, dengan mengadopsi pandangan Taoisme yang digubah Maturana dan Fritjof Capra sebagai referensi dalam bab 9 telah menunjukkan bahwa Prof Tjip meminjam pandangan naturalis dari filsafat timur yang dimasa kini mewujud dalam pandangan yang postmodernis. Pandangan yang mencoba menyejajarkan modernisme barat dengan mistisisme timur.
Pada permulaan bab satu Prof Tjip menceritakan pergulatan manusia dengan hukumnya. Menceritakan bagaimana bangsa-bangsa berhukum menurut karakteristik sosialnya. Bahwa hukum modern tidak selalu dapat memoderasi masyarakat. Hukum modern yang dicirikan rasional, otonom, tertutup yang mengkristal dalam doktrin The Rule of Law bukanlah nilai universal yang bisa berlaku di ladang negara-negara yang tidak memiliki sejarah sama dengan Eropa tempat kelahirannya. Untuk menguatkan argumennya Prof Tjip berulangkali memberi perbandingan cara berhukum bangsa Jepang (cerminan masyarakat timur) dengan bangsa Amerika (cerminan masyarakat barat). Bangsa Jepang berhukum dengan hatinya (kokoro) sedangkan bangsa Amerika berhukum dengan rasio dan untung ruginya.
Secara khusus dalam bab IV Prof Tjip mengangkat judul Hukum Nasional sebagai Beban untuk Komunitas Lokal. Narasi bab ini dipaparkan dengan mengutip pandangan Bernard L. Tanya, Karolus Kopong Medan, dan Daniel S. Lev. Setidaknya dari tiga kajian dan pengalaman orang-orang tersebut menunjukkan bahwa hukum nasional yang nota bene berwatak modern dan liberal “membunuh” hukum adat yang hidup dalam interaksi masyarakat. Masih banyak lagi tema dan ide penting yang dipaparkan Prof Tjip dalam buku ini, diantaranya kritik atas asas kepastian hukum, jagat ketertiban, cara-cara bangsa berhukum, kritik terhadap watak liberal hukum modern, yang secara kumulatif memaparkan alasan mengapa hukum progresif itu muncul.
Pada bab terakhir (bab X) Prof Tjip menutupnya dengan dasar-dasar hukum progresif dengan judul bab Hukum Progresif yang Membebaskan. Sungguh ini adalah satu panduan singkat bagi banyak orang yang sedang gandrung dengan gagasan beliau tentang Hukum Progresif. Pada bab ini Prof Tjip mengkritalisasi apa yang dimaksud dengan hukum progresif dan paradigma yang menopangnya, yaitu: Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang pada keyakinan bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sebaliknya, pandangan yang menyatakan bahwa hukum adalah untuk manusia senada dengan pandangan antroposentris yang humanis dan membebaskan.
kedua, Hukum Progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya, dan hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sehingga sekali undang-undang menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah terlebih dahulu. Status quo yang dipertahankan lewat asas kepastian hukum tidak hanya membekukan hukum, tetapi juga berpotensi besar membekukan masyarakat.
Ketiga, Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam berhukum. Perilaku di sini dipengaruhi oleh pengembangan pendidikan hukum. Selama ini pendidikan hukum lebih menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang berakibat terpinggirnya manusia dari perbuatannya di dalam hukum. Sembilan puluh persen lebih kurikulum pendidikan hukum kini mengajarkan tentang teks-teks hukum formal dan bagaimana mengoperasionalisasikannya (hal 145). Secara agak ekstrem, Gerry Spence mengkritik pendidikan hukum dengan mengatakan, “sejak mahasiswa memasuki pintu fakultas hukum, maka rasa kemanusiaannya dirampas dan direnggut.” Disamping pada ranah pendidikan, peranan perilaku manusia dalam berhukum juga terkait dengan profesi pengemban hukum seperti hakim, jaksa, polisi, pengacara dan profesi hukum lainnya. Peranan para pengemban hukum memiliki signifikansi cerminan hukum bagi masyarakat.
Diakhir bab X Prof Tjip menjawab pertanyaan banyak orang tentang apa yang dimaksud dengan hukum progresif. Secara ringkas beliau memberikan rumusan sederhana tentang hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaa (hal 147).
Sejak digulirkan tahun 2002, sudah banyak orang yang tergugah dengan pendekatan hukum progresif karena dianggap sebagai pendekatan alternatif di tengah kejumudan positivisme hukum. Kalangan positivisme hukum diam-diam memperhitungkan Hukum Progresif sebagai benih yang berangsur siap di semai di lahan sosial, yang akan merepotkan kalangan yang memposisikan hukum sebagai mesin yang mekanistik, rasional dan berkepastian. Sejak kira-kira tahun 2002 pula gairah menyeriusi Hukum Progresif muncul, namun pendekatan ini belum membeku menjadi konsep yang dapat diterapkan menjadi tujuan. Sepanjang ini hanya digunakan sebagai argumen dan konsep kepedulian (sensitizing concept), belum menjadi konsep teoritis atau mazhab. Pendekatan ini memang terbuka (inklusif) bagi banyak orang, tapi bila akan mengeras dan menjadi panji-panji perubahan hukum, tentu memerlukan agensi yang jelas, paradigma dan pola pengembangan aksional yang tepat.
Namun, dalam perjalanan yang sedang berlangsung, buku ini menjadi salah satu konsideran. Juga sudah dapat diduga bahwa buku Biarkan Hukum Mengalir ini akan menjadi buku pegangan para pengagum hukum progresif. Lewat buku ini Prof Tjip mengumpulkan sendiri sendi-sendi hukum progresif dan kemudian meluncurkannya agar mengalir dalam relung-relung pikiran dan tindakan manusia Indonesia.
Penerbit : Penerbit Buku KOMPAS
Cetakan : I, November 2007
Tebal : x + 158 halaman (termasuk indeks)
Resensi oleh : Fahruddin Fitriya
Buku “Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum“ merupakan buku terbaru yang ditulis oleh Prof Tjip (sapaan Prof Satjipto Rahardjo). Berbeda dengan dua buku sebelumnya (Buku Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indonesia dan Buku Membedah Hukum Progresif) yang merupakan kumpulan tulisan terpilih beliau yang dirangkum menjadi sebuah buku, buku ini (Biarkan Hukum Mengalir) merupakan karangan yang sengaja ditulis untuk menjadi publikasi berbentuk buku.
Terdiri dari sepuluh bab yang secara berurutan judul babnya adalah: 1] pergulatan manusia dan hukumnya; 2] jagat ketertiban; 3] dinamika di luar hukum negara; 3] hukum nasional sebagai beban untuk komunitas lokal; 5] cara bangsa-bangsa berhukum; 6] mempertanyakan kembali kepastian hukum; 7] hukum itu manusia, bukan mesin; 8] watak liberal hukum modern; 9] biasa dan luar biasa dalam berhukum; dan 10] hukum progresif yang membebaskan. Pada setiap akhir bab-nya Prof Tjip selalu mengajak pembaca untuk berefleksi dan menghimbau, biarkan hukum mengalir saja. Suatu ajakan yang beranjak dari asumsi bahwa hukum itu bukan hanya tatanan determinatif yang sengaja dibikin (rule making) tetapi dalam kehidupannya hukum mengalami benturan, kelokan dan terantuk-antuk, sehingga untuk mencapai tujuannya yang tertinggi perlu dilakukan terobosan-terobosan (rule breaking).
Biarkan Hukum Mengalir secara jelas dipengaruhi oleh hipotesa Karl Ranner yang menyatakan agar hukum itu dibiarkan mencari dan menemukan jalannya sendiri secara progresif, “the development of the law gradually works out what is socially reasonable” (hal 5, 47 dan 89). Kalimat itu berkali-kali dikutip oleh Prof Tjip dalam buku ini. Di saat peraturan perundang-undangan tidak mengakomodir secara yuridis kepentingan masyarakat atau dikala penerapan hukum mematahkan pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, maka hukum sebagai suatu cerminan sosiologis masyarakat akan mencari dan menemukan jalannya sendiri. Ibarat air, ketika dibendung oleh suatu tembok, ia akan mencari celah untuk menembus tembok tersebut. Pandangan yang demikian sekilas terlihat menggunakan pandangan yang ada dalam hukum alam. Meskipun Prof Tjip tidak secara jelas menyatakan pandangan itu dipinjam dari mazhab hukum alam, dengan mengadopsi pandangan Taoisme yang digubah Maturana dan Fritjof Capra sebagai referensi dalam bab 9 telah menunjukkan bahwa Prof Tjip meminjam pandangan naturalis dari filsafat timur yang dimasa kini mewujud dalam pandangan yang postmodernis. Pandangan yang mencoba menyejajarkan modernisme barat dengan mistisisme timur.
Pada permulaan bab satu Prof Tjip menceritakan pergulatan manusia dengan hukumnya. Menceritakan bagaimana bangsa-bangsa berhukum menurut karakteristik sosialnya. Bahwa hukum modern tidak selalu dapat memoderasi masyarakat. Hukum modern yang dicirikan rasional, otonom, tertutup yang mengkristal dalam doktrin The Rule of Law bukanlah nilai universal yang bisa berlaku di ladang negara-negara yang tidak memiliki sejarah sama dengan Eropa tempat kelahirannya. Untuk menguatkan argumennya Prof Tjip berulangkali memberi perbandingan cara berhukum bangsa Jepang (cerminan masyarakat timur) dengan bangsa Amerika (cerminan masyarakat barat). Bangsa Jepang berhukum dengan hatinya (kokoro) sedangkan bangsa Amerika berhukum dengan rasio dan untung ruginya.
Secara khusus dalam bab IV Prof Tjip mengangkat judul Hukum Nasional sebagai Beban untuk Komunitas Lokal. Narasi bab ini dipaparkan dengan mengutip pandangan Bernard L. Tanya, Karolus Kopong Medan, dan Daniel S. Lev. Setidaknya dari tiga kajian dan pengalaman orang-orang tersebut menunjukkan bahwa hukum nasional yang nota bene berwatak modern dan liberal “membunuh” hukum adat yang hidup dalam interaksi masyarakat. Masih banyak lagi tema dan ide penting yang dipaparkan Prof Tjip dalam buku ini, diantaranya kritik atas asas kepastian hukum, jagat ketertiban, cara-cara bangsa berhukum, kritik terhadap watak liberal hukum modern, yang secara kumulatif memaparkan alasan mengapa hukum progresif itu muncul.
Pada bab terakhir (bab X) Prof Tjip menutupnya dengan dasar-dasar hukum progresif dengan judul bab Hukum Progresif yang Membebaskan. Sungguh ini adalah satu panduan singkat bagi banyak orang yang sedang gandrung dengan gagasan beliau tentang Hukum Progresif. Pada bab ini Prof Tjip mengkritalisasi apa yang dimaksud dengan hukum progresif dan paradigma yang menopangnya, yaitu: Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang pada keyakinan bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sebaliknya, pandangan yang menyatakan bahwa hukum adalah untuk manusia senada dengan pandangan antroposentris yang humanis dan membebaskan.
kedua, Hukum Progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya, dan hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sehingga sekali undang-undang menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah terlebih dahulu. Status quo yang dipertahankan lewat asas kepastian hukum tidak hanya membekukan hukum, tetapi juga berpotensi besar membekukan masyarakat.
Ketiga, Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam berhukum. Perilaku di sini dipengaruhi oleh pengembangan pendidikan hukum. Selama ini pendidikan hukum lebih menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang berakibat terpinggirnya manusia dari perbuatannya di dalam hukum. Sembilan puluh persen lebih kurikulum pendidikan hukum kini mengajarkan tentang teks-teks hukum formal dan bagaimana mengoperasionalisasikannya (hal 145). Secara agak ekstrem, Gerry Spence mengkritik pendidikan hukum dengan mengatakan, “sejak mahasiswa memasuki pintu fakultas hukum, maka rasa kemanusiaannya dirampas dan direnggut.” Disamping pada ranah pendidikan, peranan perilaku manusia dalam berhukum juga terkait dengan profesi pengemban hukum seperti hakim, jaksa, polisi, pengacara dan profesi hukum lainnya. Peranan para pengemban hukum memiliki signifikansi cerminan hukum bagi masyarakat.
Diakhir bab X Prof Tjip menjawab pertanyaan banyak orang tentang apa yang dimaksud dengan hukum progresif. Secara ringkas beliau memberikan rumusan sederhana tentang hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaa (hal 147).
Sejak digulirkan tahun 2002, sudah banyak orang yang tergugah dengan pendekatan hukum progresif karena dianggap sebagai pendekatan alternatif di tengah kejumudan positivisme hukum. Kalangan positivisme hukum diam-diam memperhitungkan Hukum Progresif sebagai benih yang berangsur siap di semai di lahan sosial, yang akan merepotkan kalangan yang memposisikan hukum sebagai mesin yang mekanistik, rasional dan berkepastian. Sejak kira-kira tahun 2002 pula gairah menyeriusi Hukum Progresif muncul, namun pendekatan ini belum membeku menjadi konsep yang dapat diterapkan menjadi tujuan. Sepanjang ini hanya digunakan sebagai argumen dan konsep kepedulian (sensitizing concept), belum menjadi konsep teoritis atau mazhab. Pendekatan ini memang terbuka (inklusif) bagi banyak orang, tapi bila akan mengeras dan menjadi panji-panji perubahan hukum, tentu memerlukan agensi yang jelas, paradigma dan pola pengembangan aksional yang tepat.
Namun, dalam perjalanan yang sedang berlangsung, buku ini menjadi salah satu konsideran. Juga sudah dapat diduga bahwa buku Biarkan Hukum Mengalir ini akan menjadi buku pegangan para pengagum hukum progresif. Lewat buku ini Prof Tjip mengumpulkan sendiri sendi-sendi hukum progresif dan kemudian meluncurkannya agar mengalir dalam relung-relung pikiran dan tindakan manusia Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar