"mBulat-mBulet" mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan situasi saat ini,tetapi sebelumnya izinkan saya untuk sedikit menjelaskan tentang frase yang saya maksud. Frase “mBulet-mbulet” adalah kosa kata dalam bahasa Jawa. Maknanya mirip “lingkaran setan” atau bisa juga dimaknai "Rumit", tapi makna “mBulat-mBulet" lebih dari itu. Karena seseorang yang melontarkan kata "mBulat-mBulet", dapat dipahami pula bahwa orang tersebut sedang kebingungan dalam menghadapi masalahnya. Nah, bermaksud menjelaskan makna atau menafsirkan frase "mBulat-mBulet", Penulis akan mempraktikkan penggunaan kosa kata itu terhadap perkara seteru antara KPK versus Polri.
"mBulat-mBulet" Pertama
Dalam perkara itu, pada mulanya adalah adanya dugaan terjadi tindak pidana korupsi (tipikor) dalam pengadaan sistem komunikasi terpadu di Departemen Kehutanan. PT. Masaro, adalah rekanan yang mendapatkan proyek bernilai miliaran tersebut. KPK pun bertindak. Lalu, menerbitkan surat mencekalan terhadap Anggoro Widjaja –saat ini buron dan tinggal di Singapura–, namun yang bersangkutan keburu kabur. Ada kebocoran? Tentu, sebab KPK sudah memberikan tembusan surat pencekatan itu kepada seluruh jajaran penegak hukum, termasuk imigrasi.
Setelah itu, muncullah testimoni dari mantan pimpinan KPK, Antasari Azhar, tentang adanya dugaan tindak pidana penyalahgunaan wewenang dan pemerasan yang dilakukan oleh pimpinan KPK kepada Polri. Kata Kapolri di depan Komisi III DPR-RI, testimoni itu kemudian dilanjutkan dengan pembuatan laporan resmi ke Polri. Namun, Eddy Sumarsono, orang dekat Antasari Azhar, mengaku dirinyalah yang melakukan pelaporan bukan Antasari Azhar. Mantan pimpinan KPK itu hanya memberikan testimoni setelah dirinya bersama Eddy Sumarsono, bertemu Anggoro Widjaja di Singapura.
"mBulat-mBulet" Kedua
Akibat adanya testimoni dan laporan kepolisian, Bareskrim bertindak. Beberapa pimpinan KPK pun diperiksa. Hasilnya, 2 (dua) pimpinan KPK Bibit Samat Riyanto dan Chandra Hamzah pun ditetapkan sebagai tersangka. KPK pun melawan. Sebagai institusi penegakan hukum yang dianggap “paling bersih” dibandingkan dua institusi lainnya, kepolisian dan kejaksaan, jajaran KPK pun menggerakan pendukungnya yang kebanyakan kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan mahasiswa. Awas! Ada upaya kriminalisasi KPK, mengkerdilkan KPK, menghancurkan KPK.
Untuk memperkuat dalilnya, KPK baik sendiri maupun melalui penasihat hukumnya mengeluarkan isu tentang dimilikinya rekaman penyadapan mengenai upaya-upaya kriminalisasi KPK. Bocoran mengenai sebagian isi rekaman penyadapan pun beredar di masyarakat luas dalam bentuk print out. Wajah-wajah pejabat di kedua institusi penegakan hukum (baca: kepolisian dan kejaksaan) pun banyak menghiasi media massa cetak maupun elektronik. Para pejabat yang disebut-sebut dalam transkrip itu pun ramai-ramai membanya. KPK menolak dituding membocorkan isi transkrip itu.
Selain itu, KPK pun menuding testimoni Antasari Azhar sebagai kebohongan. Selain itu, KPK menilai tindakan mantan pimpinan KPK itu menemui tersangka yang tengah diperiksa KPK, merupakan pelanggaran. KPK pun melaporkan balik Antasari Azhar ke kepolisian. Namun, laporan balik ini tidak mendapatkan respon positif. Tapi Bibit Samat Riyanto dan Chandra Hamzah yang telah ditetapkan sebagai tersangka, justru ditahan oleh Polri karena langkah maupun pernyataannya selama ini dianggap mempersulit penyidikan.
Alasan kepolisian yang demikian itu menuai protes, sebab menurut KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), Pasal 21 ayat (21) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Selain itu, tindakan penahanan tersebut seolah semakin pembuktikan adanya upaya kriminalisasi KPK dengan target akhir menghancurkannya. Maka, dukungan terhadap KPK maupun kepada Bibit Samat Riyanto dan Chandra Hamzah, semakin menguat. Tapi, sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, khususnya Pasal 32 ayat (1) huruf c dan Pasal 32 ayat (3), bila pimpinan KPK sudah ditetapkan sebagai tersangka wajib dinyatakan non aktif. Tidak puas terhadap ketentuan tersebut, keduanya mengajukan uji materiil melalui Mahkamah Konstitusi.
"mBulat-mBulet" Ketiga
Melalui pintu Mahkamah Konstitusi, rekaman hasil penyadapan KPK yang selama ini sebagian isinya telah beredar dalam bentuk transkrip, diperdengarkan secara terbuka. Semua mata terbelalak, tak terkecuali Presiden SBY yang disebut hingga empat kali. Namun, penyebutan berulang nama Kabagreskrim Susno Duadji dan Wakil Jaksa Agung A.H. Ritonga, yang paling memicu keruwetan berikutnya. Maka, Susna Duadji, sosok yang pertama kali mempopulerkan istilah “Cicak melawan Buaya”, maupun A.H. Ritongga pun, sibuk menggelar jumpa pers melakukan verifikasi. Membantah!
Dari rekaman penyadapan itu jelas sekali bagaimana Anggodo Widjaja, adik buron Anggoro Widjaja, berhubungan dengan beberapa petinggi di kedua institusi penegak hukum yang menjadi lawan KPK. Publik pun menganggap Anggodo Widjaja sebagai pembuat skenario kriminalisasi KPK. Sementara di pihak RI-1 meminta kepada aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas siapa aktor yang dianggap memfitnah Presiden yang baru dilantik itu. Tentu saja, karena permintaan itu, polisi memiliki alasan untuk melakukan penyitaan terhadap hasil rekaman penyadapan yang asli.
Melihat keruwetan yang semakin liar, Presiden melalui Keppres membentuk Tim Pencari Fakta (Tim-8), yang dipimpin Adnan Buyung Nasution.. Sebagai ketua tim, advokat senior yang juga anggota Watimpres ini pun bertindak seolah penyidik. Mahkamah Agung pun berteriak, intinya lembaga pengadilan tertinggi ini tidak setuju bilamana tim tersebut memiliki wewenang seperti penyidik. Sebab itu, tim tersebut tidak dapat memutuskan apakah proses hukum terhadap kedua pimpinan KPK non-aktif Bibit Samat Riyanto dan Chandra Hamzah, sebagai tindakan yang salah atau benar.
Dalam melakukan upaya verifikasi, agaknya ada statemen Adnan Buyung Nasution yang dianggap menyerang salah seorang anggota tim penasihat hukum Anggodo Widjaja, Bonaran Situmeang. Pengacara berdarah Batak ini pun tersinggung, dan menyerang balik terhadap Adnan Buyung Nasution yang juga asli Batak ini, dengan mengatakan: “Surat ini adalah surat permohonan dari Anggoro kepada Bang Buyung sesuai dengan rencananya dia (baca: Adnan Buyung Nasution). Ia mau ketemu dia (baca: Anggoro Widjaja) di Singapura. Jadi, kalau Bang Buyung mengatakan saya melakukan rekayasa terhadap perkara ini, tapi saya banyak melakukan konsultasi hukum kepada Bang Buyung. Konsultasi itu saya jalankan. Koq tadi mengatakan, saya melakukan rekayasa, berarti Bang Buyung…………”
Demikianlah tulisan ini. Penulis yakin pembaca yang budiman sudah memahami makna atau tafsir terhadap kosa kata "mBulat-mBulet". Semoga.
"mBulat-mBulet" Pertama
Dalam perkara itu, pada mulanya adalah adanya dugaan terjadi tindak pidana korupsi (tipikor) dalam pengadaan sistem komunikasi terpadu di Departemen Kehutanan. PT. Masaro, adalah rekanan yang mendapatkan proyek bernilai miliaran tersebut. KPK pun bertindak. Lalu, menerbitkan surat mencekalan terhadap Anggoro Widjaja –saat ini buron dan tinggal di Singapura–, namun yang bersangkutan keburu kabur. Ada kebocoran? Tentu, sebab KPK sudah memberikan tembusan surat pencekatan itu kepada seluruh jajaran penegak hukum, termasuk imigrasi.
Setelah itu, muncullah testimoni dari mantan pimpinan KPK, Antasari Azhar, tentang adanya dugaan tindak pidana penyalahgunaan wewenang dan pemerasan yang dilakukan oleh pimpinan KPK kepada Polri. Kata Kapolri di depan Komisi III DPR-RI, testimoni itu kemudian dilanjutkan dengan pembuatan laporan resmi ke Polri. Namun, Eddy Sumarsono, orang dekat Antasari Azhar, mengaku dirinyalah yang melakukan pelaporan bukan Antasari Azhar. Mantan pimpinan KPK itu hanya memberikan testimoni setelah dirinya bersama Eddy Sumarsono, bertemu Anggoro Widjaja di Singapura.
"mBulat-mBulet" Kedua
Akibat adanya testimoni dan laporan kepolisian, Bareskrim bertindak. Beberapa pimpinan KPK pun diperiksa. Hasilnya, 2 (dua) pimpinan KPK Bibit Samat Riyanto dan Chandra Hamzah pun ditetapkan sebagai tersangka. KPK pun melawan. Sebagai institusi penegakan hukum yang dianggap “paling bersih” dibandingkan dua institusi lainnya, kepolisian dan kejaksaan, jajaran KPK pun menggerakan pendukungnya yang kebanyakan kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan mahasiswa. Awas! Ada upaya kriminalisasi KPK, mengkerdilkan KPK, menghancurkan KPK.
Untuk memperkuat dalilnya, KPK baik sendiri maupun melalui penasihat hukumnya mengeluarkan isu tentang dimilikinya rekaman penyadapan mengenai upaya-upaya kriminalisasi KPK. Bocoran mengenai sebagian isi rekaman penyadapan pun beredar di masyarakat luas dalam bentuk print out. Wajah-wajah pejabat di kedua institusi penegakan hukum (baca: kepolisian dan kejaksaan) pun banyak menghiasi media massa cetak maupun elektronik. Para pejabat yang disebut-sebut dalam transkrip itu pun ramai-ramai membanya. KPK menolak dituding membocorkan isi transkrip itu.
Selain itu, KPK pun menuding testimoni Antasari Azhar sebagai kebohongan. Selain itu, KPK menilai tindakan mantan pimpinan KPK itu menemui tersangka yang tengah diperiksa KPK, merupakan pelanggaran. KPK pun melaporkan balik Antasari Azhar ke kepolisian. Namun, laporan balik ini tidak mendapatkan respon positif. Tapi Bibit Samat Riyanto dan Chandra Hamzah yang telah ditetapkan sebagai tersangka, justru ditahan oleh Polri karena langkah maupun pernyataannya selama ini dianggap mempersulit penyidikan.
Alasan kepolisian yang demikian itu menuai protes, sebab menurut KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), Pasal 21 ayat (21) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Selain itu, tindakan penahanan tersebut seolah semakin pembuktikan adanya upaya kriminalisasi KPK dengan target akhir menghancurkannya. Maka, dukungan terhadap KPK maupun kepada Bibit Samat Riyanto dan Chandra Hamzah, semakin menguat. Tapi, sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, khususnya Pasal 32 ayat (1) huruf c dan Pasal 32 ayat (3), bila pimpinan KPK sudah ditetapkan sebagai tersangka wajib dinyatakan non aktif. Tidak puas terhadap ketentuan tersebut, keduanya mengajukan uji materiil melalui Mahkamah Konstitusi.
"mBulat-mBulet" Ketiga
Melalui pintu Mahkamah Konstitusi, rekaman hasil penyadapan KPK yang selama ini sebagian isinya telah beredar dalam bentuk transkrip, diperdengarkan secara terbuka. Semua mata terbelalak, tak terkecuali Presiden SBY yang disebut hingga empat kali. Namun, penyebutan berulang nama Kabagreskrim Susno Duadji dan Wakil Jaksa Agung A.H. Ritonga, yang paling memicu keruwetan berikutnya. Maka, Susna Duadji, sosok yang pertama kali mempopulerkan istilah “Cicak melawan Buaya”, maupun A.H. Ritongga pun, sibuk menggelar jumpa pers melakukan verifikasi. Membantah!
Dari rekaman penyadapan itu jelas sekali bagaimana Anggodo Widjaja, adik buron Anggoro Widjaja, berhubungan dengan beberapa petinggi di kedua institusi penegak hukum yang menjadi lawan KPK. Publik pun menganggap Anggodo Widjaja sebagai pembuat skenario kriminalisasi KPK. Sementara di pihak RI-1 meminta kepada aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas siapa aktor yang dianggap memfitnah Presiden yang baru dilantik itu. Tentu saja, karena permintaan itu, polisi memiliki alasan untuk melakukan penyitaan terhadap hasil rekaman penyadapan yang asli.
Melihat keruwetan yang semakin liar, Presiden melalui Keppres membentuk Tim Pencari Fakta (Tim-8), yang dipimpin Adnan Buyung Nasution.. Sebagai ketua tim, advokat senior yang juga anggota Watimpres ini pun bertindak seolah penyidik. Mahkamah Agung pun berteriak, intinya lembaga pengadilan tertinggi ini tidak setuju bilamana tim tersebut memiliki wewenang seperti penyidik. Sebab itu, tim tersebut tidak dapat memutuskan apakah proses hukum terhadap kedua pimpinan KPK non-aktif Bibit Samat Riyanto dan Chandra Hamzah, sebagai tindakan yang salah atau benar.
Dalam melakukan upaya verifikasi, agaknya ada statemen Adnan Buyung Nasution yang dianggap menyerang salah seorang anggota tim penasihat hukum Anggodo Widjaja, Bonaran Situmeang. Pengacara berdarah Batak ini pun tersinggung, dan menyerang balik terhadap Adnan Buyung Nasution yang juga asli Batak ini, dengan mengatakan: “Surat ini adalah surat permohonan dari Anggoro kepada Bang Buyung sesuai dengan rencananya dia (baca: Adnan Buyung Nasution). Ia mau ketemu dia (baca: Anggoro Widjaja) di Singapura. Jadi, kalau Bang Buyung mengatakan saya melakukan rekayasa terhadap perkara ini, tapi saya banyak melakukan konsultasi hukum kepada Bang Buyung. Konsultasi itu saya jalankan. Koq tadi mengatakan, saya melakukan rekayasa, berarti Bang Buyung…………”
Demikianlah tulisan ini. Penulis yakin pembaca yang budiman sudah memahami makna atau tafsir terhadap kosa kata "mBulat-mBulet". Semoga.
1 komentar:
mbulat-mbulet, plintat-plintut koyo entut,..wkwkwkwkwk,...
Posting Komentar