Pada suatu hari, ketika sedang menggunakan jasa angkutan Taxi, saya sempat menggunakan kesempatan mengobrol dengan sopirnya mengenai pemilu 2009. Pada dasarnya, si sopir Taksi tidak bisa menutupi kekecewaannya terhadap pemerintahan SBY, tetapi ia akan tetap memilih dalam pilpres 2009 jika SBY maju dengan menggunakan cawapres baru, bukan JK lagi. Ia tidak akan memilih dalam pemilu legislatif, karena ia sudah terlanjur sangat tidak percaya dengan partai politik, dan akan memilih golput jika SBY tidak ganti capres.
Pendapat diatas, meskipun kelihatan rumit, tetapi menunjukkan gejala negatif dalam kehidupan politik rakyat, yaitu apatisme. Tingginya keinginan masyarakat melakukan aksi golput justru berkolerasi dengan semakin kuatnya apatisme politik. Meski banyak yang membela golput sebagai bentuk protes sosial, pembangkangan sosial, bentuk gerakan politis, dan sebagainya, tetapi tidak sedikit pula fakta yang menunjukkan suburnya apatisme politik.
Memahami Golput
Terkadang, para aktifis dan intelektual kritis menempatkan golput sebagai protes politik yang bernilai sama pada semua situasi politik, serta mengabaikan perkembangan-perkembangan politik mutakhir. Sebagai misal, tidak sedikit aktifis maupun intelektual kritis yang mempersamakan efektifitas golput pada era kediktatoran orde baru dengan periode pasang demokrasi liberal sekarang. Akibatnya, mereka kemudian terjebak pada “utopisme”, bahwa golput akan meradikalisasi demokrasi sehingga membuka jalan pada kejatuhan rejim dan model politik yang lama.
Golput boleh saja diletakkan sebagai tindakan politik yang radikal dan revolusioner. Ia merupakan bagian dari praktek demokrasi secara radikal, terutama dalam meradikalisasi model-model demokrasi ala Shumpeterian yang hanya selalu bertumpu pada kompetisi para elit. Mengikuti Erich Fromm, golput merupakan koreksi terhadap demokrasi agar menciptakan kondisi ekonomi, politik, dan kebudayaan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. (Erich Fromm, 1994).
Golput merupakan tindakan politik yang harus diletakkan pada konteks dan situasi politik yang tepat. Pada jaman kediktatoran, dimana proses pemilu sepenuhnya dikontrol secara “militeristik” oleh rejim orde baru, golput punya arti politik sangat penting sebagai proses pendeligitimasi rejim otoritarian, selain untuk memupuk kesadaran anti kediktatoran rakyat. Tentu ia menjadi senjata yang ampuh menghadapi kediktatoran, sangat cocok pada situasi ketidakadaan space democracy (ruang demokrasi), dan sebagainya.
Demobilisasi Demokrasi
Angka golput yang semakin tinggi, kelihatan berjalan pararel dengan ketidakpuasan dan kekecewaan rakyat terhadap sistim demokrasi politik liberal. Paska kejatuhan rejim orde baru, dimana sistim politik demokrasi lansung bertransformasi menjadi liberal, persoalan kesejahteraan yang merupakan permasalahan mendasar rakyat tidak juga terselesaikan. Bahkan, dalam 10 tahun terakhir paska reformasi, diketahui bahwa tingkat kemiskinan terus merangkak naik, pengangguran terus bertambah, dan kehidupan ekonomi kian morat-marit.
Akibatnya, rakyat semakin apolitis. Rakyat makin tidak percaya, bahwa proses-proses politik yang berlansung, meskipun dengan cara-cara demokratis—tentu saja dengan ukuran borjuis—tidak akan menyelesaikan permasalahan mendasar mereka; kesejahteraan. Si sopir Taksi, misalnya, mengatakan kepadaku; “lebih baik narik bang, daripada ikut pemilu. Sekarang mah, kita harus cari penghidupan sendiri”. Akhirnya, karena rakyat semakin nihil dalam bertindak dalam politik real, maka arena politik semakin didominasi oleh para elit yang sekedar bagi-bagi atau rebutan kekuasaan.
Pada titik ini, makna golput justru menyuburkan apatisme politik, bukan pendidikan politik. Di negeri-negeri liberal sekalipun, jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dari 45% hingga 60%. Di Venezuela, tingkat kepuasan politik rakyat sebelum kedatangan Chaves malah 35%, sedangkan rata-rata Amerika latin hanya mencapai 37%.
Keengganan pemilih untuk mendatangi kotak pemilihan juga tidak menjadi hambatan bagi kesinambungan pemerintahan dan sistim politik demokrasi di negeri-negeri liberal. Meskipun partisipasi politik rendah, itu tidak menjadi masalah bagi penganut Schumpeterian. Karena bagi mereka, setidaknya demokrasi diukur dari proses kompetitif para elit, hak pilih bebas, dan regularitas. Toh bagi mereka, dan sejalan dengan penganut kebebasan individual, kebebasan untuk memilih dan tidak memilih merupakan hak pribadi yang tak dapat diganggu gugat.
Jadi, golput hanya akan mengijinkan kontinuitas, bukan perubahan. Golput yang sangat tinggi pun tidak akan menggiring pada krisis politik bagi faksi-faksi elit yang sudah lama berkuasa. Sebaliknya, kebutuhan untuk melakukan perubahan mensyaratkan aktifasi perjuangan politik yang lebih opensif, pembangunan poros politik alternatif, dan tentu saja, partisipasi aktif rakyat miskin.
Pendapat diatas, meskipun kelihatan rumit, tetapi menunjukkan gejala negatif dalam kehidupan politik rakyat, yaitu apatisme. Tingginya keinginan masyarakat melakukan aksi golput justru berkolerasi dengan semakin kuatnya apatisme politik. Meski banyak yang membela golput sebagai bentuk protes sosial, pembangkangan sosial, bentuk gerakan politis, dan sebagainya, tetapi tidak sedikit pula fakta yang menunjukkan suburnya apatisme politik.
Memahami Golput
Terkadang, para aktifis dan intelektual kritis menempatkan golput sebagai protes politik yang bernilai sama pada semua situasi politik, serta mengabaikan perkembangan-perkembangan politik mutakhir. Sebagai misal, tidak sedikit aktifis maupun intelektual kritis yang mempersamakan efektifitas golput pada era kediktatoran orde baru dengan periode pasang demokrasi liberal sekarang. Akibatnya, mereka kemudian terjebak pada “utopisme”, bahwa golput akan meradikalisasi demokrasi sehingga membuka jalan pada kejatuhan rejim dan model politik yang lama.
Golput boleh saja diletakkan sebagai tindakan politik yang radikal dan revolusioner. Ia merupakan bagian dari praktek demokrasi secara radikal, terutama dalam meradikalisasi model-model demokrasi ala Shumpeterian yang hanya selalu bertumpu pada kompetisi para elit. Mengikuti Erich Fromm, golput merupakan koreksi terhadap demokrasi agar menciptakan kondisi ekonomi, politik, dan kebudayaan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. (Erich Fromm, 1994).
Golput merupakan tindakan politik yang harus diletakkan pada konteks dan situasi politik yang tepat. Pada jaman kediktatoran, dimana proses pemilu sepenuhnya dikontrol secara “militeristik” oleh rejim orde baru, golput punya arti politik sangat penting sebagai proses pendeligitimasi rejim otoritarian, selain untuk memupuk kesadaran anti kediktatoran rakyat. Tentu ia menjadi senjata yang ampuh menghadapi kediktatoran, sangat cocok pada situasi ketidakadaan space democracy (ruang demokrasi), dan sebagainya.
Demobilisasi Demokrasi
Angka golput yang semakin tinggi, kelihatan berjalan pararel dengan ketidakpuasan dan kekecewaan rakyat terhadap sistim demokrasi politik liberal. Paska kejatuhan rejim orde baru, dimana sistim politik demokrasi lansung bertransformasi menjadi liberal, persoalan kesejahteraan yang merupakan permasalahan mendasar rakyat tidak juga terselesaikan. Bahkan, dalam 10 tahun terakhir paska reformasi, diketahui bahwa tingkat kemiskinan terus merangkak naik, pengangguran terus bertambah, dan kehidupan ekonomi kian morat-marit.
Akibatnya, rakyat semakin apolitis. Rakyat makin tidak percaya, bahwa proses-proses politik yang berlansung, meskipun dengan cara-cara demokratis—tentu saja dengan ukuran borjuis—tidak akan menyelesaikan permasalahan mendasar mereka; kesejahteraan. Si sopir Taksi, misalnya, mengatakan kepadaku; “lebih baik narik bang, daripada ikut pemilu. Sekarang mah, kita harus cari penghidupan sendiri”. Akhirnya, karena rakyat semakin nihil dalam bertindak dalam politik real, maka arena politik semakin didominasi oleh para elit yang sekedar bagi-bagi atau rebutan kekuasaan.
Pada titik ini, makna golput justru menyuburkan apatisme politik, bukan pendidikan politik. Di negeri-negeri liberal sekalipun, jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dari 45% hingga 60%. Di Venezuela, tingkat kepuasan politik rakyat sebelum kedatangan Chaves malah 35%, sedangkan rata-rata Amerika latin hanya mencapai 37%.
Keengganan pemilih untuk mendatangi kotak pemilihan juga tidak menjadi hambatan bagi kesinambungan pemerintahan dan sistim politik demokrasi di negeri-negeri liberal. Meskipun partisipasi politik rendah, itu tidak menjadi masalah bagi penganut Schumpeterian. Karena bagi mereka, setidaknya demokrasi diukur dari proses kompetitif para elit, hak pilih bebas, dan regularitas. Toh bagi mereka, dan sejalan dengan penganut kebebasan individual, kebebasan untuk memilih dan tidak memilih merupakan hak pribadi yang tak dapat diganggu gugat.
Jadi, golput hanya akan mengijinkan kontinuitas, bukan perubahan. Golput yang sangat tinggi pun tidak akan menggiring pada krisis politik bagi faksi-faksi elit yang sudah lama berkuasa. Sebaliknya, kebutuhan untuk melakukan perubahan mensyaratkan aktifasi perjuangan politik yang lebih opensif, pembangunan poros politik alternatif, dan tentu saja, partisipasi aktif rakyat miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar