Berdirinya Budi Utomo pada 1908, Pencetusan Sumpah Pemuda 1928, serta Peristiwa Reformasi tahun 1998 Membuktikan Bahwa Peran Mahasiswa Tidak Akan Pernah Mati
Dalam berbagai kesempatan telah banyak dikemukakan, bahwa mahasiswa merupakan agent of change/agent of control. Peristiwa 1998 yang merupakan unsur klimaks dari perjuangan mahasiswa di Indonesia telah menunjukkan bukti-bukti tersebut. Dalam kenyataannya, peran mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa yang berpendidikan dan berpengetahuan juga tidak dikesampingkan di sini. Gerakan mahasiswa 1998 yang berhasil menghimpun kekuatan bersama rakyat (social force) dan mampu menggulingkan rejim Soeharto telah membuka pengetahuan baru kepada kita. Ledakan-ledakan yang terjadi sejak tahun 1908 dengan berdirinya Organisasi Budi Utomo sekaligus dimulainya era perjuangan baru bangsa Indonesia, kemudian pada Oktober 1928 dengan adanya Sumpah Pemuda merupakan suatu pembuktian bahwa tanpa mahasiswa, Indonesia tidak akan pernah ada!! Sekali lagi Indonesia tidak akan pernah ada!!
Sebagai penegasan kembali, bahwa perjalanan pasca kemerdekaan baik pada masa ‘Orde Lama’ maupun Orde Baru meskipun tidak terlihat kemampuan yang menunjukkan adanya kemampuan“problem solving” tetapi setidaknya mampu membentuk suatu kebersamaan “solidarity making”. Dan efektifitas dari keterbatasan action semacam ini sekalipun belum mampu menghasilkan result yang sangat baik (sesuai harapan) tetapi setidaknya mampu melenyapkan kemungkinan yang lebih buruk. Dan atau hal terkecil yang paling kita rasakan adalah suasana baru (a new era), baik setelah turunnya Soekarno dengan Supersemar maupun setelah lengsernya Soeharto tahun 1998. Sebelum dilanjutkan pada bahasan selanjutnya mungkin sedikit “flashback” di atas mampu menggugah semangat kita ke depan, bahwa apa yang terjadi pada “difficult phases” tersebut bukan suatu keniscayaan bagi kita untuk mewujudkannya kembali apa yang mereka kerjakan.
Banyak kalangan menilai bahwa reformasi 1998 merupakan gerakan massa terbesar dalam sejarah Negara kita. Rejim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun dengan otoriteristik-nya, serta keterbatasan ruang gerak cendekiawan oleh todongan senjata karena kuatnya militer pada saat itu. Ternyata mampu digulirkan oleh kalangan demonstran yang terdiri dari para mahasiswa serta masyarakat dan tanpa senjata. Dan apakah gerakan ini menghasilkan? Ya..
Reformasi 1998 memang tidak dapat sepenuhnya lebih dibandingkan dengan moment-moment besar sebelumnya. Apalagi melihat kenyataan saat ini di masyarakat yang penuh dengan euphoria serta turunnya nilai-nilai moral dalam masyarakat. Ekonomi yang semakin mengkerdilkan nasib wong cilik serta semakin merajalelanya budaya korupsi sebagai warisan turun-temurun rejim Orba. Sungguh bukan itu yang kita harapkan dari reformasi 1998 yang gede itu.
Tanpa sedikit mengurangi rasa hormat atas jasa para pejuang 1998 tersebut. Kita sebaiknya sadar bahwa ini merupakan cambuk bagi kita., bahwa perjuangan 1998 bukan akhir dari segala-segalanya. Bahwa saatnya kita berjuang, membentuk kembali jiwa-jiwa pahlawan yang telah hilang dari peredaran bangsa Indonesia , guna membangun pribadi civitas academica yang dinamis dan progresif.
Menandai hadirnya masa-masa yang semakin suram ini, krisis multidimensi yang berkepanjangan, terutama krisis moral dan etika. Keadaan ini semakin dipersulit dengan komposisi mahasiswa yang pasca reformasi 1998 mengalami“low environment”. Sudah saatnya para mahasiswa bangkit tanpa menunggu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Persoalan-persoalan bangsa ini yang semakin pelik, ditambah berkurangnya perhatian pemerintah karena terlalu banyaknya permasalahan yang harus dipecahkan menuntut kita untuk turut serta membuat perubahan baru, gerakan baru serta semangat yang baru.
Tipe Perjuangan?
Memang tidak salah jika selain disebut sebagai agent of change, mahasiswa juga sering dikenal sebagai civitas academica. Hal ini menunjukkan betapa urgen-nya posisi mahasiswa dalam proses perjalanan suatu bangsa. Sebab selain sebagai generasi yang mampu bergerak progresif dan revolusioner, mahasiswa juga memiliki kemampuan untuk berpikir dinamis, kritis tetapi logis. Sehingga dalam menyikapi suatu persoalan bangsa hendaknya mampu memilah skala prioritas untuk menyusun kerangka arah perjuangan. Pimilihan unsur strategi ini sangatlah penting mengingat gejolak serta kondisi bangsa yang terus-menerus mengalami perubahan.
Di zaman pembangunan seperti sekarang ini, tentu yang lebih dibutuhkan adalah otak-otak yang mampu bekerja secara teknis, bukan sekadar bicara, retorika-retorika panas dan menggairahkan, terlebih-lebih kontak fisik. Cara-cara lama semacam itu mungkin masih cukup diperlukan (namun dalam skala relatif kecil) mengingat kecakapan utama yang menjadi kebutuhan saat ini adalah kecakapan “problem solving” bukan sekadar “solidarity making” seperti yang terjadi di masa-masa lalu. Artinya pribadi yang ulet, tekun, dan siap saing adalah lebih dibutuhkan saat ini daripada hanya sekadar ‘jargon-jargon palsu’ yang setiap harinya selalu memenuhi tampilan layar televisi serta halaman-halaman utama surat kabar.
Di sisi yang sama, Dr. Nurcholish Madjid (semoga rahmat Allah bersama beliau) pernah menulis bahwa “Model (perjuangan berkobar lewat pidato-pidato panas dan retorika bombastis) ini meskipun barangkali menarik untuk orang awam tetapi perannya dalam mencari pemecahan masalah masyarakat, umat, bangsa, dan negara sangat kecil”.
Hal ini membuktikan betapa kerangka berpikir yang strategis sangat sekali diperlukan untuk memecahkan masalah suatu bangsa. Inilah saatnya untuk mulai mengubah diri, agar tidak selalu berpangku tangan. Sebab sudah merupakan tanggungjawab kita sebagai insan akademis untuk melakukan perbaikan terhadap sistem (bukan penghancuran).
Di sisi lain, peran mahasiswa sebagai social transformator dalam perubahan harus memiliki orientasi yang jelas. Sebab tidak menutup kemungkinan, gerakan mahasiswa hanya akan dijadikan alat oleh elite politik terutama adanya indikasi saling tunggang-menunggang antar keduanya. Tidak dapat disangkali bahwa baik sebelum maupun sesudah runtuhnya rejim Orba banyak gerakan mahasiswa yang masih memiliki kebergantungan terhadap kaum elite (terutama parpol). Hal ini tentunya akan sangat sulit untuk menyatukan konsep-konsep maupun pemikiran-pemikiran ke arah yang sama sebab setiap organ memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Itulah sebabnya gerakan mahasiswa pada masa-masa sekarang ini cenderung tidak memiliki kemampuan yang penuh untuk berpikir dinamis, kritis dan logis.
Menghilangkan sikap apatis mahasiswa sebagai ‘tugas tambahan’ yang perlu diperhatikan memang bukan hal yang mudah namun tetap menjadi suatu keharusan. Begitupula pembentukan gerakan mahasiswa yang independent secara hakiki, artinya tidak bergantung kepada apapun dan siapapun. Sebab paradigma-paradigma untuk tidak ambil bagian dalam upaya “berdemokrasi sehat” akan mengakibatkan alpha-nya pihak pemerintah dalam mengemban amanah dan kewajiban mengurus umat. Jika pada Reformasi 1998 kalangan mahasiswa mampu memunculkan musuh bersama serta menyongsong misi mengembalikan kedaulatan rakyat maka sekaranglah saatnya untuk kembali meluruskan arah kedaulatan serta hak-hak rakyat yang mulai tercecer. Jika saat reformasi kita memiliki musuh yang jelas yaitu rejim Orba, maka pada fase kali ini kita dihadapkan pada musuh yang lebih berat, yang tak terlihat, dan sangat menyengsarakan, bahkan tikus-tikus penentang Orba di saat reformasi sekalipun bisa menjadi musuh yang sangat mematikan bagi pergerakan. Oleh sebab itu, independensi dari masing-masing gerakan mahasiswa amat diperlukan dan harus dikembalikan dalam rangka pengembalian harga diri serta kehormatan mahasiswa dan untuk pemecahan permasalahan bangsa. Sudah saatnya, gerakan-gerakan ini mulai melepaskan diri secara substansi dari kongkongan politik praktis apalagi ketergantungan akan modalitas yang menimbulkan perpecahan sesama gerakan. Akhirnya diharapkan mahasiswa mampu memadukan serta menyatukan visi-misi dalam koridor yang jelas dan tersistem agar mampu menghasilkan output yang maksimal.
Di moment yang besar ini, mari sejenak kita jadikan renungan bersama:
Mahasiswa di masa lalu, tepatnya tahun 1908 berani mengubah haluan perjuangan bersenjata (yang sebelumnya bersifat kedaerahan) menjadi perjuangan berskala nasional yang lebih halus dengan dibentuknya organisasi Budi Utomo. Kemudian 20 tahun berselang giliran mahasiswa kembali menorehkan sejarah awal ‘pembentukan’ bangsa Indonesia yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. Selang 80 tahun setelah Sumpah Pemuda, tepatnya Mei 1998 giliran mahasiswa kembali mencapai prestasi puncaknya dalam memperjuangkan kebebasan rakyat melalui gerakan Reformasi-nya. Sudah saatnya kita mengukir sejarah baru. Menghilangkan sikap apatis mahasiswa. Begitupula pembentukan gerakan mahasiswa yang independent secara hakiki, artinya tidak bergantung kepada apapun dan siapapun. Sebab paradigma-paradigma untuk tidak ambil bagian dalam upaya “berdemokrasi sehat” akan mengakibatkan alphanya pihak pemerintah dalam mengemban amanah dan kewajiban mengurus umat.
Jika pada Reformasi 1998 kalangan mahasiswa mampu memunculkan musuh bersama (common enemy) serta menyongsong misi mengembalikan kedaulatan rakyat maka sekaranglah saatnya untuk kembali meluruskan arah kedaulatan serta hak-hak rakyat yang mulai tercecer. Jika saat reformasi kita memiliki musuh yang jelas yaitu rejim Orba, maka pada fase kali ini kita dihadapkan pada musuh yang lebih berat, yang tak terlihat, dan sangat menyengsarakan, bahkan tikus-tikus penentang Orba di saat reformasi sekalipun bisa menjadi musuh yang sangat mematikan bagi pergerakan. Oleh sebab itu, independensi dari masing-masing gerakan mahasiswa amat diperlukan dan harus dikembalikan dalam rangka pengembalian harga diri serta kehormatan mahasiswa dan untuk pemecahan permasalahan bangsa. Sudah saatnya, gerakan-gerakan ini mulai melepaskan diri secara substansi dari kongkongan politik praktis apalagi ketergantungan akan modalitas yang menimbulkan perpecahan sesama gerakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar