"Waktu awal-awal kuliah dulu, saya pernah dapat sms dari seorang aktivis terkenal di kampus yang doyan demonstrasi dan berdebat. Dia bilang "Sudah sepatutnya kita jadi oposisi sejati!" Saya waktu itu sama sekali tidak mengerti. Dan saat inilah saya ingin merenungkan apa yang pernah ia sampaikan dulu."
Pelantikan SBY-Boediono mengundang banyak sikap skeptis sekaligus pesimis dari berbagai kalangan. Banyak aksi yang digelar untuk menolak dan mempertanyakan ulang roda pemeritahan yang akan berjalan ini. Belum selesai masalah pemilu yang dinilai kurang jurdil, kini masalah tidak adanya oposisi dalam pemerintahan menjadi kekhawatiran yang jauh lebih akut. Janji PDI-P dan Golkar ternyata cuma janji tinggal janji. Sesumbar mereka untuk untuk menjadi oposisi ketika tidak memenangi Pemilu nyatanya isapan jari tengah belaka. Rupanya kue-kue kekuasaan terlampau enak untuk dilewatkan, meskipun hanya dapat sedikit, yang penting kebagian. Sebab itulah, barangkali PDIP dan Golkar enggan jadi oposisi. Hal ini makin menandaskan bahwa banyak politisi pedagang sapi di kancah politik nasional kita.
Pada dasarnya, oposisi dalam pemerintahan bertujuan sebagai check and balance. Karena tentu saja rakyat tidak akan rela jika lembaga eksekutif bertindak semaunya tanpa ada kontrol yang kuat dari rakyat yang diwakili oleh DPR MPR. Lah, kalau lembaga legislatif adalah koalisi dari penguasa eksekutif, bagaimana proses cek and balance bisa terjadi? Ini sama saja dengan menyuruh seorang tukang tagih hutang, menagih seseorang tempat ia sering berhutang. Siapa yang akan ditagih duluan? Apakah ini bukan lawakan konyol?
Dengan tidak adanya oposisi, tentu saja pemerintahan ini akan di dominasi oleh eksekutif dan terjadi pelemahan terhadap peran dan fungsi dua lembaga lain dalam demokrasi Indonesia kini. Kesepakatan politik yang terjadi antara partai yang berkuasa dengan beberapa partai lain dalam menentukan komposisi pimpinan MPR dan DPR cukup membuat kita khawatir. Semua seakan bergabung dengan pemerintah, pun partai politik yang kalah dan pernah berencana sebagai oposisi ketika masa pemilu silam. Pemerintahan eksekutif akan semakin bebas bertindak semaunya. Maka segeralah negara ini akan kembali ke era Orba, di mana presiden dari Golkar, dan DPRnya juga orang Golkar, sebuah lelucon pahit yang tak layak ditertawakan. Jika kebebasan bertindak itu begitu besar tanpa ada kontrol yang kuat, indikasi akan adanya rezim diktator untuk Indonesia tak pelak mendapat lampu hijau. Sepertinya negara ini memang akan dijadikan lahan basah untuk menyemai bibit-bibit kediktatoran.
Sebagai kelas menegah yang (jika) tidak ingin menjadi menara gading, secara ideal, mahasiswa memang harus menempatkan diri pada ranah oposisi nonstruktural yang bisa menjadi kontrol untuk keberlangsungan pemerintahan agar roda pemerintahan berjalan selayaknya.
Belakangan ini, mahasiswa sepertinya mulai melakukan aksi-aksi lagi. Meski kita susah mengindikasikan bahwa aksi ini adalah aksi-aksi monumental yang barangkali akan bertahan lama atau mungkin seperti biasa, tergerus isyu lain yang begitu cepat bergulir. Kita tunggu saja berita di tv, sebab sepertinya rezim SBY sebelumnya begitu pandai memainkan media. Masih ingat isyu BBM, Pemilu tak Jurdil, begitu cepat beriringan dengan isyu Teroris, penyakit menular dan kawin cerai artis? Mari kita ikuti bersama apakah isyu yang dibawa mahasiswa ini akan tetap sebagai isyu mayor ataukah isyu sementara yang akan cepat digilas. Tentu saja ini terpengaruh juga oleh konsistensi mahasiswa untuk mempertahankan muatan isyu yang mereka usung.
Pada hemat saya, ada tiga golongan mahasiswa yang melakukan aksi ini. Golongan pertama adalah golongan yang hanya melakukan aksi untuk menolak atau mendukung salah satu kandidiat, merasa tidak puas dengan rezim yang terpilih dan memilih untuk menolak sebab jagoannya kalah. Golongan kedua adalah golongan netral yang hanya menilik pemerintahan secara proporsional, bahwa harus ada oposisi dalam pemerintahan, kalau tidak ada, maka mereka siap jadi oposisi berserak. Yang ketiga adalah golongan yang bersikap ekstrem menolak pemilu dengan alasan-alasan tertentu (rezim ini terlalu liberal, rezim ini tak adil, rezim ini kebanyakan dosa, dll). Ada persamaan antara tiga golongan ini, meskipun pada esensisnya sungguh sangat jauh berbeda. Pandangan mengenai situasi nasional yang sungguh sedang tidak ideal dan menginginkan perubahan adalah pandangan sejenis yang barangkali menjadi tema besar bersama, sebagai tolok ukur untuk bangkit berbareng melawan.
Barangkali banyak yang pesimis, dan bahwa revolusi memang tidak harus berdarah-darah dan merubah total segalanya, kita tidak pernah bisa menyimpulkan secara sepihak pendapat ini. Namun yang paling penting saat ini adalah, menjaga dan mengawal sikap oposisi secara bersama-sama. Mahasiswa bukanlah kelas malaikat yang bisa selalu kita baptis sebagai kontrol yang kuat. Sebab penghianatan terhadap rakyat bukan saja datang dari parpol atau politisi, namun juga gerakan mahasiswa dengan orientasi kekuasaan beberapa di antaranya yang memang menjadi anak emas partai politik. Artinya, tanpa menegsampingkan sejarah gemilang sekaligus kelam mahasiswa, kerjasama beberapa item nasional mutlak dibutuhkan untuk mendatangkan kekuatan berlipat ganda guna mempercepat perbaikan bangsa. Gerakan ektraparlementer, sebagai gerakan oposan tentu saja perlu dikobarkan kembali, jika mahasiswa lengah, gerkan pemuda lengah, rakyat yang lain lengah, maka kebangkitan rezim diktator akan segera terjadi dan saat masa itu tiba, akan lebih sulit lagi bagi kita untuk memperjuangkan apa yang menjadi hak rakyat.
Kalau partai politik yang menempati jabatan eksekutif dan legislatif sudah melakukan koalisi yang massif untuk saling mendukung, maka tentu saja penghianatan terhadap trias polica sungguh nyata telah terjadi di depan kepala kita. Sebab itulah, kekuatan koalisi non parlementer juga sangat dibutuhkan. Buruh tak lagi harus sendiri melakukan aksinya, petani dan mahasiswa tak mesti harus berbeda barisan, pengamen dan gerakan pemuda tidak mesti saling mengedepankan idealisme masing-masing. Sebab idiogi bersama saat ini adalah idiologi untuk melawan ketertindasan, bukan Marxis Leninis, bukan Pacasialais bukan pula Islamis, melainkan secara Nasional Demokrasi Kerakyatan. Caranya? Tentu saja dengan melakukan gerakan ekstra parlementer, melakukan advokasi, pembangunan opini, pendampingan masyarakat, menggalang dukungan non mahasiswa dan penguatan barisan nasional yang kokoh, juga penegakan pilar keempat demokrasi yaitu lembaga-lembaga pers yang pro rakyat. Sehingga oposisi kita adalah oposisi koalisi yang kuat. Oposisi ekstra parlementer adalah oposisi tanpa hasrat berkuasa.
Kalau Marx pernah bilang "buruh sedunia bersatulah!", maka saatnya kita berbisik dari telinga ke telinga, "Hey... mahasiswa, buruh, petani, pengamen, pemuda, golongan tua, agamawan, pengusa, LSM dan siapa saja, ayo kita koalisi buat menyaingi kolasi mereka. Kita telah ditipu oleh politis yang doyan jualan sapi!"
1 komentar:
nice post
ST3 Telkom.ac.id
Posting Komentar