Diskusi mengenai krisis politik sedang mengemuka, bukan hanya di kalangan aktivis tetapi juga di kalangan intelektual. Berbagai kejadian politik akhir-akhir ini, mulai dari kasus KPK hingga skandal Bank Century, benar-benar membawa pemerintahan dalam krisis politik berkepanjangan.
Saya akan memperbincangkan hal ini lebih jauh, yaitu soal krisis Negara neoliberal. Dengan berusaha menganalisa korelasi kekuatan di dalam negeri, saya ingin mendiskusikan peluang bagi lahirnya “kemungkinan” bagi transformasi sosial secara radikal di negeri ini.
Korelasi Kekuatan
Pada saat partai koalisi diambang keretakan, sebagian pihak menganggap bahwa pemerintahan SBY-Budiono akan mengarah pada krisis politik. Alasannya, antara lain, karena ancaman perpecahan akan menggeser perimbangan kekuatan ke oposisi, apalagi citra SBY-Budiono semakin merosot karena tudingan isu korupsi.
Mungkin, pendapat itu ada benarnya, tetapi itu hanya bentuk permukaan saja. Menurut saya, krisis akan terjadi kalau ada masalah dalam korelasi kekuatan Negara. Ini menyangkut struktur kekuatan dari klas berkuasa dalam kapasitas mengambil keputusan dan menjalankannya (norma, prosedur, administrasi/jabatan), dan kemampuan mereka mengorganisir ide-ide dominan untuk menghegemoni dan menundukkan kehidupan politik massa rakyat.
Dalam bagian pertama, kita mengidentifikasi bagaimana struktur kekuatan Negara tidak lagi efektif mengambil keputusan dan menjalankannya, serta tidak lagi sanggup memenangkan consensus dengan sektor luas masyarakat. Kalau anda memperhatikan kasus kriminalisasi terhadap KPK, kita menyaksikan bagaimana antara apparatus Negara (polisi versus KPK) saling serang.
Dalam menjalankan fungsi administraturnya, sebuah apparatus harus mendapatkan legitimasi luas; baik dipaksakan maupun sukarela. Dalam administrasi rejim SBY-Budiono, apparatus negara semakin kehilangan wibawa politik, dan akhirnya mendapat hujan “cacian” dari publik
Ada beberapa kasus untuk membuktikannya. Rencana Menkominfo Tifatul Sembiring untuk menerapkan RPM konten multimedia, misalnya, mendapatkan protes luas dari publik. Twitter pribadi sang Menkominfo dihujani “caci maki” dari publik, bahkan presiden SBY angkat bicara dan mempersalahkan Menkominfo.
Begitu juga dengan rencana kenaikan gaji pejabat dan mobil mewah menteri, public segera bereaksi dan mengeluarkan penilaian, salah satunya; “menteri-menteri tidak becus bekerja telah merengek kenaikan gaji dan mobil mewah,”—demikian seorang sopir taksi mengatakannya. Dan, karena itu, wibawa menteri dan pejabat telah begitu merosot di hadapan publik.
Di kalangan organisasi rejim, terutama partai koalisi, telah terjadi persilangan kepentingan dan sangat mungkin untuk mengarah pada keretakan. Golkar, melalui seorang pimpinannya, Priyo Budi Santoso, telah melontarkan pernyataan bahwa Golkar siap berdiri di luar pemerintahan kalau ada reshuffle. Artinya, keinginan presiden SBY untuk menertibkan barisannya sendiri telah mendapat pembangkangan dari dari dalam barisannya sendiri.
Di kalangan gerakan rakyat, dari berbagai spectrum, memang nampak sebuah kegairahan baru paska menguatnya isu kriminalisasi KPK dan skandal Bank Century. Dua kali rencana aksi besar, yaitu peringatan hari anti-korupsi (9 desember) dan respon 100 hari rejim SBY-Budiono (28 januari), telah menciptakan kekhawatiran besar di kalangan orang-orang istana. Bahkan, kalau sebelumnya ada rambu-rambu mengenai batas-batas aksi di depan istana ( ada pengaturan radius aksi dan larangan membawa sound system), kini semuanya telah dilanggar oleh kedua aksi tersebut.
Pada bagian kedua, kita melihat bagaimana kemampuan rejim ini mengorganisir ide-ide dominan untuk menghegemoni kehidupan politik massa rakyat. Antonio Gramsci, marxist Italia yang terkenal, memberikan kontribusi penting soal bagaimana kelas berkuasa sanggup menjalankan hegemoninya dan menyerap berbagai bentuk ketegangan sosial ke dalam kerangka institusi borjuis. Dalam kerangka itu, kelas dominant berhasil memaksakan proyek politiknya sebagai “akal sehat” yang harus diterima.
Kalau kita periksa, sebagian besar ide-ide dominan yang berkuasa (hegemonic) saat ini adalah terkait dengan kepentingan korporasi global, atau seringkali disebut “neoliberalisme”. Ide-ide ini di masa lalu, terutama melalui tangan intelektual dan pejabat Negara, benar-benar menjadi ide tunggal untuk menguasai masyarakat. Ide-ide atau gagasan diluar mereka (mainstream) dianggap sesat. Kini, khususnya paska pemilu, ide-ide dominan tersebut mulai mendapatkan penentangan kuat, bukan saja di kalangan intelektual tetapi juga rakyat banyak.
Ide dominan bahwa investasi asing merupakan motor penggerak ekonomi, mekanisme pasar bebas adalah keniscayaan, dan minimum intervensi adalah lebih baik, saat ini sudah mendapatkan penentangan kuat. Ada begitu banyak artikel, baik di media mainstream maupun media independen, yang menjelaskan mengenai ancaman dari dominasi investasi asing, bahaya besar dari liberalisasi perdagangan, dan kejatuhan standar kehidupan rakyat akibat de-nasionalisasi.
Dalam deklarasi Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), pada 9 februari 2009 lalu, sejumlah ekonom telah mendeklarasikan penentangan terhadap ekonomi neoliberal, dan selanjutnya menyerukan untuk menghidupkan kembali ekonomi kerakyatan, berdikari, dan kemandirian bangsa. Ide-ide dominan, seperti nasionalisme yang dianggap usang, mendapatkan hujatan keras dari sederatan ekonom di asosiasi ini. Sebaliknya, para ekonom ini memandang penting untuk mengobarkan kembali nasionalisme, termasuk dalam kehidupan ekonomi.
Dua Proyek Politik Nasional
Titik puncak dari krisis Negara neoliberal ini terletak pada munculnya dua proyek politik nasional yang saling berhadapan; proyek neoliberalisme dan proyek kedaulatan nasional. Ini adalah soal dua perspektif dua Negara dalam satu Negara, dimana keduanya punya daya tarik untuk merangkul berbagai sektor sosial.
Sebuah ekuilibrium sedang bergerak menuju ketidakseimbangan (krisis), dan sangat potensial mempengaruhi kontruksi hegemoni. Tulisan-tulisan Marx, misalnya, pada tahun 1848-1849, menjelaskan krisis politik silih berganti; kerusuhan, stabilisasi, kerusuhan, dan stabilisasi.
Kemunculan dua proyek politik nasional di atas, bagaimanapun, sangat mempengaruhi korelasi kekuatan yang terjadi. Situasi ini sangat memungkinkan untuk mengarah pada bifurcation (titik percabangan dua), dan selanjutnya akan mengarah pada chaos; ini sangat bisa menampilkan kekerasan atau mungkin diselesaikan secara demokratis.
Dalam hal ini, sedikit mengutip Gramsci, kepemimpin politik harus sanggup member kepemimpinan moral kepada keseluruhan masyarakat. Karena, kalau tidak, kepemimpinan politik tersebut akan sangat rentan mengarahkan massa yang luas ke bawah pengaruh atau rayuan dari pihak oposisi.
Di Indonesia, sejak percabangan yang muncul tahun 1998 bisa diselesaikan dengan jalan demokratis—mereka menyebutnya “transisi demokrasi”, maka neoliberal menjadi kekuatan politik dominan. Neoliberalisme, seperti juga kolonialisme, menyerukan perampasan terhadap kekayaan alam (bahan mentah), tenaga kerja, dan pasar dunia ketiga. Demi penerapan ideology korporat, rejim neoliberalisme di Indonesia telah mensponsori perampasan barang dan kekayaan publik (Lihat, pasal 33 UUD 1945), seperti tanah, migas, air, hutan, pendidikan, kesehatan, dsb.
Proyek neoliberal menghasilkan kemiskinan, pengangguran, dan kehancuran budaya (karakter). Ini menyuburkan perlawanan di mana-mana, melibatkan sektor yang sangat luas, dan berlangsung seolah tanpa jeda. Meskipun gerakan ini masih berhadapan dengan banyak kendala, khususnya fragmentasi, tetapi ini menjelaskan potensi besar gerakan anti-neoliberal di masa mendatang.
Saat ini, sebagian kapitalis nasional sedang masuk dalam ruang untuk berkonfrontasi dengan capital internasional (TNC/MNC), dan menyerukan pemulihan peran negara dan kedaulatan nasional. Itu terjadi, antara lain, karena mereka kehilangan posisi kompetitifnya saat bersaing dengan competitor dari luar, saat pasar domestik mulai dibuka dan peran Negara dikurangi. Ini dijelaskan dengan fenomena de-industrialisasi.
Kita sedang memasuki titik percabangan baru, dimana berbagai kekuatan sosial tidak bisa menghindari jauh dari polarisasi dua proyek politik di atas. Ketika neoliberalisme terpojokkan, terutama dalam kasus skandal Century, seluruh pembelanya muncul di permukaan dan memasang badan agar Budiono dan Sri Mulyani tidak dipersalahkan. Sebaliknya, kalangan penentang neoliberal yang spektrumnya sangat luas, seperti politisi nasionalis, ekonom, mantan pejabat militer, intelektual, sebagian aktivis pergerakan, pengusaha, dsb, mulai mengumpul di bawah payung nasionalisme, kemandirian bangsa, dan kedaulatan ekonomi.
Harus diakui, bahwa percabangan ini bisa berakhir dengan restrukturisasi, semisal reshuffle, yang tentunya sangat diharapkan oleh oposisi oportunis, tetapi tidak untuk kita. Untuk itu, kita harus berani untuk mendorong krisis ini menjadi penciptaan struktur kekuasaan baru, yang memungkinkan partisipasi rakyat luas di dalamnya. Untuk itu, kita tidak bisa membiarkan dua kereta proyek politik itu berlalu begitu saja, tetapi harus melakukan pemihakan kepada proyek politik yang memungkinkan transformasi sosial radikal di masa depan.
*) Penulis adalah peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), pemimpin redaksi Berdikari Online, dan pengelola Jurnal Arah Kiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar