Mari tumpahkan air mata seluruh dunia Mari gelakkan tawa ke angkasa Menyentuh setiap hati dengan ujung penamu dan kelamin tintaku Akan ada banyak orang yang menunggu persenggamaan kita Mereka akan membentangkan kertas putih biru itu Ayolah,... ... ... ... ... ...
Jumat, 17 Desember 2010
Dilematika "Seragam" dan "Seragamisasi"
"Postmodernisme" Perlu kanjian mendalam untuk menghindari penyesatan
Akibatnya, kita banyak melupakan persoalan-persoalan dasar yang harus dihadapi dan dipecahkan di negeri ini. Posmodernisme hanyalah sejenis eksperimen intelektual yang ‘kenes’, tak lebih dari teori yang bersandar pada ‘permainan bahasa’ (language game), yang justru membuat kalangan terpelajar lupa pada realitas penindasan yang membutuhkan keyakinan filsafat yang mampu merubah secara mendasar kapitalisme modern yang mengglobal yang menjadi sumber bencana umat manusia, yang imbasnya juga begitu terasa di Indonesia.
Relativisme seakan menjadi cara berpikir orang yang acuh terhadap realitas karena realitas seakan tak ada gunanya dipahami, tetapi hanya dimaknai. Seorang yang posmois barangkali akan mengatakan: ”Setiap orang unya makna dan punya kemampuan megembangkan pemaknaannya sendiri terhadap realitas. Jangan dicampuri, kalau mencampuri itu namanya penjajahan makna atau kolonialisasi pengetahuan [Sic!]”. Sangat tepat apa yang dikatakan Ernest Gellner bahwa:
Bagi posmo semuanya adalah makna, makna adalah segalanya, dan hermeneutika (kurang lebih bisa dipahami sebagai aliran filsafat yang bertujuan menafsirkan realitas sebagai ‘teks’) adalah nabinya. Apapaun sesuatu itu, ia ditentukan oleh makna yang ada di dalamnya. Adalah makna yang membuat sesuatu berubah dari sebuah keberadaan yang tidak jelas menjadi sebuah objek yang dapat dikenal. (Tetapi makna yang memberikan eksistensi juga menentukan status, dan demikian merupakan alat dominasi). Mungkin gabungan antara subjektifitas dan hermeneutika dengan janji yang mengabsahkan-diri sendiri-dan monopoli?—tentang kebebasan inilah yang menjadikan cara pandang ini berbeda. “Subjek” menjadi semacam alat perlindungan, semacam benteng; meskipun kita tidak pernah yakin tentang dunia luar, paling tidak kita merasa pasti dengan perasaan pikiran, dan indera kita sendiri. (Ernest Gellner. Menolak Posmodernisme: Antara Fundamentalisme Rasionalis dan Fundamentalisme Religius. Bandung: Mizan, 1994, hal. 41)
Jika demikian, berangkat dari pendapat Gellner di atas, saya ikut mencurigai bahwa posmodernisme adalah cara pandang yang subjektif. Sedangkan subjektifisme harus dijauhkan dalam dunia ilmu pengetahuan karena ilmuwan dan intelektual tidak boleh bertindak atas subjektifitas, mereka harus berpihak pada kebenaran—kebenaran yang menurut Maxim Gorky, dalam Novel ”Ibunda”: “... bahkan samudra darahpun tak dapat menenggelamkan kebenaran”.
Sepemahaman saya, makna bukan hanya produk pengetahuan tetapi juga psikologis (perasaan). Artinya, dalam diri ini makna terlalu sublim. Makna juga dapat dimanipulasi, karena ia bukan hanya terungkap dalam mimik wajah tetapi juga bahasa—dalam banyak hal bahasa tak mampu mewakili makna sejati. Jadi “permainan bahasa” bukanlah pengetahuan/filsafat, bukan masalah bagaimana realitas (objek) diketahui. Dan hubungan antara subjek dan objek sebagai jalan mencari kebenaran memang dijauhi oleh cara pandang posmodernisme.
Makanya tak mengherankan jika suatu karakter yang paling dikenal dari posmodernisme adalah penolakannya pada objektifitas dan metode mencari objektifitas yang disebutnya sebagai “positivisme”. Kaum posmois biasanya menolak realitas struktur objektif san mereka disebut sebagai kaum “post-positivist”. Mereka juga menolak struktur objektif, sehingga mereka disebut “post-structuralist”. Inilah yang menurut saya akan mengacaukan ketika posmodernisme dipegang sebagai metode pendidikan. Pasti kaum posmois akan menghalangi para peserta didik untuk mengenal realitas objektif. Menganggap bahwa pendidikan adalah “permainan bahasa” atau tiap anak didik memiliki “makna”-nya masing-masing, yang terjadi adalam metode pendidikan yang tidak serius.
Apalagi istilah positivisme sendiri menimbulkan semacam kebingungan. Penolakan terhadap objektivitas tentu saja saja wajib dicurigai. Martin Hollis, seorang filsuf dalam Hubungan Internasional, mengomentari kebingungan yang menyertai penggunaan istilah ‘positivisme’ dan menawarkan versi dari apa yang bias diartikan oleh penolakan positivisme. Lebih jauh, ia menjelaskan apa yang dimaksud pos-positivisme dan kecenderungan-kecenderungan negatifnya (the danger of relativism). Bahkan dia mengkawatirkan dengan menolak objektivisme dan analisa material terhadap dunia sosial, kaum pos-positifis (posmodernis) juga menolak penggambaran realitas yang nyata. Lebih lanjut ia menyayangkan sikap skeptisisme kaum posmo terhadap objektivitas ilmu pengetahuan; dia justru “berkata banyak tentang objektivitas dan naturalisme” (say more about objectivity and naturalism)yang sebenarnya lebih menjadi dasar dari ilmu pengetahuan itu sendiri. (Martin Hollis, The Last Post?. Dalam Steve Smith, Ken Booth, Marysia Zalewski (eds.), “International Theory: Positivism and Beyond”, (Cambridge University Press, New York, 1996), hal. 308 ).
Dalam proses pembelajaran, tentu kita akan menekankan cara pandang universal dan mentotalitaskan suatu gejala agar anak-anak didik mudah memahami, agar anak didik memiliki ukuran dan patokan dalam menilai realitas kehidupannya. Anak didik harus mengenal alam yang sifatnya material (konkrit, objektif) dengan gejala-gejalanya yang universal; anak didik harus mengenal bagaimana hubungan sosial berjalan dan apakah hubungan-hubungan itu sudah sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Kemanusiaan adalah patokan dan dapat diukur, hidup tidak mengalir seperti tai di sungai yang kotor yang membuat orang bebas mengikutinya. Dengan percaya kebenaran, generasi kita tahu mana yang salah, dan tahu bagaimana yang salah dan tidak manusiawi harus diubah.
Tidak berhenti di situ, untuk mengenali realitas alam dan kehidupan secara objektif, peserta didik harus terjun langsung ke dalam realitas, mnyelidiki, meneliti, dan praktek. Praktek adalah metode yang paling efektif untuk memahami kehidupan secara dialektis—suatu cara pandang bahwa hidup ini adalah material dan berubah, saling berhubungan antara bagian-bagian materialnya.
Tujuan pengetahuan dan filsafat adalah agar generasi kita mampu untuk mengenali dan mempelajari kenyatan ini dalam rangka untuk merubahnya. Tanpa pengetahuan objektif, berarti akan terjadi manipulasi terhadap realitas. Tanpa itu, yang akan lahir adalah ”generasi cuek”, permisif, malas, dan mengikuti maknanya sendiri. Pada hal otonomi makna adalah mitos karena makna tidak tercipta dengan sendirinya. Makna disangga oleh realitas material. Makna yang ada dalam kehidupan dalam setiap orang memang tidak sepenuhnya sama, tetapi tetap posisi materiallah yang tetap banyak menentukan makna apa yang akan tercipta. Apalagi hidup benar-benar nyata, material, dan hidup bukalah ilusi, mimpi, atau sandiwara.
Kaum relativis bukannya mencari sumber ilmu pengetahuan di mana realitas material yang akan dijelaskan menjadi acuannya, tetapi justru sibuk pada makna manusia dalam mempersepsikan realitas. Ketertarikan posmodernisme sebagai kegiatan intelektual memang terlalu sibuk menganalisa persepsi, citra, makna, simbol, dan lain-lain. Dan untuk melihat persoalan yang penting di masyarakat, yaitu adanya hubungan eksploitatif yang menebabkan kacaunya hubungan sosial dan berbagai kontradiksi moral, ideologis, dan mental, kaum posmois segera beranjak untuk mengambil ide, makna, subjektifitas (bukan materi da realitas) untuk menjadi bahan analisanya tentang persoalan masyarakat. Hal ini tentu saja menjadi sumber kecacatan kaum posmodernis-relativis, dimana filsafat dan pengetahuan bukan lagi persoalan bagaimana memahami objek, tetapi telah beralih menuju persoalan bahasa, struktur pikiran, ilusi, makna dan lain sebagainya.
Gunnar Myrdal mengatakan: “Etos ilmu pengetahuan sosial adalah mencari kebenaran ‘objektif’. Kepercayaan seorang mahasiswa ialah keyakinannya bahwa kebenaran itu adalah segala-galanya dan bahwa khayalan itu merusak, terutama khayalan-khayalan oportunistis. Ia mencari ‘realisme’, suatu istilah yang salah satunya menunjuk pada suatu pandangan ‘objektif tentang realitas’. (Gunnar Myrdal. Objektivitas Penelitian Sosial. Jakarta: LP3ES, 1981, hal. 1).
Tujuan ilmu pengetahuan adalah membantu upayanya untuk mengubah realitas kenyataan alam atau kenyataan sosial. Dan tidak mungkin pendekatan posmo akan bisa mewakili realitas dari hubungan global karena mereka tidak menjelaskan dari sudut realitas, mereka anti-materialis historis. Hanya dengan dasar material sejarahlah hubungan global akan mampu dijelaskan karena, sebagaimana ditegaskan Gellner:
“Masyarakat manusia adalah sebuah interaksi kompleks dari berbagai faktor eksternal—paksaan dan produksi—dan berbagai makna internal. Ini tidak diragukan. Ciri sebenarnya dari interaksi itu tidak bisa dimulai sebelum penyelidikan, demi predominasi unsur-unsur semantis atau ‘kultural’. Fakta utama mengenai dunia sebagaimana yang dipahami sekarang adalah bahwa dunia sedang berada dalam sebuah transisi yang fundamental dan krusial, sebagai akibat dari asimetri yang mendasar dan tidak sepenuhnya bisa dimengerti antara satu gaya kultural tertentu dengan lainnya.
Posmodernisme adalah suatu gerakan yang—sebagai tambahan dari cacat-cacat lain: ketidakjelasan, kepura-puraan, ikut-ikutan, berlagak—melakukan kesalahan-kesalahan besar dalam metode yang direkomendasikannya. Kesukaannya akan relativisme dan perhatian berlebihan terhadap keanehan semantik membuatnya tidak dapat melihat aspek non-sematik yang ada dalam masyarakat dan, yang paling penting, asimetri yang muthlak meluas dalam kekuasaan kognitif dan ekonomi di dunia ini.
Relativisme yang menjadi sumbernya tidak memiliki, dan tidak bakal memiliki, satu programpun, apakah itu politik atau bahkan dalam penelitian. Satu hal, itu adalah suatu hal yang dibuat-buat. Siapapun yang mengajukan, ataupun mempertahankannya dari serangan kritikusnya, akan terus—setiap kali berhadapan dengan isu serius ketika kepentingan mereka mereka libatkan—bertindak berdasarkan asumsi non-relativistik bahwa satu visi khusus secara kognitif akan lebih efektif ketimbang yang lainnya… para praktisi ‘posmo’ telah sangat jauh melangkah pada arah untuk menanggalkan penelitian dan teori, dan menggantikan keduanya dengan suatu usaha untuk membawa objeknya sendiri, yaitu Makna dari Yang Lain, dengan memaksa objek berbicara mewakili dirinya sendiri… pada akhirnya mereka tidak bisa berbuat lain kecuali kembali pada suatu penelitian yang menempatkan objek dalam konteks dunia sebagai mana dipahami oleh suatu kebudayaan yang ‘ilmiah’ dan dominan…
Berkompromi dengan kekacauan global, yang diakibatkan oleh suatu kekuatan kognitif serta teknologi tertentu, tidaklah mudah dan tentu saja tidak akan dilakukan di sini. Relativisme hanyalah sebuah daya tarik…bagi anggota budaya yang mendapat hak istimewa, yang berpandangan sempit dan naif, yang mengira bahwa pembalikan pandangan menjadi relativisme akan mengurangi hak istimewa mereka dan, pada saat yang sama, dapat memahami orang lain dan diri mereka sendiri serta saling memahami kesulitan yang dihadapi bersama”.( Ernest Gellner. Menolak Posmodernisme: Antara Fundamentalisme Rasionalis dan Fundamentalisme Religius. Bandung: Mizan, 1994, hal. 101-102)
Pandangan itu ekuivokal dengan apa yang dikatakan Andre Gorz:
“Mengatakan bahwa kontradiksi mungkin tidak atau tak akan dirasakan sangat berbeda dengan mengatakan bahwa kontradiksi itu tak akan bisa dipahami. Jika ada kontradiksi, maka pastilah kontradiksi itu merasuk ke dalam level tertentu dalam alam pengalaman massa. Yang menjadi problem kemudian adalah bagaimana membuat yang tak terasa itu dipahami”.
(Andre Gorz. Sosialisme dan Revolusi. Yogyakarta: Resist Book, 2005, hal. 16).
Konsekuensinya, karena cuek pada realitas objektif, cita-cita “kebebasan” dan “otonomi” yang digembar-gemborkan posmois Nampak utopi. Tepatnya, mereka hanya gembar-gembor tetapi tak mau berbuat. Karena realitas kehidupan yang menjadi sumber dari ketidakbebasan dan penindasan itu pada dasarnya tertotalitaskan secara material, dan penjelasannya juga harus universal—dan cara merubahnya juga membutuhkan suatu kekuatan yang bersifat menyatukan karena penindasan dapat bertahan justru karena tidak terjadinya penyatuan sejati dalam kenyataan riilnya. Penindasan ditimbulkan oleh disharmoni suatu totalitas material.
Posmodernisme seakan tidak memahami pentingnya kedekatan manusia dengan dunianya, realitas dengan objektifitas dan totalitasnya. Pada hal, hanya dengan hidup secara total dengan realitas, anak-anak didik akan mampu mempercepat pemahamannya akan berbagai persoalan yang ada di dunia. Semakin ia dekat dengan realitas, kian objektif pandangannya terhadap suatu masalah yang berakar pada realitas, kian dewasalah cara berpikir dia. Filsuf Jerman, Goethe, pernah mengatakan: “Manusia mengetahui dirinya sebanyak pengetahuannya tentang dunia; manusia mengetahui dunia hanya dalam dirinya sendiri dan dia menyadari dirinya sendiri dalam dunia ini. Setiap objek yang benar-benar baru dikenal membuka sebuah organ baru dalam diri kita”.( Dikutip dalam Erich Fromm. Konsep Manusia Menurut Marx. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 38).
Dengan mengajak Anda untuk melakukan gugatan terhadap cita-cita filsafat posmodernisme, melalui buku ini saya mengajak pembaca untuk mengenali lebih jauh suatu filsafat humanis yang membuat manusia sadar akan realitasnya—itulah tujuan proses pendidikan untuk pembebasan yang dicita-citakan Marx(isme). Konsep manusia Karl Marx, yanga awalnya banyak dipengaruhi Hegel, bertugas untuk “membedakan yang esensial dari proses realitas yang tampak, dan untuk menangkap hubungan antara keduanya”. Lebih jauh Hegel juga pernah mengatakan:
“Dunia ini adalah dunia yang asing dan keliru jika manusia tidak menghancurkan objektifitas yang tumpul dan mengenali dirinya dan kehidupannya di balik bentuk dan benda-benda serta hukum-hukum yang tetap. Ketika manusia akhirnya memenangkan kesadaran diri ini, berarti dia sedang menuju bukan hanya pada kebenaran diri sendiri tetapi juga pada kebenaran dunia. Dan dengan pengenalan ini, proses tersebut berjalan terus. Manusia akan menaruh kebenaran ini pada tindakannya, dan membuat dunia menjadi apa yang secara esensial merupakan pemenuhan kesadaran-dirinya”. (ibid., hal. 37).
Berbeda dengan dialektika historis, filsafat posmodernis bukan hanya abstrak, tetapi ‘mbulet’ dan bermain pada wilayah ‘permainan bahasa’, tidak realistik. Paradoks dari filsafat bahasa ala posmodernis seperti Jacques Derrida, misalnya, disebabkan oleh filsafat bahasa yang anti-realistik yang menyangkal kemungkinan kita untuk mengetahui realitas yang independen dari diskursus. Sebagaimana ditegaskan Alex Callinicos, sikap anti-realisme ini menghalangi kita untuk mempersoalkan kemungkinan untuk membicarakan relasi antara bentuk-bentuk diskursus dengan praktek-praktek sosial, entah praktek-praktek ini melestarikan ataupun menentang dominasi yang ada. Secara kontras pos-strukturalisme ‘duniawi’ ala Michael Foucault dan Deleuze memberikan arti penting yang sentral terhadap relasi ini. Keduanya mencoba untuk mengkontekstualisasikan diskursus tersebut. Dan Foucault mengatakan:
“Saya percaya bahwa titik rujukan orang itu bukanlah model agung bahasa dan tanda-tanda, namun model agung perang dan pertempuran. Sejarah yang mengusung dan membentuk diri kita lebih berbentuk perang ketimbang berbentuk bahasa: SEJARAH ADALAH RELASI-RELASI KUASA, BUKAN RELASI-RELASI MAKNA”.
(Alex Callinicos. Menolak Posmodernisme. Yogyakarta: Resist Book, 2008, hal. 124)
Sedangkan Deleuze dan Guttari berpolemik menentang ‘imperialisme penanda’ (imperialism of the signifier) dan berusaha untuk mengembangkan teori bahasa yang pragmatik yang bermula dari karakter sosial yang paling mendasar dari ucapan (uterrance). Sifat pragmatik ini sendiri telah termuat dalam gagasan Foucault mengenai ‘pengetahuan-kuasa’: “Tak ada relasi kuasa tanpa ada pembentukan sebuah medan pengetahuan yang berkorelasi dengannya, dan juga pada saat yang bersamaan tak ada pengetahuan tanpa mengandaikan dan pada saat yang bersamaan membentuk relasi-relasi kuasa”.
Ini sebenarnya menunjukkan bahwa pertarungan kuasa yang paling nyata memang terjadi bukan pada aras bahasa atau makna, tetapi dalam wilayah yang lebih konkrit dan nyata, yaitu ekonomi atau kekuatan-kekuatan produktif—sebagaimana dipahami filsafat historis-dialektis.
Posmodernisme berakar pada ‘The Dada Craze’ di tahun 1920-an dan dikembangkan oleh sejumlah intelektual Perancis seperti Jacquez Derrida dan Michel Foucault. Berbeda dengan pencarian Enlightment terhadap estetika, etika, dan pengetahuan yang rasional, posmodernisme sibuk berurusan dengan pertanyaan tentang otentisitas berbagai ideal yang ada. Gerakan ini mengembangkan kosa kata yang tak jauh beda dengan retorika untuk mempertanyakan dan memutarbalikkan otoritas dengan menggunakan metode yang dikenal dengan dekonstruksi. Ketidakpercayaannya pada kebenaran universal, ia akan mentertawakan anak Anda yang sedang tumbuh dan berkata: “SAYA TAHU SESUATU!”
Posmo mencurigai berpikir kritis dengan berpendapat bahwa pengetahuan kritis dan rasionalitas tak lebih dari perwujudan nilai masyarakat Barat yang didominasi oleh pria dan karenanya mengajarkan pembelajaran dan mempraktekkan berbagai metode yang secara alami mengarah pada sebuah masyarakat yang meremehkan etika dan pandangan budaya lain. Tentu saja, pertama-tama, klaim posmo tersebut tak didasarkan pada bukti: Karena penggunaan rasio dan penalaran bukan hanya ciri khas masyarakat Barat. Penggunaan nalar dan logika telah ditemukan di berbagai komunitas dan budaya, termasuk di Mesir Kuno, Babilonia, dan Maya. Sekarang ini semua ras dan jenis kelamin terlibat dalam penelitian ilmiah.
Tidak sedikit penelitian sejarah yang menunjukkan tentang peran subjektifitas dalam memundurkan berbagai peradaban yang agung dan besar. Yang jelas, objektifitas berada pada luar dunia kita, berbagai hukum fisika, fungsi masyarakat, berbagai kebutuhan praktis manusia; Sedangkan subjektifitas terpaku pada dunianya sendiri, kontemplasi kesadaran dan arti dari berbagai kondisi emosi. Objektifitaslah yang memotivasi manusia untuk mengukur dunia dengan pengetahuan (sains) dan matematika, menciptakan bahasa, membuat perkakas dan gerabah, membangun ‘aqueduct’. Objektifitas memungkinkan munculnya nalar dan pemikiran kritis, sebuah pemahaman yang digunakan oleh bangsa Yunani Kuno untuk mengubah dirinya menjadi sebuah masyarakat baru yang demokratis. Objektifitas dan ilmu pengetahuan kritis yang masih dapat kita gunakan untuk menciptakan tatanan yang adil di era sekarang ini.
Maka, simaklah hasil renungan Charles Van Doren dalam bukunya ‘A History of Knowledge’ berikut ini:
“… Singkatnya, tiba-tiba muncul masyarakat baru di dunia ini, yang disebut bangsa Yunani Kuno sebagai episteme, dan kita menyebutnya sains. Pengetahuan yang terorganisir. Pengetahuan public, didasarkan pada berbagai prinsip yang dapat ditinjau dan diuji secara periodis—dan dipertanyakan—oleh semua orang… ada sangat banyak konsekuensi. Pertama ide tersebut mengatakan bahwa hanya ada satu kebenaran, bukannya banyak kebenaran, mengenai apapun: orang-perorang mungkin saling menentang, tetapi memang hanya itu yang mereka lakukan, maka harus ada yang benar dan ada yang salah”.
(Charles Van Doren. A History of Knowledge. Ballantine Books, 1991, hal. 57).
Senin, 18 Oktober 2010
Membangun Kembali Gerakan Mahasiswa
Minggu, 19 September 2010
Mimpi seorang mahasiswa tua
John Maxwell yang menyusun disertasinya, Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesia Intellectual (Australian National University, 1997), menjabarkan betapa banyaknya komentar penting terhadap kematian Hok Gie. Harian Indonesia Raya yang masa itu sedang gencar-gencarnya mengupas kasus korupsi Pertamina-nya Ibnu Sutowo, memuat tulisan moratorium tentang Soe secara serial selama tiga hari.
Mingguan Bandung Mahasiswa Indonesia, mempersembahkan editorial khusus: ...Tanpa menuntut agar semua insan menjadi seorang Soe Hok-gie, kita hanya bisa berharap bahwa pemuda ini dapat menjadi model seorang pejuang tanpa pamrih ... kita membutuhkan orang seperti dia, sebagai lonceng peringatan yang bisa menegur kita manakala kita melakukan kesalahan.
Di luar negeri, berita kematian Soe sempat diucapkan Duta Besar RI Soedjatmoko, di dalam pertemuan The Asia Society in New York, sebagai berikut: ... Saya ingin menyampaikan penghormatan pada kenangan Soe Hok-gie, salah seorang intelektual yang paling dinamis dan menjanjikan dari generasi muda pasca kemerdekaan .... Komitmennya yang mutlak untuk modernisasi demokrasi, kejujurannya, kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan ... bagi saya ia memberikan suatu ilustrasi tentang adanya kemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang telah disampaikannya kepada kita, dalam hidupnya yang singkat itu.
Kepada Ben Anderson, pakar politik Indonesia yang juga kawan lengket Soe, dalam salah satu surat terakhirnya, Soe menulis,... Saya merasa semua yang tertulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan semuanya ingin saya isi dengan bom!
Dari cuplikan berbagai tulisan Soe, terasa sekali sikap dan pandangannya yang khas. Misalnya, Soe pernah menulis begini: Saya mimpi tentang sebuah dunia, di mana ulama - buruh - dan pemuda, bangkit dan berkata - stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apa pun. Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
Khusus soal mahasiswa, menjelang lulus sebagai sejarawan, 13 Mei 1969, Soe sempat menulis artikel Mimpi-mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua. Dalam uraian tajam itu, ia menyatakan: ... Beberapa bulan lagi saya akan pergi dari dunia mahasiswa. Saya meninggalkan dengan hati berat dan tidak tenang. Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan ... Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa.
Saat dirinya masuk korps dosen FSUI, secara blak-blakan Soe mengungkap ada dosen yang membolos 50% dari jatah jam kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Terjemahan mahasiswa itu dipakainya sebagai bahan pengajaran, karena sang dosen ternyata tidak tahu berbahasa Inggris.
Masih di seputar mahasiswa, dalam nada getir, Soe menulis:... Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh pemimpin-pemimpin korup mereka.
Khusus untuk wakil mahasiswa yang duduk dalam DPR Gotong Royong, Hok Gie sengaja mengirimkan benda peranti dandan. Sebuah sindiran supaya wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di mata pemerintah. Padahal wakil mahasiswa itu teman-temannya sendiri yang dijuluki "politisi berkartu mahasiswa". Langkah Soe ini membuat mereka terperangah. Sayangnya, momentum ini kandas. Soe Hok Gie keburu tewas tercekik gas beracun di Puncak Mahameru.
Berpolitik cuma sementara
John Maxwell dalam epilog naskah buku Mengenang Seorang Demonstran (November 1999), menulis begini, "Saya sadar telah menulis tentang seorang pemuda yang hidupnya berakhir tiba-tiba, dan terlalu dini dengan masa depan yang penuh dengan kemungkinan yang begitu luas."
Kita telah memperhatikan bagaimana Soe Hok Gie terpana politik dan peristiwa nasional, setidak-tidaknya sejak masih remaja belasan tahun ... namun hasratnya terhadap dunia politik, diredam oleh penilaiannya sendiri bahwa dunia politik itu pada dasarnya lumpur kotor. Semua orang seputar Soekarno dinilainya korup dan culas, sementara pimpinan partai dan politisi terkemuka, tidak lebih dari penjilat dan bermental "asal bapak senang", serta "yes men", atau sudah pasrah.
Pandangan ini menjadi latar belakang pembelaan Soe akan kekuatan moral dalam politik di awal tahun 1966. Keikutsertaannya dalam politik hanya untuk sementara. Pada pertengahan tahun yang sama, dia menyampaikan argumentasi bahwa sudah tiba saatnya bagi mahasiswa untuk mundur dari arena politik dan membiarkan politisi profesional bertugas, membangun kembali institusi politik bangsa." Demikian tulis Maxwell.
Soe memang sudah bersikap. Dia memilih mendaki gunung daripada ikut-ikutan berpolitik praktis. Dia memilih bersikap independen dan kritis dengan semangat bebas. Pikiran dan kritiknya tertuang begitu produktif dalam pelbagai artikel di media cetak. Namun secara diam-diam, Soe ternyata juga menumpahkan unek-uneknya dalam bentuk puisi indah. Salah satunya Mandalawangi-Pangrango yang terkenal di kalangan pendaki gunung.
Pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis manis FSUI, selain kutu buku, macan mimbar diskusi, kambing gunung, tukang nonton film, juga penggemar berat folksong (meski sama sekali tak becus bernyanyi merdu). Berbadan kurus nyaris kerempeng, di gunung makannya gembul.
Bagi pemuda dan khususnya mahasiswa demonstran, masih ada potongan puisi Gie yang sempat tercecer, baru muncul di harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973. Judulnya "Pesan" dan cukilan pentingnya berbunyi:
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Yang jadi pertanyaan sekarang, masihkah ada Soe Hok Gie - Soe Hok Gie di era ini??? Ataukah harus dilupakan sama sekali???
Kamis, 26 Agustus 2010
Apa sih mahasiswa itu,... kenapa "MAHASISWA" (?)
Banyak yang menganggap mahsiswa itu sesuatu yang hebat,... Hebat karena butuh kapasitas intelektual yang lebih, tapi juga tidak mudah karena tidak semua orang bisa menjadi mahasiswa. Memang, orang yang memasuki perguruan tinggi , apalagi PTN, pastilah sebagian besar orang yang pintar (Walaupun tidak semua, "Aku misalnya_red"). Tapi tidak semua orang bisa menjadi mahasiswa karena keterbatasa ekonomi, peluang dan intelektulitas. Tapi apakah hanya itu saja artinya menjadi mahasiswa?
Sebenarnya apa sih mahasiswa itu? Dan apa juga yang dibutuhkan untuk benar-benar mewujudkannya? Siswa adalah sebutan untuk orang yang mengikuti sebuah kegiatan pendidikan. Sedangkan maha adalah besar atau lebih. Jadi mahasiswa adalah orang yang lebih dari siswa biasa. Seseorang yang mengikuti pendidikan di perguruan tinggi yang lebih dari siswa SMP atau SMA.
Yang membedakannya dari siswa biasa adalah kapasitasnya dalam berpikir, terutama secara logis dan terstruktur karena digembleng oleh metode belajar akademiknya yang lebih menekankan pada keahlian, dan perjuangannya dalam mewujudkan apa yang dianggapnya benar atau ideal. Mengapa memperjuangkan apa yang ideal dan benar? Karena mahasiswa adalah seseorang yang sedang berada dalam tahap transisi, menuju kedewasaan, baik pikiran atau perilaku. Itu berarti mahasiswa sedang mempertanyakan kembali nilai-nilai yang ada di sekelilingnya dan juga yang ia anut. Mempertanyakan apa yang benar dan salah. Juga karena ia berada dalam koridor kebenaran ilmiah ilmu pengetahuan yang menuntutnya untuk selalu jujur dan memperjuangkan apa yang benar.
Lalu apa yang dibutuhkan untuk itu? Pertama adalah keberanian untuk bertanya. Ada yang bilang malu bertanya sesat di jalan. Seseorang yang menjadi mahasiswa bertanya tidak hanya supaya tidak tersesat. Tapi juga karena ia sedang berupaya untuk mendefinisikan dan mengenal dirinya sendiri juga lingkungan diamna ia berada. Apakah hal yang selama ini ia anggap kebenaran adalah memang hal yang benar? Dengan bertanya dan mencoba mengenal dirinya iapun memulai proses untuk menjadi dewasa.
Kedua adalah kemandirian. Menjadi mahasiswa berarti menjadi pribadi yang mandiri. Baik secara intelektual maupun mandiri dalam kehidupannya sehari-hari. Mandiri berarti mulai mempercayai dirinya bahwa ia mampu menjadi dan melakukan segalanya. Mandiri secara intelektual berarti mau dan mampu berpikir sendiri dan mencoba menjalankannya. Berarti menjadi mahasiswa adalah suatu kesempatan besar untuk menjadi manusia dewasa yang mandiri, pintar dan bertanggung jawab. Sebuah kesempata yang sungguh sayang untuk disia-siakan begitu saja. "SLAMAT MENJADI MAHASISWA" >>> Buat Adek-adekku, selepas PPA.
Rabu, 18 Agustus 2010
OSPEK ditengah Pertarungan Organisasi Kemahasiswaan dan Birokrasi Kampus.
Dari sinilah kebanyakan lahir para mahasiswa-mahasiswa pemikir. Mahasiswa yang mampu memainkan peran sebagai penerus bangsa yang dicita-citakan. Yang berani menyuarakan suara-suara lemah dari bawah ke atas. Yang menjelma menjadi kalangan intelek bangsa. Memperjuangkan Hak Asasi dan Kebebasan, serta mengutamakan pengabdian kepada bangsa dan Laju dari lembaga kemahasiswaan bersesuaian dengan kebutuhan mahasiswa. Akan sangat berbeda sekali jika kita membandingkannya dengan beberapa lembaga lain, misalnya organisasi politik dan semacamnya. Koridor-koridor yang telah ditetapkan benar-benar disesuaikan dengan dunia kemahasiswaan. Intelektual dan pengabdian yang dipadu dengan nilai-nilai kebangsaan, perjuangan, integritas, serta independensi dari segala bentuk pengungkungan.
Roda dari lembaga kemahasiswaan memang tidak akan selamanya bisa berputar tanpa regenerasi atau kaderisasi yang kontinyu. Faktor lama studi mahasiswa menjadi penyebab utama hal ini. Lembaga kemahasiswaan tidak akan bisa konstan menjalankan fungsi-fungsinya jika tidak bisa membina kader-kadernya. Hal ini berarti sebuah kemunduran bagi sebuah lembaga kemahasiswaan.
Sebuah langkah dalam regenerasi awal kader-kader lembaga kemahasiswaan adalah ospek. Dengan ospek, maka tingkat keberhasilan regenerasi lembaga kemahasiswaan sudah mencapai 40%, yang selanjutnya bisa dilakukan perekrutan dan semacamnya. Ada sebuah jaminan tersendiri dari ospek dimana transfer nilai-nilai akan bisa terus berlangsung.
Kepentingan Siapa?
OSPEK atau Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus. Sebuah proses penerimaan mahasiswa baru dalam dunia kemahasiswaan. Tidak bisa dipungkiri bahwa ospek adalah sebuah transisi kehidupan siswa. Kesan pertama mereka menatap kemahasiswaan adalah dengan apa yang telah dilakukan oleh para seniornya. Dan hal itu akan sangat mempengaruhi keadaan siswa dalam menempuh dunia kemahasiswaan mereka. Dan, tidak juga bisa diingkari bahwa ospek adalah sebuah konsep yang sangat ampuh dalam kaderisasi sebuah lembaga kemahasiswaan. Sebuah ospek yang ‘benar’ bisa menghasilkan kader yang sangat berkualitas.
Bagi sebagian kalangan mahasiswa, ada beberapa yang mempercayai bahwa ospek sama sekali tidak berarti. Namun, rata-rata pemikiran itu tidak sampai bertahan lama. Ada yang menganggap bahwa ospek adalah ulah sebagian mahasiswa senior yang ingin mencari muka dihadapan mahasiswa baru dengan tendensi tertentu. Ada juga pemikiran bahwa ospek adalah hanya sebuah ajang balas dendam masal terhadap apa yang pernah senior rasakan kepada yunior. Sebuah pemikiran yang kekanak-kanakan, yang sama sekali bertentangan dengan citra mahasiswa.
Ada beberapa kejadian kebelakang yang menempatkan ospek sebagai obyek pemberitaan. Sebuah tragedi yang menyebabkan ospek membawa korban jiwa. Menjadi sebuah pertanyaan balik yang dilontarkan kepada kita, apakah masih perlu ospek dilaksanakan? Dengan segala predikat dari ospek sendiri sebagai ajang perploncoan, pembatasan HAM, dan lainnya yang dipopulerkan oleh pemberitaan media.
Banyak pihak birokrat yang sudah mengeluarkan berbagai cara untuk menghentikan ospek. Mulai dari pelarangan ospek di masing-masing kampus oleh beberapa universitas, pemberlakuan sanksi bagi para pelaku ospek, hingga yang paling mutakhir adalah pengeluaran SK dari DIKTI yang melarang ospek ditingkat universitas. Masing-masing cara itu ditujukan untuk mengantisipasi efek dari ospek dari masa lalu yang mungkin terulang.
Mungkin pihak birokrat mulai tertekan dengan pemberitaan media yang semakin menyudutkan ospek. Dan juga masyarakat yang mulai semakin rajin memberikan nilai minus terhadap ospek. Akhirnya, sebuah penyama rataan terhadap seluruh kegiatan ospek di nusantara ini bahwa kegiatan ospek adalah terlarang.
Dari sini sudah terlihat bahwa pihak birokrat sudah melupakan akarnya. Di zaman ini, rata-rata pendidikan para birokrat adalah mahasiswa. Dan salah satu kepentingan mahasiswa telah ‘dipenjarakan’. Karena alasan diatas belumlah cukup dipakai untuk merantai ospek. Dan banyak ketidak jelasan yang telah dilontarkan pihak birokrat kepada mahasiswa.
Ada sedikit keanehan ketika pihak birokrat akhirnya ingin mengambil alih kegiatan ospek, dan ‘menyingkirkan’ mahasiswa sebagai pelaksana utama kegiatan ospek. Karena tidak bisa dipungkiri juga, bahwa yang benar-benar mengerti kondisi di lingkungan kemahasiswaan adalah mahasiswa itu sendiri. Mengenai nilai-nilai apa yang sesuai dengan kondisi kemahasiswaan saat ini, mahasiswa juga lebih tahu. Ada banyak hal yang tersembunyi dalam keputusan ini, mengingat yang menjadi obyek dari ospek adalah para mahasiswa baru yang masih belum terkontaminasi doktrin apapun.
Tantangan Bagi Organisasi Kemahasiswaan ?
Manfaat besar ospek untuk lembaga kemahasiswaan adalah ospek merupakan sebuah cara yang efektif untuk melanjutkan rantai regenerasi dan transfer nilai-nilai serta ideologi kemahasiswaan. Tentu saja sasarannya adalah para mahasiswa baru. Bagi mahasiswa baru, ospek dapat membantu untuk mengarungi kehidupan kemahasiswaan yang telah menantinya. 2 hal tersebut bisa sangat sinkron dan saling memberi manfaat apabila dilakukan pada koridor yang benar.
Namun, ketika akhirnya pihak birokrat memutuskan untuk mengambil alih, maka akan terdapat beberapa persepsi. Kita sebagai mahasiswa yang akan mengambil keputusan. Ada ataupun tidak ada ospek, pembinaan mahasiswa baru akan terus berjalan.
Jumat, 30 Juli 2010
Playboy Vs Politikus
Sebenernya sih lebih afdol kalo judulnya Playboy/Playgirl Vs Politikus/Polimarmut.
Kenapa Playboy/playgirl ; soalnya jaman sekarang sudah tidak ada lagi batasan, baik cowok ataupun cewek mereka sudah berani punya peliharaan (baca : pacar) banyak. “Hak Asasi Manusia” katanya.
Kenapa Poltikus/Polimarmut ; karena sekarang sudah tidak ada batasan lagi baik tikus ataupun marmut dua-duanya suka makan Duit Rakyat.
Di tengah-tengah perkelahian antara Ariel, Luna, dan Cut dan maraknya perbudakan uang di atas sana, gue sempet muter lagunya Indonesia Unite dengan lagunya Rindu Bersatu. Miris mendengarnya,,
Jadi mu ngomongi ap nih,,?? gue juga gak tahu. beehhh!
Tujuan
Para playboy sejatinya sangat senang bisa deket dengan banyak cewek-cewek kece, cute, manis, dan bersahabat (bisa dikibulin). Dia tidak punya satu hati yang pasti. kalau pun dia bilang “saya punya satu hati untuk satu cewek”, nyatanya itu hanya gombalan belaka biar bisa deket dengan cewek yang lain. Hanya satu tujuan playboy , CEWEK.
Politikus, ia berharap punya kolega banyak. Link atau jaringan yang banyak di kursi pemerintahan membuatnya lebih leluasa untuk bertindak. Tentu saja, menambah dukungan pula. Berharap modal yang ia keluarkan selama ini dapat kembali, dan bertambah. Tujuan Politikus cuman satu, Duit.
point 1perbedaan : cewek <> duit
Cara Pencapaian tujuan
Cewek adalah makhluk ciptaan tuhan yang paling sexy dan lembut. Hati yang lembut itu bakalan luluh dengan ucapan-ucapan halus yang sedikit dibumbui garam dan cabai. Gombal, ya, ucapan halus itu adalah gombal, karena dengan meng-gombal maka cewek sekeras apapun bakalan luluh kayak kerbau ditusuk hidungnya. Playboy tentu saja memanfaatkan kelemahan ini untuk membombardir cewek, dengan begitu cewekpun didapatkannya hanya dengan ngomong. Ciri khas playboy adalah jago ngegombal (bukan kain gombal).
Masyarakat sangat senang bila keinginannya terpenuhi. Sebagai orang yang hanya bisa menerima peraturan dari atas, tentu saja akan memilih calon pemimpin yang sekiranya bisa memnuhi kebutuhan hidupnya. Maka dengan itu, politikus memandang hal ini adalah kunci baginya untuk naik tingkat. Keluarlah janji-janji yang bisa menggiurkan hal layak-ramai, berharap banyak yang memilihnya. Ciri yang paling menonjol dari politikus adalah jago ngomong, yang membuat pendengarnya percaya.
point 2kesamaan : sama-sama jago ngomong
Ngeles
“Ternyata kamu punya cewek lagi selain aku!!” itulah nada marahnya cewek ke playboy yang ketahuan punya pacar yang lain. Kira-kira apa tanggapan/ jawaban si Playboy? “Beb,, sayang, Enggak kok, Dia tuh bukan pacar Aku, dia itu pembantu aku” si cewekpun langsung luluh. Jadi hati-hati aja kalo punya cowok yangk playboy, bukan jadi pacar tapi malahan jadi Pembantu. Mendingan mah pacaran ma aku "bisa naik pangkat jadi sekretaris, wkwkwkwkwk,...
“Tuurun! tuurun! tuurun!” teriakan masyarakat ketika mengetahui kalo Kepala Desanya korupsi. Kades pun menjawab “Saudara-saudara sekalian, asalkan saudara tahu, sebenarnya dana itu saya hibahkan untuk pembangunan mesjid, jalan, dan jembatan. nanti malam kita adakan syukuran (dangdut)”, masa pun terdiam dan langsung bubar. Padahal atap mesjid masih bocor, jalan berlubang dan jemabatan tidak layak pakai.
Point 3.kesamaan : jago ngeles
Masa depan
Playboy : Tiap pagi bakalan ada satu cewek yang datang ke rumah, trus bilang “Kamu harus tanggung jawab!, anakmu sudah berumur 2 tahun”
Politikus : Tiap pagi bakalan ada satu orang yang datang ke rumah, dan bilang “Pak, sedekahnya pak. saya belum makan selama 3 hari”.
Any way, gue berharap banget bisa meluruskan jalan para playboy dan politkus ini. Baik dengan cara paksa maupun kasar. Akhirnya selesai juga.
The End
Lanjut baca komik Naruto 503 aah..
Kamis, 29 Juli 2010
Ini Bukan Sastra
Melayang fikiran melayang
Bagaikan layang terbang melayang layang…
Terkena badai,lalu goyang,putus dan menghilang…
“Kecewa…”
Kenapa ku harus kecewa,ini hanya dunia maya…..
Percuma saja aku kecewa…
Tak bisa mengapa selain iya saja…
“Biarkan saja…
Waktulah yang akan bicara,seperti bunga kamboja yang tumbuh dan mati pada waktunya…
“Mencela…
Buat apa…??
Ini hanya maya,yang letaknya entah dimana,dan yang pastinya tidak di hati saya…
¤catatan hina,yang kecewa hari ini…..
Selasa, 22 Juni 2010
Karakteristik Pria Menurut Zodiak

Sabtu, 24 April 2010
It's Your Vagina, It's my genitals !!!
* Lip stick, kiss close .*
"I'm in love with you?"
* Holding hands. grabbing. squeezed .*
I say it's not.
Your Vagina's.
"You'll do anything to make me happy right?"
* Fingers worked open his shirt. open it up to be free .*
I say it's not.
that your vagina.
"There must be proof of that love. right? "
* Lips roam. lick. reap what can be found .*
I say it's not.
Your Vagina's.
"You definitely do not want to come on, make me disappointed."
* Left hand squeezes. right hand holding my neck .*
I say it's not.
Your Vagina's.
"What's the difference now with it later?"
* Left hand more and more brutal. a strong right hand gripped my neck .*
I say it's not.
Your Vagina's.
as best I could draw breath, gather a bit of time to survive.
infiltrate into the hands behind the body. grabbed the cold metal down there.
"It will not hurt. Tell me you believe it? "
* Left hand went down. Voice zipper opening .*
and quiet.
no longer any sound.
also no voice.
satisfied, which seems to be looking at a beautiful, deep red in color.
I say it's not.
It's Your Vagina, It's my genitals.
Minggu, 18 April 2010
Antara Cinta dan Logika (?)

Cinta…memang membingungkan, bahkan terkadang cinta sangat sulit untuk didefinisikan. Cinta datang dan pergi sesuka hati dan bahkan cita hadir dalam hati tanpa permisi dan tanpa mengucap salam hadir dan hinggap dalam sanu bari. Tapi disatu sisi kehadiran cinta pun dapat dijemput, karena cinta hadir dan bersemi karena keterbiasaan. Biasa bersama, biasa bersenda gurau, biasa memberi dan menerima dan seterusnya.
Banyak dari kita terbuai olehnya, sehingga pada saat mencinta kita pun sulit untuk tidak mengabaikan logika. Sebagai contoh sederhana adalah pada saat seseorang atau kita sedang jatuh cinta atau mencinta maka yang terlihat oleh kita pada pasangan kita atau orang yang kita cinta adalah hal – hal yang baik – baik saja sedangkan yang hal lainnya berkecenderungan untuk diabaikan. Dengan kata lain yang bermain dan mendominasi diri kita adalah hati atau perasaan. Begitu pula sebaliknya jika kita sedang kecewa atau sakit hati maka yang terlihat adalah sisi yang berbeda dengan saat kita mencinta.
Logika dan cinta memang tidak dapat digunakan pada saat yang bersamaan dalam waktu yang sama pula karena keduanya memiliki peran dan karakteristik yang unik dan berbeda. Menurut filsafat IPA tidak akan akan mungkin jika ada kedua kekuatan dengan massa yang sama besar berjalan berdampingan dalam waktu yang bersamaan dengan kapasitas yang sama pula. Begitu pula cinta dan logika tidak akan berdampingan pada saat yang bersamaan dan dalam waktu yang sama pula. Salah satu dari mereka “logika atau cinta” pasti akan kalah atau sengaja dikalahkan. Ynag sulit untuk ditentukan mana – mana yang kalah dan mana – mana yang akan menang, semua itu bersifat temporer dan subyektif penilaiannya.
Esensi dari cinta itu pada dasarnya adalah esensi dari jiwa, dimana menurut philosof muslim Al – Farabi dan Aristoteles jiwa merupakan esensi tersendiri yang bersifat immaterial. Jiwa dapat berdiri sendiri. Berbeda dengan cinta, logika merupakan kepanjangan tangan dari jiwa “cinta” itu sendiri yang merealisasikan dari esensi jiwa melaui sensor – sensornya dan dengan gerakan – gerakan otot yang bekerja. Bekerjanya gerakan otot tersebut dikontrol oleh logika dan logika sangat dipengaruhi oleh jiwa. Logika dapat bekerja jika individunya menerima rangsangan dan respon dari panca indera yang bekerja.
Dengan kata lain pada dasarnya cinta dapat berdiri sendiri tanpa adanya logika yang bekerja. Tetapi jika cinta berdiri dan mendefinisikan dirinya sendiri “cinta”, maka tidak akan terjalin hubungan yang harmonis antar mahluk – mahluk kecil pengisi jagad raya yang sedang mencinta. Sehingga tidak akan ada lagi drama percintaan dalam sebuah sinetron yang mengharu biru atau telenovela yang didalamnya erat dengan cerita percintaan. Hal ini dikarenakan cinta tetap membutuhkan logika sebagai penyeimbang atau balancing dari sikap dan sifatnya.
Cinta dan logika memang hal yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan. Keduanya akan memainkan peran dan fungsinya masing – masing tergantung dari kebutuhan yang diakomodir oleh insan yang mencinta. Karena pada saat seseorang sedang jatuh cinta dan mencinta maka orang itu secara tidak langsung sudah berpolitik. Hal ini ditunjukan oleh bagaimana ia berusaha untuk memperoleh dan mempertahankan cintanya. Dan yang harus disadari pada saat orang sudah bepolitik maka orang tersebut pasti akan memanipulasi keadaan, menganalisis permasalahan melalui suatu respon dengan stimilasinya atau apa pun. Dengan kata lain pada saat seseorang sedang dan akan mencinta maka ia akan berlogika ria Logika pun memilki suatu kebutuhan dan prosesi khusus yang menjadi bahan pembelajaran sehingga menjadi suatu pengalan – penggalan cerita dan pengalaman. Dengan bercinta maka orang pun belajar, karena dengan itu akan terjadi proses pembelajaran didalamnya tanpa disadari atau tidak. Disina antara keduanya “cinta dan logika” saling memenuhi dan mengisi tetapi tidak secara besamaan melainkan berselingan. Sehingga definisi tentang cinta pun sangat sulit untuk diungkapkan dengan kata karena adar perasaan dan hati yang bermain dan diimbangi oleh logika tentunya.