Rabu, 13 Agustus 2008

Komersialisasi Kampus

Tolak Komersialisasi Kampus
Oleh ; Administrator
Namanya Widya, mahasiswa semester satu angkatan 2006, Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Widya dan puluhan kawannya yang lain harus menerima kenyataan pahit tak lagi mampu kuliah karena di droped out (DO). Penyebabnya bukan karena mereka pengguna narkoba atau melakukan tindakan indisipliner, tapi karena masalah klasik : BIAYA!. Widya telat membayar uang kuliah.
Kebijakan rektorat memang mengharuskan barang siapa yang telat membayar SPP dengan alasan apapun tanpa pengecualian (termasuk sakit dan belum punya uang) harus siap menerima sanksi tidak dapat mengikuti semester berikutnya. Jika mahasiswa diatas semester dua agar tidak dianggap mengundurkan diri maka terpaksa mengambil cuti kuliah. Sedangkan bagi yang semester satu (mahasiswa baru) maka statusnya secara otomatis gugur studi alias droped out (Surat Pembaca SINDO 10 Februari 2007).
Bisa dipastikan, Widya dan puluhan kawannya yang lain terpaksa angkat kaki dari kampus akibat kebijakan kampusnya yang tidak manusiawi itu. Lihat bagaimana hukuman bagi mahasiswa tak mampu lebih berat atau setara dengan mahasiswa pengguna narkoba, tawuran atau berbuat tindak kriminal. Kampus menjadi hampir sama dengan “rumah bordil”, yang bisa masuk dan menikmati isi di dalamnya hanya yang memiliki uang. Karena sama dengan rumah bordil, kampus pun penuh sesak dengan orang-orang yang siap memperbudak dirinya demi uang.
Widya pastinya tak sendirian, selain Widya masih banyak jutaan orang yang tak mampu meneruskan kuliahnya atau tak mampu mengenyam bangku perguruan tinggi. Kampus Widya pun tak sendirian. Hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia mematok tarif selangit bagi mahasiswa nya atau kampus yang menerapkan kebijakan yang tidak demokratis, diskriminatif dan tidak berpihak kepada orang miskin. Dunia pendidikan memang hakim yang paling kejam dan tak adil bagi status sosial seseorang.
Badai neo-liberalisme yang menghantam dunia pendidikan ikut menjauhkan orang miskin mendapatkan pendidikan khususnya perguruan tinggi. Privatisasi yang menjadi salah satu program kebijakan neo-liberalisme menjelma menjadi kebijakan pasar bebas dan mendorong pemerintah untuk melakukan penjualan berbagai asset pemerintah, termasuk perguruan tinggi. Privatisasi kampus berarti pemerintah akan mengurangi anggaran pendidikan. Kampus harus membiayai dirinya sendiri. Alasannya, banyak perguruan tinggi yang sudah maju hingga layak dilepas pemerintah. Otonomi kampus inilah yang menjadi landasan kampus memungut biaya semaunya. Belum lagi menerapkan kurikulum dan peraturan-peraturan lainnya yang otoriter dipaksakan kepada mahasiswa.
Maka tak heran jika perguruan tinggi berlomba-lomba menetapkan harga tinggi dengan dalih untuk peningkatan mutu dan kualitas. Padahal tidak selamanya peningkatan mutu dan kualitas diikuti harga yang mahal.
Lalu bagaimana nasib rakyat miskin ditangan Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Nampaknya nasib rakyat miskin untuk mendapatkan pendidikan tak akan berubah. Karena isi RUU BHP adalah melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Kelak tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta. Semuanya dikelola dalam sebuah model privatisasi dan tentunya komersialisasi yang hebat. Lembaga pendidikan yang sebelumnya tidak diperbolehkan melakukan kegiatan bisnis, sebagai BHP diperbolehkan melakukan kegiatan yang mendatangkan keuntungan, sepanjang laba yang diperoleh diinvestasikan untuk peningkatan mutu pelayanan yang diberikan.
Dalam pasal 7 RUU BHP soal Pendanaan dan Kekayaan secara terang dipaparkan bahwa pendanaan awal Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHPT) murni berasal dari masyarakat dan Badan Hukum Perguruan Tinggi. Dijelaskan juga pada ayat 1, dana untuk investasi awal, pengembangan, dan operasi Perguruan tinggi didapat dari masyarakat lewat dana hibah dari dalam dan luar negeri. Di samping itu, Badan Hukum Perguruan Tinggi juga diberi beban untuk menggalang dana lewat aneka usaha.
Pasal 7 ayat 5 menerangkan juga bahwa tugas pemerintah hanya sebatas memberikan bantuan dalam bentuk hibah. Bantuan ini disebut sebagai dana kompetisi, bukan dana rutin, dan bersifat TIDAK WAJIB. Artinya sudah cukup jelas RUU BHP menguatkan lepasnya tanggung jawab negara terhadap pendidikannya. Lantaran sudah otonom, lembaga pendidikan berstatus BHPT dipastikan bakal menjadikan siswa didik sebagai ladang mengeruk dana. Perguruan tinggi di luar negeri juga berstatus otonom. Namun, berbeda dengan Indonesia, di luar negeri pemerintah tidak mencoba lepas tangan. Malaysia misalnya, pemerintah Malaysia tetap membiayai 90 persen biaya pendidikan kendati perguruan tinggi di Malaysia berstatus otonom.
Van Hoof & Van Wieringen dalam suatu konferensi pendidikan tinggi Eropa mengatakan, jika pemerintah suatu negara tidak secara serius memerhatikan arah dan pengelolaan pendidikan tinggi di negaranya, dapat dipastikan pembangunan ekonomi Negara tersebut akan terhambat.
Dampak buruk dari privatisasi dan komersialisasi kampus juga hilangnya solidaritas sosial. Misalnya, jika seseorang kuliah di fakultas kedokteran dengan membayar Rp 250 juta-1 miliar, apa motivasi mereka setelah lulus? Pasti mencari uang agar modal mereka saat kuliah kembali. Itu sebabnya sangat sulit mencari dokter yang peduli dengan orang miskin.
Kita harus belajar dari Negara yang sangat peduli dengan dunia pendidikan seperti di Kuba atau Venezuela. Presiden Venezuela Hugo Chavez pernah mengatakan, “Jika kita (pemerintah) ingin menyejahterakan rakyat miskin maka berilah rakyat miskin kekuatan. Dan kekuatan itu bernama pendidikan. Maka berilah rakyat miskin pendidikan” ***

Jumat, 01 Agustus 2008

BHP = Privatisasi Kampus

Mencermati RUU Badan Hukum Pendidikan

Walau Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan agar sektor pendidikan diberi anggaran minimal 20 persen dari total APBN dan APBD, pemerintah tak kunjung mematuhinya. Justru yang dilakukan sebaliknya, mendorong agar Rancangan Undang-Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan secepatnya disahkan.
RUU tersebut akan melegalkan pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan. Tidak hanya di perguruan tinggi, tapi juga di sekolah, termasuk pada tingkat pendidikan dasar; sekolah dasar, dan sekolah menengah pertama. Setidaknya ini tergambar dalam draf RUU Badan Hukum Pendidikan versi 12 Oktober 2005. Dari 35 pasal, tidak ada satu pun yang mengatur kewajiban pemerintah dalam penyediaan dana pendidikan.
Pada bagian pendanaan dan kekayaan, yaitu pasal 22 ayat 3, hanya disebutkan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan sumber daya dalam bentuk hibah kepada badan hukum pendidikan sesuai dengan penugasan yang diberikan. Pada ayat 4 disebutkan bahwa hibah dan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 digunakan sepenuhnya untuk pendidikan dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (www.depdiknas.go.id).
Sikap pemerintah tersebut setidaknya mencerminkan dua hal. Pertama, pengeluaran pendidikan masih dilihat dari perspektif biaya. Dalam ekonomi, biaya atau sering kali disebut beban adalah penurunan dalam modal pemilik yang biasanya melalui pengeluaran uang atau penggunaan aktiva (Soemarso, 1999). Karena itu, sesuai dengan prinsip ekonomi, semua biaya harus dipangkas atau sedapat mungkin ditekan.
Penempatan pendidikan dalam perspektif biaya disebabkan oleh tidak adanya komitmen pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang menjadi kewajibannya atau malah pemerintah tidak mengetahui pentingnya pendidikan. Jika dua asumsi tersebut benar, upaya untuk terus meneriakkan bahkan memaksa pemerintah agar sadar dan mau menjalankan kewajibannya merupakan langkah penting.
Cara yang sudah digunakan dengan memperkarakan pemerintah melalui Mahkamah Konstitusi, seperti yang dilakukan guru-guru dari Banyuwangi dan diteruskan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia serta Persatuan Guru Republik Indonesia, menjadi sangat relevan. Termasuk mendorong dilakukannya impeachment apabila pemerintah terus membandel.
Kedua, belum ada program yang jelas. Proses penganggaran tidak hanya berkaitan dengan uang, tapi juga dengan apa yang akan dilakukan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tentu saja, apabila pemerintah memiliki rencana mengenai pendidikan, akan disediakan dana untuk mendukung rencana tersebut.
Kemungkinan lain, bisa saja pemerintah telah memiliki rencana (program) tapi tidak membutuhkan dana yang besar. Tanpa menyediakan anggaran minimal 20 persen dari total APBN/APBD seperti amanat UUD 1945, program sudah bisa dijalankan. Mengenai program pendidikan, memang hanya pemerintah yang mengetahuinya. Hal tersebut tergambar dalam mekanisme penganggaran keuangan Departemen Pendidikan (www.setjen.depdiknas.go.id). Jelas terlihat, dari penentuan dan penjabaran kebijakan hingga monitoring dibuat sangat sentralistis.
Jika demikian kondisinya, memaksa pemerintah menyediakan anggaran besar tidak akan membawa dampak apa pun bagi peningkatan mutu pendidikan. Sebab, masalahnya bukan pada kekurangan dana, melainkan pemerintah tidak mengetahui apa yang akan dilakukan. Apabila ini tetap dipaksakan, bukan tidak mungkin dana yang melimpah akan habis dikorupsi.
Hasil riset Indonesia Corruption Watch memperlihatkan kenaikan anggaran dalam dua tahun terakhir, 2004 dan 2005, ternyata tidak mempengaruhi pelayanan dan biaya yang ditanggung masyarakat. Anggaran pendidikan pada 2004 sebesar Rp 15,3 triliun meningkat menjadi Rp 26,5 triliun pada 2005, termasuk dana bantuan operasional sekolah.
Menurut penilaian masyarakat, gedung, peralatan belajar-mengajar, serta guru dan kepala sekolah masih mengecewakan. Selain itu, biaya yang dikeluarkan cenderung meningkat. Misalnya untuk tingkat sekolah dasar negeri di Semarang. Pada 2004, para orang tua mengaku mengeluarkan biaya langsung ke sekolah rata-rata Rp 725.255, kemudian pada 2005 meningkat menjadi Rp 950.956.
Menolak privatisasi
Melihat realitas pendidikan yang terus memburuk, menuntut kenaikan anggaran merupakan hal yang penting. Tapi upaya tersebut tidak dijadikan sebagai tujuan akhir. Sebab, kenaikan anggaran harus dimasukkan ke kerangka peningkatan mutu layanan dan perluasan akses bagi warga. Ini berarti medan perjuangan harus diperluas.
Selain terus memaksa pemerintah taat pada amanat konstitusi negara, UUD 1945, hal yang penting adalah mengawal agar anggaran tidak dihabiskan untuk membiayai birokrasi pendidikan. Upaya memaksa agar proses penganggaran lebih partisipatif, terbuka, dan akuntabel dari tingkat pusat hingga sekolah menjadi sangat mendesak.
Penting juga didorong reformasi dalam sistem penganggaran, dengan memperjelas porsi bagi penyelenggara dan porsi untuk peningkatan mutu serta perluasan akses pendidikan bagi warga. Diharapkan nantinya kenaikan anggaran tidak dimanipulasi oleh birokrasi untuk mengeruk keuntungan sendiri.
Langkah lainnya adalah menolak berbagai aturan yang melegalkan pelepasan tanggung jawab negara dalam pelayanan pendidikan. RUU Badan Hukum Pendidikan yang kini memunculkan kontroversi hanyalah turunan dari aturan di atasnya, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, terutama pasal 53, mengenai badan hukum pendidikan.
Karena itu, upaya memperbaiki pendidikan nasional tidak bisa dilakukan secara parsial. Kenaikan anggaran tidak cukup dijadikan sebagai jawaban karena masalah pendidikan tidak hanya berkaitan dengan besar-kecilnya dana yang disediakan. Yang lebih penting adalah untuk apa dan bagaimana dana tersebut digunakan.

pendidikan di negeri ku

Neoliberalisme Pendidikan Antara Realitas Dan Dampak

Sekilas Tentang Dunia Pendidikan
Pendidikan yang di elu-elukan oleh banyak orang agaknya menjadi sebuah impian yang tak ada ujung pangkalnya jika kita terus mengamati perkembangannya selama kurun waktu yang begitu panjang. Perbandingan nasib dunia pendidikan di zaman Orde Baru dan rezim Megawati tampaknya tidak ada perbedaan yang siginifikan untuk rakyat, khususnya rakyat miskin yang sudah menjadi masyarakat mayoritas di indonesia. Yang terjadi justru adalah pendidikan di jadikan komoditi bagi sebagian orang (baca; kapitalis) untuk mendapatkan keuntungan berlebih (modal) dan selain untuk mencetak tenaga kerja bagi perusahaan-perusahaan, yang berimbas pada komersialisasi pendidikan. Bagaimana dengan nasib dunia pendidikan di bawah kepemimpinan Mega saat ini, apakah membawa perubahan berarti terhadap rakyat untuk dapat mengenyam pendidikan sebagai ujung tombak dari kemajuan sebuah bangsa. Dan bagaimana dengan agenda Neoliberalisme yang di jalankan oleh Pemerintahan Megawati dan Hamzah Has, khususnya di dunia pendidikan.

Anggaran pendidikan dan potensi jumlah penduduk
Pengurangan subsidi terhadap anggaran yang di anggap tidak produktif sebagai tuntutan dari Kapitalisme Internasional, di antaranya adalah pengurangan Subsidi untuk pendidikan. Sejak di hantam badai krisis akhir `97, perekonomian Indonesia mengalami penurunan drastis apalagi di tambah dengan KKN yang terjadi di masa Orde Baru, Indonesia menjadi salah satu negara yang mayoritas penduduknya adalah rakyat miskin. Populasi jumlah penduduk yang selalu mengalami penambahan tiap tahunnya jika tidak segera di antisifasi dengan pembangunan insfrastruktur sosial terutama pendidikan, hanya akan menambah jumlah pengangguran yang semakin besar di Indonesia. pada tahun 1999-2000 saja jumlah penduduk yang telah masuk usia sekolah sudah mencapai 85,778,950,1 jika di bandingkan dengan jumlah penduduk yang masuk sekolah dasar hingga perguruan tinggi sebesar 25,614,836,2 maka sangat wajar jika anggaran pendidikan yang di alokasikan pemerintah sangat tidak memadai apalagi tingkat pendapat masyarakat terutama kaum buruh masih di bawah standart kebutuhan hidup minimum (KHM).
Megawati saat membahas rancangan APBN 2002 mengemukakan, untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dialokasikan dana untuk sektor pendidikan sebesar Rp 11,6 triliun dan sektor kesehatan dan kesejahteraan sosial sebesar Rp 4,3 triliun dari total anggaran pembangunan yang tersedia dalam tahun 2002 adalah sebesar Rp 47,1 triliun yang bersumber dari pembiayaan rupiah murni sebesar Rp 22,7 triliun dan dana Pinjaman Luar Negeri Rp 24,4 triliun. Alokasi untuk kedua sektor tersebut mencapai sepertiga dari keseluruhan anggaran pembangunan, sedangkan untuk sektor pendidikan sendiri mencapai 24,7% dari seluruh anggaran pembangunan. "Dana untuk sektor pendidikan digunakan antara lain untuk meningkatkan partisipasi pendidikan dasar dan menengah terutama percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, meningkatkan mutu pendidikan, pemberian beasiswa kepada anak-anak keluarga tidak mampu, penyediaan buku pelajaran, peningkatan kualitas guru dan tenaga pendidik lainnya melalui berbagai pelatihan," ujar Megawati.3
Perdebatan seputar anggaran pendidikan yang di alokasikan dari APBN dan APBD, serta adanya perubahan UUD 1945 mengenai pasal 31 tentang pendidikan, Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP-MPR), merumuskan anggaran untuk pendidikan sebesar 20 % dari APBN dan APBD.4 Di sisi lain Depdiknas juga menawarkan program tambahan dalam mengatasi kesulitan biaya operasional pendidikan bagi sekolah Dasar dan Menengah dalam bentuk proposal program dan pendanaan proyek Broad Based Education (BBE), suatu bentuk pendidikan yang memiliki keterkaitan dengan masyarakat, ini bagian dari upaya merealisasikan gagasan perlunya pendidikan life skills. Program kerja sama antara lembaga pendidikan dan perusahaan-perusahaan tentunya dengan jaminan mata pelajaran yang di berikan sesuai dengan keahlian yang di butuhkan pada perusahaan tersebut. Suatu bentuk otonomi pendidikan yang dengan gencarnya di jalankan oleh pemerintah demi menjawab kebutuhan kapitalisme. Tetapi ini tidak di barengi dengan perbaikan nasib Guru, padahal Megawati telah menjanjikan juga alokasi untuk kesejahteraan Guru, Hal inilah yang kemudian menimbulkan perlawanan para Guru dengan melakukan pemogokan di beberapa daerah. Puluhan ribu guru di Wonosobo, Purbalingga, Lampung, Pekalongan, Tegal, Brebes, Jember, Sorong melakukan mogok bersama. Perlawanan mereka bermula ketika Juli 2001 pemerintah menaikkan gaji seluruh pegawai negeri sipil dan pensiunan sebesar 15-20%. Keputusan ini berlaku sejak Januari lalu. Dengan kenaikan itu, paling tidak mereka sudah mengecap tambahan antara Rp. 175.000 hingga 300.000 per bulan. Dan dengan penundaan pembayaran, berarti mereka bisa menerima rapel sekitar 1 hingga 2, 4 juta.4 Kenyatannya, pemerintah daerah sampai sekarang belum juga membayarkan hak para guru tersebut. Alasan pemerintah sangat klise : dananya tidak tersedia. Padahal menurut menteri Pendidikan Nasional Malik Fajar, pemerintah pusat sudah memasukkan rapel gaji guru itu ke dalam pos dana alokasi umum yang disalurkan ke daerah. Keluhan ini juga di utarakan oleh ketua umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB-PGRI), “tak hanya berupa kenaikan kesejahteraan Guru tetapi juga kebutuhan Guru untuk di perhatikan dan di ajak berbicara mengenai tugas-tugasnya”.5 Ironis memang peningkatan mutu pendidikan melalui sistem pendidikan nasional, tidak di ikuti dengan perbaikan nasib Guru baik yang ada di daerah maupun yang ada di kota-kota besar. Padahal kebutuhan hidup hari-perhari terus meningkat seiring dengan agenda Neoliberalisme yang di jalankan pemerintahan Megawati.
Di sektor perguruan tinggi kondisi yang terjadipun tidak jauh berbeda, anggaran pendidikan bagi Perguruan Tinggi Negeri yang di alokasikan dari APBN malah terus mengalami pengurangan tiap tahunnya. Semenjak bulan April 2000, pemerintah sudah mencabut subsidi Dana Operasional Pendidikan (DOP) dan Beasiswa Kerja Mahasiswa. Negara kini memberikan dana kepada Perguruan Tinggi tidak lagi dalam bentuk subsidi tetap, tetapi dalam bentuk Block Grant atau Blok Dana. Artinya, dana yang diberikan akan diberikan dalam jumlah-jumlah tertentu, sesuai dengan kualitas yang ditentukan berdasarkan, antara lain, jumlah lulusan yang mampu dihasilkan Perguruan Tinggi tersebut. Bahwa kemudian perguruan tinggi harus mencari sumber-sumber dana lain, di sinilah kemudian MWA sebagai wakil masyarakat (dan pemerintah) berperan. Akibatnya Perguruan Tinggi Negeri mulai menyiapkan dana tambahan dengan membebankan pembiayaan operasionalnya pada masyarakat dalam bentuk kenaikan biaya kuliah (SPP). Beberapa Perguruan Tinggi yang dijadikan pilot project (proyek percontohan) Otonomi Kampus sudah meningkatkan biaya perkuliahannya secara drastis pada tahun 1999. Di Universitas Gadjah Mada (UGM), SPP meningkat dari Rp.255.000,- menjadi Rp.460.000,- (kenaikan sebesar 80%). Di Institut Teknologi Bandung (ITB), SPP meningkat sebesar 66% dari Rp.468.000,- menjadi Rp.775.000,- dan melambung lagi menjadi 1 Juta Rupiah pada tahun berikutnya. Ini diberlakukan dengan alasan adalah bahwa mahasiswa dari kampus-kampus tersebut berasal dari kelas menengah ke atas yang mampu membayar biaya perkuliahan, sehingga tak perlu lagi ada subsidi untuk mereka sekalipun block grant akan tetap diberikan oleh pemerintah.

Perubahan Sistem Pendidikan dan Pola Kebijakan Yang Di Terapkan

Kurikulum Pendidikan Dalam Menghadapi Era Globasasi Dan Pasar Pebas
Salah satu komponen pendidikan yang menyita banyak perhatian dari pelaksanaan sistem pendidikan nasional adalah soal kurikulum. Bahkan, tidak sedikit yang menganggap kurikulum sebagai inti dari kegiatan pembelajaran di sekolah. Namun di sisi lain ada beberapa faktor lain yang juga mendukung keberhasilan peleksanaan pendidikan di Indonesia, guru yang berkwalitas, kondisi sarana dan prasarana, manajemen sekolah, serta sistem pendidikan nasional. Perkembangan sistem pendidikan nasional yang sekarang ini menjadi sebuah opini di masyarakat khususnya para praktisi pendidikan adalah seputar program pendidikan nasional 2000-2004. Perubahan kurikulum sejak 1968, 1975, 1984, 1994 dan pada tahun 2002, yaitu kurikulum berbasis kompetensi, tetap saja pola pendidikan yang berlaku berubah-ubah setiap pergantian menteri (5 tahun sekali) dan di lakukan dengan transisi yang hampir tidak berarti. Ramainya perdebatan seputar kurikulum berbasis kompetensi, di nilai belum nyata pengaruhnya terhadap perbaikan kwalitas pendidikan. Penetapan kurikulum berbasis kompetensi hanyalah jawaban atas rendahnya kwalitas lulusan sekolah maupun perguruan tinggi yang akan masuk dunia kerja. Secara implisit kurikulum berbasis kompetensi akan mereduksi materi/subtansi tertentu yang yang tidak signifikan untuk perkembangan industri dan hal ini akan semakin memperpendek masa studi sehingga akan semakin banyak tenaga siap pakai dan murah bagi perusahaan-perusahaan. Di sisi lain juga kurikulum ini memberikan keleluasaan lembaga pendidikan untuk membuat kurikulum turunan sesuai dengan kebutuhan daerah atau sekolah, dan membuka kerja sama dengan pihak swasta/perusahaan dalam mengelola potensi sebuah lembaga pendidikan. Menurut Prof. Dr. S. Hamid , pakar kurikulum dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) “secara umum, pusat kurikulum Balitbang Depdiknas belum mau secara tegas mengatkan bahwa yang mereka inginkan adalah kurikulum berbasis standar. Hal ini dapat di lihat dari definisi kurikulum berbasis kompetensi yang di hubungkan dengan keahlian tertentu yang harus di capai siswa”. 5 standarisasi yang di maksudkan adalah keahlian dalam bidang profesi tertentu yang tak lain hanyalah pemenuhan tenaga kerja yang akan masuk ke perusahaan-perusahaan sesuai dengan keahliannya. Standarisasi keahlian di jadikan kurikulum berdasarkan kemajuan teknologi pada perusahaan-perusahaan yang akan membutuhkan tenaga-tenaga terampil yang dapat mengoperasikan mesin-mesin produksi untuk menghasilkan modal dalam jumlah besar.

Sistem penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
Perubahan status perguruan tinggi negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara di tetapkan melalui PP. No 61 tahun 1999, sebagai manifestasi dari otonomi kampus. Ketetapan ini di berlakukan dengan dalil laju globalisasi dan pasar bebas. Dan di dorong oleh kepentingan bersama, Beberapa negara di berbagai kawasan dunia membentuk kawasan perdagangan bebas yang bertujuan untuk meniadakan hambatan perdagangan antar negara. Di kawasan Asia Tenggara dibentuk AFTA, kawasan Asia Pasifik membentuk APEC, dan puncaknya adalah ditandatanganinya perjanjian GATT yang membentuk WTO. Perkembangan tersebut di satu sisi akan mengurangi, bahkan meniadakan berbagai proteksi perdagangan pada negara-negara yang ikut menandatangani perjanjian itu. Namun di lain pihak juga membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk memperoleh akses ke pasar dunia. Keterbukaan pasar tidak terbatas pada komoditi tradisional saja, melainkan akan juga mencakup tenaga kerja. Menghadapi arus globalisasi tersebut, negara membutuhkan kemampuan yang cukup untuk dapat bersaing dengan negara-negara lain.6 Dan sistem yang di terapkan Dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi menempat kelompok satuan atau lapis yang secara langsung terlibat dan bertanggungjawab mengenai penetapan tujuan, penyediaan sumberdaya, pelaksanaan proses, dan evaluasi kualitas hasil serta kinerja. Keterlibatan dan pertanggungjawaban tersebut, baik secara bersama maupun oleh masing-masing lapis dilaksanakan dalam suatu kerangka kewajiban, tugas dan wewenang, yang secara keseluruhan membentuk Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi. Ke-empat lapis tersebut terkait satu dengan lainnya secara hierarkis, yaitu :
- Lapis ke-1 Otoritas Pusat
- Lapis ke-2 Perguruan Tinggi
- Lapis ke-3 Unit Akademik Dasar
- Lapis ke-4 Sivitas Akademika
Posisi mahasiswa berada pada lapis ke-empat yang dalam proses pengambilan kebijakan sama sekali tidak berpengaruh karena struktur organisasi Perguruan Tinggi itu sendiri yang kini menaruh Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai organ yang mewakili pemerintah dan masyarakat dalam Perguruan Tinggi.7 Walaupun Perguruan Tinggi merupakan BHMN yang bersifat nirlaba, tetapi ia diperbolehkan mendirikan badan usaha yang mendukung penyelenggaraan pendidikan, untuk mengatasi biaya operasional. Terbukalah peluang bagi Perguruan Tinggi untuk bekerja sama dengan para pemilik modal, berarti pendidikan menjadi komersial. Sebagai contoh, Universitas Gadjah Mada (UGM) telah membentuk sebuah badan usaha bernama PT. GMUM yang memiliki 23 anak perusahaan dan siap menerbitkan saham begitu keuntungan sudah diperoleh. Kepentingan-kepentingan pemodal ini kemudian terwakili dalam Majelis Wali Amanat, yang selain terdiri atas unsur pemerintah (Menteri) dan Kampus (Senat Akademik dan Rektor), juga mencakup wakil dari masyarakat. Secara riil “wakil dari masyarakat” hanyalah sebuah penghalusan dari “wakil pemilik modal.” Tengok saja anggota-anggota MWA Universitas Indonesia (UI) dari unsur masyarakat yang dilantik 1 November lalu. Dari 6 orang tersebut, tercatat dua orang pengusaha besar, yaitu Muchtar Riyadi dari Lippo Group dan Rahmat Gobel yang menjadi Direktur Utama PT. National Gobel. Di Institut Teknologi Bandung (ITB), komposisinya juga tak jauh berbeda. Dari 8 orang yang dilantik, terdapat juga unsur-unsur pemodal, antara lain Adrian Maghribi dan Prihadi Santoso (Presiden dan Wakil Presiden PT. Freeport Indonesia), dan Saifuddin Hasan (Presiden Direktur Bank BNI). Buyarlah sudah anggapan bahwa kampus adalah milik rakyat. Pada kenyataannya, kampus adalah milik pemodal.
Hal inilah yang kemudian menelanjangi sistem pendidikan pada perguruan tinggi di Indonesia, bahwa pendidikan adalah komoditi bagi kapitalisme, menjadikan perguruan tinggi sebagai badan usaha yang menghasilkan modal dan menjadi alat pemilik modal untuk mencetak tenaga-tenaga kerja terampil yang sesuai dengan standar kapitalisme. Pendidikan direduksi tidak lagi berdasarkan minat tetapi didasarkan atas kebutuhan sistem kapitalisme. Mata kuliah yang ada dipecah-pecah dan direduksi proses ilmiahnya menjadi lebih pragmatis dan jelas yang tak sesuai dengan kepentingan pemilik modal akan dibuang dan disampaikan dalam potongan-potongan ilmu yang dinamakan Satuan Kredit Semester (SKS). Terjadi pula pemangkasan masa studi menjadi lebih singkat, dari 6 sampai 7 tahun menjadi 4-5 tahun, untuk menjamin pasokan tenaga kerja terdidik yang lebih cepat untuk disalurkan kepada pemilik modal. Ini tentu saja lebih menguntungkan pemilik modal ketimbang mahasiswa, yang kemudian harus mengejar target SKS di bawah ancaman D.O. Lebih parah lagi, mekanisme pasar kemudian berlaku dalam pasar tenaga kerja. Apabila kemudian jumlah tenaga kerja yang tersedia membludak dan melebihi kemampuan serap, maka daya tawar pemilik modal meningkat dan melemahkan posisi tawar calon-calon pekerja yang baru lulus tersebut. Daripada menjadi pengangguran, mau tak mau mereka kemudian menerima saja bekerja dengan gaji rendah atau standar kerja yang minimal, misalnya.
Ini saja sudah menunjukkan bahwa mahasiswa sama sekali tidak dipandang penting dalam proses otonomi kampus ini, ia cukup patuh saja pada peraturan pemerintah tanpa sama sekali diberi hak untuk didengarkan pendapatnya, apalagi untuk turut serta dalam proses penyusunan kebijakan tersebut. Suatu hal yang justru bertentangan dengan proses demokrasi, di mana minoritas tunduk pada mayoritas