Kamis, 04 Februari 2010

Bangkrut Dan Bubar "Monster Menyeramkan Bagi Bangsa Ini"

Saya rasa bangsa ini butuh penanganan yang benar dan tepat sasaran, atau kita lebih memilih bangsa ini bubar dan tinggal sejarah, bukan pilihan yang sulit memang tapi suatu pilihan yang menuntut semua steak holder dan pastinya sebuah gebrakan pemimpin bangsa yang lebih progresif. Saat ini, kita sedang berada di depan pintu “kebangkrutan”, sesuatu yang bukan lagi lelucon murahan tapi sudah sangat nampak di depan mata kita. Meskipun data-data pemerintah mencoba menawarkan optimisme, namun fakta kembali tidak dapat menutupi pesimisme mengenai masa depan Indonesia di bawah kendali rejim neoliberal.

Ancaman Utang Luar Negeri

Sampai saat ini, pemerintah belum bisa menutupi kekhawatiran kita mengenai dampak penumpukan utang luar negeri. Menurut pemerintah, seperti disampaikan Menkeu Sri Mulyani, rasio utang luar negeri terhadap PDB terus menurun. Kalau pada 2000 rasio utang terhadap PDB mencapai 89% maka pada 2004 turun menjadi 57% dan pada akhir 2008 menjadi 33%. Diperkirakan, pada 2009 turun menjadi 32%.

Penurunan rasio ini, seperti diakui pemerintah, didorong oleh peningkatan dalam nilai PDB kita. Masalahnya, perhitungan PDB Indonesia merujuk output/produksi ekonomi nasional, termasuk yang dihasilkan perusahaan maupun tenaga kerja asing. Sebagian besar faktor pendorong penambahan PDB itu adalah sumbangan pihak asing yang bekerja di Indonesia.

Jika dihubungkan dengan PNB (produk Nasional Bruto), maka nilai penambahan PDB jauh melampaui PNB. Menurut data BPS pada tahun 2005, sebagai contoh, PDB berjumlah Rp 2.729,7 triliun, sedangkan PNB Rp 2.644,3 triliun. Dengan selisih yang sangat besar, skema ini menunjukkan masih kuatnya pengaruh pengerukan sumber daya oleh kekuatan imperialis di Indonesia.

Fakta lainnya, meskipun rasio utang terhadap PDB menurun, namun stock utang justru terus meningkat dalam empat tahun terakhir. Tahun 2004, total utang pemerintah jika dirupiahkan Rp 1.295 triliun, sedangkan total utang negara per Maret 2009 mencapai Rp1.700 triliun. Ada peningkatan sekitar 30% dalam lima tahun ini.

Sebagian dari utang ini akan jatuh tempo dalam waktu dekat, dan ini tentu sangat berbahaya bagi Indonesia yang 16% APBN-nya dipakai untuk menutupi pinjaman utang luar negeri. Belum lagi, krisis ekonomi global berpotensi mendorong pemerintah AS menerbitkan surat obligasi berbungan tinggi, sehingga Indonesia harus membayar jumlah bunga yang lebih tinggi dibanding pada saat penawaran. Artinya, keberhasilan pemerintah menurunkan rasio utang terhadap PDB hanyalah prestasi bias, sebab tidak didukung oleh fakta konkret.

Konsumsi Dibiayai Utang

Masalah lainnya adalah jatuhnya kemampaun masyarakat untuk berkonsumsi. Ada kontradiksi konstan antara pertumbuhan cepat dari kekuatan produksi dan kemampuan massa untuk mengkonsumsi. Tentu saja ada iklan, sistem kredit, dan usaha lain untuk mempromosikan konsumerisme, semua itu terjadi, tetapi tidak selalu bekerja dengan baik.

Jika kita memperhatikan tolak ukur kemampuan konsumsi masyarakat, yaitu indeks penjualan ritel (IPR) dan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK), memang masih terjadi pertumbuhan. AC Nielsen, misalnya, masih memprediksikan sektor ritel nasional bakal tumbuh 15 persen. Akan tetapi, setelah diperiksa dengan baik, pemicu pertumbuhan konsumsi ini adalah kredit (utang).

Hampir seluruh konsumsi masyarakat kini, baik kelas menengah maupun miskin, dibiayai melalui utang. Berdasarkan data Bank Indonesia per November 2008, pertumbuhan kredit konsumsi tumbuh 32,03 persen menjadi Rp 275,7 triliun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Di tahun 2009, pertumbuhan kredit konsumsi semakin menggila, yaitu sebesar Rp110,8 triliun atau 41,5% menjadi Rp377,9 triliun.

Untuk kalangan bawah, konsumsi dibiayai oleh program sosial neoliberal, diantaranya BLT, PNPM, KUR, Biaya Operasional Sekolah, dsb, melalui skema pinjaman luar negeri. Bahkan, kenaikan gaji anggota TNI/Polri sebesar 5% juga dibiayai melalui tambahan utang di APBN.

Jadi, kenaikan konsumsi masyarakat bukan karena perbaikan daya beli, ataupun pendapatan: upah, laba, dan sewa. Pendapatan rakyat mayoritas, seperti pekerja, petani, UKM, terus mengalami penurunan signifikan akhir-akhir ini.

Pengangguran dan Sektor Informal Berkembang Pesat

Menurut data, hingga februari 2009, jumlah mereka yang bekerja di sector informal sudah mencapai 70 juta orang, atau 70% dari total angkatan kerja. Ini berarti sebagian besar rakyat kita tidak lagi bekerja di sector ekonomi yang diorganisasikan oleh Negara, melainkan hidup dari ekonomi jalanan dan perekonomian gelap.

Ini bertentangan dengan semangat konstitusi dasar (UUD 1945), bahwa tiap warga Negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dengan demikian, kegagalan Negara dalam memberikan lapangan pekerjaan yang layak kepada 70%, dapat dipandang sebagai manifestasi inskonstitusiona. Bukankah Negara tanpa hukum adalah anarki.

Bagi kapitalisme, pengangguran merupakan solusi parsial, asalkan tidak begitu tinggi dan mengancam revolusi sosial. Mengapa? Karena, selama ada pengangguran, maka kapitalis dapat menahan atau melemahkan pekerja dalam negosiasi upah, menekan serikat buruh, dan menurunkan daya tawar buruh di pasar tenaga kerja. Harus disadari, bahwa ancaman PHK merupakan salah satu mekanisme kapitalis untuk mendisiplinkan kelas pekerja.

Tingkat pengangguran yang sangat tinggi, bukan sekedar menjadi persoalan sosial, tetapi juga sangat berpengaruh terhadap tingkat permintaan terhadap output produksi para kapitalis. Harus disadari, bahwa nilai surplus dapat diperoleh melalui rangkaian produksi dan terwujud di dalam komoditi itu sendiri. Sedangkan profit (keuntungan) hanya dapat diperoleh setelah melalui sirkulasi (terjual di atas biaya produksi). Dengan demikian, tingkat keuntungan sangat dipengaruhi oleh tingkat permintaan, atau biasa disebut oleh para Keynesian sebagai “permintaan efektif”. Semakin banyak penganggur dan berpendapatan rendah, maka menurut Josef Steindl, Paul Baran, Paul Sweezy, tingkat permintaan akan sangat merosot karena proporsi terbesar dari konsumsi masyarakat adalah konsumsi kelas pekerja dan kalangan bawah.

Dampaknya lebih jauh adalah efek kelebihan produksi , khususnya industry di dalam negeri, sehingga semakin mempercepat proses de-industrialisasi. Ada kontradiksi konstan antara pertumbuhan cepat dari kekuatan produksi dan kemampuan massa untuk mengkonsumsi. Tentusaja ada iklan, sistem kredit, dan usaha lain untuk mempromosikan konsumerisme, semua itu terjadi, tetapi tidak selalu bekerja dengan baik.

Kebijakan neoliberal yang begitu deras dalam dekade terakhir, khususnya di bawah pemerintahan SBY, turut berkontribusi kepada meningkatnya gejolak de-industrialisasi di dalam negeri. Pada triwulan ketiga 2009, pertumbuhan industry hanya mencapai 1,3 persen, tak sampai sepertiga pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 4,2 persen.

Di bawah kapitalisme, industry merupakan salah satu lapangan tempat mengolah dan menghasilkan keuntungan (profit). Jika benar, Negara adalah organisasi kelas tertentu, dalam hal ini Negara kapitalis, maka Negara seperti Indonesia ini sebetulnya sudah bangkrut. Sebab, negeri ini tidak lagi sanggup menyediakan “mesin” pencipta profit bagi kapitalis Indonesia, dalam hal ini adalah Industri.

Semakin banyak pengangguran dan sektor informal, semakin sedikit kelompok pembayar pajak untuk Negara. Apalagi, di Indonesia, pendapatan di bawah 5 juta per-bulan tidak kena pajak. Ini malapetaka bagi Indonesia, sebuah Negara yang 80% penerimaan APBN-nya digenjot dari setoran pajak.

Sumber Daya Dijarah Pihak Asing

Dengan sumber daya alam yang melimpah, mengutip Bung Karno, seharusnya itu menjadi bagian dari jembatan emas untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Sumber daya alam itu telah menjadi syarat-syarat kemajuan bagi Indonesia: Indonesia adalah penghasil biji-bijian terbesar ke-6 di dunia, penghasil beras ke-3 di dunia setelah China dan India, penghasil teh terbesar ke-6 di dunia, penghasil kopi terbesar ke-4 di dunia, dan penghasil coklat terbesar ke-3 di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.

Juga penghasil terbesar minyak sawit dunia, penghasil karet alam kedua, penghasil cengkeh terbesar, penghasil tembaga ketiga setelah Cili dan AS, penghasil timah kedua dunia, penghasil nikel ke-6, penghasil emas ke-8 dunia, penghasil natural gas keenam, serta penghasil batubara ke-9 dunia.

Namun, di bawah rejim neoliberal, seperti para kolonialisator dulu, semua syarat-syarat kemajuan itu telah diserahkan kepada pihak asing, kemudian rakyat kita harus membeli kembali dengan harga lebih mahal. Sekarang ini, pihak asing sudah menguasai 80-90% pengelolaan migas kita, dan hampir 100% perusahaan tembaga dan energy adalah perusahaan asing.

Bersamaan dengan itu, kepemilikan asing di sector perbankan juga sudah mencapai 60%, sebuah posisi yang cukup dominan dalam mengarahkan perbankan.

Semua itu dimungkinkan oleh UU Penanaman Modal yang baru, sebuah persembahan terbaik SBY kepada tuan-tuannya (imperialis), sebab mengijinkan kepemilikan asing terhadap asset nasional hingga 99%. Akibat dari semua itu, Mulai dari telekomunikasi, angkutan laut, migas, mineral, sumber daya air, perkebunan sawit, hingga sektor pendidikan, kesehatan (medis), ritel, dan industri lain. Sekitar 75 persen pasar garmen nasional dikuasai asing. Bahkan jarum jahit, sandal jepit, pangan seperti daging, susu, kedelai, jagung, gula, sayur-sayuran, buah-buahan, hingga garam pun impor.

Meskipun memiliki hamparan sawah yang sangat luas, Indonesia justru masuk dalam daftar pengimpor beras di dunia. Begitu pula dengan kebutuhan gula, tiap tahunnya kita mengimpor 30% kebutuhan gula nasional, padahal kita pernah menjadi eksportir gula semenjak jaman kolonial dulu. Indonesia juga mengimpor 45% dari kebutuhan kedelai, 10% kebutuhan jagung, 15% kebutuhan kacang tanah dan 70% kebutuhan susu.

Indonesia Sebagai Negara Diambang Kebangkrutan

Negara adalah adalah organ kekuasaan kelas, dalam hal ini Negara adalah alat penindasan kelas berkuasa. Ini merupakan kesimpulan tidak terbantahkan. Bankrutnya Negara Indonesia bukan berarti bahwa saya sedang menangisi hilangnya sebuah organisasi penindasan, tidak sama sekali.

Terbentuknya Negara Indonesia karena hasil perjuangan anti-kolonial. Ini merupakan kesimpulan tak terbantahkan. Aspek penting dari perjuangan anti-kolonial adalah persatuan kepentingan berbagai klas (borjuis kecil progressif, pekerja, petani) melawan kapitalis penjajah.

Karena itu, seperti dijelaskan oleh Michael Kalecki, seorang ekonom progressive terkenal, Negara paska kolonial selalu menegaskan kebijakan yang relatif independen dan mandiri dari negeri-negeri penjajah (imperialis). Dalam hal ini, Kalecki menyebutkan dua ciri bagi Negara paska kolonial; mengutamakan sektor publik dan non-blok (tidak memihak).

Sektor publik, yang dibangun oleh sebagian besar Negara dunia ketiga bekas jajahan dengan bantuan Soviet, adalah benteng untuk menghadapi negeri-negeri imperialis. Itu digunakan untuk membangun basis industry di dalam negeri, mencapai kemandian teknologi, mengembangkan skill-dasar ekonomi, dan untuk menyediakan pengaturan bagi kapitalisme domestic, termasuk di dalamnya borjuis nasional, produsen kecil, pemilik agro bisnis, dsb. Disamping itu, sektor public juga menjadi mekanisme bagi Negara nasional untuk memberi perlindungan khusus bagi kesejahteraan rakyatnya---pekerja, petani, dan kaum miskin lainnya. Inilah elemen progressif dari Negara dunia ketiga.

Sedangkan prinsip non-blok, pada prakteknya, diperlukan oleh Negara bekas jajahan untuk menciptakan jarak terpisah jauh dengan Negara imperialis, namun tetap membuka pintu bagi Uni Sovyet dan camp anti-imperialis. Indonesia pernah menjadi deklarator gerakan non-blok pada tahun 1950-an.

Di dalam praktiknya, imperialisme selalu menyerang kedua ciri kebijakan negeri bekas jajahan ini, dan terutama sekali yang pertama. Segera, terutama di bawah neoliberalisme, negeri imperialis mendiskreditkan setiap bentuk kebijakan publik, mempromosikan privatisasi. Masuknya neoliberalisme, seperti dicatat Alvaro Garcia Linera, wakil presiden Bolivia saat ini, disertai dengan penyusutan dan deformasi negara, terutama aspek negara yang baik-buruknya berhubungan dengan konsep kolektif atau ide-ide kesejahteraan. Neo-liberalisme bertujuan menghancurkan pengertian negara sebagai kolektif atau penjamin kesejahteraan, demi menerapkan tipe ideologi korporat yang menyerukan pengambil-alihan dan penjarahan kekayaan kolektif yang diakumulasikan berkali-kali oleh dua, tiga, empat, atau lima generasi.

Jadi, sekali lagi, yang saya hendak tegaskan, bahwa Indonesia yang sedang berada di ambang kebangkrutan adalah Indonesia hasil perjuangan anti-kolonial, sebuah negeri hasil perjuangan pembebasan nasional selama berates-ratus tahun. Yang menghancurkan bukan saja imperialisme, tetapi sebuah kelompok politik, teknokrat, dan kaum liberal (aktivis, seniman, penulis, dll) pemuja dunia pertama-imperialisme.

Cara Mencegah Pembobolan ATM

Karena banyak terjadi kasus pembobolan dana lewat ATM, berikut adalah tips bagi anda sebelum mengambil uang di ATM.

1. Cari mesin yang mulut mesinnya berwarna ijo. Kalau nggak ada, coba cari warna pink. Kalau nggak ada juga, coba cari warna biru. Kalau nggak ada juga, mungkin anda lagi di wartel bukan ATM.

2. Masukin ATM bank lain, untuk menipu penyadapan pin anda. Siapa tahu keluar juga duitnya.

3. Coba bicara dulu sama mesin ATM-nya. “Elo disadap nggak?” Kalau dia bilang nggak, ambil dah.

4. Coba tes masukin KTP anda dulu, kalau tiba-tiba fotonya keluar beda. Berarti itu disadap!

5. Bungkus kartu ATM anda dengan kondom untuk mencegah kebocoran/penyadapan.

Selamat Mencoba.


Sumber; Kompasianaku

Rabu, 03 Februari 2010

Kenapa harus takut dengan kerbau? Tanya kenapa???

Hari-hari belakangan ini binatang kerbau yang biasanya hanya berkubang lumpur di sawah tiba-tiba naik kasta, dibicarakan oleh presiden, dijadikan bahan perdebatan di televisi, jadi bahan tulisan di kompasiana. Semua berawal ketika pada demo 28 Januari lalu turut berdemo kerbau Si Bu Ya (plesetan dari Es Be Ye?) yang menyeruak di antara kerumunan pendemo. Kerbau Si Bu Ya langsung menyedot perhatian karena di bagian pantatnya ditempeli dengan foto SBY selain tulisan Si Bu Ya besar-besar di badannya.

Alkisah Presiden SBY tersinggung berat karena merasa disamakan dengan kerbau yang badannya gemuk. bodoh dan pemalas. Saya tak mau turut dalam gonjang ganjing soal kerbau itu, saya justru kasihan dengan binatang bertanduk itu. Bayangkan saja sudah populasinya tergusur oleh populasi traktor yang tak terkendali, sekarang dijadikan symbol kebodohan dan kemalasan. Siapa bilang kerbau bodoh dan malas? Secara turun temurun kerbau menjadi sahabat petani, menjadi pembajak sawah yang tak kenal lelah,pintar dan bertenaga besar dan tidak banyak ulah.

Dengan kepintarannya kerbau bisa mengerti aba-aba dari petani, kapan harus jalan, kapan harus belok, kapan harus berhenti. Kerbau juga bukanlah binatang pemalas, bahkan binatang pekerja keras dan tahan banting. Saya tidak tahu sejak kapan kerbau dijadikan symbol kebodohan dan kemalasan padahal di masa lalu kerbau adalah nama yang agung bahkan dipakai sebagai nama bangsawan. Kalau anda penggemar kesenian tradisional kethoprak pasti pernah mendengar nama Kebo Marcuet, Kebo Anabrang yang berasal dari kasta bangsawan.

Dalam khasanah kesenian jawa, dikenal pula nama gending Kebo Giro (kebo = kerbau), yang biasanya ditabuh untuk mengiringi ucapara perkawinan yang agung. Keraton Yogyakarta bahkan mempunyai kerbau keramat berkulit bule, sampai-sampai orang rela berebut kotorannya karena diyakini akan mendatangkan rejeki.

Bangsa kita sepertinya memang gemar mencari symbol-symbol dari sesuatu yang sebenarnya maknanya baik menjadi sesuatu yang buruk dan hina. Catat saja selain kerbau yang dijadikan symbol kebodohan dan kemalasan, makanan tempe juga dijadikan symbol kemiskinan dan keterbelakangan dan segala hal yang buruk. Mental lemah dibilang mental tempe, bangsa yang miskin dibilang bangsa tempe, padahal tempe adalah produk makanan asli Indonesia yang punya nilai ekonomis yang tinggi dan menjadi sumber rejeki bagi banyak orang. Tempe juga telah dikomsumsi oleh semua lapisan masyarakat sampai-sampai semua orang kebingungan ketika harga kedelai sebagai bahan baku tempe tiba-tiba melonjak.

Kembali ke soal kerbau, tanpa disadari kesalahkaprahan dalam penggunaan symbol kerbau tersebut ternyata selaras dengan cara pandang masyarakat petani terhadap kerbau. Petani tak banyak lagi yang memelihara kerbau dan memilih menggunakan jasa traktor untuk mengolah sawahnya padahal secara ekonomi sangat memakan biaya dibandingkan membajak sawah menggunakan kerbau. Lenguhan kerbau telah tergantikan oleh lenguhan traktor. Namun sekarang orang mulai sadar bahwa peran kerbau tak bisa digantikan oleh traktor. Injakan kerbau membuat tanah menjadi gembur, dan kotorannya membuat petani tak tergantung kepada pupuk buatan pabrik.

Kotoran kerbau bahkan bisa diolah menjadi biogas yang membuat petani tak harus tercekik untuk membeli gas yang kian hari harganya kian mencekik. Kerbau bahkan bisa menjangkau lahan yang tidak rata, lahan pegunungan yang tak terjangkau oleh traktor. Bayangkan jika petani kembali memelihara kerbau, berapa banyak mereka bisa berhemat dan ujung-ujungnya kesejahteraan akan meningkat.

Dalam konteks pembangunan yang ramah terhadap alam, keberadaan kerbau jelas sangat menentukan. Sekarang sudah mulai tumbuh kesadaran untuk meninggalkan cara pertanian yang merusak alam (pestisida, pupuk pabrik) lewat gerakan pertanian organik. Peran kerbau menjadi sangat menentukan karena darinyalah produk pupuk alami dihasilkan, sudah begitu tenaganya dibutuhkan untuk menggantikan traktor yang menghasilkan polusi dan menyedot solar(saya pernah melihat tayangan di Metro TV tentang pertanian sebagai penyumbang terbesar bagi pemanasan global). Selain itu produk dari pertanian organik juga dihargai jauh lebih mahal daripada hasil pertanian non organik yang tentu akan mengangkat derajat hidup petani. Pertanian yang berwawasan lingkungan harusnya menjadi keniscayaan di tengah issue pemanasan global, sayangnya gaungnya justru kalah kencang dari gonjang ganjing Kerbau Si Bu Ya. Bukti bahwa pemerintah tidak punya politik pertanian yang berwawasan alam dan tidak menggagas politik pertanian yang mendorong petani menjadi mandiri. Jangan-jangan karena pemerintah sudah terlanjur under estimate terhadap kerbau.

Saya yang wong ndeso kini sangat merindukan lenguhan kerbau yang tak kenal lelah membajak sawah, bukan merindukan keluhan orang yang tersinggung disamakan dengan kerbau. Kalau saya jadi orang tersebut saya akan bilang…Siapa takut dibilang kerbau?


Selasa, 02 Februari 2010

Li(bi)do, Tubuh, dan Pencerahan Intim

Musim dingin yang ekstrim tak menghalangi ratusan pengunjung antre berjam-jam di depan sebuah gedung pertunjukkan. Keramahan para penjaga pintu sukses mengalirkan kehangatan pada tubuh yang diterpa minus derajat suhu udara malam itu. Jam pun terus berdetak dan merangkak, hingga tiba saat sebuah pintu yang kukuh mempersilahkan tetamunya melangkahkan kaki.

Tepat pukul sembilan lewat tiga puluh menit malam. Layar merah tua pelan terbuka. Irama musik India mengalun dinamis. Satu persatu, dewi-dewi dalam mitologi India muncul dari balik panggung berseni dan berteknologi canggih. Aksesori-aksesori indah kisah Ramayana dan Mahabharata membalut dua puluh persen tubuh sang penari. Bagian tubuh separo ke atas dibiarkan bebas terbuka. Gemulai dan gerak tubuh begitu tunduk pada hentakan musik dan kilatan lampu. Dinamis sekaligus rancak. Penari-penari Bluebelle Girls di LIDO Paris itu memendarkan pesona magis dan eksotisme adikarya anak manusia. Bagi pecinta seni kelas tinggi, tari kabaret itu benar-benar bukti cita rasa seni mahaadi. Sebaliknya, bagi penikmat seni lucah, gerutuan panjang pasti membuncah dari mulutnya yang nyinyir. That’s artistically interesting, but not empowering !

LIDO merupakan kreasi dua bersaudara Italia, Joseph dan Louis Clerico. LIDO sendiri diambil dari nama sebuah pantai eksotis di Italia. Inagurasi kabaret paling masyhur di dunia ini dilaksanakan pada 20 juni 1946 dengan pertunjukan pertama berjudul “Sans rimes ni raisons (tanpa rima dan tanpa rasio)”. Terletak di jantung Champs-Elysées, LIDO menjelma menjadi salah satu penanda gemerlap dan romantika kota Paris sebagai La ville de lumière (Kota Cahaya). Prestasi LIDO tidak bisa dilepaskan dari peran lima tokoh : Dua bersaudara Clerico (pendiri), Margareth Kelly (kareografer Bluebelle Girls), Pierre Louis-Guérin, dan Renée Fraday. Kelima abdi seni ini memang menjual keindahan tubuh. Tapi, mereka berhasil menyajikannya tanpa jatuh pada vulgarisme dan seni berselera rendah.

LIDO bukan sekedar gemulai eksotis tubuh perempuan. Ia bagian dari perdebatan sengit Abad Pencerahan XVIII mengenai hubungan rasio dan seks. Immanuel Kant dan Marquis de Sade adalah dua seteru dalam persoalan ini; bagaimana mendamaikan moral dan seks? Kant berpendapat bahwa akal dan seks itu sangat berbeda, bertentangan dan tak dapat disatukan. Akal mengantarkan manusia pada perintah-perintah moral, sedangkan seks selalu membelokkannya pada tindakan-tindakan tak bermoral. Dalam bukunya Leçon d’éthique (1780), Kant dengan keras mengatakan bahwa l’attirance sexuelle n’est pas une inclination pour un autre être humain, mais une inclination pour son sexe (daya pikat seksual bukanlah perasaan cinta kepada orang lain, tetapi kecenderungan pada seks itu sendiri). “Seks adalah aksi yang bertentangan dengan tuntutan-tuntutan rasio praktis”, tulis Sang filosof moral.

Di seberang lain, Sade dengan penuh pesona menyangkal tesis Kant dengan mengatakan bahwa akal (raison) dan kebebasan moral (liberté de moeurs) itu sejalan. Keduanya satu bagian yang tak dapat dipisahkan (juz’un la yatajaza’). Dari balik penjara, ia mengikuti gemuruh ide-ide rasionalisme Abad Pencerahan. Ia mengatakan bahwa rasio tidak hanya mendorong kebajikan-kebajikan Kristen (baca: agama) tetapi berfungsi juga sebagai instrumen-instrumen erotis. Dengan kata lain, rasio mendorong kebebasan moral. Sade melangkah jauh melampui apa yang ditesiskan Kant. Ia mempromosikan immoralisme. Karya-karyanya antara lain; La nouvelle Justine, Histoire de Juilette, 102 Journée de Sodome dan lainnya yang dapat diakses dalam http: //www.sade-ecrivain.com/.

Kebebasan sadian, kini, mewujud dalam kolaborasi ekspresi seni dan kapitalisme di abad modern ini dalam bentuk soft dan hard erotism. Kapitalisme memang mempunyai kekuatan infiltrasi superdahsyat. Ia merasuk ke setiap lini hidup. Pun dalam urusan tubuh dan keperempuanan. Di belahan dunia, bentuk seremoni ketelanjangan menjadi praktek industri yang mendatangkan uang. Ia menjadi lumrah bahkan sebuah keniscayaan. Ia menjadi tak terelakan bagi modernitas. Sebab, seks adalah hasrat libidinal yang berhak dinikmati oleh setiap individu. Sigmund Freud, dalam Trois essais sur la théorie sexuelle (1905), menyatakan bahwa seks dan kematian adalah dua hasrat fundamental manusia. Seks, dalam pandangan psikoanalisisnya, berfungsi sebagai medium kesenangan (plaisir), bukan reproduksi (reproduction) yang sudah ada semenjak masa kanak-kanak.

Kapitalisme dengan anggun mengangkat martabat tubuh perempuan sebagai subjek. Perempuan menjadi pemilik atas tubuhnya. Ia menguasai tiap inci keindahannya. Ia adalah ratu en soi même. Pada saat yang sama, tubuh dilemparkan dalam sampah kapitalisme. Tubuh adalah residu sekaligus objek yang berfungsi sebagai pemuas hasrat libidinal kapitalis. Ia kehilangan kuasa atas tubuhnya. Feminitas tubuh, lagi-lagi, lumpuh melawan kapitalisme yang mahamaskulin. Sorak sorai libido kapitalis menumpulkan nalar sekaligus moral. Tubuh tercabik-cabik dalam gemerlap!

Bagi sang moralis rigid, tubuh perempuan melumpuhkan rasio. Ia penyulut segala kebiadaban. Ia pembelok jalan kebenaran: jalan Tuhan. Eksotisme tubuh haram diperlihatkan. Ia wajib disembunyikan dalam ketebalan helai pakaian. Aturanpun perlu dipaksakan, supaya tak sejengkalpun tubuh memendarkan aroma kematian nalar dan iman. Bagi keduanya (kapitalis dan moralis), tubuh perempuan tak lebih dari diskursus libidinal yang berfungsi sebagai instrumen pelanggeng kekuasaan atas perempuan. Tak lebih dari itu.

Gagasan-gagasan Abad Pencerahan yang laik digaungkan adalah ide yang menempatkan tubuh dan keperempuanan pada “tempatnya yang pas”; ide emansipasi, egalitarianisme serta keseimbangan rasio dan libido. Tubuh dan keperempuanan bukan lagi dianggap sebagai simbol dan daya tarik seksual. Ia adalah wadag yang semestinya ditempatkan pada martabat yang mulia. Keindahan perempuan tidak layak dieksploitasi dan direduksi pada persoalan libido. Ia pun tak lantas ditutupi demi ekspektasi keimanan yang semu. Sebaliknya, wacana yang perlu terus digagas adalah menciptakan norma-norma yang adil dan bermanfaat untuk semuanya sembari tetap memelihara demokrasi seksual yang santun dan beradab. Inilah Pencerahan Intim yang kita harapkan.

*Andar Nubowo **Catatan kawan sesama Kompasioner



Senin, 01 Februari 2010

Renungan

Alam bawah sadarku bergerak

Alam bawah sadarku bergejolak

Alam bawah sadarku berontak

Alam bawah sadarku berteriak


Hai alam pikir, segeralah bekerja

Hai alam pikir, segeralah berputar

Hai alam pikir, segeralah berbuat

Hai alam pikir, segeralah bertindak


Hari berganti hari

Memori itu hampir meredup

Tahun berganti tahun

Nostalgia itu seakan hilang


Telah datang Dia

Dengan suatu perubahan

Perubahan yang mencengangkan

Mengingatkan kita akan masa lalu


Gelap dalam kegembiraan

Terang dalam kesedihan


Gejolak hati anak kecil

Gembira mendapatkan mainan

Gejolak pikir anak remaja

Haru biru dalam kesmaraan


Semu dan nyata menjadi satu

Hati dan pikir melebur

Air dan api berbaur

Laut dan daratan tak berbatas


Dia menghampiri, pikiranku terus menahan

Dia telah dekat, hatiku hanya untuk_MU

Inilah saatnya

Menunjukkan auman sejati ciptaan yang paling mulia