Minggu, 19 Juli 2009

Wiji Thukul

Wiji Thukul : Dihilangkan bukan Minggat


thukul180.jpgPara korban dan keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa para aktivis 1997-1998 bersama belasan LSM mengadakan rangkaian kegiatan untuk memperingati hari Penghilangan Paksa Internasional akhir Agustus lalu. Mereka mengajak kita semua mengenang dan tidak melupakan belasan orang yang masih hilang, karena dihilangkan paksa. Mereka masih belum kembali dan tak jelas rimbanya.

Dihilangkan secara paksa
26 Agustus lalu, penyair Wiji Thukul genap berusia 44 tahun. Sedikitnya 20 Lembaga Swadaya Masyarakat yang memperjuangkan HAM, merayakan ulang tahunnya. Sekaligus mereka juga memperingati Hari Penghilangan Paksa Internasional.

Wiji Thukul yang lahir sebagai Wiji Widodo adalah satu dari sedikitnya 13 aktivis 1997-1998 yang masih hilang. Selain Wiji masih ada Yani Afrie, Sony, Herman Hendrawan, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Bima Anugrah, Ucok Munandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Naser. Mereka dihilangkan paksa karena dianggap melawan rezim Orde Baru. Tim Mawar dari Kopassus disebut-sebut sebagai pelakunya.

Kiri dan antipemerintah
Setelah penyerbuan Kantor PDI 27 Juli 1996, Widji Thukul berstatus buron. Seniman asal Surakarta yang aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat, Jaker ini, dicap beraliran kiri dan anti pemerintah. Cap yang sama ditempelkan terhadap sejumlah aktivis Partai Rakyat Demokratik yang juga diculik, karena dianggap komunis. Setelah kerusuhan Mei 1998, dia hilang.

Widji Thukul mengkritik pemerintah Orde Baru melalui puisi-puisinya. Salah satu larik puisinya yang sangat terkenal berbunyi, "Hanya Satu Kata, LAWAN!"

Romo Baskoro: "Apabila usul ditolak, kritik dilarang tanpa ditimbang, dianggap subversif maka hanya satu kata lawan"

Macet di kejagung
Ikatan Keluarga Korban Orang Hilang, Ikohi, menuntut pemerintah menuntaskan kasus penghilangan paksa ini. Ketua Ikohi, Mugiyanto, mengatakan 13 orang yang hilang itu hingga kini masih tak ketahuan rimbanya. Di manakah mereka? Masih hidup atau sudah matikah?

Penuntasan kasus penghilangan paksa macet di Kejaksaan Agung, setelah Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikannya. Menurut Mugiyanto, Kejaksaan berdalih penghilangan paksa merupakan kasus masa lalu, sehingga penyidikannya perlu rekomendasi politik DPR.

Mugiyanto: "Kalau Jaksa Agung melihatnya ini kasus masa lalu, sehingga harus ada putusan politik. Kalau menurut kami ini kasus masa kini, sehingga bisa langsung penyidikan, tanpa menunggu putusan DPR. Menurut kami selama korban belum ada kepastian, entah masih hidup atau sudah meninggal, kami menganggap kasus ini masih berlangsung hingga hari ini"

Tahun lalu, Komnas HAM menyelesaikan penyelidikan, yang akhirnya dibagi dua, kasus penculikan dan penghilangan paksa. Penculikan bagi aktivis yang telah kembali, penghilangan paksa pada mereka yang belum kembali hingga kini.

Pelanggaran HAM berat
Ketua Tim Penyelidikan Komnas HAM Ruswiati Suryaputra mengatakan pada dua kasus telah terjadi pelanggaran HAM berat.

Ruswiati: "Terhadap korban yang telah kembali ada pembunuhan, perampasan kemerndekaan atau kebebasan fisik sewenang-wenang, penyiksaan, penganiayaan dan penghilangan secara paksa. Sedangkan peristiwa yang sampai sekarang terus berlanjut, korban yang belum kembali, perampasan kemerdekaan tercatat sembilan orang, penyiksaan dua orang, penganiayaan dua orang, dan penghilangan secara paksa 13 orang"

Mugiyanto adalah salah satu aktivis yang diculik dan, untungnya, bisa pulang. "Saya dua hari diambil dari rumah. Waktu itu rumah kontrakan di Jakarta 13 Maret 1998, dibawa ke tempat x yang kemudian diketahui itu adalah tempat Kopassus di Cijantung. Dua hari dua malam di situ. Diinterogasi, disiksa, dipukul, ditendang, disetrum, ditelanjangi. Cuma pakai celana dalam, dua mata ditutup, dua hari dua malam. Setelah itu diserahkan ke polda metro selama tiga bulan, saya dilepas 6 Juni 1998, saya dituduh pasal-pasal subversi waktu itu," jelasnya.

Masih diharapkan keluarga
Ketidakpastian tentang keberadaan mereka yang hilang melebihi apapun. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Kontras, Usman Hamid mengatakan, informasi tentang mereka, hidup atau pun mati, sangat diharapkan keluarga.

Usman Hamid: "Yang sangat diperlukan adalah bagaimana ada kejelasan tentang para korban itu, tentang nasib, apakah tewas atau hidup, dan keberadaannya dimana kalau pemerintah bisa menjelaskan keberadaan mereka itu akan memerikan pemulihan psikolgi yang luar biasa agar mereka kembali hidup tenang"

Hampir 10 tahun keluarga orang hilang mencari dan menuntut kepastian keberadaan sanak mereka. Acara malam perayaan ulang tahun Wiji Thukul yang sekaligus memperingati Hari Penghilangan Paksa Internasional juga dimaksudkan untuk menuntut keadilan.

Acara itu dihadiri istri Wiji Thukul, Dyah Sujirah dan anak pertamanya Fitri Ngantiwani, panggilannya Wani. Si bungsu Fajar Merah tidak ikut.

Sudah 10 tahun
Beberapa saat sebelum acara dimulai, Sipon, panggilan Dyah Sujirah, tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Ia mondar-mandir di ruang Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, tempat pagelaran acara. Berpindah dari satu ruang pameran foto-foto korban orang hilang ke tempat lain. Lidahnya kelu, ia tak tahu harus bicara apa pada hari ulang tahun suaminya.

Sipon: "Belum tahu ya. Aku belum bisa aku sendiri masih mikir. Aku gak percaya ternyata sudah 10 tahun Thukul meninggalkan kami. Harapan saya hadiah yang akan diberikan Thukul pulang. Saya gak tau apa yang akan diomong nanti, saya pikir-pikir dulu"

Satu dasawarsa, Sipon dan anak-anaknya hidup dengan pertanyaan yang belum terjawab. Di mana suami, di mana ayah? Sudah mati atau masih hidupkah? Bila mati, di mana kuburnya? Sampai detik ini suaminya, Widji Thukul, belum kembali. Bagian penting hidup ibu dua anak ini terenggut hilang.

Sipon: "Pas hari 17 Agustus orang merasa merdeka, sebaliknya bagi saya, saya merasa sakit karena pada saat itu orang mengadakan acara-acara, kadang saya melakukan sendiri saya inget kalau ada Widji Thukul begini, kalau pas lebaran atau natalan, itu membuat sakit tapi di situ harus komunikasi samaTuhan"

Tak ada dongeng lagi
Wiji Thukul dihilangkan ketika anak pertamanya Wani berusia sekitar delapan tahun. Terputuslah dongeng yang biasa didengar Wani dari bapaknya, menjelang tidur.

Fitri Ngantiwani: "Waktu bapak masih ada di rumah didongengin kalau mau tidur. Terus bapak ilang aku kan jadi shock, stress gitu, kalau tidur gak pernah bisa. Ibu bingung akhirnya aku dikasih kertas, kata-kata pertamaku yang akhirnya memotivasi aku menulis itu pak, bapak ning endi aku pingin bapak mulih, dongeingin aku tentang anak itik yang baik ha
ti"

Selama Thukul tak ada, Sipon menjadi orangtua tunggal. Ia menghidupi keluarga dengan menerima pesanan jahitan.

Sipon: "Saya ngurusi anaknya Wiji Thukul, saya bekerja di rumah bikin pakaian apa aja, bermain dengan anak-anak. Bikin baju, bikin untuk dijual, untuk menyambung hidup"

Sosok suami brengsek?
Tiadanya Wiji Thukul pada masa kanak-kanak hingga remaja, membuat Wani sempat benci bapaknya. Wani yang mewarisi bakat seni ayahnya, menumpahkan perasaannya pada malam perayaan ulang tahun Wiji Thukul.

Fitri Ngantiwani: "Ternyata pikiranku selama ini salah. Pikiran yang salah yang terus mengotori terhadap kepergian bapakku. Sikapku yang benci dan kecewa pada sosok Wiji Thukul. Sosok yang kuanggap kepala keluarga yang tak baik, sosok suami brèngsèk dan ayah yang tak punya tanggung jawab. Dan sosok itu ternyata pergi bukan karena alasan yang tak masuk akal, bukan karena selingkuh atau minggat seperti pengecut. Tapi ia adalah penyair yang hilang karena membela bangsanya"

Wani baru tahu kalau bapaknya tak bersalah dan sengaja dihilangkan penguasa, ketika ia, tahun ini, masuk Fakultas Sastra Indonesia pada sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta.

Fitri Ngantiwani: "Kalau benci sama bapak atau mengira bapak kepala keluarga yang tak baik, itu perasaan semasa SMP, tapi itu saya pendam karena banyak yang bilang bapak saya baik. Aku berusaha menelaah sikapku atas kepergian bapakku. Lama-lama hilang sendiri rasa bencinya. Kemarin dong waktu aku kuliah itu. Nama Wiji Thukul begitu mencuat dan aku baru tau saat itu"

Butuh kepastian




Rasa benci dan hidup tanpa kasih bapak tak melemahkannya. Wani justru tumbuh sebagai pribadi kuat dan tegar. Ia juga pemberani seperti namanya, bahasa Jawa wani yang berarti berani. Malam itu, Wani dan ibunya, Sipon, datang dari Kampung Kalasan yang padat, di jantung kota Solo, bukan untuk merayakan ulang tahun Wiji Thukul. Kata Wani, bapaknya yang lahir dari keluarga miskin tak suka perayaan. Sipon, Fitri Ngantiwani dan keluarga lain hanya butuh kepastian tentang mereka yang hilang.

Sipon: "Kita sampai sekarang belum temukan sebuah jawaban, keberadaan keluarga kami. Itu yang membuat.. tapi kenapa pemerintah tidak merespons kami, ada apa? Kami menginginkan SBY mengatakan di surat kabar, siapa yang hilang kemarin itu, Raisya, anak usia 5 tahun itu diculik, dan SBY bilang, kembalikan. Saya inginkan itu. Kenapa itu tidak pada kami? Kembali, itu kan kunci"

Tidak ada komentar: