Minggu, 23 Agustus 2009

KAMPUS DALAM SEMANGAT SEMU


Pendidikan adalah hak rakyat yang wajib dipenuhi oleh pemerintah bukan kewajiban rakyat untuk membiayai dan bukan hak pemerintah untuk mengambil keuntungan dari pendidikan itu.

Hidup segan mati tak mau begitulah nasib 60% perguruan tinggi di negeri ini, persaingan untuk merebutkan mahasiswa merupkan salah satu dari dari sekian factor pokok yang paling kenntara, perasaan was-was dan cemas selalu menghantui para pengelola pendidikan di Negari ini, apa yang menjadi pokok keresahan ini, UU BHP, undang-undang hasil ratifikasi dari perjanjian GATS (General Agreement On trade Service). Inilah penyebab utamanya. Pelaksanaan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan selambat-lambatnya dalam enam tahun mendatang akan mendorong perguruan-perguruan tinggi swasta aktif melakukan merger satu sama lain. Tujuannya, untuk memperkuat modal dan sumber daya guna bertahan dalam persaingan. Persaingan antarperguruan tinggi pasca implementasi UU BHP bakal lebih ketat. Ini disebabkan diperbolehkannya modal asing untuk masuk, meskipun harus lewat dasar kerjasama dengan perguruan tinggi lokal. Ancaman pailit atau penutupan badan hukum pendidikan senantiasa membayang-bayangi perguruan tinggi yang tidak dapat bertahan. Apalagi, di PTS, soal dukungan pembiayaan dari pemerintah masih belum ditegaskan. Kasus Universitas Wyana Mukti adalah contoh aktualnya. Dan dari sekitar 478 PTS yang ada di Jabar-Banten, 40 persen di antaranya dalam kondisi kurang sehat. Begitu juga kasus beberapa perguruan tinggi di kota yogyakarta sebagai kota pendidikan. Ketentuan soal merger ataupun alih kelola ini selanjutnya akan diatur lebih lanjut di dalam peraturan pemerintah.

Lalu pertanyaannya kenapa saat ini perguruan tinggi kita harus diperdagangkan sementara dalam batang tubuh undang undang dasar kita mengamanatkan segala warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan bahkan lebih tegas lagi alinea ke 4 pembukaan undang-undang dasar 1945 mengamanatkan pendidikan sebagai kewajiban integral negara (melindungi seluruh tumpah darah dan bangsa, mensejahterakan seluruh kehidupan bangsa mencerdaskan kehidupan bangsa dan membantu perdamaian abadi dunia). Hal ini diakibatkan karena Tema sentral UU BHP tersebut adalah komersialisasi pendidikan di Indonesia. Secara lebih rinci coba saya paparkan jadi International Conference on Implementing Knowledge Economy Strategies di Helsinki, Finlandia pada bulan Maret 2003, telah melahirkan apa yang disebut Knowledge Economy. Konsep ini adalah hal baru di sektor pendidikan yang dipakai di negara-negara dunia pertama. Apakah Knowledge Economy? Untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksinya, maka industri di negara-negara maju membutuhkan kualifikasi buruh yang tidak saja terampil di bidangnya, namun juga mampu menguasai sistem teknologi dan informasi yang dipakai secara luas dalam dunia profesional Konsep Knowlegde Economy kemudian ditindak lanjuti dengan pertemuan WTO (World Trade Organisation) yang menghasilkan kesepakatan bersama antar negara-negara yang tergabung dalam WTO. Kesepakatan itu dirangkum dalam GATS (General Agreement On trade Service) yang menghasilkan keputusan cukup controversial bagi negara-negara dunia ketiga yaitu komersialisasi pendidikan atau pendidikan dimasukkan dalam bidang jasa yang layak untuk diperjualbelikan atau diperdagangkan. Dan parahnya lagi, Indonesia meratifikasi kesepakatan tersebut. Follow up atau tindak lanjut dari ratifikasi kesepakatan tersebut dengan membuat Undang Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan. Yang sasaran utama dari UU BHP ini adalah perguruan tinggi di seluruh indonesia.

Jadi kalau saya boleh menarik kesimpulannya UU ini merupakan hasil ratifikasi pemerintah terhadap General Agreement On trade Service (GATS) WTO tentang jasa pendidikan. Padahal WTO merupakan salah satu organisasi dari negara-negara imperialis dan koorporasi-koorporasinya telah menyeret jutaan rakyat di belahan dunia dalam kemiskinan dan keterbelakangan

Lalu bagaimana pula dengan kondisi mahasiswa di indonesia, setali tiga uang dengan nasib perguruan tinggi di negeri kita mahasiswa pun demikian meskipun krisis yang dialami mahasiswa kita lebih pada idiologi yang telah diporakporandakan oleh globalisasi.

Meskipun Berbicara tentang mahasiswa seharusnya kita tidak akan lepas dari sebuah jargon "Perubahan" yang selama ini selalu sebagai garda depan pendobrak segala bentuk perubahan di negeri ini. Namun pada akhir-akhir ini jargon tersebut sepertinya sudah mulai asing di telinga kita. Sekarang mahasiswa hanyalah "Sekedar bahasa gaul yang tanpa makna" . Kalau kita mau bicara jujur sebenarnya kehidupan mahasiswa sekarang justru mengasingkan mahasiswa dengan apa yang disebut dengan mahasiswa sendiri. Kuliah yang seharusnya membawa mahasiswa menemukan jati dirinya ternyata menyebakkan mahasiswa dalam sebuah kesenjangan Kuliah pun membuat mahasiswa terpasung dalam diafragma kekaburan dan kamuflase maya sehingga mahasiswa tidak dapat melihat realita didepan mata dengan jernih. Kuliah kini hanya mengajarkan mahasiswa dalam sebuah paradigma hidup yang individualistik dan materialistik. Dan akhirnya kampus benar-benar menjadi arena pertarungan manusia-manusia yang hanya memburu selembar ijazah sebagai alat legitimasi sosial. Mahasiswa bukan belajar dari refleksi kenyataan hidup sehar-hari melainkan pola-pola egoistik yang hanya mementingkan diri sendiri sehingga menciptakan jenius-jenius yang tidak mengenal masyarakatnya sendiri. Kita harus jujur bahwa sistem pedidikan kita adalah sistem pedidikan feodal.

Cara berpikir yang apatis, membuat mahasiswa kurang bergairah dalam berorientasi dalam menemukan jatidirinya. Mahasiswa hanya berpikir datang ke kampus, pulang, makan dan tidur.Pokoknya bagaimana cepat lulus meski tidak balance dengan pengetahuan yang diperolehnya. Padahal kesemuanya itu adalah penjajahan secara idiologi dan nurani. Saatnyalah mahasiswa bangkit dan bergerak dari keterpurukan dan mencoba 'melek' terhadap fenomena sosial di sekitarnya, marilah kita kembali merenungkan dan merekonstruksikan, sebenarnya makna apa yang tersirat dan tersurut dari status kita sebagai mahasiswa. Haruskah kita diam ditempat dengan bahasa gaul yang kini sudah tak bermakna ini atau kita mencoba menggurat lembaran sejarah baru serta mencoba menorehkan sehingga kita dapat menemukan arti sejati dari makna mahasiswa.Kenapa harus muncul menara gading. Kuliah yang seharusnya dapat membawa mahasiswa menemukan jati dirinya ternyata menjebakkan mahasiwa dalam sebuah kesenjangan antara tradisi sendiri dengan dunia medernitas. Kuliah pun membuat mahasiswa terpenjara dalam benteng-benteng yang kokoh sehingga mahasiswa tidak dapat melihat realitas dengan jelas. Mahasiswa belajar dari atas,tapi bukan dari refleksi kenyataan hidup sehar-hari Memang lahir orang-orang pintar tapi orang pintar yang tidak mengenal masyarakatnya sendiri. Diakui bahwa sistem pedidikan kita adalah sistem pedidikan yang elite yaitu pola pendidikan kolonial Belanda yang ditujukan untuk mengisi jabatan dalam birokrasi pemerintahan. Usaha dalam proses penyadaran semestinya dilakukan sejak awal dari mahasiswa bahwa bagaimanapun posisi mahasiswa pada suatu saat pasti akan muncul kelompok elite yang akan memperkokoh struktur kekuasaan yang baru. Gerakan intelektual ini harus dijaga kelangsungannya mulai dari pra sarjana sampai pasca sarjana. Dasar utama gerakan intelektual adalah,mengenal masyarakat ,mengikuti perkembangan bangsa dan melakukan komunikasi intelektual dengan sesama serta menyalurkan aspirasi rakyat melalui media yang ada. Jika ini terlaksana maka akan mempertinggi mutu kemahasiswaan dalam keberadaanya secara keseluruan.

Ayo perguruan tinggiku bangkit, mahasiswa temukan jati diri, kembalikan pendidikan untuk rakyat, bukankah tujuan pendidikan selain mencerdaskan kehidupan bangsa adalah membangun peserta didik menjadi manusia sosial yang berjiwa merdeka, berjiwa kerakyatan, berjiwa kebangsaan, demokratis dan berjiwa kekeluargaan menurut kihadjar dewantara. Jadi selamatkan kampus dan mahasiswa kita, lebih luasnya anak bangsa ini. Jangan biarkan kampus dalam semangat semu. CABUT UU BHP.

Tidak ada komentar: