Minggu, 23 Agustus 2009

Menjadi Oposisi Ideologis

Menjadi Oposisi Ideologis
 Pada diskusi bertajuk "Membangun Tradisi Oposisi Politik" di Kantor Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), Kamis (23/7), Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Syarif Hidayatullah, Bahtiar Effendy, menyatakan, bahwa tidak ada keseriusan dalam membangun kekuatan oposisi saat ini. Lebih lanjut ia nyatakan, bahwa jikapun kelak terbangun, kekuatan oposisi sebaiknya tidak hanya dilakukan di jalanan, tetapi juga di parlemen

Pada saat dan tempat yang sama, pengamat ekonomi Aviliani menyatakan dengan tegas bahwa oposisi yang kelak terbangun harus dapat merancang APBN-nya sendiri. Oposisi jangan berjalan tanpa solusi, juga jangan berbuat setengah-setengah, seperti pada kasus PDI-P dan proyek BLT. Seruan komisaris perempuan Bank Rakyat Indonesia ini tak lain adalah seruan yang juga ideologis—demi profesionalisme oposisi.

Seruan-seruan untuk menjadi oposisi yang baik telah mulai muncul. Apakah mungkin terbentuk sebuah kekuatan oposisi yang ideologis, kuat (bergandengan di parlemen dan jalanan), dan solutif (memiliki proyeksi ekonomi politik) di negeri ini?

Oportunis vs Ideologis

Berbicara oposisi tentu harus berbicara tentang sang pemenang pilpres 2009 atau inkumben. Disadari benar (bahkan oleh inkumben sendiri), inkumben dikelilingi oleh kaum-kaum politik yang oportunis, bukan yang ideologis. Mereka, para pendukung inkumben, sejatinya adalah kumpulan para makelar atau broker ekonomi yang berjubah partai politik.

Fantasi mereka akan kekuasaan tak lain disebabkan oleh nafsu untuk mengambil sebesar-besarnya manfaat bagi diri dan kelompoknya saja. Karena itulah kekuatan ini tidak akan pernah benar-benar bersatu sampai pada akar rumput, paling hanya pada pucuk pimpinan-pimpinannya saja. Inkumben sadar benar karakter ini, perbedaannya hanyalah: ia mampu mengelolanya. Tapi sejauh mana ia dapat mengelola nafsu?

Kaum politik yang ideologis akan berlaku berbeda. Ideologi dan idealisme akan memaksa mereka untuk merapatkan barisan; mengadakan pelatihan-pelatihan atau workshop-workshop politik bersama skala nasional dan local; menjalin kekuatan hingga ke parlemen-perlemen di kota/kabupaten; melakukan aksi demonstrasi bersama di saat ada warga konstituen yang tertindas negara; membentuk posko-posko advokasi bersama hingga ke level kampung; menggalang kerjasama ekonomi di pedesaan untuk melumpuhkan monopoli pupuk; dan masih banyak aktivitas gotong royong lainnya. Di bawah kubu oposisi yang ideologis, parlementer ataupun ekstra parlemen hanyalah dua lapangan yang bersebelahan.

Sebagai contoh. Jika pada masa kampanye pilpres 2009 kemarin, kubu yang sekarang menjadi oposisi bergandengan memblejeti inkumben dengan tudingan yang cukup ideologis: sebagai antek neolib, kini (saat menjadi oposisi) sudah menjadi tugas mereka untuk melawan neolib yang mewujud dalam kehidupan sehari-hari. Atau secara lebih praktisnya, sudah seharusnya PDI-P, Hanura, dan Gerindra bersatu di parlemen untuk berkomitmen mencabut seluruh undang-undang produk neoliberal (semisal UU BHP). Sementara di luar gedung parlemen, massa mereka (PDI-P, Hanura, dan Gerindra) bersatu, tumpah ruah di jalan-jalan, melakukan rapat-rapat akbar, melakukan pawai-pawai, menyelenggarakan diskusi di level ranting untuk mendukung politik para perwakilan mereka di parlemen.

Jika itu yang terjadi. Maka, tak terhindarkan, pertarungan politik sepanjang tahun 2009 hingga 2014 adalah pertarungan kaum oposisi yang ideologis melawan kaum pendukung inkumben yang oportunis. Namun oposisi itu sendiri haruslah dapat melahirkan solusi. Karena, jika tidak ada solusi, oposisi hanya menjadi anjing yang menggonggong (sementara khafilah berlalu).

Solusi

Ideologi akan terus melahirkan solusi untuk setiap jengkal persoalan rakyat dari Sabang Merauke, dari Timor sampai ke Talaud. Ideologi juga akan selalu mencari penyebab tipisnya kedaulatan bangsa kita di banding bangsa-bangsa lain di dunia (idiom Bung Karno, yang menyebut Indonesia sebagai “koeli di antara bangsa-bangsa” dan bangsa Indonesia sebagai bangsa “koeli” menemukan relevansinya). Itulah karakter yang paling membedakannya dengan oportunisme: yang hanya berbicara tentang kekuasaan. Kaum oportunis selalu menganggap sepi keduanya, tidak ada masalah, maka karena itu harus dilanjutkan—sepanjang mereka berkuasa.

Menurut kaum ideologis, solusi untuk ketahanan energi dan keberlanjutan industri nasional adalah renegoisasi kontrak pertambangan dan energi. Semua itu adalah demi digdayanya industri nasional. Berbeda dari kaum oportunis. Mereka tidak pernah diuntungkan dengan tindakan nasionalis tersebut, karena mereka juga banyak “bermain” sebagai broker atau makelar pertambangan. Mereka bukan kaum industrialis, karena itu tidak ada solusi. Bagi kaum broker dan makelar, Indonesia lebih baik menjadi kubangan komoditi impor.

Atau soal yang lain, tentang amanat pembukaan UUD 1945 untuk “..mencerdaskan peri kehidupan bangsa..”. Pada masa lalu, pemimin Revolusi Rusia V.I. Lenin pernah berkata, negara tidak perlu berhemat-hemat untuk mencerdaskan rakyatnya. Solusi untuk menggratiskan segala sesuatu tentang pendidikan adalah lewat penjadwalan ulang pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri. Kaum oportunis lain berbeda solusi. Mereka akan cool berkilah, bahwa pendidikan yang layak adalah yang mahal (komersialitas).

Berbeda solusi itu biasa. Asal jangan tanpa solusi. Rakyat dan sejarah yang akan menghakimi kejituan sebuah solusi. Dengan “menjadi”-nya sebuah oposisi yang ideologis, tak ayal lagi kehidupan perpolitikan nasional akan lebih sehat, tidak lagi hanya sekedar dagang sapi. Agar rakyat tidak lagi apatis.

Selamat me-Lanjutkan!

Tidak ada komentar: