Senin, 18 Januari 2010

Ada Yang Hilang Dari Sang Pemimpi

Setelah tepat sebulan, sejak 17 Desember 2009 film Sang Pemimpi beredar, saya baru tadi malam menyaksikannya (Itupun aku dapatkan soft copy-nya dari salah seorang teman). Dan ternyata Di banding filmnya, saya jauh lebih suka membaca novelnya. Terlampau banyak detail-detail yang terlupakan dalam film itu termasuk detail karakter yang semuanya digambarkan apik dalam novel. Tapi, ada hal menarik yang bikin saya kepincut. Saya suka dengan penggambaran yang realistis tentang Belitong, lengkap dengan gaya bertuturnya.

Para pembuat film ini berusaha tetap membumi dalam menggambarkan Belitong. Tak hanya pemilihan lokasi suting, mereka juga memilih para pemain lokal untuk memerankan tokoh-tokoh di film itu. Bahkan gaya berbicara (logat) para pemain lokal ini dipertahankan seasli mungkin, sebagaimana logat Belitong sesungguhnya. Inilah yang menjadi kekuatan film ini dan hendak saya bahas dalam tulisan ini.

Film ini disajikan dengan realistis dan tidak sok-sok Jakarta sebagaimana banyak film Indonesia yang tengah tayang di bioskop. Film ini tidak malu-malu untuk nampak kampungan (udik) sebab yang hendak disajikan adalah upaya mereka yang berumah di kampung untuk menggapai mimpinya yang setinggi langit demi menjangkau altar ilmu pengetahuan di Paris. Kalimat-kalimatnya inspiratif sebagaimana yang dikatakan salah satu tokoh yakni Arai, ”Tak soal setinggi apapun mimpimu, namun sejauh mana upaya kerasmu untuk meraih semua mimpi tersebut.”

Dan yang mencengangkan saya adalah kalimat-kalimat inspiratif itu disampaikan dalam bahasa Melayu dengan aksen Belitong. Setelah mendengar sedikit ulasan dari teman sekelas saya (Semasa kuliah di FPBSI IKIP PGRI Semarang) yang intens mempelajari bahasa melayu, saya baru tahu kalau ternyata logat Melayu Belitong agak berbeda dengan logat Melayu di daerah lainnya termasuk Palembang, Riau, Jambi, bahkan Malaysia sekalipun. Logat Melayu Belitong lebih menyerupai logat Melayu Aceh sebab dahulu, Bangka dan Belitong mendapat pengaruh yang sangat kuat dari Aceh.

Saya membayangkan betapa hebatnya Indonesia yang memiliki begitu banyak variasi bahasa. Melalui film ini, kita diperkenalkan dengan variasi logat Belitong, dan melalui logat tersebut kita sedang meneropong keindonesiaan. Film ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, kita juga pernah menyaksikan film Denias, yang menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Papua. Melalui variasi logat bahasa tersebut, kita seakan disadarkan bahwa Indonesia adalah sebuah rumah besar yang di dalamnya terdapat begitu banyak bahasa setempat yang hidup dan saling berinteraksi.

Kita disadarkan pula bahwa Indonesia bukanlah satu realitas Jakarta saja. Negeri ini adalah sebuah bangunan besar yang dikonstruksi oleh berbagai macam kebudayaan dan ribuan bahasa yang kesemuanya memberi pengertian pada kosa kata keindonesiaan. Kita disadarkan bahwa Indonesia adalah sebuah konsep yang maknanya terus diperkaya oleh manusia-manusia yang hidup dalam berbagai latar kebudayaan termasuk Belitong.

Anak-anak kecil dalam film Sang Pemimpi itu adalah salah satu kepingan yang membentuk keindonesiaan hari ini. Mereka menunjukkan keragaman dan kekayaan bangsa ini yang identitasnya terus tumbuh dan menjadi. Dan inilah kekuatan kita sebagai bangsa yang majemuk.

Semoga film seperti ini terus diperbanyak. Dan membuat kita sesekali meneropong Indonesia dari pinggiran, dari titik yang selama ini banyak diabaikan oleh mereka yang menguasai arus wacana negeri ini.