Selasa, 03 Februari 2009

Idealisme = Kacang Goereng

Apa kabar? Idealisme


Idealisme menjadi semacam ikon yang ramai saat ini. Idealisme telah menjadi tataran ideal bagi budaya populer yang jauh dari arti idealisme itu sendiri. Setiap orang akan memiliki tataran ideal masing-masing mengenai sesuatu hal. Tetapi tak terbayangkan lagi bagaimana nantinya, jika idealisme hanya dijadikan ikon budaya populer bagi sekelompok orang yang lebih mengedepankan teriakan idealisme perut dan satu jengkal di bawah perut.

Idealisme Jenis Apa?
Waktu itu, hampir sepertiga malam terakhir ketika saya dan teman-teman berkumpul membahas masalah keorganisasian kami. Disela-sela keseriusan kami, terlontar kalimat yang menggelitik dan cukup lucu ditelinga saya. “Idealisme”, begitu sempat terlontar. Kontan saja saya menanggapi dengan tak serius juga, “Idealisme itu satu jengkal di bawah perut,” seru saya. Teman saya tanpa disangka mengamini kata-kata itu.

Beranjak dari obrolan ringan itu,saya sempat memikirkan hal itu lebih lama. Benarkah teman saya itu serius mengamini kata-kata saya atau dia hanya ingin menyenangkan hati saya saja untuk membuat suasana lebih cair.

Berbicara idealisme, teman saya juga pernah mengatakan bahwa, idealisme itu hanya ada ketika orang itu menjadi mahasiswa saja. Selanjutnya ketika mereka telah meninggalkan almamater, idealisme mereka pun akan pergi seperti itu. Setelah dipikir ulang, ternyata ada benarnya juga teman saya itu, baik teman saya yang mengamini idealisme itu hanya satu jengkal di bawah perut dan teman saya yang terakhir tadi.

Idealisme saat ini bisa jadi telah dimaknai sesempit tempatnya tadi. Benar saja kata teman saya, hanya ketika jadi mahasiswa, idealisme itu ada. Setelah itu, kemana perginya idealisme itu. Jawabnya mudah, lihat saja sekarang, mahasiswa itu sekarang menjadi apa? PNS kah? Pejabat kah? Menteri kah? Atau bahkan mungkin seorang presiden?.

Dengan melihat sejauh mana sekarang mereka berperan itulah yang menjadi jawaban tersendiri ketika mempertanyakan keberadaan idealisme mereka, yang mungkin saja sekarang menjadi ‘orang penting’ di negeri ini. Banyak idealisme mereka tergadaikan dengan ‘kesibukan’ mereka saat ini. Kepentingan mana yang mereka dahulukan? Kebijakan macam apa yang mereka keluarkan? Atau keberpihakan mana yang mereka kedepankan?

Beberapa macam pertanyaan itu yang menjadi titik tekan gurauan saya kepada teman ketika itu. Idealisme itu memang tak akan jauh dengan kepentingan perut dan juga satu jengkal di bawahnya.

Ketika menjadi mahasiswa mungkin saja idealisme mereka tinggi, bahkan mereka yang mengaku sebagai pejuang HAM dan pemerhati sosial lainnya dan bergabung dalam satu wadah organisasi tertentu. Ketika menjadi mahasiswa, idealisme mungkin memang lumrah untuk dimiliki oleh setiap mereka. Namun setelah status sebagai mahasiswa mereka lepas, maka idealisme adalah sebuah keniscayaan tersendiri.

Mengutip Walter Lipman, salah satu tokoh besar yang merumuskan opini publik (1992), ia menyebutkan faktor tentang individu dan lingkungan bayangan (pseudo-environment) yang melingkupinya, pada akhirnya membentuk dunia seperti yang ia bayangkan (the world outside and picture in our head). Individu kemudian bersikap, beremosi, bertindak sesuai dengan lingkungan bayangan yang berupa gambaran dalam kepalanya.

Begitupun dengan idealisme. Sebuah idealisme seorang mahasiswa yang berhubungan dengan lingkungan yang beriklim akademik akan membuat mereka bertindak, berprilaku, dan beremosi sesuai dengan iklim akademik yang mengajarkan ke”idealan” yang akhirnya membentuk sikap ke”idealisme-an”. Dan tentunya hal ini berbeda dengan mereka yang tidak lagi bercumbu dengan lingkungan yang beriklim akademis.

Sikap mereka akan cenderung lebih memikirkan perut dan satu jengkal di bawah perut. Sekalipun ia adalah seorang dosen yang jelas-jelas berada dalam lingkungan beriklim akademis tadi. Sampai-sampai tak jarang beberapa dari mereka menghalalkan berbagai macam cara dengan memanfaatkan “keluguan” mahasiswanya untuk menukar nilai dengan sesuatu. Meskipun tak bisa dibantah semua itu adalah bentuk lain dari simbiosis mutualisme antara dosen dan mahasiswa.

Lalu siapakah yang sebenarnya tidak memiliki idealisme? Dosen kah? Atau mahasiswa yang turut dalam simbiosis itu?. Jawabnya sederhana, tentunya adalah dosen itu. Sebab mahasiswa hanya telah dimanfaatkan “keluguannya” oleh dosen itu. Sedangkan dosen itu tidak lagi memikirkan idealisme yang sesungguhnya, tetapi hanya idealisme perut dan barangkali lebih parahnya idealisme satu jengkal di bawah perut.

Idealisme sebagai Budaya Populer
Tidak banyak yang menyadari, idealisme hanya menjadi budaya populer. Kepopuleran idealisme sendiri menjadi ajang pemikat yang kuat di masyarakat umum. Simbol idealisme adalah selalu berada dalam tataran ideal sesuatu. Jika berada jauh dari tataran itu maka sudah pasti tidak punya idealisme.

Sebagai budaya populer, idealisme itu hanya menjadi indah dalam pandangan mata biasa. Tetapi lebih jauh dipandang akan tidak beda dengan individualisme ego. Karena hanya mereka sendiri yang dapat merasakan ke”idealan” itu dalam tataran ideal yang mereka ukur sendiri-sendiri. Sedangkan orang lain hanya bisa terkagum-kagum kepadanya.

Budaya populer sempat didefinisikan oleh Raymond Williams menjadi empat pengertian: Pertama, budaya populer itu kebudayaan yang disukai oleh banyak orang. Kedua, kerja kebudayaan yang inferior. Ketiga, kerja kebudayaan yang dimaksud untuk meraih simpati banyak orang. Keempat, kebudayaan yang dibuat sekelompok orang untuk diri mereka sendiri.

Inilah yang menjadi renungan saya belakangan ini mengenai idealisme. Berpijak pada pendapat Raymond tadi, saya menjadi lebih khawatir lagi tentang keadaan idealisme yang semakin kritis saat ini, karena hanya menjadi budaya yang populis. Dengan cara mengomodifikasi sedemikian rupa untuk menjadi ikon-ikon budaya populer yang sering kali jauh dari tataran ideal yang sesungguhnya.

Kuatnya idealisme seorang mahasiswa bisa jadi hanya ikon yang telah dimodifikasi sehingga hanya dilakukan untuk membuat orang lain simpati kepadanya. Atau memang menjadi sebuah kelaziman yang nantinya berpihak pada kepopulisan yang disukai banyak orang. Karena bisa jadi setiap orang pasti memiliki keinginan untuk ideal dan karenanya idealisme menjadi ikon ke”idealan” itu. Atau jangan-jangan idealisme hanya dimiliki oleh sekelompok orang untuk kepentingan mereka sendiri.

Kekhawatiran terakhir ini yang sangat riskan dan memerlukan penyelesaian lebih jauh. Bisa saja setiap kelompok menamai idealisme mereka dengan A, B, atau C sekalipun. Tetapi semua nama itu tak mengartikan apapun, kecuali hanya menjadi ikon budaya populer itu sendiri.

Idealisme Perut dan Satu Jengkal di bawah Perut
Idealisme yang telah dijadikan budaya populis dan hanya merupakan idealisme kebudayaan yang dibuat oleh sekelompok orang untuk mereka sendiri akan tidak jauh-jauh dengan Idealisme Perut dan Satu Jengkal di bawah Perut. Kenapa demikian? Kepentingan adalah jawabnya. Karena bisa saja idealisme itu bukan lagi ideal yang sesungguhnya, tetapi hanya menjadi “Idealisme Kepentingan” – untuk perut dan satu jengkal di bawah perut.

Banyak orang terjebak dengan idealisme populer yang akhirnya menggiring mereka untuk berteriak tidak lebih hanya sebatas tataran urusan perut dan satu jengkal di bawah perut. Idealisme akan menjadi kuat ketika perut telah terisi dengan penuh, tetapi kembali mengendur ketika perut berteriak. Bahkan teriakan perut bisa lebih kencang daripada teriakan idealisme yang sebelumnya sempat diteriakan mulut.

Korelasi ini sangat terlihat ketika dulunya seorang mahasiswa meneriakkan idealisme dengan mulut, ternyata setelah dia memiliki jabatan tertentu, perutnya yang bergantian meneriakkan idealisme. Memang tidak semua pejabat seperti itu yang jelas dulunya adalah mahasiswa yang idealis. Tetapi setidaknya realita negeri ini juga yang memberikan gambaran betapa buruknya idealisme pejabat-pejabat kita. Sudah tentunya mereka bukan orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi.

Pejabat kita adalah orang-orang hebat, orang-orang yang telah puas dengan lingkungan akademis, dan tentunya mereka pernah memiliki idealisme yang sesungguhnya, layaknya seorang mahasiswa yang idealis. Tetapi belakangan setelah mereka (mungkin) lelah meneriakan idealisme, maka berganti tuntutan perut dan satu jengkal di bawah perut yang berteriak. Maka jadilah pejabat kita yang ber”idealisme perut dan satu jengkal di bawah perut. ”

Hal ini bisa saja dibantah kalau saja kepentingan perut dan satu jengkal di bawah perut tidak pernah menjadi prioritas utama. Tetapi mana ada yang demikian. Buktinya, hampir semua sistem pembangunan di negeri ini tidak bisa dipisahkan dari urusan perut dan satu jengkal di bawah perut. Makanya, beberapa proyek pembangunan tidak berjalan maksimal karena sekian persen anggarannya diperuntukkan bagi perut. Belum lagi urusan yang lain.

Tidak ada komentar: