Senin, 27 April 2009

Demokrasi(mu) Tak Bermartabat

Pada saat orde baru berkuasa, cara mempertahankan dan melanjutkan kekuasaannya adalah dengan mengontrol pemilu, menerapkan pemaksaan dan intimidasi, serta meniadakan oposisi. Ketika orde baru dijatuhkan secara paksa oleh gerakan massa, maka hal-hal yang menjadi perilaku buruk orde baru kemudian dicerca dan dianggap nista. Pemilu 1999 pun digelar dengan semangat yang berbeda dengan orde baru; multi-partai, ada kebebasan berpendapat dan berorganisasi, tidak boleh ada paksaan dan intimidasi, dan jaminan kepada seluruh rakyat untuk menggunakan hak pilih.


Akan tetapi, ketika menggelar pemilu ketiga dalam alam reformasi, justru hal-hal yang bertolak belakang dengan jiwa dan semangat reformasi kembali dipergunakan oleh pemerintah dan apparatus pelaksana pemilunya. Tidak sedikit orang, dalam berbagai ekspresinya, menyatakan, pemilu 2009 adalah pemilu terburuk paska reformasi. Pemilu sekarang ini, tidak berbeda jauh dengan pemilu orba, telah menggunakan legalitas politik dan UU untuk berbuat kecurangan. Tentunya, hal ini dimaksudkan untuk memenangkan partai dan tokoh tertentu.

Terburuk

Meski pelanggaran dan upaya curang selalu membayangi pemilu, baik pemilu 1999 dan pemilu 2004, akan tetapi tidak sebesar dengan pelanggaran dan kejahatan dalam pemilu 2009 ini. sebelum pemilu 2009 dimulai saja, pihak penyelenggara pemilu (baca; KPU) sudah dihujani protes oleh berbagai kelompok masyarakat. Kesalahan bukan saja karena aspek-aspek teknis, tetapi juga mencakup logistik, bahkan aturan hukumnya.

Pada saat kampanye digelar, berbagai pelanggaran pun kembali terjadi. Jelas, partai politik banyak yang melakukan pelanggaran. Namun, di luar itu, kesemrawutan justru terjadi dimana-mana; mulai dari penyusunan jadwal kampanye, aturan kampanye, dan sebagainya. lagi-lagi, KPU menjadi pelaku utama kesalahan ini.

Masalah makin membuncah, ketika rakyat akhirnya menyadari bahwa KPU tidak memiliki DPT yang valid. situasi bertambah kisruh. Di berbagai daerah, terdapat banyak warga yang belum terdaftar dalam DPT. Bukan itu saja, DPT yang dimiliki oleh KPU ternyata banyak yang fiktif; pemilih siluman. KPU membuat kesalahan yang benar-benar fatal; di satu sisi, ada banyak warga yang belum dimasukkan dalam DPT, dan hal itu jelas pelanggaran terhadap hak politik rakyat. sedangkan disisi lain, ada begitu banyak pemilih yang tidak berhak memilih, seperti orang yang sudah meninggal, anak dibawah umur, orang tidak waras, dan sebagainya, justru diberikan hak pilih. Bahkan, jumlah mereka cukup signifikan.

Bersamaan dengan terkuatnya sejumlah bukti-bukti kecurangan pemilu, beberapa pimpinan KPU tercium memberi perhatian “special” kepada SBY. Tidak tanggung-tanggung, ketua KPU harus merelakan waktunya untuk menyambut SBY dan keluarga di TPS Cikeas. Dan memang benar, KPU tidaklah independen dalam pemilu ini. berbagai kasus kecurangan yang terjadi di daerah, memperlihatkan adanya peran aktif lembaga penyelenggara pemilu ini untuk memenangkan partai tertentu.

KPU, yang seharusnya menjadi lembaga independen, justru menjadi salah satu mesin paling aktif dari kecurangan ini. selain diperlihatkan dari ketidaknetralan pejabat KPU, dan proses kecurangan yang melibatkan KPUD di daerah, ada indikasi kuat pula bahwa kesemrawutan proses pelaksanaan pemilu adalah bersifat disengaja. Tujuannya, tentu saja, kesemrawutan ini akan menjadi lahan subur bagi terjadinya praktek kecurangan secara sistematis.

Tidak Bermartabat

Mau tidak mau, rejim manapun membutuhkan legitimasi “mayoritas” untuk menjalankan fungsi aparatusnya. Dalam demokrasi liberal, pemilu didesain untuk menjadi arena kompetisi guna mendapatkan legitimasi. Pemenangnya, tentusaja, adalah yang memperoleh suara mayoritas. Hal ini mutlak dilakukan, supaya menjaga sistem kapitalisme tetap legitimate dalam menjalankan kekuasaannya, terlepas murni atau tidak. Karena tanpa legitimasi yang kuat, sebuah rejim tidak akan sanggup menjalankan fungsinya. Kalaupun akhirnya, dalam berbagai hal, krisis kepercayaan terhadap sistem demokrasi liberal telah menggiring banyak orang untuk apatis, tidak mau ambil bagian, alias golput, mereka tetap membutuhkan pelaksanaan pemilu yang kredibel dalam ukuran-ukuran tertentu.

Disinilah letak masalahnya. Demokrasi liberal membutuhkan standar atau ukuran –ukuran guna menjaga sistem ini tetap layak, tetap kredibel, dihadapan rakyat. maka, bagi mereka, penjaminan universal suffrage, kebebasan memilih, penggunaan teknologi untuk mengontrol kecurangan, pengawasan, dsb, merupakan hal yang perlu dipelihara.

Dalam pemilu 2009, ukuran-ukuran yang bersifat minimum tersebut telah dilanggar. Pihak penyelenggara pemilu (baca; KPU) telah menjadi pihak paling bertanggung jawab terhadap hilangnya hak pilih begitu banyak rakyat. berikut ada beberapa bentuk tindakan sengaja KPU dalam menghilangkan hak pilih rakyat; pertama, penghilangan paksa hak pilih rakyat karena mereka tidak terdaftar dalam DPT. Padahal, untuk melakukan pendataan, KPU telah dibekali begitu banyak anggaran. Setidaknya, berdasarkan berbagai sumber, KPU telah dibekali Rp. 3 trilyun untuk pemuktahiran data, agar seluruh rakyat bisa menggunakan hak pilihnya. Kemana dana tersebut? Kedua, KPU tidak memberikan kemudahan kepada para pemilih dalam menggunakan hak pilihnya, misalnya; KPU tidak memfasilitasi TPS di rumah sakit, tempat rekreasi, penjara/LP, dan lain-lain. Tindakan sengaja KPU ini bukan pelanggaran biasa, tetapi pelanggaran terhadap hak politik rakyat yang diatur secara konstitusional.

Dengan penjelasan diatas, maka mencuatnya persoalan DPT tidak bisa dipandang hanya sebagai upaya-upaya politis dari kekuatan politik yang kalah, tetapi harus dilihat sebagai ekspresi kemarahan rakyat terhadap pelanggaran hak pilih mereka.

Maka, pidato SBY diberbagai TV nasional hanya menunjukkan keterlibatan jauh pemerintah berkuasa dalam kasus ini. Pidato tesebut, sesungguhnya, dapat diterjemahkan sebagai pernyataan politik pemerintah untuk melindungi penyelenggara pemilu yang sedang terkepung oleh protes. Dari pidato tersebut, dapat pula disimpulkan bahwa; pertama, ketika KPU diserang, kemudian pemerintah membentengi, maka hal ini menjelaskan bahwa KPU hanya alat pemerintah untuk mengontrol pemilu agar memenangkan rejim berkuasa. Kedua, pidato ini adalah upaya pemerintah menangkis efek dari pembesaran isu DPT, yang suka tidak suka, akan mendelegitimasi partai demokrat sebagai partai pemenang pemilu. Ketiga, presiden SBY telah ambil bagian dalam menginjak-nginjak martabat demokrasi, serta melecehkan ekspresi kemarahan rakyat yang menuntut hak pilihnya. Dengan demikian, demokrasinya-SBY adalah demokrasi tanpa martabat.

Selain itu, upaya pemerintah untuk menutupi isu DPT, telah menjungkir-balikkan capaian-capain demokratik dari proses reformasi. Artinya, apa yang kita benci dari proses politik semasa orde baru dan menjadi pemicu gerakan reformasi, kini telah dihidupkan dalam bentuk lain oleh rejim sekarang.

Isu DPT dan kecurangan telah menggelinding. Kasus ini, dengan berbagai cara, akan terus menggelinding ibarat bola salju, sehingga memang berpotensi mendelegitimasi pemerintahan yang terpilih nantinya. jadi, siapun yang hendak menghalangi bola salju ini, maka ia pun akan terdorong jatuh. Kita yakin, bahwa protes-protes rakyat di TPS pada saat hari pemilihan lalu, merupakan pembukaan (awal) dari sebuah perlawanan yang lebih besar, nantinya.

Tidak ada komentar: