Minggu, 26 April 2009

Hutang Luar Negeri Dan Kelanjutan Rejim SBY

Dalam sebuah kampanye partai Demokrat di Magelang, Jawa Tengah, pada 5 April lalu, SBY menjawab pertanyaan salah seorang simpatisan partai mengenai kebijakan utang luar negeri. Pada kesempatan itu, SBY menyatakan, "Ngemplang itu enggak punya harga diri. Mau minjam, kok enggak bayar. Saya tidak mau mencoreng bangsa, dan dicap sebagai bangsa yang ngemplang utang.


Pernyataan diatas, sebetulnya, menjelaskan garis besar kebijakan politik dan ekonomi pemerintahan SBY, yakni tetap mengadvokasi neoliberalisme dan pro-imperialisme. Seperti diketahui, perangkap utang (debt trap) merupakan instrumen bagi negeri-negeri kapitalis maju dan korporasinya untuk menjalankan “perampokan” di negeri-negeri dunia ketiga. Bahkan Rizal Ramli menyatakan, karena para pemimpin kita bermental orang terjajah (inlander), cawan-cawan emas itu cuma dipakai untuk mengemis uang pinjaman recehan kepada lembaga multilateral seperti IMF dan Bank Dunia. Uang pinjaman harus “ditukar” dengan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang sesuai dengan garis neoliberal dan kebijakan Washington Consensus. UU Migas, UU Privatisasi Air dan UU Privatisasi BUMN adalah contoh UU yang dibuat dengan iming-iming uang pinjaman dari lembaga multilateral. Dengan kata lain, kebijakan ekonomi Indonesia telah “diijonkan” dan “digadaikan” demi uang pinjaman. Tidak ada lagi kedaulatan dalam bidang ekonomi. Itulah bentuk baru dari neokolonialisme .

SBY dan Utang Luar Negeri

Tidak ada yang berbeda antara SBY dengan rejim sebelumnya. dalam lima tahun masa pemerintahannya, pemerintahan SBY berhasil mengakumulasi jumlah utang yang jauh lebih besar. Untuk diketahui, outstanding Utang luar negeri Indonesia sejak tahun 2004-2009 terus meningkat dari Rp1275 triliun menjadi Rp1667 triliun . sementara itu, tercatat terjadi peningkatan total utang luar negeri secara signifikan dari Rp. 662 triliun (2004) menjadi Rp. 920 triliun (2009). Artinya Pemerintah “berhasil” membawa Indonesia kembali menjadi negara pengutang dengan kenaikan 392 triliun dalam kurun waktu kurang 5 tahun. Atau peningkatan utang negara selama pemerintah SBY naik rata-rata 80 triliun per tahun. Angka penambahan jumlah utang rata-rata ini mengalahkan utang di era Soeharto yakni 1500 triliun dalam jangka 32 tahun .

Sementara itu, sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri menunjukkan tren yang meningkat. Sejak awal masa pemerintahan presiden SBY di tahun 2005 sampai dengan September 2008 total pembayaran bunga dan cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp277 triliun. Sedangkan total penarikan pinjaman luar negeri baru dari tahun 2005 sampai dengan September 2008 sebesar Rp101,9 triliun .

Ketika krisis financial mengguncang dunia, termasuk Indonesia, pemerintah kemudian buru-buru mencari pinjaman baru. Alasannya, menurut Paskah Suzeta, pemerintah memerlukan dana segar untuk mengatasi keterbatasan kapasitas belanja pemerintah agar menopang pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan. Sampai dengan sekarang pemerintah menyatakan ”berhasil” mendapat komitmen pinjaman siaga hingga US$6 miliar (setara Rp. 66 triliun) yang bersumber dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Islam (IDB), Bank Pembangunan Asia (ADB), Pemerintah Australia, dan Pemerintah Jepang .

Akhirnya, keputusan SBY untuk menceraikan IMF pun patut dipertanyakan. Pasalnya, jejak dan kuku-kuku IMF masih menancap tajam di Indonesia. Hal ini tidak sulit untuk dibuktikan; pertama, pemerintah masih memberi tempat utama kepada menteri-menteri dan ekonom pro-IMF, seperti Budiono dan Sri Mulyani. Bahkan, Budiono yang ditunjuk sebagai gubernur BI, adalah bekas menteri keuangan era Megawati yang dikenal dekat dengan IMF. Kedua, perpisahan dengan IMF tidak mengakhiri politik utang ala imperialisme. Sampai saat ini, kebijakan politik dan ekonomi masih dominan oleh campur tangan asing, yang juga merupakan kreditor.

Program BLT-BOS-PNP Mandiri dan Utang Luar Negeri

Banyak pihak yang menuding, peningkatan suara partai demokrat dalam pemilu legislatif lalu tidak terlepas dari program populis SBY, seperti BLT, PNP-mandiri, dan BOS. Bahkan, beberapa pihak mencoba menyamakan program-program SBY tersebut dengan program sosial demokrasi—sistim jaminan sosial?

Baiklah, kita bisa memperdebatkannya. Jika diteliti, program seperti Bantuan Operasional Sekolah, PNPM Mandiri, Bantuan Langsung Tunai, tidak dapat dilepaskan dari pinjaman utang luar negeri. Untuk diketahui, sebagian besar pendanaan program-program itu berasal dari pinjaman utang, terutama Bank dunia (melalui IBRD). Untuk tahun 2008 saja, Bank Dunia menggelontorkan dana untuk Program Nasional Pemberdayaan Nasional (PNPM) Mandiri sebesar USD 400 juta. Seperti yang dituliskan oleh Ishak Rahman, dalam Pembangunan Berbasis Utang vs. Kemandirian Bangsa, dikatakan, utang-utang tersebut harus dikembalikan pada tahun 2030, seperti yang tercantum dalam Loan Agreement Nomor 7504-ID yang ditandatangani pada tanggal 6 Juni 2008 .

Selain PNP Mandiri, Bank dunia juga mendanai program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) senilai USD 600 juta, dan harus dibayar hingga 2033. Data ini akan semakin "mengerikan" jika kita tambahkan dengan berbagai pembiayaan untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT), Peningkatan Kapasitas Sistem Pendidikan Tinggi (yang disebut-sebut sebagai imbalan atas kepatuhan Indonesia memprivatisasi pendidikan tinggi melalui BHP), dan lain-lain .

Dengan demikian, tidak pantas menyebut program BLT, BOS, ataupun PNP Mandiri sebagai program populis, apalagi sosial demokrasi, karena beberapa hal; pertama, kebijakan ini merupakan salah satu cara mengintensifkan utang. Melalui kebijakan ini, proses akumulasi utang berlansung secara agresif dan menimbulkan masalah di masa mendatang (2030). Kedua, kebijakan ini tidak dapat mempertahankan standar kesejahteraan rakyat yang terus merosot. Dari segi efektifitas, dampak dari program ini benar-benar tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan oleh neoliberalism.

Jika jaminan sosial ala sosial demokrasi cenderung menjadi “penawar” bagi racun kapitalisme, maka program BLT, BOS, dan PNPM mandiri lebih merupakan “sogokan” agar rakyat tidak marah karena kebijakan pencabutan subsidi. Jadi, disini, kebijakan BLT, BOS, dan PNPM mandiri sama sekali tidak melanggar mekanisme pasar.

Justru, dengan sedikit bumbu kampanye dan iklan, program-program ini coba ditampakkan seolah-olah sebagai program populis oleh pemerintah. Dan keterkaitan Bank Dunia dalam mempromosikan program ini, menjelaskan bahwa kapitalis internasional benar-benar mendukung kelanjutan rejim neoliberal di Indonesia.

Utang Luar Negeri dan Neoliberalisme

Pada tahun 1970an, pemerintahan di negeri-negeri dunia ketiga begitu mudah untuk mendapatkan pinjaman di bank-bank di Amerika Utara, Eropa, Australia, dan Jepang. Jutaan dollar uang kemudian dituangkan dalam proyek-proyek investasi, tetapi sangat sedikit yang memberi manfaat kepada rakyat negeri dunia ketiga. Rejim-rejim korup di negeri dunia ketiga, yang dibackup oleh kekuasaan di barat, menggunakan pinjaman-pinjaman tersebut untuk proyek seperti stadion olahraga, lapangan golf, dam, persenjataan, dsb, dan sebagian lagi dimasukkan ke kantong pribadi.

Pada akhir 1970an, paska perang berkepanjangan, suku bunga di AS mengalami kenaikan drastis. Hal ini mendorong apa yang disebut krisis utang (debt crisis), dimana Meksiko pertama kali mengawali kejadian ini pada 1982. Meksiko dinyatakan tidak lagi punya kemampuan membayar utangnya.

Pada tahun 1980an, lebih dari 80 negara yang mengalami “debt crisis” dipaksa untuk menjalankan “structural adjustment programs/SAP”, dimana pemerintahnya didorong untuk mengurangi subsidi dan jaminan sosial kepada rakyatnya. Selain itu, “debt crisis” dijadikan sebagai senjata untuk membuka pintu tebal “nasional” negara dunia ketiga dan mengijinkan dominasi korporasi-korporasi raksasa internasional menggantikan perusahaan domestik.

Utang luar negeri, bagaimanapun, bukan hanya alat untuk memaksakan pengaliran capital dari negeri-negeri berkembang ke negara maju, tetapi lebih jauh dari itu adalah instrumen untuk mengontrol kebijakan politik dan ekonomi negara debitur, sehingga membuka jalan untuk menguasai sumber dayanya. Tidak salah, seperti juga yang dicatat oleh Susan George, bahwa utang telah memupuk kesenjangan antara negara dunia pertama dan negara dunia ketiga. Seperti di catat Susan George , pada abad 18 gap antara negeri kaya dan miskin adalah 2:1. Setelah perang dunia ke II, gap ini meningkat menjadi 40:1. Dan sekarang ini, posisi gap nya sudah berada pada 60:1.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Teresa Hayter mengenai hal ini, juga memberikan kesimpulan menarik. Menurut Hayter, hal-hal yang dipersyaratkan dalam pemberian utang luar negeri biasanya adalah: (a) pembelian barang dan jasa dari negara pemberi pinjaman; (b) peniadaan kebebasan dalam melakukan kebijakan ekonomi tertentu, misalnya, nasionalisasi perusahaan asing (khususnya yang dilakukan tanpa kompensasi); (c) permintaan untuk melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikehendaki, terutama peningkatan peran sektor swasta dan pembatasan campur tangan langsung pemerintah dalam bidang ekonomi.

Berdasarkan ketiga persyaratan tersebut, menurut Hayter, utang, secara umum, memungkinkan bagi negara-negara menyesuaikan politik internalnya, menyeleraskan kebijakan luar negerinya, perlakuan yang baik bagi investasi, kebijakan prioritas ekspor, dan sebagainya, yang pada dasarnya merupakan kondisi yang diinginkan, dikehendaki oleh lembaga atau negara pemberi bantuan, supaya tidak mengancam kepentingan mereka.

Apa yang dijalankan oleh pemerintahan SBY, setidaknya dalam lima tahun terakhir, mengkonfirmasi apa yang menjadi kesimpulan Susan George dan Hayter . Disini, saya hanya membeberkan beberapa fakta besarnya; pertama, Berlanjutnya kebijakan pencabutan subsidi sosial, seperti pencabutan subsidi BBM, kesehatan, pendidikan, dll. Dalam hal subsidi BBM, SBY bahkan menaikkan harga BBM sebanyak tiga kali, sebuah rekor tertinggi dibandingkan rejim sebelumnya. kedua, berlanjutnya kebijakan privatisasi. Periode 1991-2001, pemerintah Indonesia 14 kali memprivatisasi BUMN. Yang terprivatisasi 12 BUMN. Sedangkan dibawah SBY, situasinya cukup menggemparkan, bayangkan, hanya dalam setahun 44 BUMN dilego. Apalagi, privatisasi kali ini disertai penjualan seluruh saham 14 BUMN industri, 12 BUMN kepada investor strategis, dan beberapa BUMN lainnya kepada asing. Ketiga, lahirnya produk perundangan yang sangat “ramah” dan mengakomodasi kepentingan asing, terutama bagi perusahaan multi-nasional, seperti UU Penanaman Modal, UU Ketenagakerjaan, UU Privatisasi Air, UU Migas, UU minerba, dsb. Semua hal yang saya sebutkan diatas, merupakan bukti penyelerasan bentuk kebijakan politik dan ekonomi kita kepada kepentingan imperialis dan korporasinya.

Jadi, takkala SBY menolak me-ngemplang utang dengan alasan martabat bangsa, tentunya ini pernyataan absurd. Tidak pantas SBY berbicara martabat dan kemandirian bangsa, selama kebijakan politik dan ekonominya masih menghamba pada neoliberalisme. Utang luar negeri, kebijakan yang dibanggakan SBY, telah menyeret milyaran umat manusia di bumi ke dalam kemiskinan absolut. Raksasa-raksasa seperti General motor, ExxonMobile, Rio Tinto, Shell, Newmont, British Petroleum, dll, telah menikmati “rejeki nomplok” dari kebijakan utang, sedangkan 230-an juta rakyat Indonesia menanggung “beban penderitaan”.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Saya Ibu Hannah Boss, A pemberi pinjaman uang, saya meminjamkan uang kepada individu atau perusahaan yang ingin mendirikan sebuah bisnis yang menguntungkan, yang menjadi periode utang lama dan ingin membayar. Kami memberikan segala jenis pinjaman Anda dapat pernah memikirkan, Kami adalah ke kedua pinjaman pribadi dan Pemerintah, dengan tingkat suku bunga kredit yang terjangkau sangat. Hubungi kami sekarang dengan alamat email panas kami: (hannahbossloanfirm@gmail.com) Kebahagiaan Anda adalah perhatian kami.