Rabu, 30 September 2009

Antara Mahasiswa, Tahi Kucing dan Cinta

Suatu pagi di sela keheningan kampus yang kotor dan tak terurus, terlihat seorang duduk menunggu teman-temannya yang belum juga datang. Sambil menunggu, orang itu kemudian termenung, ia kemudian memikirkan tentang siapa dirinya serta tanggung jawabnya terhadap Tuhan dan manusia lainnya. Dia, orang itu adalah yang diberi status Mahasiswa oleh masyarakatnya.


Dia terus merenung sampai tiba-tiba Tahi Kucing yang ada di bawah tempat duduknya bertanya: “Hai manusia, apa yang sedang kau pikirkan?” Mahasiswa itu lalu menjawab: “Aku sedang memikirkan hakikat diriku.” Tahi Kucing bertanya lagi: “hakikat diri itu apa?, apakah ia sepertiku, bau, kotor dan dijauhi manusia?”. Mahasiswa itu menjawab: “entahlah, aku sendiri tak mengerti” Tahi kucing menanggapinya:”lalu mengapa engkau memikirkan sesatu yang engkau sendiri tidak mengerti?” Mahasiswa itu hanya diam karena tak mampu menjawab.


Keheninganpun berlanjut sampai kemudian sesosok kurus, dengan baju compang camping dan rambut acak-acakan serta muka yang seram keluar dari tubuh Mahasiswa itu melalui telinganya. Mahasiswa itupun tercengang, kaget, pucat serta rasa takut mulai menguasai dirinya. Kemudian ia lari dan menghampiri teman-temannya yang sudah terlihat di jalan masuk kampus kotor itu. Dia meninggalkan sosok tadi bersama tahi kucing.

........Tahi Kucing bertanya: “hai, siapakah kau, apa yang terjadi denganmu?”, sosok itu lalu menjawab: ”aku adalah Cinta, aku diciptakan dalam dirinya (sambil menunjuk kearah mahasiswa tadi) dan aku pun kepunyaannya. Keadaanku seperti ini karena aku terus-menerus ditindas olehnya. Cinta melanjutkan: aku selalu ditempatkan pada materi, wanita cantik dan kaya, pada wanita cantik berbodi bagus, pada HP, sepatu, baju, celana, pada ketenaran, pada pujian, pada artis-artis dan lain-lain yang membuatnya terkadang berpikir:


“....apa yang aku dapatkan dari semua itu?” aku tidak pernah ditempatkan pada apa yang seharusnya dan menjadi tujuan aku diciptakan yaitu Dirinya, lingkungannya, saudara-saudaranya, orang tuanya, dan pada yang telah menciptakannya yaitu Tuhannya, ataupun pada tanggung jawabnya sebagai seorang mahasiswa. kini lihatlah dia dan teman-temannya yang mabuk dalam kepalsuan dan ketertindasan, dia selalu berteriak-teriak: Aku adalah Mahasiswa...... Bertanah Air Satu, Tanah Air Tanpa Penindasan yang membuat aku tertawa wahai Tahi Kucing, ya, aku tertawa. Karena ternyata dia tak pernah mau tahu dengan penindasan. Kini dia sendiri tertindas, tertipu, terbodohi di rumahnya sendiri oleh dosen-dosennya, oleh birokrat-birokrat akademiknya, bahkan oleh dirinya sendiri yang terhimpun dalam sistem pendidikan yang kufur.
Lihatlah dia, yang takut, dengan mengenyahkan hakikat kebenaran, ia tak tahu malu mengaku Mahasiswa. Tapi tak ubahnya seperti dirimu wahai tahi kucing; kotor, busuk dan tak berharga.......”