Rabu, 30 September 2009

Ketersesatan Dalam Quo Vadis Gerakan Mahasiswa?

Tiba-tiba saja Aku teringat slogan Pengenalan Kampus (PEKKA) tahun lalu. PEKKA adalah kata lain dari ospek yang lebih manusiawi di salah satu perguruan tinggi di Semarang. Menyimak dengan seksama tema PEKKA 2008 yang berbunyi “Bangkit dan Bergerak Mewujudkan Masyarakat Baru“ itu, terbersit dalam benak pikiran penulis satu orasi apologi singkat dari kalangan mahasiswa yang bosan dan jengah terhadap situasi peradaban, sekaligus mungkin cermin hilangnya jatidiri kemahasiswaan para mahasiswa itu sendiri pada tenggang waktu sepuluh tahun terakhir ini. Apakah benar para mahasiswa dewasa ini kehilangan jatidirinya?


Slogan PEKKA itu cukup menarik untuk ditelaah. Pada koridor positif dengan jujur saya katakan, seruan atau ajakan untuk bangkit dan bergerakya, harus terlibat dan berada di tengah-tengah masyarakat. Sayang bahwa keterlibatan para mahasiswa dewasa ini lebih banyak pada aksi-aksi keterlibatan seremonialis, terlibat sejauh karena tugas dan atau tuntutan akademis. merepresentasikan kesadaran hilangnya jatidiri kemahasiswaan para mahasiwa itu sendiri. Jati diri yang mana? Jawabannya justru sudah terangkum pada kalimat selanjutnya yaitu jati diri untuk mewujudkan masyarakat baru. Saya sendiri lebih suka mengganti rumusan mewujudkan masyarakat baru dengan terminologi keterlibatan. Singkat kata, dewasa ini ada fenomena sekaligus tendensi: banyaknya mahasiswa kurang menghidupi makna keterlibatan. Keterlibatan di sini berarti keterlibatan dalam masyarakat karena dari zaman dulu yang namanya mahasiswa itu,


Berbicara soal keterlibatan, saya lantas teringat oleh beberapa orang seperti JJ Kusni di Paris, Liston Siregar di Inggris, Heri Latief di Belanda-Paris dan Almarhum Sobron Aidit yang semasa hidupnya pernah tinggal lama di Paris. Mereka ini memaknai keterlibatan secara berbeda. Selama menjadi mahasiswa mereka ini sungguh-sungguh orang yang menghidupi keterlibatan dalam masyarakat. Mereka ini menjadi aktivis dalam pengertian positif yaitu mengabdi pada masyarakat pada zamannya. Benar bahwa rezim dikatator merasa terancam dan lantas mengasingkan orang-orang ini. Beberapa dari mereka dengan fasilitas hidup yang minim lantas harus bertahan di pembuangan seperti di Pulau Buru.


Saya tidak sedang mengajak untuk bernostalgia dengan orang-orang yang lahir di masa lalu karena senyatanya setiap zaman toh memiliki tantangannya sendiri dan memiliki pahlawan-pahlawannya sendiri. Tapi ironisnya, harus disadari bahwa apa yang dinamakan gerakan mahasiswa pada sepuluh tahun terakhir ini kurang bertaji. Gerakan mahasiswa terkesan sporadis dan kurang memberi pengaruh pada perubahan signifikan di beberapa sektor yang diperjuangkan.


Lapindo, sengketa tanah Pasuruhan, minimnya upah buruh, harga-harga sembako yang terus melambung tinggi adalah beberapa contoh persoalan yang berlarut-larut tanpa penyelesaian dan di sisi lain bukti dan cermin mlempemnya gerakan mahasiswa yang tidak mau peduli dan terlibat dalam pemecahan-pemecahan problematikan mendasar dari masyarakat. Satu fakta yang tak terbantahkan, dewasa ini banyak mahasiswa yang terlibat dalam pembelaan dan advokasi masyarakat marginal justru karena terikat oleh dan dengan NGO/LSM baik lokal maupun internasional. Bisa ditebak dengan mudah, ujung-ujungnya juga karena sebagai sukarelawan dengan dekengan founding besar, bekerja dengan mengobyekkan masyarakat dan donatur. Bagi saya, mereka ini telah melacurkan kemahasiswaannya. Quo Vadis Gerakan Mahasiswa? Ah, mereka sedang tersesat di atmosfer reformasi, sibuk dengan persoalan kampus sendiri seperti soal pemilihan PRESMA, DPM, SEMA dan berbagai jabatan struktural kampus hingga klarifikasi dana sumbangan.