Kamis, 17 September 2009

Lebaran dalam kesunyian sepi

Rasanya sudah lama sekali saya tidak membahas atau pun memikirkan tentang sepi, padahal dulu hampir selama 1 setengah tahun tema ini yang selalu menemani saya, kegalauan, sunyi sampai dengan kesendirian. Bayangkan saja pada masa-masa itu lagu sarapan pagi saya adalah musik-musik downtempo / ambience semacam cocteau twins, the milo, sampai mandalay, pokoknya yang galau-galau. Dulu saya malah sampai memproklamirkan diri sebagai manusia paling galau, dimana pun, kapan pun, bersama siapa pun, selalu galau.


Kesepian dan kesendirian dalam kegalauan adalah jalan hidup, sebuah pilihan yang dalam kesadaran tingkat tinggi saya pilih, bukan sebagai pelarian tetapi sebagai pegangan hidup, sebagai teman setia.


Kemudian waktu berlalu, saya mulai membuka diri lagi akan pertemanan. Seiring berlalunya waktu, diri kita juga sering merubah jalan hidup, terkadang merubah karir, tempat tinggal, sampai mengkompromikan prinsip. Waktu memang membawa pengaruh yang besar akan perjalan hidup seseorang, keputusan sulit, keputusan mudah, serta berbagai perubahan akan selalu berjalan bersama sang waktu. Waktu memang tidak bisa memutuskan apa-apa, ia hanya menemani saja, menemani dengan sangat setia setiap manusia dalam menjalani hidupnya.


Dan kemudian saya sampai pada halamam multiply teman saya yang memposting tulisan tentang jatuh cinta. Dan entah tiba-tiba saya kemudian teringat sebuah keadaan yang pernah begitu dekat dengan diri saya, sepi. Lalu saya mengetik sebuah tulisan mengenai jatuh cinta : “jatuh cinta itu sepi”.


Satu postingan lagi dengan mungkin tanpa sadar saya tuliskan di halaman multiply teman saya yang lain, tentang hidup : “hidup itu sepi”.


Masa lalu memang tidak bisa terulang, sama sekali tidak bisa, kita hanya bisa hidup di masa kini, bahkan masa depan pun tidak pernah ada yang pasti. Namun setiap masa lalu, akan memberikan sebuah goresan di setiap ingatan, di setiap halaman hati dan di setiap kehidupan. Demikianlah juga pada diri saya. Hidup dalam sepi yang pernah saya jalani dengan begitu saja muncul di hadapan saya kembali. Masa lalu memang tidak pernah bisa datang kembali, ia hanya teringat dan terkadang tanpa diundang.


Kemudian saya kembali merenung, tentu saja tentang sepi, dan beberapa kejadian yang kemudian datang, betapa semua kejadian dalam hidup memang saling berhubungan. Ada beberapa peristiwa yang saya jalani di hari-hari berikutnya yang membawa saya pada kesepian yang kedua. Tentang hubungan saya dengan pacar saya, tentang hidup saya, tentang semua pekerjaan dan komunitas dimana saya hidup di dalamnya, tentang ban motor yang bocor. Entah kenapa, perasaan malas yang beberapa hari ini saya rasakan berujung pada banyak kejadian yang membuat saya merasa bahwa itu adalah sebuah firasat.


Minggu ini adalah minggu di mana Hari Raya Lebaran dirayakan oleh teman-teman saya yang beragama Islam, Dan di rumah saya, seperti biasa ibu memasak opor lengkap dengan ketupat, di Margoyoso pacar saya merayakan Lebaran bersama keluarga. Kampus saya yang biasa saya pakai kuliah, hiruk pikuk yang biasa saya jalani semuanya seperti diberhentikan, menghormati sebuah momen fitrah yang saya cerna sebagai sebuah proses menyadari keterbatasan manusia sehingga perlu sebuah momen untuk bersandar pada keadaan kosong, di mana kehidupan bisa direnungkan tanpa embel-embel kesibukan lain.


Dan di momen itulah ternyata saya juga berada, tema sepi yang muncul lagi-lagi bukan tanpa alasan, kejadian demi kejadian yang saya alami juga bukan tanpa alasan, semuanya terhubung dalam sebuah jalinan yang saling berhubungan. Dan sepi bagi saya bukan hanya sebatas sepi, sunyi dan sendiri bukan hanya sebatas momen kosong tanpa pegangan, namun jauh dilamnya, sepi bisa menjelaskan dan memberikan momen renungan yang tidak terbatas, dimana saya dan mungkin kita, bisa berpikir dengan santai dan tanpa batas waktu, yang kadang membelenggu.


Selamat Idul Fitri, selamat merenung, selamat bertamasya ke dalam kondisi fitrah.


Oh ya, satu lagi, selamat menjadi sepi sambil ditemani coretan galau menyayat hati.


jatuh cinta itu sepi

seperti udara yang terhempas pergi

seperti sinar mentari yang tak selamanya ada

seperti pelangi yang muncul sebentar


jatuh cinta itu sepi

dalam perasaan yang membelenggu

tanpa bisa merasakan lagi aroma

udara taman yang sama

sinar mentari yang sama


bagaimana kita tau akan selamanya

ketika mencoba bukanlah sebuah pengalaman

dan firasat harus juga bisa dicerna


jatuh cinta itu sunyi

bagai suara yang mendadak bisu

bagai cahaya yang terlalu menyilaukan

bagai dawai yang tak lagi berbunyi


jatuh cinta itu seperti


ketika sepi dan sunyi

bercumbu.