Jumat, 05 Maret 2010

Uang, Keju, dan Anggur

Barangkali makna idiom kehidupan dari bahasa umum mengatakan uang selalu dekat dengan kekuasaan, dan selalu dekat juga dengan wanita, sudah sangat tidak terbantahkan lagi. Tiga hal melekat tidak terpisahkan ini, ‘membahagiakan’ sekaligus bisa membutakan manusia: Madu dan Racun - Adalah uang, kekuasaan, dan wanita. (…..)


Demikian pula kondisi kehidupan di dalam masyarakat konsumer sekarang ini adalah sebuah kondisi yang di dalamnya hampir seluruh energi dipusatkan bagi pelayanan hawa nafsu. Di dalam kebudayaan yang dikuasai oleh hawa nafsu ketimbang kedalaman spiritual, maka sebuah revolusi kebudayaan tak lebih dari sebuah revolusi dalam penghambaan diri bagi pelepasan hawa nafsu. Felix Guattari melihat bahwa kini tak ada lagi perjuangan revolusioner yang dapat hidup tanpa menghambakan dirinya pada pembebasan hawa nafsu.


Dengan terbuka lebarnya belenggu hawa nafsu, maka menurut Jean Baudrillard, pusat gravitasi dunia kini telah digantikan oleh apa yang disebutnya ekonomi libido, yaitu yang berkaitan dengan perkembangbiakan dan naturalisasi hawa nafsu. Hawa nafsu, menurut Baudrillard, menampakkan kecenderungannya pada bentuk-bentuk amoral, oleh karena ia sangat dipengaruhi oleh sikap penolakan akan segala bentuk penilaian moral. Ia lebih menghambakan dirinya pada tujuan ekstasi, sehingga menengelamkan segala sesuatu dari kualitas subjektifnya, serta membiarkannya pada sifat mendua; mengelakkan diri dari pertimbangan objektif dan membiarkan diri hanyut bersama kekuatan-kekuatan pengaruh yang tak bisa dicegah.


Adapun Christopher Lasch dalam melihat narsisme menganggapnya lebih sebagai satu dimensi dan kondisi psikologis dalam diri seseorang yang mengalami ketergantungan pada citraan diri dan ilusi-ilusi yang menyertainya, serta pada khalayak ramai atau massa untuk mengakui keberadaan citraan ini. Dengan demikian, seorang narsisis tidak hidup tanpa khalayak penonton, yang merupakan cermin tempat ia berkaca. Masyarakat semakin terbiasa dengan ekstasi penampakkan, prestise dan gaya hidup (tongkrongan mobil, rumah, pesta), seakan-akan gaya hidup itu menjadi tujuan hidup. Salah satu sifat dari hawa nafsu adalah, bahwa ia tidak pernah mau terpancang pada teritorial (kepuasan) yang telah dikuasainya.


Hawa nafsu selalu bersifat deteritorial-ia selalu berontak melewati teritorialnya dan mencari teritorial-teritorial baru. Ia selalu menembus setiap batas-batas teritorial tanpa akhir. Hawa nafsu selalu membuat trik-trik atau tipu daya. Akan tetapi, tipu daya saja tidaklah cukup: ia membutuhkan sesuatu yang abadi, yaitu ritual pencarian yang tak ada akhirnya (……)