Minggu, 25 Oktober 2009

Oposisi milik siapa???,...

Ketika Republik ini (Indonesia) resmi menyatakan sebagai negara demokrasi dengan corak pemerintah Presidentil,

maka pada saat yang bersamaan resmilah demokrasi barat menjadi takaran demokrasi di tanah air yang kita cintai ini, serta berhasil menggeser berbagai model pemerintahan monarki lokal. Ciri Negara modern yang bercorak Republik biasanya disertai dengan lembaga negara lainnya (penyeimbang) seperti; Legislatif dan Yudikatif.

Kedua lembaga penyeimbang tersebut, di samping Eksekutif, dipisahkan dengan berbagai kewenangan/kekuasaan seperti yang biasa kemudian dimuat didalam konstitusi Negara, oleh karenanya tidak ada satu lembaga Negarapun yang memiliki kekuasaan absolut. Demikian mitos demokrasi didesain Montesqieue yang selama ini kita kenal, termasuk yang kemudian berlangsung di Indonesia.

Prinsip "Check and Balance", sebagai salah satu takaran demokrasi telah terumuskan didalam konstitusi. Sementara takaran oposisi lebih pada bagaimana pemerintahan (Eksekutif) yang berkuasa mendapat kontrol ketat dari partai-partai oposisi. Kontrol parlemen yang merepresentasikan partai-partai politik didalamnya masih belum berjalan efektif. Artinya, sering terjadi kekuatan oposisi di parlemen (gabungan partai-partai yang kalah didalam pemilu), belum mampu menunjukkan perannya. Contoh, ketika masa Orde Baru di Indonesia nyaris tidak ada partai oposisi.

PDI dan PPP sebagai partai diluar pemerintah nyaris tidak bergigi. Bahkan oposisi diharamkan, dan kedua partai diatas dikontrol ketat oleh rezim Suharto. Di era periode pertama pemerintahan SBY meski PDIP mendeklarasikan sebagai partai oposisi output nya tidak jelas. Andaikan ada kritik-kritik yang ia (PDIP) lontarkan, mekanisme parlemen belum mampu menyerap dan memberikan akses politik untuk mengolah kritik menjadi masukan bagi pemerintah (Eksekutif). Sehingga kritik menguap begitu saja, apa lagi kritik tanpa muatan substansi yang jelas.

Pentingnya Partai Oposisi

Selayaknya di Indonesia tumbuh kesadaran beroposisi bagi partai-partai yang kalah didalam pemilu. Oposisi bukan aib, oposisi bukan sesuatu yang membahayakan. Bahkan Presiden SBYpun sempat mengutip pemikiran "David Iston" yang menyatakan "Power tends to Corrupt, power absolutely tends to Corrupt absolutely". Jelas disini Presiden tidak ingin pemerintahan dengan kekuasaan yang absolut, karena cenderung menyimpang. Oleh karenanya diperlukan prinsip "Check and Balance ".

Banyak contoh bahwa absennya oposisi hanya akan menyuburkan perilaku otoriter. Napoleon Bonaparte mabuk kekuasaan tanpa kontrol oposisi hingga memetik buah isolasi hingga kematiannya. Hitler dengan partai Nazi nya bersih dari kehadiran partai oposisi dengan akibat fasisme di Eropa dan Afrika. Stalin, Mussolini, Idi Amin, adalah diantara sederet pemimpin pemerintahan otoriter yang sepi dengan kontrol oposisi, dan andaikan ada oposisi dari awal sudah ditumpas. Jadi format oposisi sangat ideal dinegara penganut demokrasi modern untuk mencegah absolutisme kekuasaan.

Pemerintahan SBY jilid kedua layak menjadi uji kematangan demokrasi dengan kehadiran oposisi. Tidak harus kemudian semua partai yang kalah dan menang bergabung di dalam pemerintahan. Meski kabinet persatuan merepresentasikan integrasi politik paska pemilu, tetapi perlu diwaspadai justru untuk pembangunan politik berkelanjutan akan menjadi bumerang politik dengan tiadanya partai oposisi. Absennya oposisi akan menjadi kolesterol politik dijantung pemerintahan karena lemahnya kontrol.

"Check and Balance " ada kalau partisipasi politik disertai dengan bangkitnya oposisi dinamis. Demokrasi sendiri akan kehilangan makna tanpa oposisi, dan demokrasi hanya mewakili etalase politik tanpa nilai politik. Dinamika pembangunan politik tidak semata melihat kekuasaan sebagai kemenangan, tetapi jauh lebih penting melihat bahwa kekuatan oposisi sebagai ’’Partner in Power", meski tidak harus ada didalam struktur kekuasaan.

Oposisi tidak lagi menjadi beban politik bagi demokrasi, tetapi oposisi sebagai dinamisator dalam kehidupan politik Negara. Pemerintah sekuat apapun maka perlu pendamping oposisi yang kuat pula, dengan demikian tidak perlu ada partai-partai yang merasa galau karena tidak didalam pemerintahan. Jauh dari makna itu bahwa partai oposisi kelak akan merasa bergengsi justru karena berada diluar pemerintah mengontrol pemerintah dan kekuatan oposisi akan menjadi enerji demokrasi sekaligus kehormatan politik. ***

Tidak ada komentar: