Kamis, 29 Oktober 2009

UNNES oh UNNES,....

Penyakit Kronis di kampus sekaran

Saat kali pertama datang ke Sekaran, pada pertengahan 2006 lalu, penulis masih bisa dengan mudah menemukan roh intelektual di Kampus Unnes. Bisa dengan mudah, penulis mendapati sekelompok mahasiswa yang berdiskusi sore hari di sekitar kampus.

Dalam pertarungan wacana, bisa dipastikan, setiap Minggu wajah-wajah akrab kawan kuliah kita bisa dengan mudah ditemukan bersama tulisannya di media massa, laiknya Suara Merdeka, Wawasan, Kompas Jateng, dan bahkan media massa nasional seperti Jawapos.Dinamika kampus benar-benar hidup. Mahasiswa benar-benar mewarisi semangat rasionalisasi Rene Descartes, cogito ergo sum. Saya sadar (berpikir) maka saya ada. Semangat rasionalitas ilmiah benar-benar menjadi ukuran keber-ada-an seorang mahasiswa di kampus. Mereka yang tidak “berpikir” maka bersiaplah untuk binasa atau dibinasakan.

Lalu, bagaimana dengan sekarang? Seperti yang bisa kita lihat, terjadi kemalasan global di jagat raya UNNES. Selama ini, yang menjadi ukuran kegiatan mahasiswa adalah UKM dan BEM. Tanpa bermaksud menggeneralisir, kondisi sebagian UKM baik Fakultas dan Universitas mengalami stagnasi, bahkan kemunduran.

Kepemimpinan UKM apalagi. Ada banyak UKM yang dipimpin oleh mereka yang secara terpaksa menjadi ketua, karena tak ada yang lebih layak. Bahkan, banyak pemimpin prematur yang belum siap mentalnya untuk menjadi seorang panutan. Akibatnya, roda organisasi tidak lancar. Atau, sebaliknya UKM dipimpin oleh pemimpin yang sudah uzur. UKM Fakultas lebih parah lagi. Ada beberapa UKM yang kantornya tidak pernah dibuka. Padahal, saat UKM tersebut eksis beberapa tahun yang lalu, UKM tersebut belum memiliki kantor. Kondisi ini diikuti oleh beberapa BEM Fakultas yang seharusnya menjadi wadah untuk memfasilitasi mahasiswa – mahasiswa berkapasitas tetapi apa yang terjadi sangatlah buruk, dan itu artinya BEM Fakultas telah gagal total.

UKM seharusnya lebih menekankan skill dan mengembangkan keahlian khusus. Di sinilah titik unik UKM. Karena, dibutuhkan seorang yang punya jiwa kepemimpinan dan memiliki kemampuan memadai sesuai skill yang dikembangkan UKM tersebut. Begitu pula Dengan BEM, Kenapa Mahasiswa sekarang merasa lebih pede dan nyaman dengan jabatan politis kampus. Hingga merasa perlu berebut untuk mendapatkan jabatan-jabatan politis di kampus.

Penulis tidak bermaksud menyatakan bahwa politisi kampus itu negatif. Akan tetapi, realita yang berkembang di masyarakat adalah bahwa kerja politik adalah jenis pekerjaan yang tidak jelas kerjanya, tetapi hasilnya jelas. Pertanyaanya, apakah kecenderungan politisi kebanyakan juga menular kepada politisi kampus? Silahkan menilai sendiri.

Tegasnya, pergeseran orientasi yang disela-selani dengan kemalasan global telah terjadi di sekitar kita. Kontrakan dan kos-kosan yang dulu menjadi tempat diskusi kini menjelma menjadi Night Club. Dan tampaknya, kondisinya dari hari ke hari kian parah. Dan kita baru geger tatkala terjadi “sesuatu”.

Senyatanya, kemalasan global ini hanya menimpa sebagian mahasiswa kita. Celakanya, sebagian di sini adalah sebagian besar. Karenanya, semua ini harus segera disudahi.

Sekaran Berganti topeng!!!

Bila kita tilik secara mendalam, pergeseran —untuk tidak menyebut degradasi—ini tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari pergeseran gaya hidup mahasiswa UNNES yang juga terpengaruh dengan pergeseran sosiologis di Sekaran.

Sekaran telah berubah menjadi Lokalisasi berjubah kampus, Apel, mesum, dan perbuatan – perbuatan asusila lainnya sudah tak sulit lagi di jumpai di sini. Itu artinya mahasiswa telah menghianati ikrarnya sendiri. Tidak salah lagi jika kita beranggapan bahwa mahasiswa UNNES, Siang “Pelajar” kalau malam “pelacur”, Inikah Kaum muda intelek harapan bangsa?

Counter hape di sekaran dan sekitarnya telah menjamur, bagaimana dengan toko buku? Dewasa ini toko buku terancam gulung tikar karena sepi pembeli. Mari perhatikan, hampir tidak ada mahasiswa yang tidak menenteng hape, meski untuk “memberi makan” mereka masih ‘menodong’ ortu. Parkir kampus penuh, hingga sepeda motor diparkir di depan kelas. Helm racing dibawa masuk kelas.

Komputer warnet perpustakaan selalu penuh. Tapi, apa yang mereka lakukan? Dipastikan, 80 % dari mereka surving, chatting. Penulis tidak bermaksud menyatakan, segala fasilitas tersebut negatif. Tetapi, coba bayangkan, apa jadinya bila kita yang terbiasa dengan fasilitas harus hidup tanpa fasilitas? Bayangkan di sekitar kita tidak ada sepeda motor, tidak ada hape, tidak ada internet.

Pernah suatu ketika, salah seorang teman, tidak bersedia —tepatnya malas—mengantarkan surat ke rektorat, hanya karena tidak ada sepeda motor. Bahwa fasilitas diciptakan manusia sekedar untuk mempermudah, bukan sebagai tempat bergantung. Bila kita bergantung kepada ciptaan manusia sendiri, betapa lemah diri ini.

Memang, ada sekelompok mahasiswa yang tetap mempertahankan idealismenya. Tapi, kebanyakan kita tidak termasuk di dalam golongan ini. Lalu, kaitannya dengan segala fasilitas, akankah kita menegasikannya lalu kemudian memutar balik jarum jam?

Jelas, ini tidak memungkinkan. Yang masih memungkinkan adalah penyadaran tugas dan tanggung jawab mahasiswa yang tidak enteng. Mahasiswa adalah generasi elit yang punya kesempatan untuk mendapatkan banyak pengetahuan. Kesempatan ini membawa tanggung jawab ilmiah dan sosiologis.

Tidak ada komentar: