Jumat, 19 Juni 2009

Politik Anti-Neoliberal

Kehadiran isu demokratik dalam pilpres 2009 ini patut disambut positif. Meski coba disimpang-siurkan dengan isu-isu rekaan (yang kerap berbau SARA) namun perhatian masyarakat tidak mudah beralih dari masalah demokratik seperti korupsi, HAM, dan neoliberalisme. Berbeda dengan masalah korupsi dan HAM yang sudah akrab didengar, isu besar neoliberalisme baru pertama kali naik ke panggung utama politik nasional; menjadi topik pembicaraan capres-cawapres sampai ke masyarakat luas. Apa itu neolib? Mengapa SBY-Budiono disebut-sebut sebagai pendukung neolib? Pertanyaan mencuat ke permukaan.

Situasi politik yang menguntungkan rakyat ini setidaknya didorong oleh tiga faktor berikut; pertama, krisis ekonomi global yang menjadi bukti komtemporer dan terkuat tentang kegagalan sistem neoliberal yang telah dijalankan selama kurang lebih 30 tahun di dunia dan 11 tahun ”secara masif” di Indonesia; kedua, akumulasi persoalan rakyat akibat kebijakan ekonomi neoliberal yang terkristalkan dalam bentuk aksi-aksi politik anti neoliberal sepanjang sepuluh tahun terakhir. Perlawanan ini ada yang spontan (dengan isi tuntutan kebutuhan jangka pendek/mendesak) dan ada pula yang diprakarsai oleh kalangan aktivis pergerakan, akademisi, budayawan, serta sejumlah politisi (umumnya lebih mendalam dan berjangka panjang); Ketiga, ditunjuknya Budiono sebagai cawapres SBY yang bermakna penegasan peran SBY beserta tim ekonominya sebagai agen utama liberalisasi ekonomi. Istilah ”agen” dapat dipertimbangkan berhubung kualitas kesetiaan rejim ini untuk berada di bawah kendali IMF, WB, WTO, negara kapitalis maju, atau langsung di bawah korporasi-korporasi trans dan multinasional.

Neolib Dan Melek Politik

Terangkatnya isu neoliberalisme berarti terangkatnya kesempatan untuk memahami persoalan ini secara luas dan mendalam (ideologis). Dampak neoliberalisme telah dirasakan rakyat dalam kehidupan sehari-hari seperti kenaikan harga BBM, kelangkaan pupuk, kerusakan lingkungan, sistem kontrak/outsourcing plus upah murah, pendidikan & kesehatan mahal, pengaruh di lapangan sosial budaya, dsb., namun masalah ini belum menjadi acuan bagi keputusan politiknya. Mengapa? Salah satu penyebab pokok adalah karena senjata ideologis untuk menandingi neoliberalisme belum dimiliki luas oleh rakyat. Tanpa dibekali senjata ideologis, logika-logika neoliberal yang biasa digunakan sebagai landasan implementasi agendanya cenderung diterima rakyat sebagai kewajaran, atau bahkan sebagai kebenaran yang tak terbantah.

Senjata ideologis rakyat terdiri atas seperangkat program menuju cita-cita yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai hukum tertinggi, bukannya kekuasaan pasar (neolib). Karenanya, upaya untuk menghentikan atau menghindar dari ”polemik” tentang neoliberal paralel dengan upaya menyingkirkan kepentingan rakyat dari gelanggang politik. Lebih jauh bisa juga disebut sebagai langkah depolitisasi dan deideologisasi—yang dirintis orde baru dengan cara represif dan sekarang ’dilanjutkan!’ dengan cara yang lebih halus.

Tak dibantah bahwa tidak ada kandidat yang benar-benar bersih dari jejak neoliberal di Indonesia. Namun realitas minus malum ini tidak menutup kesempatan untuk memperbesar skala perjuangan anti neoliberal yang telah dirintis sekian tahun terakhir. Proses ini justru dapat mengembangkan bibit-bibit baru perjuangan melawan neoliberal. Neoliberalisme telah, sedang, dan akan tetap menjadi problem karena krisis ekonomi global membutuhkan tumbal negeri-negeri terbelakang; dalam bentuk pembukaan pasar yang lebih luas, pasokan bahan mentah (SDA), dan tenaga kerja murah.

Partisipasi Anti-Neoliberal

Konsekuensi dari munculnya isu ini adalah bertemunya kepentingan dari kelompok-kelompok berbeda untuk menghadapi neoliberalisme sebagai problem pokok bersama. Stigma neoliberal yang melekat pada SBY-Budiono dapat mempengaruhi pilihan politik, yang berarti menguntungkan rival-rivalnya. Meskipun masih dalam batas pemahaman yang sangat sederhana, namun dari segi nilai-nilai yang dianut masyarakat istilah neolib telah ditangkap sebagai sesuatu yang buruk. Tak heran pasangan SBY-Budiono harus bersusah payah mengklarifikasi hal tersebut.

Tantangan selanjutnya adalah bagaimana menempatkan isu neoliberal tidak semata sebagai kepentingan capres-cawapres untuk meraih dukungan pemilih, melainkan sebagai momentum untuk menarik partisipasi rakyat sehingga merasa berkepentingan memperjuangkan agenda politik anti neoliberal. Karena keterlibatan rakyat melalui alat politik yang terbuka dan demokratik merupakan kunci yang dapat menggairahkan sekaligus mengawal gerakan anti neoliberal, membangun perekonomian yang mandiri dan kerakyatan, sebagai tuntutan dan perspektif politik; sekarang dan akan datang.

Tidak ada komentar: