Jumat, 19 Juni 2009

Tan Malaka Dalam Misteri I

BEGITU banyak cerita tentang Tan Malaka—sang pacar merah Indonesia, tokoh yang suatu kali dielu-elukan sebagai ratu adil, dan di kali berikutnya dianggap sebagai orang yang paling ber­ba­haya oleh teman-temannya di era revolusi kemerdekaan Indo­nesia. Tetapi dari semua itu, un­tuk sementara, bagian yang pa­ling misterius adalah tentang ke­matiannya. Siapa yang membu­nuh Tan Malaka, karena apa, dan di mana kuburnya?

Dalam sebuah diskusi bertema ”Menguak Misteri Kematian Tan Malaka” yang digelar di Gedung Joang ’45, Menteng, Jakarta, ak­hir pekan lalu (13/1), sejarawan Harry A Poeze yang menulis se­jumlah buku tentang Tan Malaka mengatakan, dia tengah me­nyiap­­kan sebuah sequel yang ber­­cerita tentang saat-saat men­jelang eksekusi Tan Malaka.

Laki-laki berdarah Minang yang suatu kali di era 1920-an pernah ja­di guru di Medan dan punya na­ma asli Ibrahim itu, kata Poe­ze, dieksekusi di sekitar Kediri. Poeze yang juga peneliti Konin­klijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV), Belanda, me­ngatakan bahwa dia menemu­kan tiga titik di Jawa Timur yang kemungkinan besar menjadi kuburan Tan Malaka.

Poeze yakin seyakin-yakin­nya—dia mengatakan keyakin­annya sebesar 99,99 persen—bahwa cerita tentang kematian Tan Malaka versinya yang akan terbit beberapa bulan lagi adalah benar. Menunggu sequel itu, Poeze hanya bersedia mem­bagi ini­sial pembunuh Tan Malaka: Su. Su yang mana?

Menjelang Ajal

Menjelang akhir Maret 1946, Tan Malaka ditangkap. Dia di­tu­duh berkomplot untuk menculik Perdana Menteri Sjahrir dan se­jumlah anggota kabinet. Be­berapa hari setelah penangkapan Tan Malaka, penculikan itu men­jadi kenyataan. Perdana Menteri Sjah­rir dan sejumlah anggota Ka­binet Sjahrir II diculik oleh—be­lakang­an setelah Sjahrir dibe­bas­kan diketahui adalah—Mayor Jen­deral Sudarsono, yang punya kai­tan dengan Persatuan Per­juangan.

Adalah Tan Malaka yang men­jadi motor pendiri Persatuan Per­juangan di Purwokerto awal ta­hun itu. PP dibentuk oleh 141 or­ganisasi, mulai dari partai politik seperti Masyumi dan PNI, sam­pai kesatuan-kesatuan laskar rak­yat. Mereka tak puas dengan di­plomasi Sjahrir yang mereka nilai terlalu lambat. Setelah membe­baskan Sjahrir, Soedarsono me­ngajukan sejumlah tuntutan ke­pada Presiden Sukarno. Antara la­in meminta agar Kabinet Sjah­rir II dibubarkan, dan Presiden Sukarno menyerahkan pimpin­an politik, sosial, dan ekonomi ke­pada Dewan Pimpinan Politik.

Permintaan itu tak dipenuhi. Seperti Tan Malaka, Soedarsono dan pengikutnya pun dijeb­los­kan ke penjara. Be­da­nya, Tan Ma­laka tak pernah diadili.

Dua tahun setelah mendekam di penjara, Tan Malaka dibebas­kan bulan September 1948. Me­nurut Poeze, Tan Malaka dibe­baskan kabinet Mohammad Hat­ta menyusul kepulangan Mu­so dari Moskow. Tan Malaka diper­caya dapat menjadi penyeim­bang, mengingat hubungan Tan Malaka dan Muso yang sama-sama kiri itu tidak begitu baik. Setelah Muso dan pemberonta­kan PKI di Madiun bulan Sep­tem­ber 1948 ditumpas tentara In­do­nesia, Tan Malaka mendirikan Partai Musyawarah Rakyat Ba­nyak (Murba). Tetapi ia tak me­mimpin partai itu. Tan Malaka me­milih bergerilya menghadapi Belanda di Kediri—tem­pat ter­ak­hir yang disinggahinya.

Merdeka Seratus Persen

Sejarawan Lembaga Ilmu Pen­getahuan Indonesia (LIPI) Aswi Warman Adam yang juga ber­bicara dalam diskusi di Gedung Joang itu meminta agar pemerin­tah merehabilitasi nama Tan Ma­laka. Gelar pahlawan kemer­de­kaan nasional yang diberikan Su­karno kepada Tan Malaka ta­hun 1963 silam memang tak pernah dicabut. Tetapi sejak Orde Baru berkuasa, nama Tan Malaka meng­hilang begitu saja dari buku sejarah.

Menurut hemat Aswi, ada baik­nya pemerintah membentuk tim khusus untuk mencari di mana kuburan Tan Malaka. Dengan uji forensik, hal ini tentu mudah. Setelah tulang belulangnya, atau apapun yang tertinggal dari diri­nya ditemukan, kuburan Tan Ma­laka dapat dipindah ke Taman Ma­kam Pahlawan Kalibata. Pun su­dah beberapa kali Aswi me­nyarankan agar nama Tan Mala­ka digunakan sebagai nama ban­dara internasional di Padang yang baru beroperasi sejak Juli 2005.

Sementara sejarawan Hilmar Farid yang juga berbicara dalam diskusi itu menilai, kalau pun ditemukan, biarlah Tan Malaka ber­baring abadi di tengah-tengah rakyat. Buat apa ke TMP Kali­ba­ta, toh tak semua peng­huninya ada­lah pahlawan sungguhan, kata dia.

Wartawan senior Rosihan An­war yang juga hadir berbagi ceri­ta. Dia hanya satu kali bertemu de­ngan Tan Malaka. Kala itu Feb­ruari 1946 di Gedung Sono Bu­doyo Solo. Sejumlah wartawan menggelar kongres yang mela­hir­kan Persatuan Wartawan Indone­sia (PWI). Tan Malaka hadir den­gan baju hitam-hitam dan topi helm hijau. Di podium dia berbicara tak kurang dari empat jam tentang materialisme, dialektika dan lo­gika (madilog) tanpa teks.

Lain lagi Adnan Buyung Nasu­tion. Dia juga punya cerita ten­tang Tan Malaka. Kata Bang Bu­yung, di tahun 1946, saat itu dia ba­ru berusia 12 tahun, Tan Mala­ka pernah ”bersembunyi” di rumah keluarga Nasution selama tiga bulan. Dia dan Tan Malaka berbagi kamar. Bang Buyung masih ingat salah satu ajaran mo­ral Tan Malaka: kalau seorang pe­rampok masuk ke dalam rumahmu, usir dia sekuat tenaga.

Mungkin secara sederhana, itu­lah merdeka seratus persen yang dipercaya Tan Malaka sampai maut menjemputnya. Tak ada ke­merdekaan bila masih ber­kompromi dengan penjajah.

Tidak ada komentar: