Selasa, 17 Maret 2009

Ciptakan Pemempin yang berkualitas

Menciptakan Pemimpin Berkualitas

Pada awal Juli 2008, BPS mengumumkan angka kemiskinan periode Maret 2008 mencapai 34,96 juta atau sekitar 15,42% dari total penduduk Indonesia. Sementara itu, pada 15 Januari 2009, BPS mengumumkan pula angka pengangguran periode Agustus 2008 mencapai 9,39 juta orang atau sekitar 8,39% dari angkatan kerja.

Selain angka kemiskinan yang dirilis BPS, dapat pula ditemukan angka lain versi Bank Dunia atau dikenal garis kemiskinan Bank Dunia. Dengan menggunakan ukuran pendapatan USD 2 per kapita tiap harinya, yang dihitung berdasarkan PPP (purchasing power parity), angka kemiskinan pada November 2007 mencapai 49% dari total penduduk Indonesia.

Karena itu, meski tetap menggunakan data BPS, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak penduduk Indonesia yang hampir miskin atau berada di atas garis kemiskinan BPS, di mana sewaktu-waktu dapat menjadi miskin bila terjadi gejolak ekonomi, seperti kenaikan harga barang-barang atau penurunan pendapatan nominal.

Indikator lain yang menunjukkan penderitaan rakyat adalah buruknya pelayanan kesehatan di negeri ini. Kondisi kesehatan yang paling memprihatinkan adalah tingkat kematian ibu pada saat persalinan yang mencapai 307 kematian dari setiap 100.000 kelahiran hidup. Sementara itu, ditemukan bahwa 70% ibu hamil di Indonesia menderita penyakit Anemia (kekurangan sel darah merah). Tak heran bila 13 juta dari total 24 juta anak Indonesia di bawah umur 5 tahun menderita kekurangan gizi kronis. Ini mengakibatkan 33% dari anak-anak yang berada pada usia sekolah, yaitu usia 6 sampai 12 tahun menderita penyakit anemia. (Laksamana Sukardi.2008)

Di Mana Para Pemimpin?
Fenomena kemiskinan, pengangguran, buruknya pelayanan kesehatan yang menghantui negeri ini hanyalah secuil masalah dari ribuan masalah. Parahnya, yang paling terkena dampak adalah rakyat kecil, yang secara ekonomi berada di kelas bawah. Berkali-kali pergantian pemerintahan, tapi nasib rakyat kecil masih tetap memprihatinkan. Di sisi lain, terdapat kelompok masyarakat yang makin kaya. Fenomena ini menunjukkan parahnya kesenjangan pendapatan di negeri ini. Para pejabat, tergolong dalam kelompok yang menikmati kekayaan ini.

Pejabat (pemimpin) yang diberi amanah untuk menyelesaikan masalah krusial bangsa ini tampaknya hanya menggunakan posisinya untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Rakyat hanya diperhatikan pada saat musim pemilihan tiba. Bila masa pemilihan umum tiba, pemimpin jenis ini berubah sangat drastis dengan menampakkan perhatiannya pada rakyat. Tentunya bertujuan mendapatkan simpati agar terpilih kembali menempati kursi kekuasaan. Namun setelah terpilih, rakyat kembali diabaikan dan menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dan kelompoknya.

Padahal, rakyat telah begitu banyak mengalami penderitaan. Ketika rakyat disiksa dengan kelangkaan elpiji bersubsidi, kenaikan harga sembako, para pemimpin malah saling menyalahkan. Biaya pendidikan, kesehatan dari waktu ke waktu makin mahal. Ketika banjir tiba, yang tiap tahun terjadi, penguasa malah menyalahkan alam dan masyarakat. Lalu, di mana janji-janji yang dikumandangkan saat-saat kampanye dulu?

Namun patut disyukuri, sebagian rakyat tahu mana pemimpin yang benar-benar serius menyelesaikan permasalahan mereka, dan mana yang tidak. Sementara sebagian yang lain, memang kerap menjadi garapan empuk para politisi-politisi busuk yang hanya berniat mencari kekuasaan. Memang tak salah bila mengartikan politik identik dengan kekuasaan karena berpolitik merupakan cara memperoleh pengaruh atau kekuasaan. Tapi, di balik pengaruh tersebut terdapat tanggung jawab untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini. Berpolitik, menurut Marwah Daud Ibrahim, adalah seni mengelola pemerintahan. Karena itu, berpolitik ditujukan untuk mengatur pemerintahan agar dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam berbangsa dan bernegara, termasuk mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran, dan masalah bangsa lainnya.

Seorang pemimpin tidak akan menelantarkan rakyatnya. Bila anda pernah membaca buku Michael H Hart berjudul “100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa,” ditemukan bahwa 6 besar orang paling berpengaruh berasal dari kaum agamawan, kecuali Newton. Salah satu peran yang dimainkan orang berpengaruh ini adalah menjadi pemimpin. Muhammad misalnya, dia merupakan sosok pemimpin negara. Bukan hanya itu, beliau juga pemimpin dalam keluarga dan pemimpin pertempuran. Satu ciri khas dari para pemimpin yang berhasil khususnya dari para nabi adalah mereka pernah menjadi pengembala. Tentu ada pelajaran berharga dari keterkaitan antara peran pengembala dengan peran kepemimpinan. Sang pengembala tidak akan pernah membiarkan hewan gembalaannya kelaparan. Dia akan berusaha keras agar tersedia makanan buat gembalaannya, serta terjaga dari pemangsa. Pelajaran ini sungguh relevan bagi seorang pemimpin di mana dia akan berusaha keras agar yang dipimpinnya dapat hidup nyaman, terhindar dari bahaya, dan kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi.

Namun bukan berarti sebelum menjadi pemimpin harus latihan dulu jadi pengembala. Yang terpenting adalah sang pemimpin tahu arti keberadaannya di tengah orang-orang yang dipimpinnya. Bilamana sang pemimpin mengabaikan hak-hak yang dipimpinnya, kondisi ini akan membawa kerusakan. Intinya, sang pemimpin, dalam batasan tertentu, bertanggung jawab penuh terhadap yang dipimpinnya.

Kita butuh orang-orang yang benar-benar mau berbakti bagi negeri ini. Kita mendamba pemimpin yang mendahulukan kepentingan rakyat dibanding kepentingan golongannya. Kita butuh pemimpin yang benar-benar peduli pada rakyat kecil, atau kelompok masyarakat yang sangat rentan terhadap kezaliman dan gejolak ekonomi.

Namun rakyat tidak boleh hanya menunggu datangnya Ratu Adil. Rakyatlah yang memilih pemimpin, sehingga tidak boleh salah pilih. Karena itu, nasib kita sebetulnya terletak pada tangan kita masing-masing, bukan sepenuhnya di tangan seorang pemimpin.

Tantangan Makin Berat
Kemerdekaan Indonesia pada 1945 memang patut disyukuri. Namun belumlah sempurna kemerdekaan tersebut bila rakyat masih diliputi dengan penderitaan, terutama di bidang ekonomi. Lagi pula, kita semua sepakat bahwa penjajahan asing dalam bentuk neokolonialisme masih terus berlangsung sampai saat ini. Bangsa asing belum sepenuhnya rela melepaskan Indonesia dari intervensi mereka, meski bukan dalam bentuk penjajahan fisik. Kekuatan kapital internasional telah menjadi senjata utama dalam menjajah negara berkembang, termasuk Indonesia.

Ironisnya, pemimpin negeri ini tidak menyadari kalau Indonesia sedang dijajah. Mereka sangat mudah tunduk pada intervensi asing. Banyak BUMN yang digadaikan ke asing, sementara sumber daya alam yang melimpah direlakan untuk dieksploitasi oleh MNC yang beroperasi di Indonesia. Sumber daya alam seperti minyak, batu bara, emas, timah, dan lainnya digadaikan ke asing dengan alasan agar pemerintah mendapat bagian dari eksploitasi tersebut. Kedaulatan kita pun sudah digadaikan dengan intervensi asing dalam pembuatan Undang-Undang Minyak dan Gas, UU Bank Indonesia, dan sejumlah UU lain yang berkaitan dengan pengelolaan ekonomi di Indonesia.

Boleh dibilang, aktivitas ekonomi asing di negeri ini tak luput dari peran pemerintah yang memang mendukung keberadaan mereka. Pengambil kebijakan terlalu terbuai dengan paham neoliberalisme, di mana kebijakan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi menjadi senjata pemerintah yang dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun realitasnya, meski pertumbuhan ekonomi tinggi, dampaknya positifnya tidak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, khususnya golongan menengah ke bawah. Adapun manfaat pertumbuhan ini lebih banyak dinikmati oleh kelompok kelas menengah ke atas, serta pihak asing yang melakukan aktivitas produksi di tanah air. Karena itu, sebetulnya dapat dikatakan bahwa penderitaan rakyat, berupa kemiskinan, pengangguran, buruknya pelayanan kesehatan, tidak terlepas dari paham kebijakan yang diterapkan pemerintah yang notabene banyak diintervensi oleh asing.

Pemimpin tidak berani mengatakan “tidak” terhadap intervensi asing. Pemerintah tunduk pada kebijakan-kebijakan (usulan kebijakan) asing yang ditelan mentah-mentah dan diterapkan di tanah air. Karakter pemimpin seperti inilah yang oleh Amien Rais disebut pemimpin bermental inlander. Pemimpin yang tidak percaya terhadap kemampuan diri dan bangsanya. Untuk mengatasi masalah ini, memang tidaklah mudah. Semangat kemandirian dan rasa percaya diri yang diajarkan oleh Bung Karno, Bung Hatta, H Agus Salim, Syahrir, dan lain-lain kini terbang entah ke mana. (Amien Rais.2008). Intinya, kita butuh pemimpin yang bukan hanya cerdas, tapi berani melawan segala jenis penindasan terhadap martabat bangsa, sebagai bentuk pembelaan terhadap rakyat.

Kualitas itu Harus Dibentuk Sejak Dini
Sebagai anak bangsa, tentunya ikut pula merasakan penderitaan yang dialami oleh saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang belum sempat menikmati kehidupan dengan wajar. Berharap pada pemimpin saat ini untuk mengubah paradigma kebijakan sangatlah kecil peluangnya. Kita butuh pemimpin-pemimpin yang punya komitmen kerakyatan, keberanian dan memang sudah terbukti dari track record-nya. Namun pemimpin jenis ini tidak dilahirkan, melainkan diciptakan. Untuk menciptakan pemimpin tersebut, haruslah dilatih sejak dini. Karena itu, generasi muda sebetulnya berperan besar untuk menjadi pemimpin harapan di masa depan. Namun sekali lagi, generasi muda harus mempersiapkan diri mulai sekarang.

Sebagai generasi muda, termasuk di dalamnya penulis artikel ini, tergerak untuk menjadi agen perubahan. Namun konsekuensi dari peran tersebut adalah menyiapkan diri, baik secara mental, intelektual, moral, keterampilan, dan bekal-bekal lainnya untuk menjadi pemimpin harapan bangsa. Pelatihan ini dapat didapatkan dari keterlibatan di organisasi-organisasi baik di kampus maupun di masyarakat. Generasi muda tidak boleh memandang sebelah mata keberadaan organisasi karena hampir semua pemimpin pembawa perubahan di dunia ini merupakan orang-orang yang sejak mudahnya melatih diri di organisasi. Dari organisasilah, generasi mudah dapat berlatih menjadi pemimpin yang cerdas dan berani yang dapat menjadi bekal di saat menjadi pemimpin bangsa ini. Jadi, tunggu apa lagi wahai generasi muda Indonesia, mari persembahkan jiwa dan raga kita pada tanah air ini.

Tidak ada komentar: