Senin, 16 Maret 2009

Menanti Gebrakan Blok Perubahan

Menanti Gebrakan Blok Perubahan

Rudi Hartono

PEMILU 2009 merupakan momen politik cukup penting. Meski afatisme politik kian meningkat, namun tidak sedikit pula rakyat Indonesia yang berharap adanya perubahan. Pada tingkat politik, tema “perubahan” sudah menjadi sentral dari propaganda politik dan bahan kampanye. Berbarengan dengan kerangka politik itu, sejumlah kekuatan politik pun sudah mendeklarasikan poros atau blok politik, yang tujuannya untuk menjadi kendaraan utama melompati syarat pencapresan.


Pada hari Rabu, 25 Februari 2009, 12 partai politik juga mendeklarasikan poros politik baru, yang kemudian disebut ; blok perubahan. Ke-12 partai politik itu adalah PNBK Indonesia, Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia, PKNU, Partai Bintang Reformasi, PKDI, Partai Pelopor, PDK, Partai Damai Sejahtera, Partai Matahari Bangsa, Partai Kedaulatan, PSI, dan PPRN. Selain itu, hadir pula Dr. Rizal Ramli yang merupakan salah seorang calon presiden dalam pemilu 2009.

Poros Kekuatan Lama dan Poros Kekuatan Baru

SBY (Blok S)dan Megawati (blok M)sudah lebih dahulu mendeklarasikan poros politiknya. Baik SBY maupun Megawati, oleh banyak kalangan, dikatakan sebagai poros kekuatan lama (status quo). SBY dan Megawati sudah pernah memegang kendali kekuasaan (memerintah). Namun, masa pemerintahan Megawati dan SBY dianggap sebagai bagian dari periode yang gagal. Keduanya sudah terekam dalam memori rakyat sebagai rejim yang tidak “becus” mensejahterakan rakyat.

Diluar Mega dan SBY, klaim kekuatan lama juga dapat ditujukan kepada poros tengah, yang sementara ini coba dibangunkan ulang oleh sejumlah partai-partai islam, seperti PAN, PPP, PBB, dan PKS. Poros tengah berhasil memenangkan Gusdur pada pemilihan presiden. Dan dalam beberapa kali peralihan kekuasaan paska reformasi, partai-partai yang menggagas poros tengah selalu terakomodir dalam pemerintahan; Hamzah Haz (Wapres jaman Mega), dan banyak diantara mereka menjadi menteri dalam kabinet. Fakta ini, yang kemudian menjadikan dasar untuk memasukkan poros tengah ke dalam blok politik kekuatan lama (status quo).

Bergerak dari dinamika pergesekan politik nasional maupun situasi sosial yang melingkupi rakyat Indonesia sekarang ini, sejumlah kekuatan politik baru (partai baru dan partai gurem) mencoba mendirikan poros politik baru. Dalam usaha ini, dapat disebutkan upaya Prabowo (gerindra) untuk menciptakan poros Indonesia raya, ataupun Salahuddin Wahid (Gus Sholeh) yang menjaring capres alternatif melalui Dewan Integritas Bangsa. Usaha-usaha memunculkan figur-figur baru dapat dipandang sebagai upaya positif. Hanya saja upaya-upaya politik ini seperti bergerak pada ruang yang kosong.

Kemudian, kehadiran blok perubahan, yang dideklarasikan 12 parpol, merupakan kemajuan bukan saja karena berani melakukan terobosan politik diluar kerangka kekuatan politik lama (partai besar dan elit-elit lama), tetapi juga keberaniannya untuk membela dua arus politik indonesia, yaitu kekuatan lama (status quo) dan kekuatan baru (progressif). Blok perubahan sendiri diposisikan sebagai blok politik kekuatan baru (progressif).

Berbicara Hambatan

Penyimpulan dua kekuatan politik indonesia dalam pemilu 2009, yaitu blok politik lama dan kekuatan baru, tentu saja, merupakan penyimpulan politik yang perlu diperiksa. pemilahan ini kurang jelas, dan tidak mampu menjelaskan garis pemisah yang tegas antara kekuatan lama dan kekuatan baru. Tentu saja, rakyat akan sulit mengenali dan menguraikan perbedaan mendasar antara kekuatan lama dan baru, menyebabkan potensi blok perubahan menjadi kekuatan politik alternatif turut menjadi buram.

Mengenai hal itu, saya mencoba mengajukan beberapa catatan kritis: pertama, pemerintahan SBY maupun Megawati bertipikal neoliberal. Kunci kegagalan mereka pada saat berkuasa adalah karena menerapkan neoliberalisme. Sehingga, seharusnya kekuatan politik baru menggunakan isu “anti-neoliberalisme” sebagai garis demarkasi.

Kedua, harus diakui bahwa kekuatan politik yang membentuk blok perubahan cukup beragam. Justru karena itu, seharusnya blok perubahan menegaskan sebuah platform politik yang tegas dan jelas, yang berfungsi (1) Sebagai ikatan politik yang menyatukan seluruh kekuatan pada koridor dan jalan yang sama, (2) sebagai cita-cita politik yang harus diperjuangkan dalam segala lini. Disini, saya mengajukan “kemandirian bangsa” sebagai platform politik yang mengikat seluruh kekuatan politik di dalam blok perubahan.

Ketiga, jika perspektifnya adalah kekuatan politik alternatif, buka sekadar meloncati syarat pengajuan capres, maka seharusnya blok perubahan memperluas politik persatuannya dengan merangkul sektor-sektor sosial yang lebih luas, terutama korban neoliberalisme, seperti serikat buruh, organisasi petani, mahasiswa, organisasi miskin kota, pengusaha nasional, dan lain-lain.
Selain itu, tekanan-tekanan politik ditingkatan elit saja tidak cukup untuk menaikkan dukungan dan memenangkan perimbangan kekuatan. Perlu dukungan dari politik mobilisasi dan keterlibatan aktif pada perjuangan-perjuangan rakyat.

Rudi Hartono, aktivis Politik, pengelola Jurnal Arah Kiri, Jurnal NEFOS (Analisis Amerika Latin) dan Redaksi Berdikari Online.

Tidak ada komentar: