Selasa, 17 Maret 2009

Jargon-jargon Kerakyatan SBY-JK

Jargon-jargon Kerakyatan SBY-JK


Judul : Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat, Antara Komitmen dan Jargon
Penulis : Dr Fahmy Radhi MBA
Penerbit : Republika
Tahun : Oktober 2008
Tebal : 201 + xxvii halaman



Ketika masa kampanye tiba, rakyat ketiban rezeki. Para parpol, caleg, capres, dan peserta pemilihan akan mendekati rakyat dengan segala janji-janji manis. Terkadang rakyat terbuai dengan janji-janji manis tersebut, tapi ada pula rakyat yang bersikap kritis. Kebanyakan rakyat miskin akan terbuai dengan janji-janji politisi, bila dijanjikan bahwa bila terpilih akan meningkatkan kesejahteraan para pemilihnya. Pada Pemilu 2004, SBY-JK terpilih sebagai presiden dan wakil presiden karena berhasil menggugah rakyat dengan janji-janji manisnya. Namun kebijakan-kebijakan yang diterapkan setelah terpilih tampaknya jauh dari komitmen kerakyatan yang dikumandangkan saat kampanye. Sebaliknya, sebagian besar kebijakan ekonomi pemerintah dilandasi atau bercorak pro pasar.

Buku yang ditulis oleh seorang ekonom dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM ini, merupakan rangkuman puluhan artikel yang dimuat di rubrik analisis SKH Kedaulatan Rakyat dengan tema ekonomi. Tulisan-tulisan dari Fahmy kebanyakan muncul sebagai respons terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang terkait dengan rakyat kecil dan mencoba menguak berbagai persoalan yang dihadapi rakyat kecil. Untuk mempermudah pembacaan, tulisan-tulisan ini dikelompokkan menjadi lima bagian, meliputi: Komitmen Pro Rakyat, Komitmen Pemihakan terhadap Petani dan Buruh, Komitmen Pemihakan pada Korban Bencana, Kebijakan BBM; Pengingkaran komitmen Pro Rakyat, dan Jargon-jargon Pro Rakyat. Buku ini diakhiri dengan percikan pemikiran tentang Sistem Ekonomi Kerakyatan.

Buku ini terdiri dari kumpulan tulisan yang dimuat mulai 2004 sampai 2008. Dengan kata lain, tulisan ini tampak sebagai respons kebijakan-kebijakan SBY-JK yang mulai awal jabatannya, sampai menjelang akhir jabatannya. Di awal pemerintahan SBY-JK, Fahmy langsung menyoroti pemilihan menteri bidang ekonomi. Menurut Fahmy, menteri-menteri yang dipilih presiden bukanlah orang yang punya track-record terhadap komitmen ekonomi kerakyatan. Masih teringat, saat pemilihan menteri, SBY memilih Sri Mulyani Indrawati sebagai Kepala Bappenas, Mari Elka Pangestu sebagai Menteri Perdagangan, Jusuf Anwar sebagai Menteri Keuangan. Ketiga orang ini merupakan penganut pasar bebas.

Yang dikritisi pula oleh Fahmy adalah saat reshuffle kabinet jilid 2 dilakukan, menteri bidang ekonomi seperti menteri keuangan dicopot dan diganti oleh Sri Mulyani sedangkan menteri koordinator perekonomian dipindahkan dan diganti oleh pakar ekonomi UGM, Boediono. Ini berarti pula, tidak ada perubahan mendasar dalam tubuh kabinet ekonomi. Masuknya Boediono hanya menambah keberadaan ekonom pro pasar di kabinet. Dengan kata lain, ekonom yang dipilih SBY menduduki kabinetnya ternyata berbanding terbalik dengan komitmen kerakyatan yang dicanangkan saat kampanye dulu.

Dalam buku ini, Fahmy memang mencurahkan pikirannya untuk mengkritisi pemilihan pembantu presiden, khususnya tim ekonomi yang kebanyakan berasal dari ekonom pro pasar. Ini cukup beralasan mengingat kondisi ekonomi suatu negara tergantung pada tim ekonominya, bukan pada presidennya. Siapa pun presiden yang merasa dirinya pro rakyat, namun bila tim ekonominya berasal dari orang-orang yang tidak pro rakyat (alias pro pasar), maka dipastikan kebijakan-kebijakannya juga cenderung tidak pro rakyat.

Jargon Kerakyatan dan Terpilihnya SBY-JK
Fahmy berkesimpulan bahwa terpilihnya SBY-JK menjadi pemimpin tertinggi di negeri ini erat kaitannya dengan komitmen kerakyatan yang dijanjikan saat kampanye. Di tengah kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan pendapatan yang masih menunjukkan wajah buram, kehadiran calon pemimpin yang menjanjikan kesejahteraan rakyat disambut dengan meriah oleh rakyat. Akibatnya, SBY-JK meraih dukungan sekitar 30% saat pemilu putaran pertama dan sekitar 60% pada putaran kedua. Pada pemilu 2004, jargon pro growth (pertumbuhan), pro job (lapangan pekerjaan), dan pro poor (kemiskinan) dikumandangkan untuk meraih suara sebanyak-banyaknya.

Sebagaimana telah ditulis di atas, komitmen kerakyatan tampak hancur setelah SBY mengisi pos kabinet ekonomi dengan orang-orang yang lebih pro pasar ketimbang pro rakyat. Bagi sejumlah ekonom, termasuk Fahmy, langkah ini mengindikasikan bahwa komitmen kerakyatan SBY-JK tampaknya hanya secedera jargon. Masalah kemiskinan dan pengangguran, serta ancaman terampasnya kedaulatan ekonomi tidak dapat diatasi selama pemerintah SBY-JK.

Kumpulan tulisan ini juga mencatat segala kebijakan SBY-JK yang cenderung menodai komitmen kerakyatannya. Kebijakan kenaikan harga BBM yang sampai tiga kali dalam pemerintahannya, dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap komitmen keberpihakan terhadap rakyat. Kenaikan harga BBM telah mengakibatkan naiknya angka kemiskinan dan pengangguran. Lebih menyakitkan lagi, sebab kebijakan menaikkan harga BBM ini ternyata didorong oleh asing, dalam hal ini konsultan-konsultan IMF yang bertugas di Indonesia.

Tak luput, Fahmy juga mengkritisi rendahnya pemihakan pemerintah terhadap buruh. Kasus yang disoroti adalah PT Dirgantara. Selain itu, Fahmy juga menyoroti perhatian pemerintah pada korban bencana alam. Di bagian akhir, Fahmy memaparkan lebih detil menampilkan tulisan-tulisan yang bercerita banyak tentang jargon-jargon pro rakyat. Salah satu tulisan mengkritisi tentang pencapaian target pemerintah yang dicanangkan secara kuantitatif pada saat kampanye, di mana sampai menjelang akhir tahun ketiga (2007), target tersebut jauh dari tercapai. SBY mencanangkan pencapaian pada 2009 meliputi pertumbuhan ekonomi mencapai 7,6%, pengangguran menjadi 5,1%, angka kemiskinan menjadi 8,2%. Hingga akhir 2007, angka pengangguran masih sekitar 9,75%, angka kemiskinan bertengger di posisi 17,3%, dan pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 6,3%.

Jalan Baru dengan Ekonomi Kerakyatan
Dalam pengantarnya, Rizal Ramli menegaskan bahwa Indonesia perlu jalan baru, yaitu jalan anti kolonialisme, jalan yang lebih mandiri, yang akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan mayoritas rakyat Indonesia. untuk mencapainya, kedaulatan ekonomi harus direbut. Menurut Rizal, hanya dengan kedaulatan dan kemandirian rakyat, negara republik Indonesia akan berdaulat di bidang pangan dan energi, serta menarik manfaat sebesar-besarnya bagi dari kekayaan sumber daya alam, keragaman budaya, dan sumber daya manusia (hlm xv).

Dalam buku ini, Fahmy menganggap bahwa paradigma alternatif kebijakan ekonomi Indonesia adalah kebijakan ekonomi pro rakyat yang berlandaskan sistem ekonomi kerakyatan. Bahkan, Fahmy menafsirkan pasal 33 UUD 1945 sebelum diamandemen, sebagai paradigma ekonomi kerakyatan yang semestinya menjadi landasan dalam setiap perumusan strategi pembangunan dan penetapan kebijakan ekonomi di Indonesia (hlm. 189)

Memang secara konsep, ekonomi kerakyatan belumlah sematang ekonomi konvensional yang dibangun ratusan tahun lalu oleh Adam Smith. Namun dari sisi praktik, ekonomi kerakyatan sebetulnya sudah diterapkan oleh rakyat Indonesia. Pada dasarnya, sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berasaskan kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada rakyat yang lemah. Ciri utamanya adalah kebersamaan dalam menjalankan proses produksi untuk menghasilkan produk dan jasanya yang dikerjakan oleh sebagian besar rakyat dan dimiliki oleh seluruh rakyat secara merata. (hlm 188). Adapun strategi pembangunan yang dilandasi sistem ekonomi kerakyatan meliputi penanggulan kemiskinan, pengembangan kawasan, pengembangan UMKM.

Namun apa daya bila pemimpin yang terpilih pada pemilu 2009 ini berasal dari orang yang menggunakan ekonomi kerakyatan hanya sekedar jargon? Karena itu, rakyat Indonesia harus cerdas memilih pemimpin, agar pemimpin tersebut dapat membawa kemaslahatan bersama bagi bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar: