Sabtu, 07 Maret 2009

Pemilu 2009 Antara Perjuangan Sejati dan Kemunafikan.

Tanggapan
atas Tulisan Fajar Pudiarna; Pemilu 2009
Antara Perjuangan Sejati dan Kemunafikan.


Sudah diprediksikan, jauh sebelum pertarungan
yang sebenarnya berlangsung; Pemilu 2009 akan menjadi ajang terbesar perdebatan
banyak kalangan. Dia-nya akan menyeret siapa saja; mulai dari aktifis gerakan,
aktivis LSM, artis, hingga bahkan pengangguran. Polimek ini ada yang
berlangsung semula dengan cukup santai, hangat, hingga akhirnya menjadi serius,
sengit, baku-hantam, dan bila melihat kasus PRD dan Papernas, sampai
menghasilkan perpecahan.



Bila kita masuk dalam arena perdebatan teoritis
mengenai pemilu, sudah cukup banyak yang memberikan pandangannya (koran,
mailing-list, TV dan saluran-saluran lainnya). Sebagai acuan, saya bisa
mencaplok tiga diantaranya yang saya ketahui cukup menarik. Pertama milik Kawan
AJ Susmana; Mengharapkan Presiden Pro-Rakyat. Kawan Rudi Hartono; Pemilu 2009:
Pertempuran Yang Menentukan!
Terakhir milik Kawan LSM kita, Fajar Pudiarna; Pemilu 2009 Antara Perjuangan
Sejati dan Kemunafikan.



Tulisan saya ini hanya akan mengulas (secara
singkat) tulisan yang ketiga. Itu pun hanya dengan ulasan yang sederhana, iseng
saja, sekadar urun rembug atau untuk meluangkan waktu secara positif. Terus
terang saja, hal ini dikarenakan saya tak punya cukup banyak waktu luang untuk
menyelami lautan teoritis Pemilu yang dalam.



Dengan Kawan AJ Susmana dan Rudi Hartono, saya
setuju dengan keduanya yang menulis dengan optimisme (Kawan Rudi bahkan sudah
dalam kalimat pertamanya menyebutkan: Kita
tetap harus melangkah kedepan). Keduanya memberikan landasan yang kuat, analisa
yang
teliti, program yang kongkrit, dan jalan keluar yang provokatif. Misal Kawan
Rudi, dengan sikap menantang dia menulis dalam kalimat terakhirnya; Tapi jika
kehendaknya adalah perubahan, silahkan pilih calon dan partai yang punya
program anti neoliberal dan pro kemandirian nasional.



Lantas, apa yang ditawarkan dalam tulisan “Pemilu 2009 Antara Perjuangan Sejati
dan
Kemunafikan”?



Saya tidak akan kembali mengulang apa yang
dimiliki Indonesia, baik dari jumlah kekayaannya yang melimpah, maupun SDM-nya
yang maha banyak (kelima didunia), yang keduanya jatuh dalam cengkraman
imprealisme melalui proses penipuan elit politiknya dari pemilu ke pemilu.
Karena
hal ini sudah banyak yang menerangkan. Yang menarik, Pejuang Imigran kita ini
dengan sikap amarah memberi kita pertanyaan yang kemudian ia jawab sendiri
dengan nada marah yang sama;


Pemilu 2009, merupakan pemilu dari kesekian kali pemilu
yang pernah dan akan kita lalui. Satu demi satu pemilu yang pernah kita lalui,
hampir semua partai menjanjikan angin segar terhadap nasib rakyat. Tapi apa
buktinya, berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian
secara kebudayaan sudah kita dapatkan? Jawabannya adalah Tidak!”.



Kemudian dia mengutuk semua Partai Politik,
tokoh-tokohnya, dengan cara yang aneh dia bilang mereka “menggunakan cara-cara
manupulatif”, yang diartikannya dalam bentuk “memberikan sogokan-sogokan kepada
rakyat”. Dia sedih dengan keadaan ini kemudian mengumpat:


Problem kemiskinan memang telah menjadi problem pokok masyarakat. Di
sini bukan berarti rakyat harus ditipu secara mentah dengan dalih pangabdian”.



Kita semua tentu setuju dengan kesedihan dan
umpatan-umpatannya. Bila perlu kita akan menangis terisak-isak karena hidup
dizaman seperti ini. Kita dan rakyat Indonesia keseluruhan selalu menjadi
korban penipuan setiap pemilu. Kita dibohongi terus oleh elit politik yang
banyak berjanji tapi tak pernah memberikan bukti. Yang di Parlemen hanya selalu
menjalankan ibadah 5 D (datang, duduk, diam, dengar dan duit).



Nah, mari kita lihat jalan keluar yang
ditawarkan:


Secara prinsip, partai politik merupakan alat yang
dibentuk oleh rakyat sebagai alat yang bisa memperjuangkan rakyat. Misalnya,
partai buruh. Partai buruh hendaknya dibentuk oleh buruh sendiri guna
memperjuangankan hak-haknya di parlemen. Andaikata sekarang rakyat belum bisa
dikatakan sebagai rakyat yang sadar akan hak-haknya, maka sudah menjadi
kewajiban bagi yang sudah sadar untuk menyadarkan dan mendorong terciptanya
suatu gerakan rakyat”.



Sampai disini saya dan mungkin sebagian dari kita
akan terbengong; kenapa buruh harus membentuk Partainya sendiri guna
memperjuangkan
hak-haknya sendiri di Parlemen? Apakah petani, mahasiswa, nelayan, penyandang
cacat, dan sebagainya juga harus berbuat demikian? Untuk memperjuangkan
urusannya sendiri (hak-haknya), kepentingan golongan (profesi), dalam konteks
Parlemen dan bukan Dewan Rakyat dalam pemerintahan Sosialisme. Kita harus
belajar lagi, baca buku lagi, bila pemecahan masalah sosial Klas Tertindas harus
diselesaikan dengan cara menyuburkan sektarianisme dan fragmentasi sebagimana
yang Kawan kita tawarkan (skali lagi dalam melawan impralisme dengan taktik
parlementer). Karena bukankah kita dan kupikir Kawan kita juga tahu bahwa
problem pokok gerakan pasca-reformasi 1998 adalah sektarianisme dan fragmentasi
gerakan?



Dan kemudian kita yang sadar diminta untuk
menyadarkan rakyat akan hak-haknya dengan melakukan sesuatu yang sudah kita
bangun berpuluh-puluh tahun lamanya; Gerakan Rakyat. Tak terhitung lagi
banyaknya jumlah Gerakan yang telah dibangun oleh Rakyat yang sadar. Lengkap
dengan variasinya, metodenya, strategi-taktiknya. Ada yang hanya menjadi
sekadar kelompok diskusi, ada yang didanai oleh Founding (dengan alasan
membangun civil-society), ada yang menjadi sekte aliran idologi, dsb.


Terus apa gunanya menuntut sesuatu yang sudah
kita kerjakan sebelumnya layaknya menyuruh orang tidur padahal sudah dia sudah
mendengkur?



Kemudian Kawan kita mengutuk kembali apa yang
sudah ia kutuk sebelumnya (elit-elit politik). Kali ini lengkap dengan cap-nya;
seorang ksatria yang berjiwa pendeta. Dengan tuduhan yang anak SD pun tahu:
mencari pamrih untuk duduk dikursi kekuasaan. Dan ini semua ia anggap sebagai
permainan dimana mereka yang mengatasnamakan aktifis terjebak dalam permainan
ini dengan masuknya banyak aktifis diberbagai partai politik dengan landasan
ideologi sebagai alat bantu permainannya.



Cukup lah kita dengan permainan memusing yang
berputar-putar ini. Setelah kita dengan ikhlas menerima analisa bahwa partai
politik dalam setiap pemilu terlibat baku hantam dimana Rakyat selalu menjadi
korban dengan digadaikannya martabat bangsa, kekeyaan alam dan SDM-nya,
sekarang kita juga diminta untuk menerima kenyataan bahwa semua ini hanya lah
sebuah permainan. Hadirnya iklan-iklan dengan budget milyaran rupiah, kebijakan
pemerintah yang sok populis (anggaran pendidikan R-APBN 2009 sebesar 20%),
fenomena artis jadi caleg dan sebaginya, sekarang hanya lah tinggal permainan.
Dan dalam pemilu besok rakyat tinggal menunggu untuk menjadi korban (tidak
berlaku bagi yang sadar). Setidaknya hingga rakyat sadar dan membangun gerakan.



Yang menarik, dan patut diapresiasi (mari beri
aplaus yang meriah), Kawan kita mengajak untuk bertindak:

Bagi para pejuang sejati tentu menggunakan idiologi yang
sejati dengan massa yang sejati pula. Idiologi sejati dengan massa sejati
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa ditinggalkan. Idiologi sejati adalah
idiologi
yang benar-benar bisa diterima rakyat dan didukung dengan penuh kesadaran oleh
oleh rakyat”.


Saya hanya akan menambahkan bahwa para pejuang
sejati jangan menunggu hingga pemilu berikutnya dan menunggu kemiskinan terus
berjalan sepanjang periode ini. Kemiskinan tidak bisa menunggu!



Pemilu bukan lah permainan, tapi dia ajang
(medan) pertarungan. Antara pejuang sejati dengan yang gadungan, yang
pro-imprealisme (penjajahan asing) dengan yang anti-imprealisme. Pemilu 2009
merupakan gerbong kereta yang sedang menunggu
didepan mata; kearah mana republik ini akan bergerak? Mem-vonis penghianatan
sebelum pertarungan berlangsung bukan lah hanya pekerjaan yang kontra-produktif
tapi juga sia-sia belaka. Untuk ini saya hanya akan berkata seperti yang pernah
dikatan Engels (dalam bukunya The Housing Question): Manakala seseorang telah
begitu lama didalam gerakan, orang harus mengembangkan kulit yang lumayan
tebalnya terhadap serangan-serangan fitnah.


Bagi
yang menyatakan sanggup terlibat pemilu 2009 (dengan mengacuhkan segala
kepengecutan dan kemalasan yang lamban): mari kita mulai mengorganisir
perlawanan yang masif terhadap mereka yang kita anggap sebagi musuh dalam ajang
perhelatan ini. Sebagai kontrak bagi sebuah pertarungan (atau peperangan bila
kita lebih suka menyebutnya demikian), mari kita luaskan cabang-cabang,
perbanyak anggota, dan struktur perlawanan rakyat yang kita bangun untuk
menghancurkan dominasi Kaum Pro-imprealisme dengan neo-liberalisme sebagai
agendanya. Mari hancurkan penjajahan asing hingga berkeping-keping!


Setelah
ini mari dengan khidmat kita menilai; apakah di ajang pemilu 2009 ini masih ada
sebuah
perjuangan yang sejati atau hanya sebagai ajang bagi para kaum munafiqin? Akan
tetapi patut juga diperhatikan dalam memulai sebuah pertempuran yang
menentukan, seperti yang pernah dikatakan oleh almarhum Karl Marx:

Pada pintu gerbang pengetahuan, tuntutan yang
sama harus dipancangkan seperti yang terpanjang dipintu neraka:

Qui si
convien lasciare ogni sospetto; Ogni vilta convien che qui sia morta. (Disini
semua prasangka buruk harus ditinggalkan; Di sini semua sifat pengecut harus
mati.)”


Tidak ada komentar: