Senin, 30 Maret 2009

Jangan Buat Aku Lelah Mencintaimu "Indonesia_ku"


Apakah anda mencintai negara anda??? Seberapa dalam cinta anda??? Rela matikah anda demi bangsa anda??? Apakah jawab anda ??? Mungkin akan dijawab begini: Aku cinta mati untuk negaraku!!! Cintaku sedalam Samudra Hindia!!! Jiwa ragaku hanya untuk bangsaku!!! Sangat Patriotik.... Mestinya memang begitu Tapi ... apa iyaaa?????? Sebagai anak bangsa, mencintai adalah sebuah kewajiban. Tanpa cinta itu, bangsa ini hanya akan kehilangan jati dirinya, ter-erosi oleh gelombang ”global” yang memang begitu dahsyat melanda, hingga pada akhirnya meredup dan mati pelan-pelan.

Cinta ternyata tidak cukup dengan kata-kata patriot jika hanya sebatas pada ungkapan semata. Perlu diterjemahkan melalui tindakan nyata. Masalahnya adalah apakah kita (masyarakat pasar) punya daya untuk berbuat sesuatu bagi negara (baca penguasa)? Yang ada justru seringkali masyarakat (akar rumput) seringkali menjadi korban dari berbagai praktik dan intrik politik sekolompok kecil golongan berkuasa.

Bisa kita saksikan saat ini, pertarungan elit politik yang nyata-nyata hanya berorientasi kepentingan golongannya semata. Apakah mereka juga mengerti bahwa politik pun seharusnya juga punya etika dan filosofi? Pernahkan diperhitungkan bahwa kesejahteraan masyarakat seharusnya jauh di atas segalanya? Jika dihitung-hitung, banyak sudah ke-”lalai”-an penguasa dalam menjalankan roda pemerintahan.

Dari kacamata penyelenggaraan negara, hal ini dapat saja di-amin-i sebagai sebuah rumusan kebijakan dan strategi yang bertujuan untuk mensejahterakan umat. Tentu saja itu sudah melalui sebuah proses ”pintar” lintas disiplin dan melibatkan berbagai pakar, ahli, cendekiawan. Namun ketika sebuah implementasi kebijakan mengalami ketidaksesuaian atau kemacetan fungsi operasionalnya, apakah segera akan dilakukan revisi dan perbaikan? (jawab sendiri). Misalnya ketika kebijakan konversi minyak tanah ke gas alam, banyak temuan di lapangan yang mengarah pada ketidaksesuaian harapan dari kenyataan, antara lain:
1) ketidaktepatan sasaran;
2) distribusi yang tidak merata;
3) ketidaksiapan pelaksana;
4) munculnya mafia-mafia dan oportunis kecil yang memanfaatkan dan mengail di air keruh;
5) ketidakmampuan masyarakat karena daya beli yang rendah, dan sebagainya.

Ternyata tidak sedikit masyarakat (kecil) yang tersaruk-saruk terjegal kebijakan ini.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah benar kebijakan tersebut adalah murni untuk mensejahterakan rakyat atau hanya untuk kepentingan industri semata? Bisa kita saksikan, proses pilkada di seluruh kabupaten dan kota yang menyerupai perhelatan super akbar dan menghabiskan biaya yang amat fantastis. Coba kita jawab dengan jujur, apakah ini cuklup ”fair” sementara masih begitu banyak kepentingan rakyat kecil yang minim alokasi anggaran... Inikah buah dari kebijakan otonomi daerah??? Naif betul rasanya.

Sistem pendidikan yang kian hari kian menunjukkan wajah buramnya membuat kita terhenyak dalam keprihatinan. Mahasiswa yang lebih suka menggunakan ototnya daripada otaknya, bangunan sekolah di berbagai pelosok yang lebih mirip kandang sapi daripada sebuah kelas untuk belajar. Uang pembangunan gedung sebagai syarat diterima sebuah sekolah yang makin jauh dari jangkauan orang kebanyakan. Belum lagi konflik horisontal antara kelompok vs golongan, konflik vertikal antara pedagang dan aparat yang membuat hati ini teriris perih, inikah wajah bangsaku. Dalam dunia legilatif berlaku prinsip 5 D, datang, duduk, diam, delak-delok......, duiiit, itupun jika mereka datang semua, karena dari semua anggota dewan, yang hadir lebih sering kurang dari separuh.

Parlemen amat sangat rawan kasus-kasus politik uang. Dari kasus suap, biaya pembahasan RUU, ijazah palsu, perizinan logging, sampai kasus skandal sex yang memalukan, duuh...duuuh...duuuuuh... apa iiyaaa mereka mewakili kita??? Rakyat sering cemas, was-was dan ketakutan terhadap merebaknya tindak kriminal, terorisme, dan fanatisme berlebihan yang berpotensi terjadinya kerusuhan yang berbau SARA. Sementara itu persaingan bisnis yang tidak sehat bahkan monopoli, apalagi ketika hukum tidak ditegakkan, orientasi maksimalisasi profit mendorong munculnya praktik bisnis yang ilegal atau tidak memperhatikan nilai keadilan Dalam situasi tersebut, penggusuran terhadap pusat-pusat ekonomi rakyat dihalalkan demi menciptakan pasar-pasar baru yang lebih efisien dan efektif. Konsekuensinya, masyarakat kehilangan daya tawarnya.

Dari kacamata sosial budaya meningkatnya eksploitasi terhadap konsumen dengan sistem ekonomi kapitalis yang tidak sempurna ini menyebabkan: pertama) kesejahteraan masyarakat luas tidak lagi menjadi prioritas utama. Kedua) munculnya konsumerisme. Ketiga) terjadinya praktik monopoli dan kolusi. Ketergantungan masyarakat terhadap produk-produk konsumtif tersebut cepat atau lambat berakibat pada merebaknya kejahatan sosial seperti judi, miras, prostitusi, narkoba, dan HIV/AIDS. Hal ini menjadi pemicu paling kuat dan meledaknya kekerasan yang memerosotkan penghargaan akan nilai-nilai kemanusiaan. Padahal kemerosotan dan etika menunjukkan bagaimana hati nurani telah dimatikan seperti ditemukan dalam berbagai dampak negatif, globalisasi dan kemajuan teknologi. Iklim tersebut lambat laun menyebabkan memudarnya akar budaya, sejarah dan nilai-nilai yang dimiliki hingga masyarakat kehilangan bentuk interaksi sosial yang dibangun atas dasar saling percaya. Pada akhirnya masyarakat cenderung bersikap apatis terhadap realitas sosial yang terjadi, sejauh tidak bersinggungan dengan kepentingan mereka.

Sebaliknya masyarakat cenderung menjadi reaktif dan berpotensi melakukan kekerasan, jika merasa kepentingan hidup mereka dipermainkan dan terancam. Jika sudah begini, apakah masih bisa berharap pada predikat masyarakat kita yang dulu katanya terkenal santun, ramah, dan murah senyum??? Wallahualam… Mudah-mudahan masih.

Masih ada keyakinan dalam diri atas cinta negeri tanah tumpah darah ini meski seringkali lungkrah tertatih menapaki realita dari waktu ke waktu. Ingin hati mencintaimu tanpa syarat sebagai darma bhakti putra pertiwi, namun apa lacur hati ini jujur sesambat… lelah… lelaaaahh… meski masih tetap ada dorongan kuat untuk tidak sampai jatuh dalam sebuah pengkhianatan Ooh… rakyat yang semaput … Ooh… petinggi korup yang tidak patut Ooh… orang kaya yang bisanya cuma kentut Ooh… pemimpin yang seperti siput Ooh… anak terlantar yang sering sakit perut Ooh… golongan mapan yang pengecut Ooh… orang-orang jompo yang keriput Ooh… ABG imut yang gampang kepincut Ooh… tante-tante yang lebih suka menata rambut Ooh… wakil rakyat yang bisanya cuma jadi badut Ooh… penegak hukum berperangai celurut Ooh… preman-preman yang suka bikin ribut Ooh… negeri yang mowat mawut… Ooh...Minyak tanah yang bikin kusut Ooh… suara hati yang ngelangut Oooooooh…parasku yang seperti …paaaaruuut… Lelah Mencintaimu Indonesiakuuuu..

Tidak ada komentar: