Jumat, 20 November 2009

Akankah Terjadi Blunder?

Bola liar dari isu kriminalisasi KPK kini sudah di depan gawang. Hari selasa lalu, tim 8 sudah resmi menyerahkan rekomendasi setebal 31 halaman kepada presiden SBY. Kini, bola berada di tangan presiden dan rakyat sedang menunggu keputusannya.


Presiden memang sedang menghadapi dilema. Di satu sisi, rakyat berharap presiden segera merespon rekomendasi tim 8 dengan cepat, tepat, dan memenuhi rasa keadilan sosial. Pada sisi yang lain, presiden takut melakukan blunder bila harus mengikuti rekomendasi tim-8 seketika.

Mengulur Permainan

Presiden berjalan dengan sejumlah pertimbangan politik. Di atas segala pertimbangan itu, bagaimanapun, adalah bahwa keputusan itu jangan sampai menciderai pencitraan. Kalau itu sampai terjadi, maka hancurlah seluruh perekat bangunan politik personalnya.

Setelah tim-8 menyerahkan rekomenasi kepada presiden, desakan publik pun menguat untuk menuntut presiden segera mengambil keputusan. Berhadapan desakan publik ini, presiden meminta waktu seminggu untuk mempelajari rekomendasi itu. Disamping itu, presiden meminta supaya dirinya jangan terlalu ditekan untuk bertindak luar batas kewenangannya.

Tim-8, yang merupakan usul sejumlah intelektual dan direstui presiden, merupakan kanal politik untuk mengantisipasi pergolakan politik lebih besar akibat kemarah publik, sesaat setelah Polri menahan Bibit-Chandra.

Meski begitu, kehadiran tim-8 telah telah menjadi kendaraan harapan bagi sebagian besar publik. Apalagi sejumlah rekomendasinya, punya kesesuaian dengan harapan-harapan paling minimum publik sekarang ini. Sehingga, kalau presiden membokongi rekomendasi tim-8, maka dia sebetulnya berhadapan dengan kehendak luas masyarakat kita.

Menghadapi itu, sepertinya presiden sengaja menggunakan taktik mengulur waktu untuk menangkis serangan, baik desakan publik maupun opini yang berkembang. Dalam pertandiangan sepak bola, taktik mengulur waktu digunakan untuk meredam permainan, sehingga bisa mengurangi potensi kebobolan oleh lawan. Biasanya dilakukan oleh tim yang sudah menang tipis.

Namun demikian, Polisi dan Kejagung tetap ngotot melanjutkan proses hukum kedua pimpinan KPK-non aktif tersebut. Bahkan, setelah mendapat dukungan dari komisi III DPR, kepolisian dan kejagung sudah bulad tekadnya melanjutkan proses hukum Bibit-Chandra itu. Dan, sikap ini tentunya sangat bertentangan dengan rekomendasi tim-8.

Harus diakui, bahwa publik sekarang ini berada di belakang tim-8, terutama mereka yang moderat dan menghendaki penyelesaian konstitusional. Namun, begitu berhadapan dengan sikap “ngotot” triangle Polri, Kejaksaan, dan Komisi III untuk melanjutkan kasus ini, maka publik melakukan perlawanan lebih keras.

Potensi Blunder

Ada harapan besar dari publik saat ini, presiden segera memutuskan untuk menjalankan rekomendasi tim-8, bukan sekedar respon belaka. Apalagi, rekomendasi itu berasal dari pengkajian dan analisis panjang, hasil pemikiran ahli, dan menghadirkan berbagai pihak yang bermasalah. Secara simplistis, bagi publik yang sudah lama resah dan gelisah, rekomendasi tim-8 sudah cukup mewakili aspirasi moderat mereka.

Nah, kedua pilihan diatas punya konsekuensi politik, meskipun ukuran kadarnya mungkin berbeda. Bila presiden menjalankan rekomendasi tim-8, dia akan berhadapan dengan sejumlah konsekuensi politik, diantaranya; (a) mengecewakan dua institusi penegak hukum paling loyal terhadap presiden saat ini, Polri dan Kejagung. Ada rumor bahwa sejumlah jenderal (pati) dalam jajaran polri akan mengundurkan diri. (b) Ini akan mengantar pada rangkaian kasus lain yang sangat berkainta, khususnya skandal bank century. Kalaupun presiden tidak terlibat, namun kasus ini sangat menggerogoti kredibilitas pemerintahannya.

Sebaliknya, kalau presiden akhirnya mengabaikan rekomendasi tim-8 ini, entah dengan alasan apapun, maka akan muncul konsekuensi politik yang lebih buruk, diantaranya; (a) menaikkan temperatur kemarahan publik dan pergolakan politik. Sebab selain publik yang sudah marah, sejumlah tokoh politik nasional pun sudah bersuara keras. (b) lebih jauh, situasi ini bisa mendorong lahirnya gerakan mosi tidak percaya terhadap pemerintah, khususnya presiden beserta institusi penegak hukum, Polri dan Kejagung.


Bersikap lamban atau mengulur waktu pun bukan pilihan yang tepat. Ini justru membuat publik yang kurang sabar untuk melemparkan kesalahan kepada presiden.

Disamping itu, usaha Polri dan Kejaksaan untuk mengimbangi perang oponi, melalui pengerahan massa kontra KPK dan tim-8 justru akan memperparah situasi dan malah semakin mendidihkan masalah. Mendapat penantangan, tentu membuat gerakan pro-KPK dan anti korupsi semakin bergiat, semakin bersemangat.

Semakin panik presiden merespon situasi, justru semakin memungkinkan dia melakukan blunder.

Tidak ada komentar: