Rabu, 18 November 2009

Demokrasi-Khilafah-Non_Moeslim

Sedikit coretan ungkapan serta terkaan jawaban dari beribu tanya yang sering membuatku sepi, dan jauh dari orang tua karena saya yakin orang tua akan bereaksi keras atas pemikiran ini . Semoga blog ini sanggup menjadi tampat sampah dari kesepian itu, dan ini secercah tentang domokrasi dan khilafah, lalu dimana posisi orang-orang non-muslim jika khilafah ditegakkan???.

Keistimewaan demokrasi dibandingkan konsep lain, adalah bahwa demokrasi memandang setiap manusia secara egaliter tanpa ada pembedaan dalam hal-hal yang fundamental dan “sensitif” seperti ras atau agama. Demokrasi memberi tiap-tiap individu hak dan kewajiban sosial dan politik yang setara, yang kemudian nilai-nilai ini dituangkan dalam draft deklarasi universal HAM pada tahun 1948. Sebuah pandangan yang “fair” dalam menghadapi pluralitas manusia.

Namun, membaca artikel di situs Hizbut Tahrir tentang posisi non-Muslim (ahlu dzimmah) dalam Khilafah Islam, bayangan kita akan nilai-nilai kesetaraan derajat manusia menjadi redup. Konsep Khilafah Islam, secara mendasar, memberi pemisahan yang jelas kepada warga negara berdasarkan jenis keimanan. Yaitu kelompok Muslim dan non-Muslim. Secara logis, konsekwensi dari pemisahan tersebut adalah adanya pembedaan hak. Dan pembedaan hak yang dimaksud terlihat pada bidang politik.

Di sisi lain, ide Khilafah memang menawarkan perlindungan fisik, kebebasan beragama, dan perlakuan adil di mata hukum kepada non-Muslim, ini patut kita akui. Namun bentuk diskriminasi Khilafah terletak pada pelarangan bagi non-Muslim untuk menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan, seperti menjadi pemimpin atau penentu kebijakan negara. Partisipasi non-Muslim dalam bidang politik hanya diperbolehkan sebatas menjadi anggota Majelis Umat, untuk “sekedar” menyuarakan aspirasinya, atau mengkoreksi perlakuan Khalifah jika dirasa melenceng dari ideal ajaran Islam. Kurang lebih sebatas itulah kritik yang boleh diberikan kepada pemerintah oleh non-Muslim. Tidak boleh melontarkan opini atau kritik yang bersifat “subversif”, seperti mempertanyakan secara kritis ideologi Khilafah Islam, apalagi mempropagandakan ideologi lain. Ini jelas berbeda dengan apa yang diperoleh aktivis Hizbut Tahrir dalam lingkup negara demokrasi.

Di bidang militer, non-Muslim mendapatkan “hak istimewa” untuk tidak ikut wajib militer, namun diperbolehkan jika mereka memang menginginkannya. Hanya saja, non-Muslim tidak diperkenankan memegang posisi-posisi penting dalam kemiliteran. Lebih dari itu, jika negara Islam diserang dari luar, maka kaum Muslimin wajib membela mati-matian kaum sipil dzimmi yang berada di wilayah negara Islam. Atas semua “jasa” perlindungan itu, non-Muslim diberi kewajiban membayar jizyah tiap tahunnya, yang besarnya ditentukan oleh negara. Jizyah ini semacam “pengikat” bagi non-Muslim untuk dapat berada di wilayah negara Islam dengan aman.

Atas pembedaan hak-hak itu, non-Muslim jelas-jelas menjadi warga negara kelas dua yang harus tunduk dan patuh pada institusi kekhalifahan. Praktis, tidak boleh ada opini-opini dan sikap-sikap politis yang berseberangan dengan kekhalifahan Islam.

******

Dalam perspektif nilai-nilai modern, pembedaan warga negara berdasarkan agama adalah konsep primitif yang tidak relevan lagi dengan kondisi zaman sekarang. Aktivitas politik yang secara otomatis bersentuhan dengan publik yang plural, pada prinsipnya tidak bisa melibatkan “keyakinan teologis” yang bersifat pribadi dan relatif. Untuk menjadi seorang pemimpin yang adil dan bijak, tak ada hubungannya dengan kepenganutan terhadap teologi tertentu.

Perlindungan fisik, kebebasan beragama, dan perlakuan adil di mata hukum tidaklah cukup untuk “modal” menjadi manusia seutuhnya di era modern. Ada peningkatan “standar menjadi manusia”. Jika pada zaman-zaman kuno parameter pencapaian kesejahteraan manusia masih berkutat pada hal-hal yang bersifat fundamental seperti kemakmuran fisik, maka pada zaman modern standart pencapaian itu meningkat. Manusia modern membutuhkan “kemakmuran ideologis”, yang dalam hal ini diwujudkan dengan kebebasan mengemukakan ide atau pemikiran, dan terutama, “status sederajat” dengan individu lain. Pada sisi inilah konsep Khilafah nampak tidak peka dan sudah “merasa lengkap” hanya dengan memberi tawaran kemakmuran fisik dan keadilan hukum saja. Peningkatan standart ini, salah satunya didasari oleh kesadaran akan pluralitas manusia, baik pluralitas fisik-genetis maupun pluralitas pemikiran. Kesadaran akan pluralitas manusia dipicu oleh perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi. “Teknologi informasi”, ini sesuatu yang tidak ada di abad ke 7, inilah yang membedakan antara mindset manusia abad ke 7 dengan manusia abad ke 21.

Kita memang patut mengapresiasi tawaran perlindungan fisik, kebebasan beragama, dan perlakuan adil di mata hukum kepada non-Muslim dalam konsep Khilafah. Namun permasalahannya, tawaran tersebut tidaklah secara istimewa dimiliki oleh konsep Khilafah. Banyak konsep sekuler “buatan manusia”, juga menawarkan itu. Bedanya, jika Khilafah membagi dunia menjadi dua kubu “hitam putih” ; Muslim dan non-Muslim (baca: beriman dan kafir), maka demokrasi sebagai suatu konsep sekuler memandang semua manusia secara setara, yang memiliki hak dan kewajiban asasi yang sama. Demokrasi menyadari pluralitas manusia, serta menjadi wadah dan pemersatu bagi perbedaan itu. Kesetaraan derajat dalam demokrasi berlaku di semua bidang, tidak hanya ekonomi dan hukum, namun juga politik. Demokrasi memberikan tiap warganya hak-hak politik yang sama, tanpa membedakan latar belakang agama atau ras. Ini sesuatu yang tidak bisa diperoleh dalam konsep Khilafah. Dalam demokrasi, tiap manusia dapat merasa menjadi “manusia yang seutuhnya”, equal dengan yang lain, walau anda minoritas agama, suku, ras, atau pendapat. Ini adalah konsep yang fair dalam menghadapi pluralitas manusia.

Pendukung Khilafah harus sadar, di jaman modern mana ada yang mau berstatus “dzimmi”? Mana ada yang ingin menjadi warga negara nomor dua? Semua ingin berstatus “disamakan”, mendapatkan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang sama, tanpa pembedaan kesukuan atau agama. Menjadi non-Muslim dalam Khilafah Islam bagaikan hidup di sangkar emas. Makmur, physically protected, tapi pada esensinya “kelas dua”. Mau?

Tidak ada komentar: