Senin, 02 November 2009

Istana langit di datangi Buaya-Kadal

Tengah malam di istana Tuhan, berlokasi di langit mahapuncak.
Malaikat penjaga gerbang mengamati penanda waktu di log-book nya, Senin, 2 November 2009, pukul 01.00 dini hari waktu langit.

Kidung pujian mengisi seluruh ruang dengar. Para malaikat penyanyi hikmat melantunkan pujian. Lantunan kidung pujian yang sayup-sayup syahdu dinyanyikan ribuan malaikat itu tiba-tiba runyam oleh ketukan bertalu-talu di gerbang istana. Suara gemuruh membahana memecahkan kesyahduan. Gerbang besar yang terbuat dari kayu mahoni berwarna emas itu berderak-derak gelisah. Malaikat penjaga gerbang mencatat, ada kurang lebih 500,000 ketukan yang bunyinya berbeda, namun terharmonisasi dalam irama yang sama. Juga, tak terbilang bisikan lirih yang menyelinap melalui angin yang berhembus. Semuanya seperti berdesakan hendak menyampaikan sesuatu. Seperti orkestra simfoni di sebuah teater, melantunkan kidung yang lain. Lebih lirih dan gelisah.

Tuhan, yang tak pernah tidur meski di malam yang paling lelap sekalipun, terkesiap dalam kewibawaanNya. “Malaikat, ada apa gerangan di gerbang istana-Ku? Doa apa kiranya yang hambaKu ingin sampaikan di tengah malam ini? seru Tuhan dalam keanggunan. Cahaya maha gemerlap memenuhi istana ketika Tuhan menyampaikan titahNya.

“Tuhanku yang Maha Tahu, tidaklah kami lebih mengetahui selain apa yang Engkau ketahui” malaikat penjaga tawadhu menjawab titah. “Di pintu gerbang, ada jutaan hambaMu yang gelisah hendak menyampaikan hajat, semuanya berasal dari negeri yang sama. Negeri hutan yang Kau berkati dengan kekayaan alam yang melimpah ruah.”

“Hajat apa gerangan hai Malaikat” tanya Tuhan kemudian.

Malaikat segera membuka lagi log-book nya, disitu tertera jutaan short message di kolom inbox. Juga status-status berseliweran di kolom status-feed. Isinya seragam, meski disampaikan dengan lantunan kalimat yang berbeda-beda; “Tuhan, bantu para cicak dari penistaan gerombolan buaya-kadal mutan!

“Baginda Tuhan, menurut pesan singkat dan sambungan langsung doa yang terkirim dari negeri hutan gemah ripah loh jinawi tapi masih miskin nestapa ini, mereka mohon agar paduka Tuhan sudi menyelamatkan para Cicak dari penistaan yang dilakukan oleh persekongkolan jahat buaya-kadal! jawab malaikat dengan santun.

Sesungguhnya malaikat ini bingung, baru beberapa waktu silam negeri hutan yang semestinya makmur ini dilipat-lipat bak kue lapis dengan gempa dahsyat. Para mujahadah berjumlah ribuan yang menjadi korban amarah bumi ini belum lagi selesai menjalani proses registrasi. Lantas, bencana apa lagi yang menimpa negeri ini.

Tuhan masygul, seperti membaca kebingungan malaikat penjaga.

“Panggilkan segera si Buaya dan Kadal sekaligus! titah Tuhan kemudian, tegas, lugas dan terpercaya.

“Duli, paduka! Satu lagi paduka, apakah Raja Singa penguasa hutan perlu juga dihadirkan di majelis ini?

“Singa? Hmmm….” jawab Tuhan menanggapi malaikat. “Memang belakangan Aku sering mendengar kabar kurang sedap tentang si Raja Singa ini. Dia ini katanya makin senang bersolek dan menghabiskan sebagian besar waktunya di salon kecantikan sahaja. Sementara urusan sehari-hari hambaKu diserahkannya kepada konco-konco nya. Mending kalau kompeten”. “Well, anyway, panggilkan juga si Singa kalau begitu. Aku juga hendak mendengarkan apa saja yang sudah dilakukan oleh si Singa yang Aku amanahkan menjadi khalifah untuk kedua kalinya di hutan yang seharusnya makmur sentausa damai tentram itu!

“Baik, paduka Tuhan. Siap, laksanakan! sigap malaikat spesialis penyampai berita bergegas melaksanakan perintah Tuhan.

*****

Masih di istana Tuhan di langit mahapuncak.
Malaikat penjaga gerbang mengamati penanda waktu di log-book nya, Senin, 2 November 2009, pukul 01.20 dini hari waktu langit.

Tak sampai waktu berdetak melampaui rentang sepeminuman teh, malaikat utusan sudah datang membawa para hewan yang ditugaskan menghadap.

Sang buaya dengan seragam dinas lengkap berwarna abu-abu gelap dan atribut bintang gemintang berkilauan dari emas imitasi melekat di pundaknya. Ada lima bintang disitu. Juga sebuah kotak kain berwarna warni berukuran hampir sebesar paru-paru memenuhi dada kanannya. Itu adalah perca kain satyalencana yang didapatkan sang buaya selama karirnya. Hebat nian, sang buaya merasa terhormat dipanggil menghadap sang Maha Penguasa. Kiranya ada berita mahapenting yang hendak disampaikan Tuhan, dan sang buaya akan merasa sangat terhormat untuk dipanggil langsung. Ikut mendampingi sang buaya, asistennya yang kelihatan malu-malu namun bermata awas. Masih dari jenis buaya juga.

Persis di samping kiri buaya, berdiri dengan anggun sang Raja Singa. Rambut emas nya berkilau menguntai indah menghembuskan wangi shampo terbaru dan termahal kemana-mana. Harum rambut dan keindahan sang Singa tak urun membuat malaikat pengutus tercekat. Mengingatkan dirinya pada Nabi Yusuf, nabi terganteng dan terindah yang pernah dimiliki manusia. Tapi ini lain, pikir sang malaikat, keindahan si Raja Singa tak lebih dari produk bikinan salon, yang meski mahal tapi tak begitu sempurna. Keharumannya, seperti umumnya wangi buatan salon, agak tengik dan menyengat. Dan tentu saja tak abadi, hanya bertahan tak lebih dari tiga hari sahaja. Selepas itu, kalau tak di salon-in lagi, bau asli rambut gimbal itu akan tercium juga. Bau rambut ketombean.

Di belakang sang buaya, berdiri kadal ceking yang perawakannya tidak lebih besar dari sang buaya. Maklum, pelatihan fisik yang diperoleh sang kadal tidak seketat sang buaya. Si kadal juga berpakaian dinas lengkap berwarna hijau tua, dengan tongkat kayu bertatahkan emas dan topi lambang kewibawaan. Matanya tajam menatap Tuhan, bawaan dari tugas hariannya yang menyidik dan memperkarakan para begundal jahat atau rakyat tak berdosa dilibas pun. Mulutnya terkesan menyeruput sesuatu. Di beberapa bagian bibirnya, belepotan dengan ampas makanan. Bau makanan di mulutnya tajam dan juga menebar ke sekitar bergantian dengan wangi rambut Raja Singa. Oala, ternyata si Kadal mengunyah buah duren.

“Nah, hamba-hambaKu warga hutan Gemah Ripah Loh Jinawi yang keren dan beken, terimakasih atas kedatangannya.” Tuhan membuka majelis agung ini.
“Buaya, Kadal dan Singa. Tengah malam ini Aku mendapati gerbangKu dipenuhi ketukan-ketukan bergegas dari hamba-hambaKu. Semuanya melantunkan kidung yang seragam soal penistaan yang saat ini dialami hambaKu, golongan Cicak. Lirih dan gelisah. Apakah ada penjelasan dari kalian semua, selaku aparat penegak hukum di hutan itu. Ada apa gerangan hingga ratusan ribu hambaKu melayangkan hajatnya secara bersamaan?

Sang buaya tercekat, rupanya soalan ini sudah sampai juga ke majelis langit.

“Paduka Tuhan Yang Maha Agung, demikian sang Buaya memulai penjelasannya. “Semua soalan ini sudah jelas dasar hukumnya. Ada fakta yuridis yang mendasari tindakan kami menjebloskan dua pimpinan Cicak ke balik dinding prodeo. Kedua dedengkot cicak itu ditengarai menerima sogokan dari seorang Tikus begundal. Tuhan tahu, menerima sogokan terlarang di hutan kami. Ini melanggar syariat daripada ajaran yang diperintahkan oleh Paduka Tuhan. Sogokan, bagaimanapun bentuk dan nilainya berpotensi merusak akhlak semua warga hutan. Karenanya, hal ini tidak boleh dibiarkan.”

Sang Buaya melanjutkan lagi,” Soalan lain adalah, para pentolan Cicak ini rupanya merasa diri jagoan. Mereka menyalahgunakan wewenang yang diberikan, bahkan melampaui apa yang termaktub dalam syariat. Mereka mengeluarkan surat perintah cekal kepada para tikus yang tidak semestinya. Tahukah Tuhan, bahwa beberapa tikus yang mereka cekal adalah warga terhormat di hutan ini. Mereka adalah pembayar pajak terbesar di negeri ini dan karenanya bisa ikut menafkahi sebagian warga hutan. Para tikus agung ini juga sangat bersahabat dan komunikatif dengan para petinggi pemerintahan hutan, sampai sering sowan membawakan duren kepada para Kadal. Tapi si dua Cicak ini tergolong kurang ajar. Masa’ mereka melarang para tikus agung itu keluar dari hutan. Apa kuasa mereka? Sang Buaya memberi penjelasan yang sangat detail, dan selalu menyebut-nyebut soal hukum dan syariat.

“Oke, terimakasih Buaya. Penyogokan tentu perbuatan sangat tercela, dan karenanya Aku memaklumi tindakanmu melakukan tindakan hukum atas para pelakunya. Boleh saya tanya, apakah penyogok itu sudah kalian tangkap? Tuhan bertanya.

Sang buaya terkesiap tapi buru-buru menenangkan diri. “Sudah Tuhanku, si tikus penyogok sudah kami gondol ke penjara”.

“Ah, yang kalian tangkap hanya kroco nya saja. Bukan si Angkara, tikus pucat yang jadi aktor intelektualnya yang kini ngiprit ke hutan seberang. Aku dengar malah asisten kamu yang malu-maluin itu menemui sang penyogok . Bahkan setelah sang Cicak menetapkan si tikus bulukan itu sebagai tersangka? Ada apa gerangan?

Tuhan melanjutkan, “Juga soal penyalahgunaan wewenang yang kau tuduhkan itu, apakah memang ada dasar hukumnya. Bukankah wewenang pencekalan ini sudah lama dilakukan sejak Komisi Cicak ini dibentuk? Kenapa baru sekarang kalian persoalkan? Kenapa tidak kalian tangkap semua Cicak yang pernah menjalankan wewenang itu?

Sang buaya buru-buru menyanggah, “Tapi Tuhan, fakta yuridis menyatakan…….”

“Hai Buaya, kalian jangan macam-macam berdalih atas nama hukum. Sudahkah hukum kalian tegakkan atas diri kalian sendiri? Aku sering mendapat laporan bahwa kelakuan kalian tak ubahnya sapu kotor juga. Banyak pengguna jalan di hutan diperas sekiranya melakukan pelanggaran lalu lintas. Alih-alih diajukan ke pengadilan, kalian malah meminta sejumlah uang ke mereka langsung. “

“Maaf Paduka, itu hanya ulah oknum belaka. Sudah kami minimalisir dengan menaikkan gaji mereka. Tapi tahukah Tuhan kalau kami sangat sukses menangkapi para teroris pengacau hutan!” sanggah Buaya, yang terlihat makin tersudut.

“Nah soal itu, benarkah kalian tangkapi? Aku dengar sebagian besarnya langsung dibunuh di tempat? Memangnya kalian tak bisa menangkap hidup-hidup supaya mereka bisa didakwa atas perbuatannya, sekiranya memang mereka pelaku teror itu? Atas dasar apa kalian langsung memberi hukuman mati tanpa proses pengadilan? Tuhan mulai mengeluarkan amarahNya.

“Maaf paduka Tuhan. Para teroris itu melengkapi diri dengan ranjau, senpi dan bom yang siap diledakkan. Untuk menghindari korban di pihak kami, kami memilih untuk membunuhnya langsung! Buaya merasa punya alasan kuat untuk itu.

“Lantas, apa gunanya warga hutan itu membayar pajak untuk mempersenjatai dan membiayai pendidikan pelatihan kalian yang super mahal itu, kalau bisanya cuman membunuh, mematikan, meledakkan, membumi hanguskan. Kalau pekerjaan kriminal macam begitu, preman terminal juga bisa, gak perlu keahlian khusus. Maling ayam juga bersenjata tajam, tapi selalu sukses digebuk masyarakat yang bahkan tak punya keahlian anti-teror macam kalian para buaya! Rekan aparat kalian, si pasukan Katak, bisa menyergap burung elang penculik sekalipun di atas udara. Dengan tangan kosong dan sendirian! Ingat, tangan kosong dan sendirian! Tuhan kiranya muntab dengan kilah buaya yang kelihatan tak punya dasar alasan yang kokoh.

“Oke, kembali ke soalan Cecak ini. Kenapa kalian tidak segera ikut menangkap si tikus Angkara itu biar ada kejelasan apakah betul dia menyogok Cecak? Malah si asisten bengalmu yang malu-maluin itu menemui nya di hutan seberang? Tuhan kembali menyudutkan Buaya.

“Maaf Tuhanku, penetapan tersangka buat si tikus Angkara itu dilakukan oleh Cicak dan aparatnya. Bukan urusan kami” kilah Buaya.

“Oh begitu, jadi kalian ini menetapkan standar ganda. Tidak ada koordinasi di antara kalian sendiri. Apakah itu berarti kalian para buaya bebas-bebas saja berhubungan dengan para buronan yang tidak ditetapkan oleh kalian? Kalau kalian merasa abdi masyarakat, kenapa justru melakukan perbuatan yang mencurigakan dan malah memalukan itu. Bukankah meeting dengan buronan itu bisa berkonotasi kalian melakukan persekongkolan jahat. Kenapa tidak ditangkap langsung? Tuhan kembali menyerang. Tentu saja masuk akal.

“Satu lagi hai buaya. Kenapa kalian buru-buru menahan dua dedengkot Cicak itu. Apa alasanmu? Tuhan beralih ke soal penahanan Cecak.

“Duli Tuhanku. Kami sejatinya menggunakan hak kami selaku penegak hukum……” belum selesai Buaya menjelaskan, Tuhan sudah menyanggah.

“Buaya, kalian kan lembaga penegak hukum. Kenapa kalian menyebut soal hak, bukan wewenang? Sejurus Tuhan berpaling pada si Kadal, “Hai Kadal ceking, jelaskan padaKu apa beda hak dan wewenang?

Buru-buru, si Kadal yang mulutnya penuh duren terbatuk-batuk. “Paduka Tuhan, menurut pelajaran ketata-negaraan yang hamba peroleh waktu kuliah, hak adalah sesuatu milik pribadi orang per orang yang bisa dituntut untuk dipenuhi. Sedangkan wewenang adalah hak yang dimiliki oleh lembaga atau institusi karena diperkenankan oleh negara dan aturan yang berlaku.”

“Nah, Buaya. Kalau kalian menyatakan itu hak, berarti penahanan itu urusan personal? Tuhan kembali melabrak Buaya.

“……..” Buaya terdiam. Di sampingnya, Raja Singa mulai batuk-batuk. Alisnya terangkat. Bingung.

“Oke Buaya. Coba beritahu Aku, apa dasar kalian menahan si Cecak? Tuhan kembali bertanya.

“Ada tiga hal musabab penahanan menurut aturan yang berlaku Yang Mulia. Pertama adalah dikhawatirkan si Cecak akan melarikan diri, Kedua si Cecak dikhawatirkan akan mengulangi perbuatan buruknya, Ketiga ditakutkan kiranya Cicak akan menghilangkan barang bukti. Demikian Paduka” tukas buaya sambil menunduk.

“Ah gimana sih kalian. Mana fakta yuridis yang bisa mendasari penahanan kalian itu. Si Cicak mau melarikan diri, kan tiap hari mereka dikerubungi nyamuk pers. Alih-alih melarikan diri, ini malah menampakkan diri selalu di muka umum. Si Cecak dua itu juga sudah dibebastugaskan dari jabatannya, mana bisa mengulangi perbuatan? Barang bukti apa yang kalian khawatirkan akan hilang, sementara dasar yuridis penahanan selalu berubah-ubah tidak konsisten. Justru kalian yang malah pernah menghilangkan barang bukit persidangan. Ingat kasus nyamuk pers Udin van Jogjakarta yang darahnya kalian larung ke laut selatan. Bikin Aku cemburu saja sama sesembahan gak jelas itu!” kembali Tuhan menyudutkan Buaya. “Belum lagi soal barang bukti narkoba yang kebanyakan malah anggota kalian tilep dan jual belikan ke bandar narkoba!

“Tuhan, karena mereka selalu ketemu nyamuk pers, makanya kami khawatir akan ada penggiringan opini publik yang akan menyulitkan kerja para buaya” tiba-tiba Buaya kembali merasa punya alasan kuat.

“Ini lagi! Katanya di hutan kalian berlaku aturan yang membebaskan rakyatnya mengeluarkan pendapat di muka umum. Kalaupun ada keterangan pers mereka yang menyulitkan kalian, bukannya kalian punya hak jawab. Lagian, kalian menerapkan hukum juga mencla-mencle…”

“Sudah, kalian para buaya memang tak tahu malu! Pergilah dan jalani hukuman pantas untuk terus menerus menjadi sampah masyarakat hutan. Memalukan!”

Tuhan berpaling ke Kadal, “Hai kadal, sudah kenyang makan duren? Enak to? Mantap to?

Kadal kembali terbatuk-batuk….”enak Tuhan…Tuhan sungguh Maha Mulia dengan menciptakan buah duren yang sangat lezat!”

“Kalian tak kalah memalukannya dibanding si Buaya. Hanya karena buah duren, nurani kalian jual kemana-mana. Jadilah sampah!

Terakhir, Tuhan menatap tajam si Raja Singa yang saat itu gemetaran memegang sisir dan gincu.

“Singa, apa yang kau lakukan untuk kasus ini?” tanya Tuhan.

“Aku sudah bekerja Tuhanku. Semalam aku sudah membentuk Tim Pencari Fakta yang beranggotakan orang-orang ahli dan independen untuk menguak tabir hukum kasus Cicak ini!

“Bagus. Tapi jangan terlalu sering bekerja hanya karena sudah ada desakan masyarakat. Kamu juga harus memastikan bahwa TPF ini tidak membentur dinding tebal seperti TPF Munir dan lain-lainnya yang saat ini tidak jelas hasilnya!

“Satu lagi Singa, kebiasaan mu akhir-akhir ini amat memalukan. Jangan terlalu banyak menghabiskan waktu di depan cermin survey dan berhias di salon konco-koncomu! Urus tuh rakyatmu! pungkas Tuhan, tuntas.

Majelis langit bubar. Buaya dan Kadal kembali ke hutan. Wajah mereka dipenuhi sampah. Sementara si Raja Singa pulang tanpa sisir, bedak dan gincunya. Rambutnya kusut.
Malaikat penjaga gerbang mengamati penanda waktu di log-book nya, Senin, 3 November 2009, pukul 07.00 pagi hari waktu langit.

*note:
Cerita di atas hanya khayalan belaka, percakapan imajiner. Personifikasi Tuhan dalam cerita diatas tidak bermaksud menjadi bagian dari kebenaran

Tidak ada komentar: